Sebagian ada yang meyakini bahwa masih diperkenankan untuk makan atau minum meskipun telah diteriakkan adzan. Dalil yang digunakan adalah beberapa hadits yang dianggap mereka shahih. Namun ada dalil shorih (tegas) dari Al Qur’an yang masih membolehkan makan hingga masuk fajar shodiq. Artinya, setelah fajar shodiq tidak diperkenankan untuk makan atau minum sama sekali. Bagaimana mengkompromikan kedua macam dalil yang ada? Lalu apakah dalil yang membicarakan hal tersebut shahih?
Hadits yang Membicarakan Masih Bolehnya Makan Ketika Adzan
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ُهْنِم ُهَتَجاَح َى ِضْقَي ىَّتَح ُهْعَضَي َلاَف ِهِدَي ىَلَع ُءاَنِلإا َو َءاَدِِّنلا ُمُكُدَحَأ َعِمَس اَذِإ
“Jika salah seorang di antara kalian mendengar azan sedangkan sendok
terakhir masih ada di tangannya, maka janganlah dia meletakkan
sendok tersebut hingga dia menunaikan hajatnya hingga selesai.” (HR.
Abu Daud no. 2350).
Di antara ulama yang menshahihkan hadits ini adalah Syaikh Al Albani rahimahullah. Sehingga dari hadits ini dipahami masih bolehnya makan dan minum ketika adzan dikumandangkan.
Namun yang lebih tepat, hadits ini adalah hadits dho’if (lemah) yang menyelisihi dalil yang lebih shahih. Jika kita melihat dari dalil-dalil yang ada, wajib menahan diri dari makan dan minum ketika adzan berkumandang.
Hukum status hadits
Hadits di atas dikeluarkan oleh Imam Ahmad (2/ 433/ 510), Abu Daud (2350), Ad Daruquthni dalam sunannya (2/ 165), Al Hakim dalam Mustadrok (1/ 203) dan Al Baihaqi dalam Al Kubro (4/ 218) dari jalur: Hammad bin Salamah, dari Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqomah, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah. Al Hakim menshahihkan hadits ini, sesuai syarat Muslim kata beliau dan Adz Dzahabi pun menyetujuinya. Namun yang tepat tidak seperti pernyataan mereka.
Sanad riwayat Abu Daud muttashil (bersambung) dan perowinya
(jujur), namun terkadang wahm (keliru). Hadits ini dishahihkan oleh Al Hakim dan dikatakan oleh Ibnu Taimiyah bahwa sanadnya jayyid
sebagaimana dalam Syarh Al ‘Umdah (1/ 52). Abu Hatim Ar Rozi sendiri
mengatakan bahwa jalur dari Hammad dari Muhammad bin ‘Amr, “Laysa
bi shohih” (tidaklah shahih). Akan tetapi Abu Hatim tidak menjelaskan
sebab kenapa disebutdho’if.
Telah diperselisihkan mengenai sanad hadits ini pada Hammad bin Salamah sebagai berikut:
1. Dari Hammad bin Salamah dari ‘Ammar bin Abi ‘Ammar dari Abu
Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara marfu’. Dan ada tambahan,
ُرْجَفْلا َغ َزَب اَذِإ ُنِِّذَؤُي ُنِِّذَؤُمْلا َناَك َو
“Dan muadzin mengumandangkan adzan ketika muncul fajar.”
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad (2/ 510) dan Al Baihaqi dalam
Al Kubro (4/ 218) dari jalur: Rouh bin ‘Ubadah dari Hammad bin
Salamah.
Disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam Al ‘Ilal sama dengan jalur yang
disebutkan sebelumnya dan dinukil dari ayahnya di mana ia berkata,
“Dua hadits tersebut tidaklah shahih. Adapun hadits ‘Ammar dari Abu Hurairah hanyalah mauquf (berhenti sampai sahabat).” Ringkasnya, dari jalur ini berarti hadits tersebut hanyalah perkataan sahabat, bukan qoul (sabda) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Dari Hammad bin Salamah dari Yunus dari Al Hasan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara mursal (dari tabi’in langsung Nabi tanpa disebutkan sahabat). Hadits mursal di antara hadits yang dho’if. Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad (2/ 423): telah berkata pada
kami Ghossan (Ibnu Ar Robi’), telah berkata pada kami Hammad bin
Salamah.
