• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. LANDASAN TEORI

3. Strategi Manajemen Konflik

a. Pengertian Strategi Manajemen Konflik

Ada banyak cara bagi pasangan dalam menghadapi konflik dalam pernikahan. Dalam hal mengatasi konflik, ada dua hal yang terkait, yaitu coping dan manajemen konflik. Agar bahasan mengenai manajemen konflik menjadi lebih jelas, berikut ini akan diuraikan dengan lebih mendalam mengenai perbedaan antara coping dan manajemen konflik.

Coping diartikan sebagai segala cara yang digunakan individu untuk mengatasi stress yang diakibatkan oleh suatu kejadian tertentu (Parry, 1992). Ruang lingkup coping lebih luas daripada manajemen konflik karena menunjuk pada kesempatan menghadapi segala macam problem termasuk problem adanya konflik, sementara manajemen konflik hanya menunjuk pada kemampuan individu dalam menghadapi konflik.

Lazarus (1991) mendeskripsikan dua model dasar perilaku coping

(1)Problem-focused coping

Proses coping yang mengubah hubungan aktual antara lingkungan dengan individu. Bentuk coping ini berpusat pada tindakan atau usaha yang dilakukan untuk mengubah hubungan lingkungan secara aktual.

(2)Emotion-focused

Bentuk coping ini terutama dilakukan dengan berpikir dibandingkan tindakan langsung. Coping ini berkaitan dengan usaha internal untuk merestrukturisasi pemaknaan individu terhadap situasi. Dengan mengubah makna dari sebuah situasi maka individu juga mengubah reaksi emosional yang menyertainya.

Uraian mengenai coping di atas menjelaskan bahwa jika masalah yang membebani individu berupa konflik, maka manajemen konflik merupakan bagian dari problem–focused coping yang dilakukan individu dalam menghadapi masalah tersebut.

Manajemen konflik didefinisikan secara berbeda-beda oleh beberapa ahli. Burgess dan Huston (dalam Counts, 2003) menyebutkan, manajemen konflik adalah saat ketika terjadi negosiasi kembali atas terjadinya permasalahan dan pertentangan. Pada konflik dalam pernikahan, manajemen konflik pada pasangan harus dimulai dengan komunikasi yang efektif antara kedua belah pihak. Komunikasi tersebut meliputi sebab terjadinya konflik, serta saling mengungkapkan pandangannya terhadap hal yang dipertentangkan. Komunikasi, selanjutnya harus menjadi alat yang efektif bagi pasangan dalam menemukan

mengkombinasikan kedua sudut pandang tersebut hingga akhirnya tercapai kesepakatan dalam menentukan keputusan bersama.

Komunikasi yang dilakukan dengan efektif dalam mengatasi konflik akan dapat menguatkan komitmen pasangan dalam mempertahankan hubungan, sebaliknya, jika komunikasi tidak berhasil, maka dapat berakibat pada berakhirnya hubungan. Beberapa strategi manajemen konflik dapat membantu pasangan dalam menguatkan hubungan pernikahan, namun ada juga strategi manajemen konflik yang menjadikan hubungan semakin renggang atau berakhir. Artinya, konflik dapat menunjang atau mengancam suatu hubungan, tergantung dari cara mengelolanya.

Secara teoretis, para ahli selama ini melakukan berbagai studi mengenai manajeman konflik dengan menggunakan klasifikasi yang berbeda-beda (dalam Rahmah, 1997). Secara trikotomi, dapat digunakan teori dari Horney (dalam Hall dan Lindzey, 1993) dengan pembagian menarik diri (moving away), mencapai solusi (moving toward), agresi (moving againts). Beberapa peneliti juga menggunakan lima tipologi manajemen konflik yang terdiri dari menghindar (avoiding), berdamai (accomodating), kompromi (compromising), menyelesaikan masalah (problem solving), dan kompetisi (competing).

