• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KAJIAN PUSTAKA

3.7. Pembacaan Peranan Gender Dalam Arsitektur Nusantara

3.7.3. Stilistik

Dengan mengumpamakan suatu rumah tinggal adalah sebuah tatanan seperti pada sebuah kalimat dalam ilmu bahasa, maka dengan beragamnya budaya di Nusantara ini, peranan stilistik menjadi sangat penting, yuatu gaya pengungkapan dalam berbahasa yang hanya bisa dibaca atau dipahami oleh lingkungan yang menggunakan bahasa tersebut.

Dengan kenyataan ini, stilistik yang digunakan oleh masyarakat Nusantara berarti tidak harus sama dengan pembaca makna bangunan rumah tinggal tadi. Sehingga dengan image dan ide sebuah rumah tinggal dalam Arsitektur Nusantara berbeda dengan stilistik yang digunakan dalam rumah tinggal Arsitektur kontemporer, seperti jendela yang cukup lebar sehingga membuat tatanan ruang dalam cukup mendapat sinar matahari atau udara yang segar. Hiasan yang memberikan tanda-tanda wanita ( tirai, pot bunga ) sangat jelas terbaca dari sisi luar bangunan.

Berbeda sekali dengan yang ada pada rumah tinggal dalam arsitektur Nusantara, tanda yang menunjukkan adanya wanita dalam rumah tinggal dari sisi luar

hampir tidak terlihat samasekali. Sehingga ada anggapan bahwa laki-laki sebagai pembuat bangunan rumah tinggal dalam Arsitektur Nusantara memang menggunakan stilistik “mengurung” perempuan yang menempatinya.

Keberadaan pembatas ruang seperti dinding, dan ruang gerak dari perempuan di dalam sebuah rumah tinggal arsitektur Nusantara dapat digambarkan seperti di bawah ini:

a. b.

Sumber : Santoso (2002)

Gambar 3.1 : Dinding dan ruang gerak perempuan dalam rumah tinggal

arsitektur Nusantara menurut pemikiran Barat

Gambar a

Dalam arsitektur tradisional, suatu dinding yang berkesan padat dan tertutup, akan selalu memberikan kesan terlepasnya siapa saja yang berada dalam dinding pelingkup tadi dari dunia luar. Batas dari semua gerak dimunculkan melalui keberdaaan dinding pelingkup tersebut, yang berarti siapa saja yang berada dalam

lingkup di dalam tadi akan merasa tidak bebas. Gerakan manusia dianggap sebagai simbol keberadaan manusia itu sendiri, apabila lingkup gerak terbatas maka dinyatakan sebagai terkurung, sebaliknya apabila batasan tadi masih menjamin kebebasan bergerak, dinyatkan sebagai “baik, bebas, atau tidak mengurung''. Seperti pada pemikiran Barat tentang terkurungnya kaum wanita dalam rumah tinggalnya,

di sudut yang gelap dan mati (Waterson, 1990), yang dari pernyataan ini dapat

dipahami sebagai tertekannya kaum wanita oleh rancangan arsitektur yang dibuat oleh laki-laki dalam arsitektur Nusantara.

Gambar b.

Suatu bentuk ideal bagi perempuan untuk berkegiatan di rumah menurut pemikiran Barat. Perempuan dengan ruang yang mempunyai batas akan tetapi tidak membatasi. Sehingga disamping kegiatannya berumah-tangga, bukan berarti terlepas dari perkembangan dunia luar rumah. Termasuk bekerja seperti laki-laki. Wanita memang masih merupakan sentral dari sebuah rumah tangga, akan tetapi bukan

sentral yang mutlak, karena wanita sendiri boleh pada waktu tertentu berkegiatan di

luar rumah (misalnya bekerja). Dengan demikian sebagai kode tentang petanda ini adalah dinding rumah tinggal yang tidak harus masif, misalnya berjendela yang cukup lebar, penggunaan bahan tembus pandang, dan sebagainya.

Dalam salah satu dasar pemikiran kontemporer, bahwa kehidupan ini adalah

menyatakan bahwa bangunan dalam arsitektur adalah sebuah mesin untuk berkehidupan. Dengan demikian manusia tidak lagi perlu dibedakan antara laki-laki dan perempuan didalam beraktifitas dalam kehidupan, yang membedakan adalah jenis kelamin saja, atau dengan kata lain perempuan memiliki organ untuk melahirkan manusia sedangkan laki-laki tidak. Karena kedua jenis kelamin ini masing-masing mempunyai kemampuan untuk berfungsi dalam kehidupannya yang ”sama” baik, maka laki-laki hampir identik dengan perempuan. Dengan cara berfikir seperti ini, maka menurut pemikiran kontemporer keseimbangan antara laki-laki dan perempuan akan tercapai dalam hidup bersama.

Demikian pula dalam membangun sebuah rumah tangga, bagi pemikiran Barat ”bahu-membahu” bukanlah berarti adanya pengertian depan dan belakang. Kalaupun ada pembagian tugas, hanyalah merupakan pembagian tugas secara fungsional saja. Laki-laki akan memperlihatkan jati dirinya hanya melalui keberhasilan yang dicapai dalam menjalankan fungsinya dalam kehidupan, dan tidak bisa dihindari bahwa faham materialisme akan menguasai dalam pemikiran semacam ini. Sedang dalam kehidupan masyarakat Nusantara pemahaman tersebut dapat berlaku sebaliknya.

Kehidupan dalam masyarakat Nusantara adalah kehidupan berke-Tuhanan. Wanita mempunyai tugas yang sangat mulia, yaitu melahirkan dan memelihara keturunan atau generasi muda kelompok kehidupan mereka. Laki-laki dan perempuan jelas tidak sama dari sisi manapun pemikiran itu. Dengan ”meminta” seorang

upaya memunculkan jati dirinya sebagai laki-laki. Melalui prosedur pernikahan yang cukup rumit, laki-laki harus ”merendahkan” dirinya dihadapan orang-tua atau marga perempuan, hanya untuk bisa diakui sebagai seorang laki-laki. Pengertian laki-laki inipun akan membedakan dirinya dari pemuda atau anak laki-laki, yang dalam masyarakat masih belum diakui sebagai laki-laki secara ”penuh”. Dengan demikian maka perempuan ditempatkan pada tempat yang sangat penting dalam diri laki-laki masyarakat Nusantara, atau harus ”terlindungi” dengan sangat baik. Karena kalau perempuannya ternoda, maka ternoda pula jati diri laki-laki.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa bahwa laki-laki pada masyarakat Nusantara ”melemahkan/ membuat lemah” posisi perempuan terhadap laki-laki. Demikian pula apabila seorang laki-laki mengawali membangun rumah tangganya, yang ditandai dengan perolehan izin dari orang tua pihak perempuan, juga ditandai ”penempatan” perempuan oleh laki-laki dalam wadah yang dibangunnya yaitu bangunan rumah tinggal. Apabila dua hal ini (pentingnya perempuan bagi laki-laki dan wadah) digunakan sebagai dasar ide, maka tidaklah mengherankan apabilah wadah tadi harus dibuat seaman mungkin dari apa saja yang bisa menodai perempuan. Maka rumah tinggal adalah ekspresi jati diri laki-laki yang memiliki rumah tinggal, sebaliknya rumah tinggal tanpa perempuan bukanlah sebuah rumah tinggal bagi masyarakat Nusantara.

Demikian pula perbedaan pemikiran makna dinding rumah tinggal arsitektur Nusantara, yang bagi pemikiran kontemporer dengan denotasi makna: batas dalam- luar, pemisah dalam-luar, yang akan mengarah kepada konotasi makna: terkurung,

terikat, atau terpenjara. Namun pembaca makna dinding pada bangunan rumah

tinggal dalam arsitektur Nusantara lebih agak ”lentur” dalam membaca bangunan rumah tinggal dalam arsitektur Nusantara, kita akan bisa mendapatkan denotasi makna: jati diri seorang laki-laki, yang mengarah pada konotasi makna: perempuan.

Melalui pemikiran diatas, maka dapat dipahami pemikiran tentang makna dinding bagi laki-laki (pembuat bangunan), demikian pula bagi perempuan yang memang dari awal memahami adanya dunia kehidupan, belakang bagi perempuan,

depan bagi laki-laki, tanpa ada rasa yang ”negatif” tentang ini. Berumah tangga

adalah melakukan tugas dari Tuhan, sedangkan Tuhan menentukan posisi ruang gerak perempuan dan ruang gerak laki-laki bagi masyarakat Nusantara. Dengan demikian pemikiran yang berdasar pada “letak/sifat dinding” tentang ruang gerak perempuan yang berlaku bagi masyarakat Nusantara adalah sebagai berikut:

a. b.

Sumber : Santoso (2002)

Gambar 3.2. Dinding dan ruang gerak perempuan yang berlaku

Gambar a

Bagi masyarakat Nusantara, rumah adalah tempat teraman dan baik bagi perempuan dalam melakukan perkejaan rumah tangganya, selama suaminya bekerja di luar rumah, bisa dikatakan rumah adalah daerah kekuasaan perempuan, sehingga hampir bisa dikatakan “tabu” bagi laki-laki untuk mendekatinya, selama suami/pemilik rumah tidak berada di rumah. Dengan demikian bagi perempuan

dinding rumah adalah pelindung yang baik bagi kehidupan dirinya dan anak-anaknya,

sehingga dinding sebagai sebuah petanda akan mempunyai denotasi: larangan untuk didekati/ tidak dianjurkan untuk didekati laki-laki dan mempunyai konotasi: perempuan bagi masyarakat setempat. Adapun kode yang memunculkan denotasi- konotasi makna tersebut dimunculkan melalui kode yang beragam sesuai beragamnya arsitektur Nusantara.

Gambar b

Betapapun perubahan dinding dengan pengaruh faham pemikiran kontemporer, akan tetapi tetap saja bagi perempuan yang masih menganut pemikiran tradisi akan membuat semacam kode yang mempunyai makna denotasi daerah yang tabu dimasuki secara langsung oleh laki-laki yang bukan anggota keluarga. Kode untuk ini bisa berupa ruang pemisah antara ruang tamu/ruang publik dan dapur atau halaman belakang, bisa juga dinding yang melindungi perempuan yang sedang beraktifitas dari kontak langsung dengan laki-laki diluar anggota keluarga.

Dengan demikian melalui kode yang terlekat pada dinding rumah tinggal dalam arsitektur Nusantara yang dibaca dengan menggunakan denotasi dan konotasi yang dikehendaki oleh pembuat bangunan, dan melalui berita yang biasa dimengerti oleh masyarakat Nusantara, maka dengan menggunakan denotasi-konotasi makna yang tepat, maka terjawablah pertanyaan diatas tadi, yaitu dinding pada rumah tinggal dalam arsitektur Nusantara adalah bukan merupakan “kurungan” bagi perempuan melainkan sebaliknya. Dengan demikian pula pemikiran Barat tidak akan perrnah

sama dengan pemikiran masyarakat Nusantara. Sehingga dua cara berfikir ini tidak

bisa dicampur adukan dalam membaca makna yang melekat pada bangunan arsitektur Nusantara.

Dokumen terkait