Tidak ragu lagi perselisihan pada Hammad bin Salamah dalam hadits ini berpengaruh dalam keshahihan hadits.
Hadits di atas memiliki beberapa penguat tetapi juga dho’if (lemah). Taruhlah hadits tersebut shahih, maka telah dijawab oleh Al Baihaqi
ُهَّنَأ ىَلَع ِمْلِعْلا ِلْهَأ ِِّما َوَع َدْنِع ٌلوُمْحَم َوُهَف َّحَص ْنِإ اَذَه َو - صلى الله عليه وسلم - ِرْجَفْلا ِعوُلُط َلْبَق ىِداَنُي َناَك َىِداَنُمْلا َّنَأ َمِلَع ُل ْوَق َو ِرْجَفْلا ِعوُلُط َلْيَبُق ُهُب ْرُش ُعَقَي ُثْيَحِب ا ًرَبَخ َنوُكَي ْنَأ ُلَمَتْحُي َغَزَب اَذِإ َنوُنِِّذَؤُي َنوُنِِّذَؤُمْلا َناَك َو ىِواَّرلا ِِّىِبَّنلا ُل ْوَق َو ىِناَّثلا ِناَذَلأا ِنَع اًرَبَخ َنوُكَي ْوَأ َةَرْيَرُه ىِبَأ َنوُد ْنَّمِم اًعِطَقْنُم - صلى الله عليه وسلم - : « َدِِّنلا ُمُكُدَحَأ َعِمَس اَذِإ َءا ِهِدَي ىَلَع ُءاَنِلإا َو » . اَمِل اًقِفا َوُم َنوُكَيِل ِلَّوَلأا ِءاَدِِّنلا ِنَع اًرَبَخ
“Jika hadits ini shahih, maka dipahami oleh mayoritas ulama bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui kadang muadzin mengumandangkan adzan sebelum terbit fajar (shubuh) dan beliau minum dekat dengan terbitnya fajar. Sedangkan perkataan perowi bahwa muadzin mengumandangkan adzan ketika muncul fajar dipahami
bahwa hadits tersebut sebenarnya munqothi’ (terputus dalam sanad) di
bawah Abu Hurairah. Atau boleh jadi hadits tersebut dimaksudkan untuk adzan kedua. Sedangkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan bejana (piring) masih ada di tangannya …”, maka yang lebih tepat hadits ini
dimaksudkan untuk adzan pertama sehingga sinkronlah antara hadits-
hadits yang ada.” (Sunan Al Baihaqi, 4/ 218).
Hadits Shahih: Stop Makan Ketika Adzan Berkumandang
َةَشِئاَع ْنَع – اهنع الله ىضر – ِ َّللَّا ُلوُس َر َلاَقَف ٍلْيَلِب ُنِِّذَؤُي َناَك ًلاَلاِب َّنَأ – صلى الله عليه وسلم – « ىَّتَح اوُب َرْشا َو اوُلُك ُرْجَفْلا َعُلْطَي ىَّتَح ُنِِّذَؤُي َلا ُهَّنِإَف ، ٍموُتْكَم ِِّمُأ ُنْبا َنِِّذَؤُي »
Dari ‘Aisyahradhiyallahu ‘anha bahwa Bilal biasanya
mengumandangkan adzan di waktu malam (belum terbit fajar shubuh). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan. Beliau
tidaklah mengumandangkan adzan hingga terbit fajar (shubuh).” (HR.
Bukhari no. 1919 dan Muslim no. 1092).
Kata “ى ت ح”dalam hadits tersebut bermakna akhir makan adalah ketika adzan shubuh berkumandang. Sehingga ini menunjukkan larangan makan dan minum ketika telah terdengar adzan, bahkan hal ini berlaku secara mutlak. Inilah yang lebih tepat dan haditsnya lebih shahih dari hadits yang kita kaji di awal.