Rubin (1994) juga menguraikan strategi manajemen konflik yang biasa dilakukan pasangan menjadi enam cara dalam menghadapi konflik pernikahan, sebagai berikut:

(1)Dominasi (domination) (2)Menyerah (capitulation)

(3)Tidak bertindak (inaction) (4)Menarik diri (withdrawl) (5)Negosiasi (negotiation)

(6)Intervensi pihak ke tiga (third-party intervention)

Menurut Rubin, di antara keenam cara tersebut, yang merupakan strategi manajemen konflik yang konstruktif hanyalah negosiasi dan intervensi pihak ke tiga, karena hanya pada kedua strategi tersebut kepentingan orang lain turut dipertimbangkan dalam menghadapi konflik.

Peneliti lain, Johnson dan Johnson (1991) menyebutkan lima cara manajemen konflik sebagai berikut:

(1)Menarik diri (withdrawl) (2)Memaksa (forcing) (3)Melunak (smoothing) (4)Kompromi (compromising) (5)Konfrontasi (confronting)

Gottman dan Krokoff (1989) membagi strategi manajemen konflik dalam empat cara, yaitu:

(1)Menyerang dan lepas kontrol (conflict engagement)

Strategi ini ditandai dengan adanya salah satu pihak yang mencoba memaksa pasangannya untuk menerima kemauannya melalui cara-cara fisik atau psikologis.

(2)Kompromi dan negosiasi (positive problem solving)

Strategi ini ditandai dengan adanya pertukaran pendapat antara pasangan untuk mencapai persetujuan yang dapat diterima keduanya. (3)Menarik diri (withdrawl)

Pada strategi ini, salah satu pihak menolak melanjutkan keterlibatannya di dalam konflik.

(4)Menyerah dan tidak membela diri (compliance)

Ciri dari strategi ini adalah adanya salah satu pihak yang menyerahkan kemenangan pada pasangannya.

Uraian di atas menunjukkan adanya kemiripan pandangan tokoh-tokoh yang telah disebutkan dalam mendeskripsikan strategi manajemen konflik yang biasa dilakukan pada saat dua atau lebih pihak menghadapi konflik. Istilah yang digunakan oleh para ahli tersebut berbeda-beda, namun beberapa istilah memiliki pengertian yang sama. Istilah moving against yang digunakan Horney (dalam Hall dan Lindzey, 1993) memiliki pengertian yang sama dengan istilah domination

dari Rubin (1994), forcing dari Johnson dan Johnson (1991), serta conflict engagement dari Gottman dan Krokoff (1989). Istilah capitulation yang digunakan oleh Rubin (1994) juga memiliki pengertian yang sama dengan istilah

smoothing dari Johnson dan Johnson (1991) serta compliance dari Gottman dan Krokoff (1989). Istilah moving away yang digunakan Horney (dalam Hall dan Lindzey, 1993) juga memiliki kesamaan pengertian dengan istilah withdrawl yang digunakan para tokoh lainnya tersebut.

Para tokoh tersebut juga sepakat bahwa strategi manajemen konflik harus mengarah pada penyelesaian masalah dengan mempertimbangkan kepentingan pihak lain. Kepentingan pasangan harus dipertimbangkan dalam hal menghadapi konflik pernikahan.

Berdasarkan bahasan mengenai strategi manajemen konflik yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa strategi manajemen konflik dalam pernikahan adalah kecenderungan yang dimiliki individu dalam menghadapi dan menyelesaikan konflik yang terjadi dalam kehidupan pernikahan.

b. Strategi Manajemen Konflik (Positive Problem Solving) dalam Pernikahan

Gottman dan Krokoff (1989) berpendapat bahwa dari keempat strategi manajemen konflik yang dijabarkan di atas, yang dapat dijadikan cara penyelesaian masalah yang konstruktif hanyalah kompromi dan negosiasi (positive problem solving) karena pada strategi ini individu berupaya mengkonfrontasikan konflik yang ada secara langsung, aktif, dan terbuka. Melalui cara ini, perasaan, pendapat, kebutuhan, dan tujuan yang berhubungan dengan konflik diekspresikan dengan jelas. Kedua individu berusaha memahami dan mempertimbangkan pendapat dan perasaan pasangannya dalam menyelesaikan konflik. Hasil yang didapat melalui strategi ini biasanya adalah pemecahan konflik yang efektif.

