Oleh Hotasi Nababan
S
EGERA setelah berita merebak tentang pene tapan saya sebagai “tersangka” korupsi, dukungan moril dari banyak orang datang mengalir melalui berbagai media, khususnya di jaringan alumni ITB dan kalangan profesional. Bahkan, banyak pendapat orang di twitter yang saya tidak kenal mempertanyakan dimana letak korupsinya perkara sewa pesawat Merpati tersebut.Saya menyadari bahwa berita korupsi memberi rating tinggi bagi media. Rating tinggi tentu akan membawa pemasukan. Setiap ada penetapan ter sangka korupsi, banyak sorotan media ke institusi yang mengumumkannya, termasuk kali ini kantor penerangan Kejaksaan Agung. Mungkin kasus ini sendiri, atau nama Merpati, atau nama saya cukup berarti untuk ditaruh di running text di beberapa stasiun televisi.
Tentu saja citra saya terganggu bagi publik yang tidak mengenal saya. Beberapa orang sering mendatangi saya bertanya tentang kasus ini, tapi dengan sudut kecurigaan bahwa saya mendapat bagian dari uang deposit itu. Sebagian lagi menganggap bahwa kejaksaan pasti punya bukti kuat bahwa saya merekayasa ini semua. Jika saya mendengar omongan orang tersebut, maka saya akan membenarkan itu.
Seperti halnya berita korupsi lain, pemberitaan tentang kasus ini telah mem-vonis saya bersalah (guilty by opinion).
Inilah kekuatan media di jaman keterbukaan informasi seperti ini. Proses hukum tidak terjadi di dalam ruangan penyidikan, tetapi apa yang terjadi cepat menjalar dan diikuti publik melalui media apa saja. Publik berhak menyimpulkan apapun dari berita yang diterima. Di tengah kebencian luas atas korupsi, publik ingin cepat menuju kesimpulan karena tidak sabar akan proses mengurai suatu perkara.
Tidak heran saya mendapat pengalaman bahwa media lebih tahu hasil pemeriksaan kami daripada kami sendiri.
Para penegak hukum ingin lebih dekat dengan media untuk mengangkat pamor dan mengatur temperatur politik pemberitaan. Media pun ingin selalu dekat dengan sumber media. Eksklusifitas berita memberi nilai lebih. Setiap potong informasi langsung ada di media on-line. Media harian mengacu pada media on-line itu. Kecepatan berita seperti ini sangat merugikan bagi pesakitan seperti saya.
Sadar bahwa media adalah elemen terpenting untuk menyampaikan kebenaran, maka saya dan teman-teman sepakat untuk melancarkan road-show ke beberapa media, baik cetak dan elektronik, untuk menyampaikan fakta apa adanya. Media dapat menjadi kekuatan yang menjamin keadilan. Setelah semua fakta dipaparkan secara sistematis, maka pertanyaan mereka sama, “mengapa kejaksaan memaksakan perkara ini menjadi pidana?”
Selain itu, atas saran teman-teman di LSM, saya
mendatangi kantor ICW di Kalibata pada sore hari di bulan September 2011. Mereka menyambut kami dengan canggung, karena tidak pernah terjadi tersangka korupsi datang melaporkan kasusnya. Kami datang bukan meminta ICW membela saya, tapi agar ICW mau mempelajari kasus ini secara mendalam dan melihat bahwa gerakan anti-korupsi dapat disalahgunakan oleh penguasa (abuse of power).
Setelah mereka membaca dokumen yang kami bawa, mereka pun tidak dapat menangkap unsur pidananya.
Namun, mereka tidak akan menyampaikan kesimpulan apapun karena ICW bertujuan untuk memberantas korupsi,
Menerima ‘Best Marketing Executive Peugot Award 1997’.
bukan untuk memberi advokasi bagi korban salah tuduh.
Kami memahami dan menghormati posisi mereka. Sebelum pergi, saya mengisi formulir pengaduan publik kepada ICW.