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan dalam Al Majmu’,
“Jika fajar terbit dan di dalam mulut terdapat makanan, maka muntahkanlah. Jika makanan tersebut dimuntahkan, maka puasanya
sah. Jika terus ditelan, batallah puasanya. ” (Al Majmu’, 6: 308).
Begitu pula Imam Nawawi mengatakan,
لا اذهو هموص لطب رجفلاب هملع دعب هعلتبا ناف هموص متيو هظفليلف ماعط هيف ىفو رجفلا علط نم نأ الله يضر ةشئاعو رمع نبا ثيدح هليلدو هيف فلاخ لاق ملسو هيلع الله يلص الله لوسر نأ مهنع ” نا موتكم مأ نبا نذؤي ىتح اوبرشاو اولكف ليلب نذؤي لالاب ” ثيداحأ حيحصلا ىفو ملسمو يراخبلا هاور هانعمب
“Jika seseorang mendapati terbit fajar shubuh dan makanan masih ada
di mulutnya, maka muntahkanlah dan sempurnakanlah puasanya. Jika makanan tersebut ikut tertelan setelah ia mengetahui fajar shubuh sudah terbit, puasanya batal. Hal ini tidak diperselisihkan oleh para
ulama. Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan pada malam hari.
Makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan
adzan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Di dalam kitab shahih juga terdapat
beberapa hadits yang semakna dengannya.”
Lalu setelah itu Imam Nawawi menjelaskan hadits yang kita bahas dan beliau pun menukil perkataan Al Baihaqi yang kami bawakan di atas.
(Lihat Al Majmu’, 6: 311-312).
Atsar Sahabat yang Menuai Kritikan
دمحأ هجرخأ 3 / 343 يبأ نع ،ةعيهل نبا قيرط نم لاق ريبزلا : ، مايصلا ديري لجرلا نع ًارباج تلأس رباج لاق ؟ ءادنلا عمسيف ، هنم برشيل هدي ىلع ءانلإاو : يبنلا نأ ثدحتن انك – صلى الله عليه وسلم - لاق : برشيل ” .
Ada riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad (3/ 348) dari jalur Ibnu
Luhai’ah dari Abu Az Zubair bahwa ia berkata, “Aku pernah bertanya
pada Jabir mengenai seseorang yang ingin puasa sedangkan bejana masih ada di tangannya untuk dia minum lalu ia mendengar adzan. Maka Jabir pun berkata: Pernah kami membicarakan hal ini pada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau pun bersabda, “Minumlah.”
ريرج نبا هجرخأ 2 / 571 لاق ةمامأ يبأ نع ،بلاغ يبأ نع ،دقاو نب نيسحلا قيرط نم : تميقأ لاق، رمع دي يف ءانلإاو ةلاصلا : لاق ؟ الله لوسر اي اهبرشأ : اهبرشف ، معن “.
Dikeluarkan oleh Ibnu Jarir (2/ 175) dari jalur Al Husain bin Waqid dari
Abu Gholib dari Abu Umamah, ia berkata, “Iqomah shalat telah dikumandangkan dan bejana masih berada di tangan ‘Umar. Lantas
‘Umar berkata, “Wahai Rasulullah, bolehkah aku meminumnya?” “Iya,
minumlah”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam sanad hadits ini terdapat Al Husain bin Waqid. Imam Ahmad telah mengingkari sebagian haditsnya karena dia di antara perowi mudallis sebagaimana yang mensifatinya adalah Ad Daruquthni dan Al
Kholil dan dalam sanad ini beliau memakai ‘an-‘an. Sedangkan Abu
Gholib –sahabat Abu Umamah- didho’ifkan oleh Ibnu Sa’ad, Abu Hatim, An Nasai, dan Ibnu Hibban. Sedangkan Ad Daruquthni mentsiqohkannya. Ibnu Ma’in berkata bahwa haditsnya itu sholih (baik) sebagaimana disebutkan dalam Tahdzibul Kamal (34: 170). Ibnu Hajar telah meringkas mengenai perkataan-perkataan ini dalam At Taqrib
(664), beliau berkata, “Ia shoduq (jujur), namun kadang keliru.”