Strategi manajemen konflik dibedakan menjadi dua, yaitu strategi manajemen konflik yang konstrukif dan strategi manajemen konflik yang

penyelesaian konflik yang efektif dan membangun hubungan, sementara strategi manajemen konflik yang destruktif cenderung memunculkan perilaku negatif yang dapat merusak hubungan pernikahan.

Penelitian ini mengacu pada pendapat Gottman dan Krokoff karena klasifikasi dari kedua tokoh tersebut dapat mewakili berbagai macam manajemen konflik yang ada serta telah banyak digunakan oleh para peneliti lain sebelumnya dalam mengungkap keterampilan manajemen konflik dalam hubungan pernikahan (Kurdeck, 1994). Menurut Gottman dan Krokoff (1989), yang tergolong dalam strategi manajemen konflik yang konstruktif (positive problem solving) adalah kompromi dan negosiasi, sedangkan strategi manajemen konflik yang destruktif adalah menyerang dan lepas kontrol, menarik diri, serta menyerah dan tidak membela diri.

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kemampuan individu dalam mengelola konflik sangat dibutuhkan untuk memelihara hubungan pernikahan. Dan strategi manajemen konflik (positive problem solving) merupakan alternatif penyelesaian konflik yang dapat membantu kelangsungan hidup pernikahan pasutri.

B. Kualitas Kelekatan 1. Pengertian Kelekatan

Istilah kelekatan pertama kali dipopulerkan oleh John Bowlby. Bowlby (dalam Santrock, 1999) mendefinisikan kelekatan sebagai segala bentuk perilaku yang menghasilkan kedekatan yang unik antara seseorang dengan orang lain yang

dianggap berbeda dan istimewa. Menurut Bowlby, kelekatan terjadi sebagai suatu sistem yang dikembangkan oleh suatu organisme dalam rangka melestarikan jenisnya dengan cara membantu keturunannya untuk memperoleh kedekatan dengan pengasuhnya. Teori ini muncul sebagai hasil dari suatu penelitian pada bayi primata dan induknya.

Hojat (dalam Santrock, 1999) juga menyatakan bahwa kelekatan pada hewan adalah sesuatu yang penting karena hewan-hewan yang masih sangat muda memerlukan pengasuhnya untuk melindungi dirinya dari serangan makhluk predator. Kelekatan tumbuh karena adanya perasaan aman dan terlindung yang diberikan oleh pengasuh kepada makhluk-makhluk muda yang masih lemah tersebut.

Konsep kelekatan untuk pemenuhan kebutuhan fisiologis juga dipaparkan oleh Freud (dalam Santrock, 1999). Menurut Freud, seorang bayi akan cenderung menjadi lekat dengan sosok yang memenuhi kebutuhan oralnya. Pada kebanyakan bayi, kebutuhan oral dipenuhi oleh ibu yang menyusuinya.

Bowlby (dalam Santrock, 1999), dari hasil penelitiannya kemudian berpendapat bahwa sistem kelekatan tidak hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisik. Tujuan kelekatan sebenarnya lebih difokuskan untuk memenuhi dan mempertahankan rasa aman. Bowlby juga menyatakan bahwa hubungan lekat ini mempunyai pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak dan merupakan dasar dalam menjalin hubungan. Awal dari tumbuhnya hubungan lekat ini, menurut Bowlby, sebagian besar ditentukan oleh kemampuan figur lekat

dalam merespon kebutuhan anak sehingga tercipta hubungan kelekatan yang mutual baik bagi anak, maupun bagi figur lekatnya.