Belakangan, pihak kejaksaan mengetahui keda tangan saya ke ICW. Saya mendengar rupanya mereka kecewa bahwa saya mengadukan hal ini ke ICW. Saya tidak menduga reaksi negatif ini. Setelah itu saya tidak meneruskan rencana saya keliling mengunjungi LSM-LSM anti korupsi karena masih ingin kooperatif dan tidak mengganggu jalannya penyidikan.
Selain itu, kejaksaan tidak suka adanya polemik kasus ini di media. Penjelasan kami di majalah Tempo, Gatra, dan konferensi pers di Agustus 2011 membuat kejaksaan gusar. Kami dianggap menantang. Padahal kami memberi tanggapan terhadap pernyataan kejaksaan yang berkali-kali tentang adanya pidana korupsi sejak mengumumkan di bulan Juni 2011.
Jika kami “diam” maka publik akan menganggap tuduhan itu benar, walaupun penyelidikan belum dimulai. Jika kami
“bicara”, publik mendapat infor masi sepadan dan dapat ikut dalam bagian proses hukum ini. Dalam era keterbukaan informasi, sema kin banyak publik terlibat ke detil substansi perkara, maka semakin baik pertimbangan publik yang akhirnya dapat membantu penegak hukum membuat keputusan yang adil.
Namun, kemudian tim penyidik menghimbau agar kami tidak lagi ke media lagi. Jika kami tidak kooperatif, kejaksaan masih memiliki hak subyektif untuk menahan saya. Akhirnya,
kami menghentikan semua komunikasi ke media dan LSM di bulan Oktober 2011 hingga sekarang.
Persepsi publik atas suatu perkara sangat mem pengaruhi keputusan hukum. Perkara korupsi yang sudah di-expose besar ke publik bisa menggiring publik percaya bahwa ada sesuatu perbuatan tercela korupsi telah terjadi. Publik sudah gelap mata bahwa hukum selama ini direkayasa untuk kepentingan koruptor dengan uang dan kekuasaan. Tidak ada tersangka korupsi yang tidak salah. Jika ada yang bebas, berarti ada apa-apanya.
Akibatnya, begitu seseorang masuk ke labirin perkara korupsi, sangat sulit untuk keluar. Persepsi publik telah menjadi kunci gembok dari sebuah kamar gas yang disebut
“pembasmian koruptor”.
Apakah Kejaksaan berani mengeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) apabila bukti pidana belum cukup?
Apakah para Hakim berani membebaskan Terdak wa apabila tidak terbukti?
Apakah para Hakim Agung di Mahkamah Agung berani menolak kasasi atas putusan bebas di peng adilan?
Jika jawaban semua pertanyaan itu “tidak”, kema nakah tertuduh korupsi seperti saya harus mencari keadilan lagi?
Merpati, Oktober 2005.
J
ALAN kehidupan seringkali tak terduga. Penuh kelokan, bahkan tikungan tajam. Itulah yang dialami Hotasi Nababan dalam perjalanan hidupnya hari-hari ini.Integritas pribadi yang telah dijaga dan diperjuangkannya selama puluhan tahun, sejak ia menjadi aktivis mahasiswa ITB di tahun 1980-an, hari-hari ini sedang diuji sebuah tikungan tajam bernama “tersangka perkara korupsi”.
Berikut ini beberapa kesimpulan yang bisa disampaikan berkaitan dengan perkara yang membelit Hotasi Nababan dan dua pimpinan Merpati lainnya:
• Buku ini memperlihatkan bagaimana sebuah kebijakan yang diambil secara bisnis kemudian berujung pada pemidanaan. Padahal proses yang ditempuh Hotasi Naba ban dan Direksi Merpati dalam melakukan sewa pesawat sudah memenuhi prosedur yang ada, mulai dari pema sangan iklan pencarian pesawat di situs internet, penan datanganan kesepakatan antara Merpati dan TALG, hingga verifikasi kantor Hume and Associates sebagai custodian, tempat penempatan refundable security deposit (RSD) Merpati sebesar US$ 1 juta.
• Bahkan, saat TALG ingkar janji tidak dapat menyediakan pesawat yang diminta, Direksi Merpati juga telah ber-upaya mengejar pengembalian dana deposit ter se-but dengan menggugat TALG di pengadilan Distrik Washington DC. Putusan pengadilan yang meme-nangkan Merpati pada akhirnya mewajibkan pihak TALG mengembalikan dana deposit Merpati meski dengan cara menyicil.
• Para ahli hukum pidana, hukum perdata, tata kelola korporasi, dan industri airlines sendiri secara panjang lebar menjelaskan bahwa perkara ini tidak mengandung unsur pidana, karena sudah mengikuti prosedur perusahaan, sudah sesuai dengan kewenangannya, hal yang lazim di bisnis penerbangan, dan merupakan resiko bisnis.
• Banyak faktor yang terkait dengan pemidanaan perdata ini. Mulai dari inkonsistensi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kerugian negara, penaf-siran perkara secara subyektif oleh Kejaksaan, hingga dugaan upaya penyingkiran Hotasi Nababan dari kursi Direktur Utama Merpati, banyak mewarnai kasus ini.
• Kejaksaan juga nampaknya amat memaksakan diri untuk meneruskan tuntutan pada diri Hotasi dan dua pimpinan Merpati lainnya. Ada kesan kejaksaan ingin menjaga pencitraan dengan mengejar target statistik perkara korupsi yang ditanganinya. Padahal, semua data yang ada dan saksi yang dihadirkan menunjukkan bahwa kasus ini merupakan wanprestasi yang dilakukan
oleh TALG. Bukti yang paling kuat adalah keputusan pengadilan distrik Amerika Serikat yang memenangkan Merpati dan mengharuskan TALG membayar uang deposit yang telah disetorkan.
• Perkara ini sendiri telah dilaporkan berkali-kali ke semua penegak hukum. Namun Bareskrim Mabes Polri, KPK, dan Kejaksaan sendiri sebelumnya telah menyatakan bahwa kasus ini tidak memenuhi unsur tindak pidana korupsi. Pemidanaan yang dilakukan Kejaksaan kali ini akan membuat kerancuan dan ketidakpastian dalam penyelidikan suatu kasus korupsi.
• Jika perkara ini dibiarkan, maka akan menjadi preseden buruk bagi para Direksi BUMN. Suatu keputusan bisnis yang telah mengikuti prosedur dapat dipidanakan sebagai perkara korupsi. Walaupun niat Direksi BUMN itu bersih, dia bisa dituduh korupsi akibat keputusan yang merugikan perusahaan. Kerugian perusahaan dianggap kerugian negara. Akibatnya Direksi BUMN akan cenderung bermain aman, tidak mau mengambil resiko. Rekam jejak Hotasi menunjukkan bahwa sebaik apapun yang dia lakukan akan sia-sia dengan adanya ruang untuk mem-pidanakan suatu keputusan bisnis.
• Maka, melalui buku ini diharapkan agar terjadi per-ubahan, terutama dalam sistem peradilan di Indonesia agar tidak memidanakan sebuah keputusan bisnis, atau perkara yang sebenarnya bersifat perdata.