Kesimpulan
Sebagaimana perkataan Abu Hatim Ar Rozi di awal bahwa hadits yang kita kaji saat ini tidaklah shahih. Dari segi matan (teks hadits) pun
munkar karena menyelisihi dalil Al Qur’an,
ْلا َنِم ُضَيْبَ ْلأا ُطْيَخْلا ُمُكَل َنَّيَبَتَي ىَّتَح اوُبَرْشا َو اوُلُك َو ِلْيَّللا ىَلِإ َماَيِّ ِصلا اوُّمِتَأ َّمُث ِرْجَفْلا َنِم ِد َوْسَ ْلأا ِطْيَخ
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang
hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang)
malam.” (QS. Al Baqarah: 187). Dalam ayat ini dijelaskan bahwa
Allah Ta’ala membolehkan makan sampai terbitnya fajar shubuh saja, tidak boleh lagi setelah itu. Dan terbitnya fajar shubuh diikuti dengan adzan shubuh dengan sepakat ulama sebagaimana kata Ibnu Taimiyah dalam Ikhtiyarot. Hadits tersebut menyelisihi hadits,
ُرْجَفْلا َعُلْطَي ىَّتَح ُنِِّذَؤُي َلا ُهَّنِإَف ، ٍموُتْكَم ِِّمُأ ُنْبا َنِِّذَؤُي ىَّتَح اوُبَرْشا َو اوُلُك
“Makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan
adzan. Beliau tidaklah mengumandangkan adzan hingga terbit fajar
tidak diperkenankan lagi. Oleh karenanya, jumhur (mayoritas) ulama tidak mengamalkan hadits yang membolehkan makan dan minum setelah terdengar adzan shubuh.
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan dalam Tahdzib As Sunan mengenai beberapa salaf yang berpegang pada tekstual hadits
Abu Hurairah “Jika salah seorang di antara kalian mendengar adzan
sedangkan bejana (sendok, pen) ada di tangan kalian, maka janganlah ia letakkan hingga ia menunaikan hajatnya”. Dari sini mereka masih membolehkan makan dan minum ketika telah dikumandangkannya
adzan shubuh. Kemudian Ibnul Qayyim menjelaskan, “Mayoritas ulama
melarang makan sahur ketika telah terbit fajar. Inilah pendapat empat imam madzhab dan kebanyakan mayoritas pakar fiqih di berbagai
negeri.” (Hasyiyah Ibnil Qoyyim ‘ala Sunan Abi Daud, Ibnul Qayyim, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, 6/341)
Namun sayang seribu sayang, kebanyakan pemuda saat ini tidak mengetahui penjelasan ini dan malah seringnya meneruskan makan dan minum ketika telah terdengar adzan karena menganggap demikianlah yang dimaksud dalam hadits.
Sumber tulisan:
1. Fathul ‘Aziz, Syaikh ‘Amr bin ‘Abdul Mun’im Salim, hal. 107-109.
2. Fatwa Al Islam Sual wa Jawab no. 66202.
3. http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=3188
Suatu hal yang membuat kami rancu adalah ketika mendengar hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang secara tekstual jika kami perhatikan menunjukkan masih bolehnya makan ketika adzan shubuh. Hadits tersebut adalah hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ُهَتَجاَح َى ِضْقَي ىَّتَح ُهْعَضَي َلاَف ِهِدَي ىَلَع ُءاَنِلإا َو َءاَدِِّنلا ُمُكُدَحَأ َعِمَس اَذِإ ُهْنِم
“Jika salah seorang di antara kalian mendengar azan sedangkan sendok
terakhir masih ada di tangannya, maka janganlah dia meletakkan
sendok tersebut hingga dia menunaikan hajatnya hingga selesai.” (HR.