Senada dengan konsep yang diajukan Bowlby, Harlow dan Zimmerman (dalam Santrock, 1999) mengemukakan hasil penelitiannya, bahwa kontak yang memberikan perasaan nyaman bagi bayi dapat menimbulkan kelekatan lebih kuat daripada sekedar pemuasan kebutuhan oral. Perasaan nyaman tersebut berhubungan erat dengan rasa aman yang dialami bayi, yang membuat bayi menyenangi kontak yang berlangsung.

Santrock (1999) kemudian menyusun suatu definisi mengenai kelekatan dengan mengacu pada pendapat sejumlah tokoh di muka. Pengertian kelekatan yang diajukan Santrock mengacu pada hubungan antara dua individu yang mempunyai ikatan afeksi yang kuat terhadap satu sama lain dan melakukan berbagai hal untuk melanggengkan hubungan tersebut.

Tidak semua hubungan afeksi antar manusia dapat disebut sebagai kelekatan. Hubungan afeksi disebut kelekatan bila mengandung ikatan emosional yang bersifat khusus, ditujukan pada orang tertentu, dan telah berlangsung cukup lama. Pengertian ini dikemukakan oleh Ainsworth, seorang ahli lain yang secara mendalam meneliti perilaku lekat manusia (dalam Feeney dan Noller, 1990).

Pendapat Ainsworth tersebut didukung oleh Bell, dkk. (1985). Menurut Bell, dkk., kelekatan mengandung arti suatu ikatan emosional yang dibentuk oleh seseorang pada orang-orang tertentu dan berlangsung terus-menerus.

Ainsworth (dalam Feeney dan Noller, 1990) juga menjelaskan bahwa ikatan di antara kedua individu yang saling lekat akan selalu ada meskipun figur

lekat tidak tampak dalam pandangan, bahkan jika figur lekat digantikan oleh orang lain.

Ainsworth (dalam Feeney dan Noller, 1990) menerangkan lebih jauh bahwa munculnya gangguan terhadap ikatan tersebut dapat menimbulkan kecemasan, sedangkan bertahannya ikatan tersebut dapat membawa ketenangan dan menjadi sumber kebahagiaan. Kelekatan kemudian diidentifikasikan dengan mencintai dan memiliki keinginan atau hasrat yang kuat untuk dapat bersama dengan orang tertentu. Keinginan untuk selalu berdekatan dengan figur lekat tersebut tercermin dalam berbagai tingkah laku lekat.

Tingkah laku lekat merupakan berbagai macam tingkah laku yang dilakukan untuk mencari, mempertahankan, dan menambah kedekatan dengan figur lekatnya (Ainsworth dalam Durkin, 1995).

Adanya tingkah laku lekat pada seorang individu dapat diidentifikasi dari beberapa ciri-ciri berikut (Maccoby, dalam Scarr, dkk, 1986):

a. Senang berdekatan dekatan dengan figur lekat b. Menjadi cemas ketika berpisah dengan figur lekat c. Menjadi gembira dan lega ketika figur lekatnya kembali

d. Tetap berorientasi pada figur lekat meski tidak melakukan interaksi

Ciri lain kelekatan adalah memberikan kepercayaan pada orang lain yang dapat memberikan ketenangan kepadanya (Faw, 1980). Craig (1986) menambahkan, kelekatan ditandai oleh adanya saling ketergantungan yang kuat serta ikatan emosional yang timbal balik dan intens.

Pendapat Craig mengenai adanya unsur ketergantungan yang kuat dalam kelekatan bertentangan dengan konsep kelekatan yang diajukan oleh Mönks, dkk. (2002). Menurut Mönks, dkk., tingkah laku lekat merupakan tingkah laku yang khusus pada manusia, yaitu kecenderungan dan keinginan seseorang untuk mencari kedekatan dengan orang lain serta untuk mencari kepuasan dalam hubungan dengan orang tersebut. Pada kelekatan, pemenuhan keinginan bukan merupakan hal yang pokok, namun hal tersebut menjadi penting pada tingkah laku ketergantungan. Ketergantungan dapat ditujukan pada siapa saja, sedangkan kelekatan selalu tertuju pada orang-orang tertentu saja.