d
Abdul Gani, 31
Abdullah Azwar Anas, 199 Abdurahman Wahid, 176 Abhy Widya, 101 Abubakar Alhabsy, 199 Abuse of power, vi, 167, 174 Adi Irianto, 243
Agum Gumelar, 28
Alan Messner, 3-5, 8, 11, 13-20, 25, 26, 38, 58, 59, 66, 74-76, 85-87, 225
Alida Lientje Tobing, 123 Ammarsyah, 127
Andi Hamzah, v, 64, 67, 69 Andi Saleh, 137
Anwar Adnan Saleh, 68 Arnold Angkouw, 39, 230 Arnold Purba, 127 Arry Anggadha, 196 Arya M, 239, 245
Baharuddin Lopa, vi, 174-176, 183
Bambang Bhakti, 37 Bambang Dwi Handoko, 15 Bambang Harymurti, vi, 150,
152
Bambang Parmanto, 126 Bara Hasibuan, 137, 138 Basrief Arief, 25
Betti S. Alisyahbana, vi, 121, 122, 133, 136, 238, 242-245 B. Maria Erna, 15
Charles Himawan, 163 Cucuk Suryoprojo, 37, 144 Dachamer Munthe, 14 Daniel Nickel, 14, 15, 22 Darmono, 202, 203, 228 Dawud Djatmiko, 167
Dian Arfiani Amir, 14
Erman Rajagukguk, v, 29, 30, 64, 67, 88, 148
Fajroel Rachman, 125, 127 Fardinan Kenedy, 186 Fario Untung, 230 Gatot Siswanto, 239
Guntur Aradea, 23, 38, 39, 101, 185, 204, 206, 215, 217, 219, 221-223, 230, 233, 235 Gus Dur, 176
Hafidin, 137
Handoyo Sudradjat, 21 Harifin A. Tumpa, 181, 182 Harry Pardjaman, 185
I Made Asdhiana, 228
Indonesia National Air Carriers Association (INACA), 33, 64, 65, 110, 227, 228 Indra Setiawan, 31 Irvan Harijanto, 199 Jack Welch, 131
Jaka Pujiyono, vi, 101, 129, 130, 157
Jasman Panjaitan, 179 John A. Heffern, 11
John M. Facciola, 15, 16, 18, 19 Jon C. Cooper, 11, 14-20, 23, 24,
26, 36, 37, 58, 59, 66, 74, 75, 84, 88
Jumhur Hidayat, 127 Juniver Girsang, 167, 171 Jusman Safeii Djamal, 192 Lawrence Siburian, 8, 35, 57 Lease of Aircraft Summary of
Term (LASOT), , vii, 9, 25, 30, 33, 57, 70, 71, 95, 98, 99 Lee Kuan Yew, 175
Lendo Novo, 127 Letjen Saiful Sulun,, 124
Mahmudin Yasin, 28
Pramono Anung Wibowo, 124, 125
PT MNA, 12, 15-20, 27, 29, 30, 69-78, 84-89, 95, 102-110, 212-214, 229, 230, 232, 233, 235, 236, 240
Rachman Akil, 137 Rhenald Kasali, vi, 115 Richard J. Leon, 3, 4, 12, 13 Robby Johan, 141
Robert Strange, 19, 78, 83, 87 Rudini, 127
Rudy Setyopurnomo, vi, 152 SAE Nababan, 122, 123 Said Didu, vi, 64, 67, 68, 107 Sardjono Jhony Setiawan, xv,
185
Satjipto Rahardjo, 172, 173, 177, 178 Socrates, 163, 164, 165 Soeharto, 175
Sofyan A. Djalil, v, 20, 26, 27, 29, 31, 64, 102, 144, 152, 228, 229
Solidaritas Pegawai Merpati, viii, xv, 21, 37, 195, 197
Solidaritas Profesional untuk Reformasi (SPU), 128, 137, 138
Sri Mulyani, 20, 149
Sri Sultan Hamengku Buwono IX, 176
Steven Covey, 184 Sugiharto, 11, 12, 104 Sujiwo Tedjo, 125
Susilo Bambang Yudhoyono, 180, 191
Syahganda Nainggolan, 127 Tengku Burhanuddin, vi, 33, 64,
65, 110
Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG), viii, xii, xiii, xix, xx, 3, 5, 7-17, 20-25, 30, 32, 33, 35-38, 56-59, 66, 69-77, 85, 86, 95, 96, 99, 102,
104, 108, 109, 133, 159, 187, 189, 196-200, 203-208, 210, 213, 215-222, 224, 225, 229, 230, 232, 235-239, 241-243, 253-255
T. Mulya Lubis, 173, 177 Tonny Sinay, 14 Tony Gozal, 175
Tony Sudjiarto, 39, 99, 185, 230, 233, 234, 235
Untung Udji Santoso, 14 Wahyu Hidayat, 140 Wayan Suarna, 197 W.F. Stutterheim, 188 Xanana Gusmao, 252
Yoseph Suardi Sabda, v, 15, 20, 23, 25, 66, 74, 77, 83, 84, 225 Yudiawan, vi, 64, 65, 112