Abu Daud no. 2350. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan shahih)
Hadits ini seakan-akan bertentangan dengan ayat,
َنِم ُضَيْبَ ْلأا ُطْيَخْلا ُمُكَل َنَّيَبَتَي ىَّتَح اوُبَرْشا َو اوُلُك َو ِلْيَّللا ىَلِإ َماَيِّ ِصلا اوُّمِتَأ َّمُث ِرْجَفْلا َنِم ِد َوْسَ ْلأا ِطْيَخْلا
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang
hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang)
malam.” (QS. Al Baqarah: 187). Dalam ayat ini dijelaskan bahwa
Allah Ta’ala membolehkan makan sampai terbitnya fajar shubuh saja, tidak boleh lagi setelah itu. Lantas bagaimanakah jalan memahami hadits yang telah disebutkan di atas?
Alhamdulillah, Allah memudahkan untuk mengkaji hal ini dengan melihat kalam ulama yang ada.
Berhenti Makan Ketika Adzan Shubuh
Para ulama menjelaskan bahwa barangsiapa yang yakin akan terbitnya fajar shodiq (tanda masuk waktu shalat shubuh), maka ia wajib imsak (menahan diri dari makan dan minum serta dari setiap pembatal). Jika dalam mulutnya ternyata masih ada makanan saat itu, ia harus memuntahkannya. Jika tidak, maka batallah puasanya.
Adapun jika seseorang tidak yakin akan munculnya fajar shodiq, maka ia masih boleh makan sampai ia yakin fajar shodiq itu muncul. Begitu pula ia masih boleh makan jika ia merasa bahwa muadzin biasa
jika ia ragu adzan dikumandangkan tepat waktu atau sebelum waktunya. Kondisi semacam ini masih dibolehkan makan sampai ia yakin sudah muncul fajar shodiq, tanda masuk waktu shalat shubuh. Namun lebih baik, ia menahan diri dari makan jika hanya sekedar mendengar kumandang adzan. Demikian keterangan dari ulama Saudi Arabia, Syaikh Sholih Al Munajjid hafizhohullah. (Lihat Fatwa Al Islam Sual wa Jawab no. 66202 pada link http://islamqa.com/ar/ref/66202)
Pemahaman Hadits
Adapun pemahaman hadits Abu Hurairah di atas, kita dapat melihat dari dua kalam ulama berikut ini.
Pertama: Yahya bin Syarf An Nawawi rahimahullah. Dalam Al Majmu’, An Nawawi menyebutkan,
“Kami katakan bahwa jika fajar terbit sedangkan makanan masih ada di
mulut, maka hendaklah dimuntahkan dan ia boleh teruskan puasanya. Jika ia tetap menelannya padahal ia yakin telah masuk fajar, maka batallah puasanya. Permasalah ini sama sekali tidak ada perselisihan pendapat di antara para ulama. Dalil dalam masalah ini
adalah hadits Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum bahwasanya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اوُلُكَف ، ٍلْيَلِب ُنِِّذَؤُي لالاِب َّنِإ ٍموُتْكَم ِِّمُأ ُنْبا َنِِّذَؤُي ىَّتَح اوُبَرْشا َو
“Sungguh Bilal mengumandangkan adzan di malam hari. Tetaplah
kalian makan dan minum sampai Ibnu Ummi Maktum
mengumandangkan adzan.” (HR. Bukhari dan Muslim. Dalam kitab
Shahih terdapat beberapa hadits lainnya yang semakna)
Adapun hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
ُهْنِم ُهَتَجاَح َي ِضْقَي ىَّتَح ُهْعَضَي لاَف ِهِدَي ىَلَع ُءاَنِلإا َو َءاَدِِّنلا ْمُكُدَحَأ َعِمَس اَذِإ
“Jika salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan
bejana (sendok, pen) ada di tangan kalian, maka janganlah ia letakkan
hingga ia menunaikan hajatnya.” Dalam riwayat lain disebutkan,
“Sampai muadzin mengumandangkan adzan ketika terbit fajar.” Al
Hakim Abu ‘Abdillah meriwayatkan riwayat yang pertama. Al Hakim
katakan bahwa hadits ini shahih sesuai dengan syarat Muslim. Kedua riwayat tadi dikeluarkan pula oleh Al Baihaqi. Kemudian Al Baihaqi
katakan, “Jika hadits tersebut shahih, maka mayoritas ulama
memahaminya bahwa adzan yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah adzan sebelum terbit fajar shubuh, yaitu maksudnya ketika itu masih boleh minum karena waktu itu adalah beberapa saat
sebelum masuk shubuh. Sedangkan maksud hadits “ketika terbit fajar”
bisa dipahami bahwa hadits tersebut bukan perkataan Abu Hurairah, atau bisa jadi pula yang dimaksudkan adalah adzan kedua. Sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika salah seorang di antara kalian
mendengar adzan sedangkan bejana (sendok, pen) ada di tangan
kalian”, yang dimaksud adalah ketika mendengar adzan pertama. Dari sini jadilah ada kecocokan antara hadits Ibnu ‘Umar dan hadits ‘Aisyah.”