Pemilihan figur lekat yang dianggap istimewa bagi seseorang didasarkan pada pertimbangan tertentu. Papousêk dan Papousêk, (dalam Mönks, dkk.,2002) dalam beberapa penelitiannya terhadap bayi-bayi, menemukan bahwa bukan sosok ibu yang atau pengasuh yang dijadikan alasan memilih figur lekat, melainkan siapa yang mampu memberikan perhatian penuh kepadanya. Mönks, dkk. juga menambahkan dua macam tingkah laku yang dapat menyebabkan seseorang dipilih sebagai figur lekat, yaitu:

a. Sering mengadakan reaksi terhadap tingkah laku yang dilakukan anak untuk mencari perhatian.

b. Sering membuat interaksi secara spontan dengan anak.

Berdasarkan uraian sejumlah teori di muka dapat disimpulkan bahwa kelekatan adalah ikatan emosional timbal balik yang kuat dan bertahan lama antara dua orang individu, yang dilakukan untuk mencari; mempertahankan; dan

menambah kedekatan yang memberikan rasa aman dan ketenangan dengan figur lekat yang dianggap istimewa.

2. Kualitas Kelekatan

Istilah “kualitas” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989) diartikan sebagai tingkat baik buruknya sesuatu, derajat, taraf, atau mutu. Berdasar pada pengertian tersebut, maka kualitas kelekatan mengacu pada tingkat mutu atau kebaikan perilaku-perilaku lekat yang dimunculkan seorang individu.

Ainsworth (dalam Feeney & Noller, 1990) menyatakan bahwa kualitas kelekatan berbeda-beda dan menunjukkan karakteristik yang berbeda-beda pula. Pendapat ini dikemukakan sebagai hasil dari observasinya mengenai respon dari sejumlah besar anak terhadap episode situasi asing. Variasi kualitas kelekatan dibedakan berdasarkan beberapa tipe kelekatan yang digolongkan dari variasi respon anak terhadap situasi asing tersebut. Menurut Ainsworth (dalam Santrock, 1999; Feeney dan Noller, 1990; Mikulincer, Florian, dan Tolmacz, 1990; dan Hazan dan Shaver, 1987), pada dasarnya tipe kelekatan terbagi dalam dua kategori: tipe kelekatan aman dan tipe kelekatan tidak aman. Lalu tipe kelekatan tidak aman terbagi lagi menjadi dua dengan kekhasan tertentu, yaitu tipe kelekatan cemas dan menghindar.

Mengingat bahwa model mental yang dibentuk oleh seorang individu akan mempengaruhi dirinya, maka tipe kelekatan individu kemudian akan turut mempengaruhi kemampuannya dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Selain itu, perbedaan individual dalam tipe kelekatan adalah cerminan dari

internalisasi bayi tehadap pengalamannya. Berikut ini dijelaskan dengan lebih rinci kekhasan yang terdapat pada ketiga tipe kelekatan:

a. Kelekatan Tipe Aman (secure attachment)

Bayi menggunakan pengasuhnya, biasanya ibunya, sebagai dasar yang dianggapnya aman untuk mengeksplorasi lingkungan. Ketika dewasa, individu dengan tipe kelekatan aman cenderung mengembangkan model mental dengan memandang orang lain sebagai orang yang bersahabat, dapat dipercaya, responsif, dan penuh kasih sayang; dan memandang diri sendiri sebagai orang yang berharga. Individu dengan tipe kelekatan aman juga relatif mudah untuk berdekatan dengan orang lain dan tidak khawatir ditinggalkan. Menurut Kobak dan Hazan (1991), individu tipe ini lebih terbuka dalam mengeksplorasi lingkungan sosialnya, aktif menyerap informasi-informasi sosial, dan peka terhadap informasi yang didapatnya.

Dokumen terkait