Dari sini, sinkronlah antara hadits-hadits yang ada. Wabiilahit taufiq,
wallahu a’lam.” (Al Majmu’, Yahya bin Syarf An Nawawi, Mawqi’ Ya’sub,
6/312)
Kedua: Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah.
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan dalam Tahdzib As Sunan mengenai beberapa salaf yang berpegang pada tekstual hadits
Abu Hurairah “Jika salah seorang di antara kalian mendengar adzan
sedangkan bejana (sendok, pen) ada di tangan kalian, maka janganlah ia letakkan hingga ia menunaikan hajatnya”. Dari sini mereka masih membolehkan makan dan minum ketika telah dikumandangkannya
adzan shubuh. Kemudian Ibnul Qayyim menjelaskan, “Mayoritas ulama
melarang makan sahur ketika telah terbit fajar. Inilah pendapat empat imam madzhab dan kebanyakan mayoritas pakar fiqih di berbagai
negeri.” (Hasyiyah Ibnil Qoyyim ‘ala Sunan Abi Daud, Ibnul Qayyim,
Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, 6/341)
Catatan: Adzan saat shubuh di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
itu dua kali. Adzan pertama untuk membangunkan shalat malam. Adzan pertama ini dikumandangkan sebelum waktu Shubuh. Adzan kedua sebagai tanda terbitnya fajar shubuh, artinya masuknya waktu Shubuh.
Pendukung dari Atsar Sahabat
نسحلا قيرط نمو :
لوقي ناك باطخلا نب رمع نأ :
انقيتسي ىتح لاكأيلف رجفلا يف نلاجرلا كش اذإ
Dari jalur Al Hasan, ‘Umar bin Al Khottob mengatakan, “Jika dua orang
ragu-ragu mengenai masuknya waktu shubuh, maka makanlah hingga
kalian yakin waktu shubuh telah masuk.”
لاق سابع نبا نع حابر ىبأ نب ءاطع نع جيرج نبا قيرط نمو :
ىنعي ،تككش ام بارشلا الله لحأ
رجفلا يف
Dari jalur Ibnu Juraij, dari ‘Atho’ bin Abi Robbah, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Allah masih membolehkan untuk minum pada waktu fajar yang
engkau masih ragu-ragu.”
لاق يدزلاا لوحكم نع ناذاز نب ةرامع نع عيكو ،نعو : لاقو مزمز نم اولد ذخأ رمع نبا تيأر نيلجرل : امهدحأ لاق ؟رجفلا علطأ : رخلآا لاقو ،علط دق : رمع نبا برشف ،لا
Dari Waki’, dari ‘Amaroh bin Zadzan, dari Makhul Al Azdi, ia berkata,
“Aku melihat Ibnu ‘Umar mengambil satu timba berisi air zam-zam, lalu
beliau bertanya pada dua orang, “Apakah sudah terbit fajar shubuh?”
Salah satunya menjawab, “Sudah terbit”. Yang lainnya menjawab,
“Belum.” (Karena terbit fajarnya masih diragukan), akhirnya beliau tetap
meminum air zam-zam tersebut.” (Lihat Al Muhalla, Abu Muhammad Ibnu Hazm, Mawqi’ Ya’sub, 6/234.)
Setelah Ibnu Hazm (Abu Muhammad) mengomentari hadits Abu Hurairah yang kita ingin pahami di awal tulisan ini lalu beliau membawakan beberapa atsar dalam masalah ini, sebelumnya beliau rahimahullah mengatakan,
مل هنأ ىلع هلك اذه نآرقلا عم ننسلا قفنت اذهبف ،دعب رجفلا مهل نيبتي نكي
“Riwayat yang ada menjelaskan bahwa (masih bolehnya makan dan
minum) bagi orang yang belum yakin akan masuknya waktu Shubuh. Dari sini tidaklah ada pertentangan antara hadits yang ada dengan ayat
Al Qur’an (yang hanya membolehkan makan sampai waktu Shubuh,
pen).” (Al Muhalla, 6/232)
Sikap Lebih Hati-Hati
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah ditanya, “Apa hukum Islam
mengenai seseorang yang mendengar adzan Shubuh lantas ia masih
Jawab beliau, “Wajib bagi setiap mukmin untuk menahan diri dari segala pembatal puasa yaitu makan, minum dan lainnya ketika ia yakin telah masuk waktu shubuh. Ini berlaku bagi puasa wajib seperti puasa Ramadhan, puasa nadzar dan puasa dalam rangka menunaikan kafarot. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.”
(QS. Al Baqarah: 187).
Jika mendengar adzan shubuh dan ia yakin bahwa muadzin mengu mandangkannya tepat waktu ketika terbit fajar, maka wajib baginya menahan diri dari makan. Namun jika muadzin mengumandangkan adzan sebelum terbit fajar, maka tidak wajib baginya menahan diri dari makan, ia masih diperbolehkan makan dan minum sampai ia yakin telah terbit fajar shubuh. Sedangkan jika ia tidak yakin apakah muadzin mengumandangkan adzan sebelum ataukah sesudah terbit fajar, dalam kondisi semacam ini lebih utama baginya untuk menahan diri dari makan dan minum jika ia mendengar adzar. Namun tidak mengapa jika ia masih minum atau makan sesuatu ketika adzan yang ia tidak tahu tepat waktu ataukah tidak, karena memang ia tidak tahu waktu pasti terbitnya fajar.
Sebagaimana sudah diketahui bahwa jika seseorang berada di suatu negeri yang sudah mendapat penerangan dengan cahaya listrik, maka ia pasti sulit melihat langsung terbitnya fajar shubuh. Ketika itu dalam rangka kehati-hatian, ia boleh saja menjadikan jadwal-jadwal shalat yang ada sebagai tanda masuknya waktu shubuh. Hal ini karena mengamalkan sabda Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tinggalkanlah hal yang meragukanmu. Berpeganglah pada hal yang tidak
meragukanmu.” Begitu juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Barangsiapa yang selamat dari syubhat, maka selamatlah agama dan
kehormatannya.” Wallahu waliyyut taufiq.” (Fatawa Ramadhan,
dikumpulkan oleh ‘Abdul Maqshud, hal. 201, dinukil dari Fatawa Al Islam
Sual wa Jawab no. 66202.)
Syaikh Sholih Al Munajjid hafizhohullah mengatakan, “Tidak diragukan lagi bahwa kebanyakan muadzin saat ini berpegang pada jadwal-jadwal shalat yang ada, tanpa melihat terbitnya fajar secara langsung. Jika demikian, maka ini tidaklah dianggap sebagai terbit fajar yang yakin. Jika makan saat dikumandangkan adzan semacam itu, puasanya tetap sah. Karena ketika itu terbit fajar masih sangkaan (bukan yakin). Namun
lebih hati-hatinya sudah berhenti makan ketika itu.” (Lihat Fatwa Al Islam Sual wa Jawab no. 66202 pada link
http://islamqa.com/ar/ref/66202)
Demikian sajian singkat dari kami untuk meluruskan makna hadits di atas. Tulisan ini sebagai koreksi bagi diri kami pribadi yang telah salah paham mengenai maksud hadits tersebut. Semoga Allah memaafkan atas kelalaian dan kebodohan kami.
Semoga Allah senantiasa menambahkan pada kita sekalian ilmu yang bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal