ABSTRAK
PERSEPSI KONSUMEN TERHADAP EFISIENSI KOMUNIKASI INTERPERSONAL SALES PROMOTION GIRL MARLBORO
DI AMBARUKMO PLAZA, YOGYAKARTA
Guruh Himawan Pramudianto Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2009
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran tentang persepsi konsumen terhadap efisiensi komunikasi interpersonal Sales Promotion Girl
Marlboro di Ambarukma Plaza Yogyakarta. Persepsi adalah suatu proses mental dasar yang mempengaruhi atau membentuk sikap dan perilaku individu. Pada penelitian ini, persepsi yang merupakan salah satu faktor psikologis yang dapat mempengaruhi perilaku konsumen dalam pembelian suatu produk, maka tidak sedikit produsen berusaha “memaksa” konsumen agar memiliki pengalaman terhadap produk yang ditawarkan.
Penentuan subjek penelitian dilakukan dengan pengamatan, subjek yang dipilih adalah yang telah berinteraksi dengan SPG minimal 10 menit, sehingga bisa memberikan persepsi terhadap efisiensi SPG dalam komunikasi interpersonal. Jumlah subjek adalah 100 orang dan instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Skala Likert. Uji realibilitas skala dilakukan dengan menggunakan rumus Alpha Cronbach dengan hasil koefisien reliabilitas sebesar 0.912 (tinggi). Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode analisis statistik deskriptif.
Berdasarkan analisis data dapat disimpulkan bahwa secara umum subjek dalam penelitian ini memiliki persepsi yang positif terhadap efisiensi komunikasi interpersonal SPG. Hal ini terlihat dari hasil mean empirik (95,86) lebih besar daripada mean teoritik (82,5). Subjek yang mempunyai persepsi positif adalah 94 subjek (94%) dan subjek yang mempunyai persepsi negatif hanya terdiri dari 6 subjek (6%). Semua aspek komunikasi interpersonal dalam skala penelitian menghasilkan mean empirik yang tinggi. Mean empirik aspek keterbukaan (26,48) >
mean teoritik (22,5), mean empirik aspek empati (17,61) > mean teoritik (15), mean
empirik aspek dukungan (14,38) > mean teoritik (12,5), mean empirik aspek kepositifan (14,46) > mean teoritik (12,5), dan mean empirik aspek kesamaan (22,93) > mean teoritik (20). Persepsi konsumen terhadap kompetensi SPG rokok Marlboro di Ambarukmo Plaza Yogyakarta dilihat dari aspek keterbukaan mayoritas adalah positif yaitu sebesar 93% dan yang mempunyai persepsi negatif 7%, aspek empati yang positif 97% dan negatif 3%, aspek dukungan yang positif 88% dan negatif 12%, aspek kepositifan yang positif 89% dan negatif 11%, serta aspek kesamaan yang positif 93% dan negatif 7%.
ABSTRACT
CONSUMER PERCEPTION TOWARD
INTERPRESONAL COMMUNICATION EFFICIENCY OF MARLBORO SALES PROMOTION GIRL IN AMBARUKMO PLAZA,
YOGYAKARTA
Guruh Himawan Pramudianto Faculty of Psychology
Sanata Dharma Yogyakarta University 2009
The objective of this research is to attain figure about consumer perception toward interpersonal communication efficiency of Marlboro Sales Promotion Girl in Ambarukmo Plaza, Yogyakarta. Perception is basic mental process which influence or shaping individual attitude and behavior. In this research, perception is one of psychologist factor which can influencing consumer attitude in buying such product, so many producer try to “coercing” consumer in order they having experience with offered product.
Research subject is determined by observation; subject is people who have interaction with SPG at least 10 minutes, so they can give perception toward SPG efficiency in interpersonal communication. Total subject is 100 people and instrument that used is Likert scale. Scale reliability test is done by using Cronbach Alpha formula with reliability coefficient result as 0.912 (high). Data analysis based on this research using descriptive statistic analytical method.
Based on data analysis, could be concluded that generally, subject in this research have positive perception toward SPG interpersonal communication efficiency. It representing in empirical mean (95,86) which greater than theoretical mean (82,5). Subjects that have positive perception is 94 subject (94%) and all subject that have negative perception consist of 6 subject (6%). Overall interpersonal communication aspect in research scale resulting high empirical mean. Openness aspect of mean empirical (26,48) > theoretical mean (22,5), empathy aspect empirical mean (17,61) > theoretical mean (15), support aspect empirical mean (14,38) > theoretical mean (12,5), positive aspect empirical mean (14,46) > theoretical mean (12,5) and similarity aspect empirical mean (22,93) > theoretical mean (20). Consumer perception toward competency of Marlboro cigarette SPG in Ambarukmo Plaza Yogyakarta seen from majority openness aspect is positive, that is 93% and have negative perception 7%, positive empathy aspect 97%, and 3% negative, positive support aspect 88% and 12% negative, positive of positive aspect 89%, and 11% negative, and positive similarity aspect 93% and 7% negative.
HUBUNGAN ANTARA KUALITAS KELEKATAN PASUTRI
DENGAN STRATEGI MANAJEMEN KONFLIK (POSITIVE
PROBLEM SOLVING) DALAM PERNIKAHAN
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh :
Ida Ayu Ketut Asri Hariyanti
NIM : 019114079
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
rentang waktu yang bergulir
hantarkan aku pada masa
saat di mana
aku ada dalam leluasa
hembus lega dalam dada
ku tlah tunaikan asa tertunda
yang terhalang
problematika
kini...
aku hadir dalam wujudku
bak individu baru
ku raih bebasku
tanggalkan penat kisahku
tiada yang lebih berarti
selain hadirMu di sisi
meski semua sangsi
penuh caci maki
banggaku akanMu
syukurku padaMu
hanya untukMu Khalik-ku
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, Agustus 2007
Penulis,
ABSTRAK
Ida Ayu Ketut Asri Hariyanti. (2007). Hubungan antara Kualitas Kelekatan Pasutri dengan Strategi Manajemen Konflik (Positive Problem Solving) dalam Pernikahan. Yogyakarta : Fakultas Psikologi. Universitas Sanata Dharma.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kualitas kelekatan pasutri dengan strategi manajemen konflik (positive problem solving) dalam pernikahan.
Strategi manajemen konflik (positive problem solving) berfungsi sebagai variabel tergantung dan kualitas kelekatan pasutri sebagai variabel bebas. Subyek dalam penelitian ini adalah 50 pasang suami istri yang usia pernikahannya di bawah sepuluh tahun, yang diperoleh dengan menggunakan teknik purposive random sampling. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan dua macam skala yaitu skala kualitas kelekatan pasutri dan skala strategi manajemen konflik. Teknik analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini adalah teknik korelasi Product Moment dari Pearson.
ABSTRACT
Ida Ayu Ketut Asri Hariyanti. (2007). Correlation Between Spouses’ Attachment Quality and Conflict Management Strategy (Positive Problem Solving) in Marriage. Yogyakarta: Psychology Faculty. Sanata Dharma University.
This research aimed to find out the correlation between spouses’ attachment quality and conflict management strategy (positive problem solving) in marriage.
Conflict management strategy (positive problem solving) functioned as the dependent variable and spouses’ attachment quality functioned as the independent variable. The subjects included in this research were 50 married spouses whose marriage age was less than ten years, drawn by means of purposive random sampling method. The data were collected by two instruments for measuring the spouses’ attachment quality scales and conflict management strategy scales. The technique used to test the hypothesis in this research was the Product-Moment Correlation of Pearson.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Mulia yang telah memberikan kasih
sayang, penguatan, ketegaran, berkat dan hidayah sehingga penulis mampu
menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari terselesaikannya skripsi ini tidak
lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. P. Eddy Suhartanto, S.Psi, M.Si selaku dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Dra. L. Pratidarmanastiti, M.S. selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima
kasih atas segala support, nasehat, masukan, dan semua yang telah
tercurah….nice to meet you, mom. Semoga Tuhan ‘kan berkatimu
selalu, amin.
3. Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si. dan A. Tanti Arini, S. Psi, M.Si selaku
dosen penguji skripsi yang telah memberi masukan dalam
menyempurnakan skripsi ini.
4. Sylvia Carolina M.Y.M M.Si. selaku dosen pembimbing akademik.
5. Dosen-dosen Fakultas Psikologi yang telah memberikan ilmu dan
pengetahuannya selama penulis menempuh studi di Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma.
6. Segenap staff Fakultas Psikologi, Mas Gandung, Pak Gie, Mbak
7. My lovely parents, Papi_Tonk dan Momie_Tonk yang telah mendidik,
membimbing, memfasilitasi serta memberikan segala bentuk bantuan
dan dukungan sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi.
8. Kakak-kakakku tercinta, Mbok Adek, Bunda_Ari, Mas Yudi,
Ayah_Irfan, serta keponakan-keponakanku yang lucu dan sangat
membanggakan, Hanif dan Daffa, terima kasih atas perhatian yang
tercurah selama ini.
9. Keluarga besar Singaraja Bali, terimakasih atas segala dukungan yang
diberikan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
10. Dove...someone yang berkesan selama paruh perjalanan hidup di
Yogya. Thanks for all babe...kan selalu ada dalam kenangan dan
ingatan.
11. Asri “MANK” Satriani thanks untuk support, doa, perhatian dan segala
bantuan yang diberikan. Thanks a lot sist...
12. Rikhan (member of “Gejay” Soropadan) thanks a lot for everything
guys... makasih ya udah pinjamin komputer dan nebeng ngeprint ☺
13. Members of Piyungan House...terima kasih atas penerimaan dan
kebaikan selama ini, i love you all....really.
14. Members of Aspol Pathuk NG I/592A Yogya (I.B. Yudika,
bunda_Berta, keponakanku yang cerdas “Philberta & “Avon”) thanks
atas bantuan, perhatian dan supportnya selama ini. Moga Tuhan ‘kan
15. Mpok Hindun / O...dagh / “Nyah / Em” (teman sekamarku), makasih
atas doa, dukungan, kesetiaan dan perhatiannya selama di asrama.
Moga kan kau temui kehidupan yang lebih baik dari sekarang, amin.
16. Rani Ayuningtyas dan Icha, terima kasih atas segala bantuan,
dukungan dan semua yang pernah kita lewati selama di bangku kuliah
ini. God bless you, friends. Yosephine Retno Maha “Rani” atas
bantuan dan ajarannya mengolah data.
17. Maharani “Nyit-nyit” Andiansyah, makasih ya pren, dah masakin aku
selama di Gejay☺ Thanks atas kesediaannya mendengarkan segala
keluh-kesahku dan thanks atas petuah bijaknya.
18. Teman-teman kuliah di Fakultas Psikologi Sanata Dharma, semoga
waktu yang kita habiskan bersama dapat menjadi kenangan indah
sampai hari tua kita.
19. Pihak-pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu, yang telah ikut
membantu baik langsung maupun tidak langsung, tanpa bantuan kalian
skripsi ini tidak akan terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna karena
memiliki berbagai keterbatasan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan.
Akhir kata, semoga skripsi ini berguna bagi kita semua.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR SKEMA ………... xv
DAFTAR TABEL ………... xvi
DAFTAR LAMPIRAN... xvii
BAB I. PENDAHULUAN ………. ... 1
A. Latar Belakang Masalah ……….. ... 1
B. Rumusan Masalah ……….... ... 7
C. Tujuan Penelitian ………. ... 7
D. Manfaat Penelitian ………... ... 7
BAB II. LANDASAN TEORI ... 9
1. Pernikahan ... 9
2. Konflik ... 11
a. Pengertian Konflik ... 11
b. Konflik dalam Pernikahan ... 12
3. Strategi Manajemen Konflik ... 15
a. Pengertian Strategi Manajemen Konflik ... 15
b. Strategi Manajemen Konflik (Positive Problem Solving) dalam Pernikahan ... 20
B. Kelekatan ... 21
1. Pengertian Kelekatan ... 21
2. Kualitas Kelekatan ... 26
3. Kualitas Kelekatan dalam Pernikahan ... 30
C. Hubungan antara Kualitas Kelekatan dengan Strategi Manajemen Konflik (Positive Problem Solving) dalam Pernikahan . 34 D. Hipotesis ... 38
BAB III. METODE PENELITIAN ... 39
A. Jenis Penelitian ... 39
B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 30
C. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 39
1. Strategi Manajemen Konflik (Positive Problem Solving) dalam Pernikahan ... 30
E. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 42
1. Metode Pengumpulan Data ... 43
2. Alat Pengumpulan Data ... 44
F. Validitas dan Reliabilitas ... 49
1. Validitas . ... 49
2. Reliabilitas ... 50
G. Pelaksanaan Uji Coba Alat Pengumpulan Data ... 51
H. Hasil Uji Coba Alat Pengumpulan Data ... 52
1. Estimasi Validitas ... 52
2. Analisis Butir ... 53
3. Uji Reliabilitas ... 57
I. Metode Analisis Data ... 58
BAB IV. PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN ... 59
A. Pelaksanaan Penelitian ... 59
B. Orientasi Kancah ... 60
C. Analisis Hasil Penelitian ... 60
1. Uji Asumsi Penelitian ... 60
a. Uji Normalitas ... 60
b. Uji Linearitas ... 61
2. Deskripsi Subyek dan Data Penelitian ... 62
3. Uji Hipotesis ... 67
BAB V. PENUTUP ... 72
A. Kesimpulan ... 72
B. Saran ... 72
DAFTAR PUSTAKA ... 74
DAFTAR SKEMA
Halaman
Skema 1. Skema Hubungan antara Kualitas Kelekatan dengan Strategi
Manajemen Konflik (Positive Problem Solving)
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1. Sebaran Item Skala Strategi Manajemen Konflik Uji Coba ... 47
Tabel 3.2. Sebaran item Skala Kualitas Kelekatan Uji Coba ... 49
Tabel 3.3. Skala Kualitas Kelekatan Setelah Uji Coba ... 57
Tabel 3.4. Skala Strategi Manajemen Konflik Setelah Uji Coba ... 58
Tabel 4.1. Hasil Uji Normalitas ... 61
Tabel 4.2. Hasil Uji Linearitas ... 62
Tabel 4.3 Deskripsi Subyek Penelitian Berdasarkan Usia ... 63
Tabel 4.4 Deskripsi Subyek Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 64
Tabel 4.5. Deskripsi Subyek Penelitian Berdasarkan Usia Pernikahan ... 65
Tabel 4.6. Deskripsi Subyek Penelitian Berdasarkan Jenis Pekerjaan ... 66
Tabel 4.7. Deskripsi Statistik Data Penelitian ... 67
Tabel 4.8. Perbandingan Data Teoritik dan Data Empirik ... 67
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak awal kehidupan, manusia selalu membutuhkan keterikatan dan
keintiman dengan manusia lainnya. Pada umumnya, interaksi intim pertama
manusia terjadi antara seorang bayi dengan ibunya. Selain karena bayi
menggantungkan pemenuhan kebutuhan dasarnya pada ibu sebagai pengasuh,
hubungan kelekatan di sisi lain juga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan
emosinal ibu agar secara fisik merasakan kedekatan dengan bayinya. Perilaku ibu
yang memeluk, mencium, menimang-nimang, dan bersenda gurau menjadi suatu
hal yang tidak hanya mendatangkan kepuasan batin pada kedua individu tersebut,
namun juga menumbuhkan ikatan emosional mendalam yang lazim disebut
sebagai kelekatan.
Kelekatan yang tumbuh pada masa bayi tidak lantas pudar dan menghilang
setelah individu berkembang melalui masa kanak-kanak, remaja, dan kemudian
menjadi dewasa. Ahli-ahli psikologi perkembangan, seperti Hazan dan Shaver
(1987), Feeney dan Noller (1990), dan Sroufe (dalam Santrock, 1999), telah
banyak meneliti perilaku lekat pada individu dewasa. Mereka menyatakan bahwa
kelekatan akan terus berkembang sampai tua. Kondisi kelekatan tersebut mirip
dengan kondisi keterberakaran, yang menurut Erick Fromm dibutuhkan manusia
bersumber dari keluarganya, namun beralih pada hubungan intim lain yang
bersifat romantis (dalam Hall dan Lindzey, 1993).
Seperti keterberakaran, kelekatan juga memiliki peran penting ketika
seseorang di masa dewasa berinteraksi dengan orang lain di luar keluarganya,
termasuk dalam menjalin hubungan romantis (Feeney dan Noller, 1990). Berbeda
dengan hubungan anak dengan orang tuanya, hubungan romantis terjalin dengan
bersumber pada kerelaan kedua pihak untuk bersama-sama menjaga dan membina
hubungan. Kualitas kelekatan yang baik akan turut mendukung keberhasilan
seseorang dalam membina hubungan dengan pasangan.
Kualitas kelekatan seseorang terhadap seorang figur lekatnya, menurut
Ainsworth (dalam Santrock, 1999), dipengaruhi oleh tingkat sensitivitas dan
responsivitas figur lekatnya tersebut. Hal ini sejalan dengan teori Bowlby (dalam
Santrock, 1999) yang menyatakan bahwa kelekatan terbentuk dari kepercayaan
(trust) seseorang terhadap orang lain yang menimbulkan rasa aman. Sensitivitas dan responsivitas figur lekat dalam memenuhi kebutuhan dasar seseorang akan
menjadi dasar bagi terbentuknya kepercayaan dan rasa aman. Inilah yang
kemudian mendasari tingkat kualitas kelekatan seseorang terhadap figur lekatnya.
Kualitas kelekatan yang aman terbentuk karena adanya kepercayaan terhadap
responsivitas dan sensitivitas yang ditunjukkan oleh figur lekat. Kurangnya
responsivitas dan sensitivitas figur lekat akan menimbulkan ketidakpercayaan
Kualitas kelekatan tersebut kemudian akan tercermin dalam
perilaku-perilaku lekat yang ditampakkan individu terhadap figur lekatnya. Dalam konteks
hubungan intim, perilaku lekat ditujukan pada pasangan yang berikutnya akan
memberikan pengaruh kepada pasangan tersebut dalam beberapa hal seperti gaya
mencintai dan kesediaan untuk mempertahankan hubungan. Adanya hubungan
antara kelekatan dengan kedua hal tersebut ditunjukkan oleh studi yang dilakukan
oleh sejumlah peneliti.
Ketertarikan para peneliti terhadap pengaruh kelekatan pada masa remaja
dan dewasa diawali oleh penelitian Hazan dan Shaver (1987). Dalam penelitian
tersebut, dikemukakan konsep bahwa hubungan romantis yang tercermin dalam
gaya mencintai (love style) pada masa dewasa merupakan sebuah proses kelekatan. Dalam proses ini seseorang dapat menjalin ikatan emosional dengan
pasangannya sebagai cerminan dari ikatan emosional yang pernah terbentuk
dengan orang tuanya ketika kecil. Helmi (1992) dan Rachmawatie (2002), dalam
penelitiannya, mengemukakan adanya korelasi positif antara kualitas kelekatan
dengan gaya mencintai pada individu usia dewasa awal.
Rachmawatie (2002) juga menyebutkan bahwa pada umumnya, cinta
menjadi faktor pendorong untuk menjalin hubungan pernikahan dan selanjutnya
membentuk keluarga baru. Havighurst (dalam Hurlock, 1980) menguraikan pula
bahwa mencari pasangan dan membangun keluarga baru merupakan salah satu
Dari sudut pandang yang lain, Santrock (1999) menyatakan bahwa salah
satu hubungan yang paling berarti untuk dipertahankan adalah hubungan yang
mengandung kelekatan. Artinya, dalam hubungan pernikahan, pasangan yang
memiliki kualitas kelekatan yang baik akan memiliki daya juang yang lebih tinggi
dalam mempertahankan pernikahan dan memelihara keutuhan keluarganya.
Mengenai kehidupan berkeluarga, para ahli ilmu sosial, seperti Rakhmat
(1988) dan Durkin (1995), berpendapat bahwa keluarga merupakan institusi sosial
yang paling penting dalam masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari keluarga
menjalankan fungsi-fungsi penting dalam segi ekonomi, seksual, reproduksi,
pendidikan maupun sosialisasi, oleh karena itu, kualitas keluarga turut
mempengaruhi tingkat kualitas masyarakat.
Kualitas keluarga terutama ditentukan oleh kondisi pernikahan dua orang
dewasa yang memegang peran sebagai suami dan istri dalam keluarga tersebut.
Keluarga yang berkualitas akan tumbuh dari pernikahan yang harmonis.
Pernikahan yang harmonis ditandai oleh adanya keselarasan pandangan, pendapat,
maupun ketertarikan suami istri pada berbagai hal. Pernikahan yang harmonis
juga merupakan potensi yang mendukung keluarga dalam menjalankan
fungsi-fungsinya dalam masyarakat.
Kelanggengan suatu hubungan, menurut Hurlock (1980), dipengaruhi oleh
adanya berbagai perbedaan aspek-aspek internal yang dibawa oleh masing-masing
individu dari lingkungan asalnya. Pada hubungan pernikahan, ada hal-hal yang
mendukung keutuhan dan kepuasan pernikahan, ada juga hal-hal yang justru
(1997), kesuksesan dalam mengatasi konflik pernikahan diasumsikan sebagai akar
dari stabil tidaknya kondisi pernikahan, sebab kelangsungan hidup pernikahan
juga ditentukan oleh kemampuan suami istri dalam mengatasi konflik tersebut.
Pandangan ini sejalan dengan pendapat Wibhowo (2002) bahwa hal yang paling
utama dalam kehidupan pasutri bukanlah hal-hal dari luar mereka namun sesuatu
yang ada dalam diri mereka yaitu keintiman atau keakraban.
Kenyataannya, berbagai fenomena yang muncul pada masa ini
menunjukkan bahwa menjaga sebuah pernikahan tetap dalam kondisi harmonis
bukanlah suatu hal yang mudah bagi setiap pasangan. Itu adalah hal yang wajar
karena pernikahan merupakan perpaduan dari dua manusia yang memiliki
perbedaan dalam beragam aspek, baik aspek kepribadian, latar belakang, maupun
kepentingan. Apabila pasangan tidak mampu mengakomodasikan suatu perbedaan
dalam kehidupan bersama, maka dapat diduga bahwa keakraban atau keintiman
semakin jauh dari kehidupannya. Kondisi inipun tak jarang menimbulkan konflik
dalam kehidupan pasangan suami istri.
Banyaknya perbedaan dalam diri pasangan membuat pernikahan tidak
pernah terlepas dari konflik. Burin, dkk, (dalam Sears, dkk, 1992) menemukan
fakta dalam sebuah survey berskala nasional bahwa 45 % orang yang menikah
menyatakan bahwa dalam kehidupan bersama akan muncul berbagai masalah
khususnya pada masa-masa awal pernikahan. Pandangan ini sejalan dengan
pendapat Landis dan Landis (1960) bahwa konflik antara suami istri sering terjadi
berlangsung terus sampai sepuluh tahun pertama pernikahan sampai pada
akhirnya pasangan suami istri tersebut dapat menyelesaikan konflik yang ada
dengan kesepakatan.
Konflik, dalam kehidupan sosial, dapat dijadikan sebagai hal yang
bepotensi positif dan juga negatif terhadap hubungan, tergantung pada bagaimana
cara yang digunakan untuk mengatasi konflik tersebut. Konflik dikatakan
berpotensi positif apabila penyelesaian konflik mampu menjadi solusi yang
berdampak pada peningkatan kualitas suatu hubungan, sebaliknya, konflik
berpotensi negatif apabila penyelesaian konflik memicu munculnya berbagai
masalah baru yang pada akhirnya mengurangi kualitas hubungan (Johnson dan
Johnson, 1991).
Konflik yang berkepanjangan merupakan salah satu manifestasi potensi
konflik negatif. Konflik dalam pernikahan yang terus berlanjut tanpa ada
penyelesaian menimbulkan beban mental yang semain lama akan mengurangi
kepuasan terhadap pernikahan (Rahmah, 1997).
Strategi manajemen konflik dibedakan menjadi dua oleh Folkman (dalam
Smet, 1990), yaitu SMM-M (strategi menghadapi masalah yang berorientasi pada
masalah) dan SMM-E (strategi menghadapi masalah yang berorientasi pada
emosi). Dalam SMM-M, individu berusaha untuk menghadapi masalah dengan
penuh hati-hati, aksi instrumental dan negosiasi. Sedangkan dalam SMM-E,
individu akan berusaha melarikan diri dari masalah, mengurangi beban masalah,
menyalahkan diri sendiri dan mencari makna. Menurut Aldwin dan Revenson
menyelesaikan masalah. Akan tetapi mengingat salah satu bentuk dalam SMM-E,
yakni melarikan diri dari masalah, sangat berkaitan dengan adanya gangguan pada
kesehatan mental, maka secara umum, SMM-M lebih efektif bagi kesehatan
mental.
Sebuah studi yang lain dilakukan oleh Kurdeck (1994) mengenai interaksi
pernikahan yang difokuskan pada pengidentifikasian bentuk-bentuk manajemen
konflik dalam pernikahan, menerangkan bahwa strategi manajemen konflik yang
digunakan pasangan suami istri dapat dijadikan sebagai bahan prediksi atas
kepuasan yang dirsakan pasangan tersebut. Menurut Kurdeck (1994), pasangan
yang memperoleh kepuasan adalah pasangan yang dapat menyelesaikan konflik
dengan cara-cara yang konstruktif (positive problem solving).
Hasil studi tersebut juga didukung oleh hasil dari beberapa studi lain yang
dilakukan berikutnya, diantaranya adalah studi yang dilakukan oleh Rahmah
(1997) serta Greeff dan De Bruyne (2000). Hasil dari kedua studi tersebut
menunjukkan adanya korelasi positif antara penggunaan strategi manajemen
konflik yang konstruktif dengan kepuasan pasangan terhadap pernikahan.
Kepuasan pernikahan yang dirasakan pasangan selanjutnya akan membuat
pernikahan menjadi lebih berarti untuk dipertahankan. Hal ini sejalan dengan
pendapat Gottman (1994) yang menyatakan bahwa usaha mengelola konflik
merupakan salah satu cara memelihara dan mempertahankan pernikahan. Santrock
(1999) juga menjelaskan bahwa dalam memelihara dan membangun suatu
respon-respon yang bersifat konstruktif, termasuk juga dalam menyelesaikan
permasalahan berupa konflik.
Kesimpulan dari uraian di atas adalah bahwa seperti juga kelekatan antara
bayi dengan ibunya, kelekatan yang berkembang pada hubungan pernikahan juga
melibatkan ikatan emosional dalam kualitas tertentu. Ikatan emosional ini menjadi
salah satu faktor internal kedua individu tersebut yang akan terus menyertai
sepanjang kehidupan pernikahan. Ikatan emosional dalam hubungan pernikahan
yang telah terjalin akan mendukung berbagai perilaku yang mengarah pada usaha
memelihara hubungan. Salah satu perilaku yang kemudian muncul untuk
mendukung kelanggengan hubungan adalah berupaya menjaga kualitas kelekatan
antara pasangan. Dari uraian tersebut jelaslah bahwa agar hubungan pernikahan
tetap berarti untuk dipertahankan semaksimal mungkin dengan cara-cara yang
konstruktif, pasangan suami istri perlu selalu memelihara kualitas kelekatan dalam
pernikahannya.
Berlatar belakang permasalahan tersebut, peneliti menganggap perlu
adanya suatu penelitian untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara kualitas
B. Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan positif antara kualitas kelekatan pasutri dengan
strategi manajemen konflik (positive problem solving) dalam pernikahan?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidak adanya hubungan
positif antara kualitas kelekatan pasutri dengan strategi manajemen konflik
(positive problem solving) dalam pernikahan.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini menambah kajian dalam bidang psikologi perkembangan,
khususnya bahasan mengenai kelekatan dan strategi manajemen konflik (positive problem solving) dalam pernikahan.
2. Manfaat Praktis
a. Memberi pemahaman pada pasangan suami istri mengenai kualitas
kelekatan, serta pentingnya pemilihan strategi manajemen konflik yang
konstrutif dalam membina hubungan pernikahan.
b. Memberi masukan kepada konselor atau penasehat pernikahan dalam
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Strategi Manajemen Konflik (Positive Problem Solving) dalam Pernikahan
1. Pernikahan
Pernikahan merupakan komitmen antara dua orang untuk hidup bersama.
Menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974, pernikahan adalah ikatan lahir batin antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami istri. Ikatan tersebut
disahkan menurut hukum agama dan kepercayaan mereka serta dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pernikahan menurut Mc Kinney (1950) merupakan hubungan yang
dinamis antara dua kepribadian. Ketika dua kepribadian bersatu dan telah terjadi
kesesuaian, maka masing-masing akan dapat meningkatkan kualitas hubungan
sehari-hari. Penyatuan ini tidak dapat dilakukan oleh satu pihak saja, melainkan
harus diciptakan oleh kedua pasangan suami istri melalui usaha kerja sama.
Landis dan Landis (1960) juga berpendapat bahwa kualitas hubungan suami-istri
tidak akan dapat ditingkatkan jika masing-masing pihak berusaha berjalan dengan
caranya sendiri dan mencari kebebasan sendiri.
Pernikahan juga merupakan pembentukan suatu basis rumah tangga baru
dan mandiri yang akan segera memisahkan diri, baik secara ekonomi maupun
tempat tinggal, lepas dari orang tua. Pada prakteknya pemisahan ini dapat tertunda
Para ahli ilmu sosial secara berbeda-beda membagi waktu pernikahan
dalam beberapa masa. Setiap masa menggambarkan karakteristik kehidupan
pernikahan yang berbeda-beda. La Rose (dalam Rahmah, 1997) menyebutkan,
setidaknya ada tiga masa rawan dalam kehidupan pernikahan. Tiga masa rawan
tersebut yaitu:
(a) Masa rawan pertama
Pada masa ini setiap orang akan mulai tampil sebagaimana adanya,
sehingga pada masa ini diperlukan penyesuaian antara kedua orang
pasangan yang terlibat di dalam pernikahan. Masa ini dapat teratasi bila
seseorang sanggup menerima kenyataan bahwa pasangannya tidak seperti
yang diharapkan dan dibayangkan.
(b) Masa rawan ke dua
Masa ini disebut juga sebagai the seven years itch atau masa dengan kegelisahan yang menggelitik menjelang tahun ke tujuh pernikahan. Masa
ini dapat mengakibatkan hadirnya orang ke tiga. Masa ini dapat teratasi
bila dalam perjalanan pernikahan seseorang telah tumbuh menjadi pribadi
yang dewasa.
(c) Masa rawan ke tiga
Masa ini terjadi pada kira-kira usia pernikahan yang ke dua puluh. Saat itu
pasangan sudah saling mengenal dengan lebih baik sehingga tidak banyak
lagi misteri atau rasa ingin tahu terhadap pasangan. Hal ini sering
Dari sejumlah pengertian mengenai pernikahan yang telah diuraikan
sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa pernikahan merupakan ikatan lahir batin
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami istri dalam suatu
hubungan yang dinamis.
2. Konflik
a. Pengertian Konflik
Konflik adalah proses yang dinamis dan keberadaannya lebih banyak
menyangkut persepsi dari orang atau pihak yang mengalami dan merasakannya.
Individu dapat merasakan adanya konflik apabila perilaku individu tersebut
menjadi terhambat karena perilaku orang lain.
Perbedaan persepsi terjadi karena pada prinsipnya manusia punya
keyakinan, pengetahuan, dan pendapat yang berbeda. Perbedaan inilah yang
menyebabkan timbulnya konflik. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial
yang akan selalu berinteraksi dengan manusia lainnya membuat setiap manusia
selama hidupnya akan selalu menghadapi konflik.
Deutsch (dalam Boardman dan Horrowitz, 1994) menjelaskan timbulnya
konflik sebagai akibat dari terjadinya aktivitas dua atau lebih pihak yang saling
bertentangan. Pendapat tersebut sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh
Pruitt dan Robin (dalam Boardman dan Horrowitz, 1994). Menurut Pruitt dan
Robin, konflik muncul sebagai akibat dari tidak dapat disesuaikannya aspirasi dari
pihak-pihak yang bersangkutan atas suatu keperluan atau keyakinan yang berbeda.
Forsyth (dalam Boardman dan Horrowitz, 1994) juga menerangkan konflik
anggota dalam suatu kelompok tidak dapat diterima sehingga dihalangi oleh satu
atau lebih anggota kelompok lain.
Kesimpulan dari berbagai pendapat di atas adalah bahwa konflik
merupakan perselisihan antara dua pihak atau lebih yang muncul sebagai akibat
dari adanya perbedaan kepentingan yang tidak dapat diterima oleh semua pihak
yang terkait.
b. Konflik dalam Pernikahan
Seperti telah diuraikan sebelumnya, keluarga sebagai bagian dari
masyarakat memiliki sejumlah fungsi penting. Hal itu membuat pernikahan
sebagai inti dari keluarga mempunyai beragam aktivitas yang mengarah kepada
berbagai kepentingan, baik berupa kepentingan internal keluarga tersebut, maupun
kepentingan eksternal bagi masyarakat yang lebih luas. Kesenjangan kepentingan
dalam interaksi keluarga, khususnya yang terjadi pada suami istri, sering
memunculkan adanya konflik antar pasangan.
Beberapa ahli merumuskan sejumlah bagian atau area konflik antar
pasangan dalam pernikahan. Beck (dalam Counts, 2003) mengidentifikasi tiga
area, yaitu sebagai berikut:
1) Area pertama adalah hal-hal yang berkaitan dengan ketidaksepakatan
pasangan menentukan kepentingan dalam hal menghabiskan waktu
bersama-sama. Misalnya jika semua pasangan memiliki aktivitas yang berbeda-beda di
luar rumah, diperlukan kesepakatan agar kedua pasangan dapat menemukan
waktu kedua pasangan untuk bersama-sama atau bergantian meluangkan
waktu untuk memenuhi kebutuhan anak sehari-hari di samping kesibukannya
sendiri, membuat pasangan seringkali keliru menentukan keputusan.
2) Area ke dua adalah yang berkaitan dengan ketidaksepakatan dalam cara
pengasuhan anak. Pasangan seringkali memiliki pandangan yang berbeda
mengenai strategi mendisiplinkan anak atau membuat aturan-aturan keluarga.
3) Area ke tiga adalah yang berkaitan dengan pembagian tanggung jawab tugas
sehari-hari dalam urusan rumah tangga. Pada masa ini fenomena wanita
bekerja di luar rumah sudah merupakan hal yang umum, namun masih banyak
suami yang tetap menganggap bahwa pekerjaan domestik rumah tangga dan
pengasuhan anak tetap merupakan tanggung jawab istri meskipun istri juga
bekerja di luar rumah, di sisi lain, istri yang bekerja di luar rumah seringkali
juga mengharapkan suaminya turut berperan dan bertanggung jawab atas
pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak.
Ahli yang lain, Rahim (dalam Counts, 2003) menambahkan dua lagi area
konflik antar pasangan dalam pernikahan, yaitu:
1) Area pertama adalah kurangnya atau buruknya kualitas komunikasi antar
pasangan. Komunikasi antara pasangan memiliki peran yang sangat penting
dalam pernikahan. Hal ini disebabkan karena komunikasi merupakan alat yang
vital digunakan untuk saling menyampaikan isi hati, pikiran, dan juga
harapan. Ketika komunikasi tidak dapat berfungsi secara efektif dalam
penyampaian pesan, maka akan terjadi kesalahpahaman yang berakibat pada
2) Area ke dua adalah perbedaan kepribadian. Konflik seringkali muncul pada
pasangan dengan kepribadian yang saling bertentangan. Misalnya jika istri
tergolong individu yang senang bersosialisasi, bepergian ke luar rumah, serta
sangat terbuka membicarakan perasaan maupun pikirannya, sementara suami
termasuk individu yang pendiam, menyenangi kegiatan di dalam rumah, serta
tidak menyukai pembicaraan yang berubungan dengan perasaan pribadi
masing-masing.
Rahim (dalam Counts, 2003) berpendapat bahwa bagaimanapun
selarasnya kondisi pasangan, konflik tetap akan terjadi secara bergantian pada
kedua area karena konflik merupakan hal yang tidak dapat terelakkan dalam suatu
kehidupan bersama.
Dalam hubungan pernikahan konflik dapat membantu individu untuk
memperjelas dan mengubah harapannya terhadap suatu hubungan serta konsep
tentang diri dan pasangannya. Konflik, di sisi lain juga dapat membangkitkan
perasaan yang kuat, maka ada resiko seorang individu terjebak dan mengambil
keputusan yang tidak membangun hubungan dan pada akhirnya dapat mengancam
keberlangsungan suatu hubungan.
Fenomena seperti itu merupakan hal yang wajar, karena konflik
merupakan suatu pertentangan sikap, tindakan, atau kognisi sebagai akibat dari
tidak dapat disesuaikannya aspirasi seseorang atas kepentingan atau keyakinan
yang berbeda dengan pasangannya.
karena dapat membantu mengurangi ketegangan pada salah satu pihak atau
keduanya, dan dapat pula mengatasi perbedaan yang timbul secara terbuka apabila
pasangan suami istri mampu menyelesaikan dengan cara-cara yang konstruktif
(Landis dan Landis, 1960). Baik buruknya sifat konflik tergantung dari bagaimana
cara penyelesaiannya. Konflik berakibat positif jika diselesaikan dengan cara yang
positif pula. Beberapa dampak positif dari munculnya konflik antara lain adalah
dapat menjernihkan suasana, menemukan pemecahan masalah, serta mencapai
sikap saling pengertian antara pasangan.
3. Strategi Manajemen Konflik
a. Pengertian Strategi Manajemen Konflik
Ada banyak cara bagi pasangan dalam menghadapi konflik dalam
pernikahan. Dalam hal mengatasi konflik, ada dua hal yang terkait, yaitu coping
dan manajemen konflik. Agar bahasan mengenai manajemen konflik menjadi
lebih jelas, berikut ini akan diuraikan dengan lebih mendalam mengenai
perbedaan antara coping dan manajemen konflik.
Coping diartikan sebagai segala cara yang digunakan individu untuk mengatasi stress yang diakibatkan oleh suatu kejadian tertentu (Parry, 1992).
Ruang lingkup coping lebih luas daripada manajemen konflik karena menunjuk pada kesempatan menghadapi segala macam problem termasuk problem adanya
konflik, sementara manajemen konflik hanya menunjuk pada kemampuan
individu dalam menghadapi konflik.
Lazarus (1991) mendeskripsikan dua model dasar perilaku coping
(1)Problem-focused coping
Proses coping yang mengubah hubungan aktual antara lingkungan dengan individu. Bentuk coping ini berpusat pada tindakan atau usaha yang dilakukan untuk mengubah hubungan lingkungan secara aktual.
(2)Emotion-focused
Bentuk coping ini terutama dilakukan dengan berpikir dibandingkan tindakan langsung. Coping ini berkaitan dengan usaha internal untuk merestrukturisasi pemaknaan individu terhadap situasi. Dengan mengubah makna
dari sebuah situasi maka individu juga mengubah reaksi emosional yang
menyertainya.
Uraian mengenai coping di atas menjelaskan bahwa jika masalah yang
membebani individu berupa konflik, maka manajemen konflik merupakan bagian
dari problem–focused coping yang dilakukan individu dalam menghadapi masalah tersebut.
Manajemen konflik didefinisikan secara berbeda-beda oleh beberapa ahli.
Burgess dan Huston (dalam Counts, 2003) menyebutkan, manajemen konflik
adalah saat ketika terjadi negosiasi kembali atas terjadinya permasalahan dan
pertentangan. Pada konflik dalam pernikahan, manajemen konflik pada pasangan
harus dimulai dengan komunikasi yang efektif antara kedua belah pihak.
Komunikasi tersebut meliputi sebab terjadinya konflik, serta saling
mengungkapkan pandangannya terhadap hal yang dipertentangkan. Komunikasi,
mengkombinasikan kedua sudut pandang tersebut hingga akhirnya tercapai
kesepakatan dalam menentukan keputusan bersama.
Komunikasi yang dilakukan dengan efektif dalam mengatasi konflik akan
dapat menguatkan komitmen pasangan dalam mempertahankan hubungan,
sebaliknya, jika komunikasi tidak berhasil, maka dapat berakibat pada
berakhirnya hubungan. Beberapa strategi manajemen konflik dapat membantu
pasangan dalam menguatkan hubungan pernikahan, namun ada juga strategi
manajemen konflik yang menjadikan hubungan semakin renggang atau berakhir.
Artinya, konflik dapat menunjang atau mengancam suatu hubungan, tergantung
dari cara mengelolanya.
Secara teoretis, para ahli selama ini melakukan berbagai studi mengenai
manajeman konflik dengan menggunakan klasifikasi yang berbeda-beda (dalam
Rahmah, 1997). Secara trikotomi, dapat digunakan teori dari Horney (dalam Hall
dan Lindzey, 1993) dengan pembagian menarik diri (moving away), mencapai solusi (moving toward), agresi (moving againts). Beberapa peneliti juga menggunakan lima tipologi manajemen konflik yang terdiri dari menghindar
(avoiding), berdamai (accomodating), kompromi (compromising), menyelesaikan masalah (problem solving), dan kompetisi (competing).
Rubin (1994) juga menguraikan strategi manajemen konflik yang biasa
dilakukan pasangan menjadi enam cara dalam menghadapi konflik pernikahan,
sebagai berikut:
(3)Tidak bertindak (inaction) (4)Menarik diri (withdrawl) (5)Negosiasi (negotiation)
(6)Intervensi pihak ke tiga (third-party intervention)
Menurut Rubin, di antara keenam cara tersebut, yang merupakan strategi
manajemen konflik yang konstruktif hanyalah negosiasi dan intervensi pihak ke
tiga, karena hanya pada kedua strategi tersebut kepentingan orang lain turut
dipertimbangkan dalam menghadapi konflik.
Peneliti lain, Johnson dan Johnson (1991) menyebutkan lima cara
manajemen konflik sebagai berikut:
(1)Menarik diri (withdrawl) (2)Memaksa (forcing) (3)Melunak (smoothing) (4)Kompromi (compromising) (5)Konfrontasi (confronting)
Gottman dan Krokoff (1989) membagi strategi manajemen konflik dalam
empat cara, yaitu:
(1)Menyerang dan lepas kontrol (conflict engagement)
Strategi ini ditandai dengan adanya salah satu pihak yang mencoba
memaksa pasangannya untuk menerima kemauannya melalui cara-cara
(2)Kompromi dan negosiasi (positive problem solving)
Strategi ini ditandai dengan adanya pertukaran pendapat antara
pasangan untuk mencapai persetujuan yang dapat diterima keduanya.
(3)Menarik diri (withdrawl)
Pada strategi ini, salah satu pihak menolak melanjutkan
keterlibatannya di dalam konflik.
(4)Menyerah dan tidak membela diri (compliance)
Ciri dari strategi ini adalah adanya salah satu pihak yang
menyerahkan kemenangan pada pasangannya.
Uraian di atas menunjukkan adanya kemiripan pandangan tokoh-tokoh
yang telah disebutkan dalam mendeskripsikan strategi manajemen konflik yang
biasa dilakukan pada saat dua atau lebih pihak menghadapi konflik. Istilah yang
digunakan oleh para ahli tersebut berbeda-beda, namun beberapa istilah memiliki
pengertian yang sama. Istilah moving against yang digunakan Horney (dalam Hall dan Lindzey, 1993) memiliki pengertian yang sama dengan istilah domination
dari Rubin (1994), forcing dari Johnson dan Johnson (1991), serta conflict engagement dari Gottman dan Krokoff (1989). Istilah capitulation yang digunakan oleh Rubin (1994) juga memiliki pengertian yang sama dengan istilah
Para tokoh tersebut juga sepakat bahwa strategi manajemen konflik harus
mengarah pada penyelesaian masalah dengan mempertimbangkan kepentingan
pihak lain. Kepentingan pasangan harus dipertimbangkan dalam hal menghadapi
konflik pernikahan.
Berdasarkan bahasan mengenai strategi manajemen konflik yang telah
diuraikan, dapat disimpulkan bahwa strategi manajemen konflik dalam
pernikahan adalah kecenderungan yang dimiliki individu dalam menghadapi dan
menyelesaikan konflik yang terjadi dalam kehidupan pernikahan.
b. Strategi Manajemen Konflik (Positive Problem Solving) dalam Pernikahan
Gottman dan Krokoff (1989) berpendapat bahwa dari keempat strategi
manajemen konflik yang dijabarkan di atas, yang dapat dijadikan cara
penyelesaian masalah yang konstruktif hanyalah kompromi dan negosiasi
(positive problem solving) karena pada strategi ini individu berupaya mengkonfrontasikan konflik yang ada secara langsung, aktif, dan terbuka. Melalui
cara ini, perasaan, pendapat, kebutuhan, dan tujuan yang berhubungan dengan
konflik diekspresikan dengan jelas. Kedua individu berusaha memahami dan
mempertimbangkan pendapat dan perasaan pasangannya dalam menyelesaikan
konflik. Hasil yang didapat melalui strategi ini biasanya adalah pemecahan
konflik yang efektif.
Strategi manajemen konflik dibedakan menjadi dua, yaitu strategi
penyelesaian konflik yang efektif dan membangun hubungan, sementara strategi
manajemen konflik yang destruktif cenderung memunculkan perilaku negatif
yang dapat merusak hubungan pernikahan.
Penelitian ini mengacu pada pendapat Gottman dan Krokoff karena
klasifikasi dari kedua tokoh tersebut dapat mewakili berbagai macam manajemen
konflik yang ada serta telah banyak digunakan oleh para peneliti lain sebelumnya
dalam mengungkap keterampilan manajemen konflik dalam hubungan pernikahan
(Kurdeck, 1994). Menurut Gottman dan Krokoff (1989), yang tergolong dalam
strategi manajemen konflik yang konstruktif (positive problem solving) adalah kompromi dan negosiasi, sedangkan strategi manajemen konflik yang destruktif
adalah menyerang dan lepas kontrol, menarik diri, serta menyerah dan tidak
membela diri.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kemampuan
individu dalam mengelola konflik sangat dibutuhkan untuk memelihara hubungan
pernikahan. Dan strategi manajemen konflik (positive problem solving) merupakan alternatif penyelesaian konflik yang dapat membantu kelangsungan
hidup pernikahan pasutri.
B. Kualitas Kelekatan 1. Pengertian Kelekatan
Istilah kelekatan pertama kali dipopulerkan oleh John Bowlby. Bowlby
(dalam Santrock, 1999) mendefinisikan kelekatan sebagai segala bentuk perilaku
dianggap berbeda dan istimewa. Menurut Bowlby, kelekatan terjadi sebagai suatu
sistem yang dikembangkan oleh suatu organisme dalam rangka melestarikan
jenisnya dengan cara membantu keturunannya untuk memperoleh kedekatan
dengan pengasuhnya. Teori ini muncul sebagai hasil dari suatu penelitian pada
bayi primata dan induknya.
Hojat (dalam Santrock, 1999) juga menyatakan bahwa kelekatan pada
hewan adalah sesuatu yang penting karena hewan-hewan yang masih sangat muda
memerlukan pengasuhnya untuk melindungi dirinya dari serangan makhluk
predator. Kelekatan tumbuh karena adanya perasaan aman dan terlindung yang
diberikan oleh pengasuh kepada makhluk-makhluk muda yang masih lemah
tersebut.
Konsep kelekatan untuk pemenuhan kebutuhan fisiologis juga dipaparkan
oleh Freud (dalam Santrock, 1999). Menurut Freud, seorang bayi akan cenderung
menjadi lekat dengan sosok yang memenuhi kebutuhan oralnya. Pada kebanyakan
bayi, kebutuhan oral dipenuhi oleh ibu yang menyusuinya.
Bowlby (dalam Santrock, 1999), dari hasil penelitiannya kemudian
berpendapat bahwa sistem kelekatan tidak hanya bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan fisik. Tujuan kelekatan sebenarnya lebih difokuskan untuk memenuhi
dan mempertahankan rasa aman. Bowlby juga menyatakan bahwa hubungan lekat
ini mempunyai pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak dan
merupakan dasar dalam menjalin hubungan. Awal dari tumbuhnya hubungan lekat
dalam merespon kebutuhan anak sehingga tercipta hubungan kelekatan yang
mutual baik bagi anak, maupun bagi figur lekatnya.
Senada dengan konsep yang diajukan Bowlby, Harlow dan Zimmerman
(dalam Santrock, 1999) mengemukakan hasil penelitiannya, bahwa kontak yang
memberikan perasaan nyaman bagi bayi dapat menimbulkan kelekatan lebih kuat
daripada sekedar pemuasan kebutuhan oral. Perasaan nyaman tersebut
berhubungan erat dengan rasa aman yang dialami bayi, yang membuat bayi
menyenangi kontak yang berlangsung.
Santrock (1999) kemudian menyusun suatu definisi mengenai kelekatan
dengan mengacu pada pendapat sejumlah tokoh di muka. Pengertian kelekatan
yang diajukan Santrock mengacu pada hubungan antara dua individu yang
mempunyai ikatan afeksi yang kuat terhadap satu sama lain dan melakukan
berbagai hal untuk melanggengkan hubungan tersebut.
Tidak semua hubungan afeksi antar manusia dapat disebut sebagai
kelekatan. Hubungan afeksi disebut kelekatan bila mengandung ikatan emosional
yang bersifat khusus, ditujukan pada orang tertentu, dan telah berlangsung cukup
lama. Pengertian ini dikemukakan oleh Ainsworth, seorang ahli lain yang secara
mendalam meneliti perilaku lekat manusia (dalam Feeney dan Noller, 1990).
Pendapat Ainsworth tersebut didukung oleh Bell, dkk. (1985). Menurut
Bell, dkk., kelekatan mengandung arti suatu ikatan emosional yang dibentuk oleh
seseorang pada orang-orang tertentu dan berlangsung terus-menerus.
Ainsworth (dalam Feeney dan Noller, 1990) juga menjelaskan bahwa
lekat tidak tampak dalam pandangan, bahkan jika figur lekat digantikan oleh
orang lain.
Ainsworth (dalam Feeney dan Noller, 1990) menerangkan lebih jauh
bahwa munculnya gangguan terhadap ikatan tersebut dapat menimbulkan
kecemasan, sedangkan bertahannya ikatan tersebut dapat membawa ketenangan
dan menjadi sumber kebahagiaan. Kelekatan kemudian diidentifikasikan dengan
mencintai dan memiliki keinginan atau hasrat yang kuat untuk dapat bersama
dengan orang tertentu. Keinginan untuk selalu berdekatan dengan figur lekat
tersebut tercermin dalam berbagai tingkah laku lekat.
Tingkah laku lekat merupakan berbagai macam tingkah laku yang
dilakukan untuk mencari, mempertahankan, dan menambah kedekatan dengan
figur lekatnya (Ainsworth dalam Durkin, 1995).
Adanya tingkah laku lekat pada seorang individu dapat diidentifikasi dari
beberapa ciri-ciri berikut (Maccoby, dalam Scarr, dkk, 1986):
a. Senang berdekatan dekatan dengan figur lekat
b. Menjadi cemas ketika berpisah dengan figur lekat
c. Menjadi gembira dan lega ketika figur lekatnya kembali
d. Tetap berorientasi pada figur lekat meski tidak melakukan interaksi
Ciri lain kelekatan adalah memberikan kepercayaan pada orang lain yang
dapat memberikan ketenangan kepadanya (Faw, 1980). Craig (1986)
menambahkan, kelekatan ditandai oleh adanya saling ketergantungan yang kuat
Pendapat Craig mengenai adanya unsur ketergantungan yang kuat dalam
kelekatan bertentangan dengan konsep kelekatan yang diajukan oleh Mönks, dkk.
(2002). Menurut Mönks, dkk., tingkah laku lekat merupakan tingkah laku yang
khusus pada manusia, yaitu kecenderungan dan keinginan seseorang untuk
mencari kedekatan dengan orang lain serta untuk mencari kepuasan dalam
hubungan dengan orang tersebut. Pada kelekatan, pemenuhan keinginan bukan
merupakan hal yang pokok, namun hal tersebut menjadi penting pada tingkah laku
ketergantungan. Ketergantungan dapat ditujukan pada siapa saja, sedangkan
kelekatan selalu tertuju pada orang-orang tertentu saja.
Pemilihan figur lekat yang dianggap istimewa bagi seseorang didasarkan
pada pertimbangan tertentu. Papousêk dan Papousêk, (dalam Mönks, dkk.,2002)
dalam beberapa penelitiannya terhadap bayi-bayi, menemukan bahwa bukan
sosok ibu yang atau pengasuh yang dijadikan alasan memilih figur lekat,
melainkan siapa yang mampu memberikan perhatian penuh kepadanya. Mönks,
dkk. juga menambahkan dua macam tingkah laku yang dapat menyebabkan
seseorang dipilih sebagai figur lekat, yaitu:
a. Sering mengadakan reaksi terhadap tingkah laku yang dilakukan anak untuk
mencari perhatian.
b. Sering membuat interaksi secara spontan dengan anak.
Berdasarkan uraian sejumlah teori di muka dapat disimpulkan bahwa
kelekatan adalah ikatan emosional timbal balik yang kuat dan bertahan lama
menambah kedekatan yang memberikan rasa aman dan ketenangan dengan figur
lekat yang dianggap istimewa.
2. Kualitas Kelekatan
Istilah “kualitas” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989) diartikan
sebagai tingkat baik buruknya sesuatu, derajat, taraf, atau mutu. Berdasar pada
pengertian tersebut, maka kualitas kelekatan mengacu pada tingkat mutu atau
kebaikan perilaku-perilaku lekat yang dimunculkan seorang individu.
Ainsworth (dalam Feeney & Noller, 1990) menyatakan bahwa kualitas
kelekatan berbeda-beda dan menunjukkan karakteristik yang berbeda-beda pula.
Pendapat ini dikemukakan sebagai hasil dari observasinya mengenai respon dari
sejumlah besar anak terhadap episode situasi asing. Variasi kualitas kelekatan
dibedakan berdasarkan beberapa tipe kelekatan yang digolongkan dari variasi
respon anak terhadap situasi asing tersebut. Menurut Ainsworth (dalam Santrock,
1999; Feeney dan Noller, 1990; Mikulincer, Florian, dan Tolmacz, 1990; dan
Hazan dan Shaver, 1987), pada dasarnya tipe kelekatan terbagi dalam dua
kategori: tipe kelekatan aman dan tipe kelekatan tidak aman. Lalu tipe kelekatan
tidak aman terbagi lagi menjadi dua dengan kekhasan tertentu, yaitu tipe
kelekatan cemas dan menghindar.
Mengingat bahwa model mental yang dibentuk oleh seorang individu akan
mempengaruhi dirinya, maka tipe kelekatan individu kemudian akan turut
mempengaruhi kemampuannya dalam menjalin hubungan dengan orang lain.
internalisasi bayi tehadap pengalamannya. Berikut ini dijelaskan dengan lebih
rinci kekhasan yang terdapat pada ketiga tipe kelekatan:
a. Kelekatan Tipe Aman (secure attachment)
Bayi menggunakan pengasuhnya, biasanya ibunya, sebagai dasar yang
dianggapnya aman untuk mengeksplorasi lingkungan. Ketika dewasa, individu
dengan tipe kelekatan aman cenderung mengembangkan model mental dengan
memandang orang lain sebagai orang yang bersahabat, dapat dipercaya, responsif,
dan penuh kasih sayang; dan memandang diri sendiri sebagai orang yang
berharga. Individu dengan tipe kelekatan aman juga relatif mudah untuk
berdekatan dengan orang lain dan tidak khawatir ditinggalkan. Menurut Kobak
dan Hazan (1991), individu tipe ini lebih terbuka dalam mengeksplorasi
lingkungan sosialnya, aktif menyerap informasi-informasi sosial, dan peka
terhadap informasi yang didapatnya.
b. Kelekatan Tipe Cemas (anxious/ ambivalent attachment)
Bayi dengan tipe kelekatan cemas menunjukkan perasaan tidak aman
dengan bersikap melawan ibunya. Model mental yang dikembangkan oleh
individu tipe ini ketika dewasa memandang diri sendiri sebagai orang yang
gampang curiga dan skeptis; memandang orang lain sebagai orang yang mudah
berubah-ubah pendiriannya. Hal ini membuat individu tersebut akan merasa
kurang puas dalam menjalin hubungan dengan orang lain, sukar membuka diri,
tidak dapat dengan mudah menyandarkan diri begitu saja pada orang lain, dan
c. Kelekatan Tipe Menghindar (avoidant attachment)
Bayi dengan tipe ini menunjukkan kecemasan dengan bersikap
menghindari kontak dengan ibunya. Ketika dewasa, individu dengan tipe
kelekatan ini mengembangkan model mental yang memandang diri sendiri
sebagai orang yang kurang pengertian, kurang percaya diri, kurang berharga, takut
ditinggalkan atau tidak dicintai oleh orang lain; memandang orang lain sebagai
orang yang mudah berubah, punya komitmen yang rendah dalam berhubungan;
dan cenderung salah dalam menginterpretasikan tanda-tanda yang diberikan oleh
orang lain.
Tipe-tipe kelekatan tersebut terbentuk dari bagaimana tingkat sensitivitas
dan responsivitas pengasuh terhadap tanda-tanda yang diberikan bayi. Misalnya,
bayi dengan tipe kelekatan aman biasanya memiliki ibu yang lebih sensitif, lebih
memberikan penerimaan dan lebih ekspresif menunjukkan perasaan. Ibu dari
bayi-bayi dengan tipe kelekatan menghindar biasanya lebih sedikit melakukan
kontak fisik dengan bayinya, lebih sering menunjukkan kemarahan dan wajah
tidak senang daripada mengekspresikan kasih sayangnya. Lain halnya dengan ibu
dari bayi dengan tipe kelekatan cemas. Ibu dengan bayi tipe ini tidak banyak
menunjukkan perasaan sayangnya namun juga tidak menunjukkan perilaku
menolak pada bayinya (Ainsworth, dalam Santrock, 1999).
Uraian mengenai karakteristik tipe kelekatan tersebut menunjukkan bahwa
tingkat sensitivitas dan responsivitas ibu kepada bayinya merupakan faktor yang
dan sensitivitas yang ditunjukkan oleh figur lekat. Sebaliknya, kurangnya
responsivitas dan sensitivitas figur lekat akan menimbulkan ketidakpercayaan
(mistrust) individu terhadapa figur lekatnya, sehingga akan terbentuk kualitas kelekatan yang tidak aman. Kualitas kelekatan tersebut kemudian akan tercermin
dalam perilaku-perilaku lekat yang ditampakkan individu terhadap figur lekatnya.
Alan Sroufe (dalam Santrock, 1999) juga melakukan penelitian dengan
hasil yang menunjukkan bahwa kualitas kelekatan berpengaruh terhadap perilaku
sosial anak dalam berhubungan di masa mendatang. Lebih spesifik, Sroufe
menjelaskan bahwa anak-anak dengan kelekatan tipe aman mempunyai lebih
sedikit masalah, lebih mampu menikmati masa remajanya dan sukses dalam
menjalin hubungan akrab dengan sebayanya. Walaupun anak-anak dengan tipe
kelekatan tidak aman memiliki resiko lebih besar untuk mendapat lebih banyak
masalah di masa mendatang, namun anak-anak dengan kelekatan tipe inipun dapat
merasa lebih tenang pada masa remajanya jika ibu kemudian mampu mengadakan
hubungan yang penuh kasih sayang dan meredakan gejala-gejala depresi pada
anaknya (Ostoja, dkk., dalam Santrock, 1999).
Berdasarkan uraian di muka, dapat disimpulkan bahwa kualitas kelekatan
merupakan tingkat mutu atau kebaikan kelekatan yang tercermin dalam
perilaku-perilaku lekat yang dimunculkan individu terhadap figur lekatnya. Kualitas
kelekatan berbeda-beda dan menunjukkan karakteristik yang berbeda-beda pula.
Variasi kualitas kelekatan dapat dibedakan berdasarkan beberapa tipe kelekatan
yang digolongkan dari variasi respon individu terhadap situasi yang dihadapi pada
ini, tingkat kualitas kelekatan tidak diketahui melalui penggolongan subjek ke
dalam tipe-tipe kelekatan tertentu, melainkan melalui perilaku-perilaku lekat yang
dimunculkan individu terhadap figur lekatnya.
3. Kualitas Kelekatan dalam Pernikahan
Hubungan pernikahan diharapkan tidak hanya diartikan sebagai sebuah
perangkat sosial semata, namun juga mengandung ikatan emosional di dalamnya.
Adanya ikatan emosional dalam hubungan pernikahan sangat penting karena
menurut Santrock (1999), ikatan emosional atau kelekatan merupakan alasan yang
paling kuat bagi individu untuk menjalin dan memelihara hubungan dengan
individu lain.
Hubungan kelekatan antara pasangan intim, seperti pasangan suami istri,
tumbuh dengan proses yang serupa dengan proses tumbuhnya kelekatan pada bayi
dan kanak-kanak terhadap ibunya. Durkin (1995) menjelaskan bahwa model
mental yang terbentuk dari relasi kelekatan pada masa bayi melandasi
terbentuknya hubungan individu dengan individu lain. Apa yang dipelajari dari
hubungan antara anak dengan ibu akan digeneralisasikan pada hubungan yang lain
di kemudian hari, salah satunya adalah hubungan berpasangan seperti pacaran dan
hubungan pernikahan.
Proses terbentuknya kelekatan pada individu dewasa dapat pula diterangkan
dengan teori Hazan dan Shaver (1987). Menurut Hazan dan Shaver, melalui
interaksi yang berkesinambungan, seseorang akan memberikan penilaian terhadap
a. Berkaitan dengan pandangannya terhadap orang lain; apakah orang lain dinilai
dapat memberikan perlindungan, penghargaan dan dorongan.
b. Berkaitan dengan pandangannya terhadap dirinya sendiri; apakah dirinya
dinilai sebagai orang yang berharga dan dicintai.
Penilaian tersebut kemudian melandasi berkembangnya model mental
pada diri individu secara internal yang berisi tentang kepercayaan dan harapan
apakah figur lekatnya hangat dan responsif atau tidak.
Dalam hubungan berpasangan, model mental yang terorganisasi sebagai
harapan-harapan akan respon dari figur lekat tersebut akan mengarahkan individu
untuk meramalkan perilaku pasangannya (Bartholomew & Horowitz, 1991;
Westmast & Silver, 2001).
Menurut Bell, dkk. (1985), hubungan cinta dalam konteks pasangan
merupakan suatu langkah awal untuk mendapatkan status orang dewasa.
Hubungan cinta dapat menjadi jawaban dari ketidakseimbangan, kekosongan, dan
kecemasan karena salah satu tugas perkembangan yang harus diselesaikan pada
masa dewasa awal adalah memilih teman hidup.
Erikson (dalam Santrock,1999) juga menyebutkan bahwa salah satu tujuan
dari tahap dewasa adalah mengembangkan keintiman, yaitu kapasitas individu
untuk membina hubungan yang hangat dan berarti dengan orang lain. Hubungan
ini dapat berupa persahabatan maupun hubungan romantis. Jika pada masa ini
seseorang tidak dapat membina keintiman dengan orang lain, maka ia akan
Berscheid, dkk. (dalam Santrock, 1999) menyatakan hasil surveinya bahwa
hubungan romantis adalah hubungan yang paling dianggap penting oleh kalangan
orang dewasa. Mereka juga menyatakan bahwa ikatan dengan pasangan romantis
adalah hubungan yang paling dekat.
Santrock (1999) menerangkan bahwa dalam keterampilan menjalin
hubungan yang adaptif, salah satu hal yang penting dilakukan untuk
mengembangkan kemampuan sosial-emosional pada orang dewasa adalah dengan
membina hubungan cinta yang memuaskan dengan pasangannya. Hal ini menjadi
penting karena dalam hubungan cinta, terkandung gairah, emosi, dan komitmen
yang secara positif berarti ada kesediaan untuk saling mengembangkan identitas
positif masing-masing, saling membagi kehidupan, saling terbuka dan dapat
memandang dari perspektif pasangannya.
Hubungan kelekatan dalam interaksi orang dewasa, termasuk dalam
hubungan pernikahan, menurut Myers (1999) memiliki aspek yang agak berbeda
dengan aspek-aspek kelekatan pada bayi dan anak-anak. Hal ini disebabkan
karena kelekatan antara individu dewasa lebih merupakan hubungan yang timbal
balik daripada hubungan kelekatan yang terjalin pada masa bayi dan kanak-kanak.
Myers menjelaskan kelekatan di antara individu dewasa dalam hubungan
pernikahan meliputi tiga aspek, yaitu:
a. Pengertian yang berkualitas (mutual understanding)
Pengertian dalam hal ini terjadi kepada pasangan baik secara kognitif, maupun
b. Pemberian dukungan timbal-balik (giving and receiving support)
Artinya, setiap individu memberikan dukungan baik secara materi maupun
afeksi untuk menguatkan diri pasangannya dalam berbagai hal.
c. Menikmati dan memaknai kebersamaan dengan pasangan (valuing and enjoying being with the love one)
Aspek ini ditampakkan dengan kemampuan individu dalam memaknai
kebersamaan dengan pasangannya baik secara fisik maupun afeksi. Hasil
pemaknaan ini akan mempengaruhi kemampuan individu dalam menikmati
kebersamaan dengan pasangannya.
Menurut Myers (1999), terpenuhinya ketiga aspek tersebut menandakan kualitas
kelekatan yang baik antara dua individu dewasa yang akan mengarah pada
semakin kokohnya hubungan yang terjalin.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kualitas kelekatan
pada pasangan dalam pernikahan merupakan tingkat mutu atau kebaikan
kelekatan yang tercermin dalam perilaku-perilaku lekat yang dimunculkan
individu terhadap figur lekatnya, yaitu pasangannya.
Pengertian kualitas kelekatan yang digunakan dalam penelitian ini mengacu
pada teori yang yang diuraikan oleh Myers, yaitu diungkap berdasarkan
kemunculan aspek-aspek pengertian yang berkualitas (mutual understanding), pemberian dukungan timbal-balik (giving and receiving support), serta kemampuan individu menikmati dan memaknai kebersamaan dengan
suportivitas yang tinggi, serta kenyamanan yang tinggi dalam menikmati
kebersamaan.
C. Hubungan antara Kualitas Kelekatan dengan Strategi Manajemen Konflik dalam Pernikahan
Telah diketahui bahwa kualitas kelekatan yang terjadi pada hubungan antara
seorang bayi dengan pengasuhnya di kemudian hari menjadi dasar dari hubungan
yang dijalani oleh anak selanjutnya. Penelitian Feeney dan Noller (1990) telah
menunjukkan bahwa ikatan emosional dalam hubungan yang lekat tetap terjadi
hingga dewasa. Kualitas kelekatan yang tampak pada hubungan intim yang
terjalin pada saat individu dewasa bersumber dari kualitas kelekatan yang
dirasakan oleh individu tersebut ketika bayi hingga kanak-kanak.
Hal tersebut terjadi pula pada berbagai kemampuan adaptif yang berkaitan
dengan kemampuan sosial, karena perkembangan kemampuan sosial bersumber
pula dari perkembangan karakteristik mental individu seperti harga diri,
kepercayaan diri, kemampuan penyesuaian emosional, dan sebagainya (Burland
dan Zimmerman, dalam Santrock, 1999).
Penelitian Helmi (1992) dan Rachmawatie (2002) menunjukkan adanya
hubungan antara kualitas kelekatan dengan salah satu atribut dalam hubungan
intim dengan lawan jenis pada pasangan individu dewasa yang belum menikah,
yaitu gaya mencintai. Hasil dari kedua penelitian tersebut menerangkan bahwa
tulus tanpa dikuasai oleh perasaan curiga dan cemburu yang terlalu mengikat dan
disertai oleh komitmen.
Tingkat kepercayaan yang dirasakan oleh seorang individu terhadap
pasangannya juga akan mempengaruhi upaya yang dilakukannya dalam
memelihara hubungan. Hal ini dijelaskan oleh Heath (dalam Counts, 2003)
dengan teori pertukaran sosial, bahwa kepercayaan seseorang terhadap
pasangannya akan memperkuat respon-respon positif yang akan berfungsi dalam
membangun hubungan. Respon-respon positif tersebut juga tercermin dalam
cara-cara yang digunakan seseorang dalam menghadapi konflik dengan
pasangannya. Artinya, seseorang yang memiliki kualitas kelekatan yang baik dan
merasa aman terhadap pasangannya, akan cenderung menggunakan cara-cara
penyelesaian konflik yang konstruktif agar hubungan pernikahan tetap terpelihara.
Pandangan ini sesuai dengan pendapat Santrock (1999) yang telah diuraikan
sebelumnya bahwa hubungan yang terjalin atas dasar kelekatan yang baik akan
menjadi hubungan yang berharga untuk dipertahankan. Alur logika hubungan
antara kualitas kelekatan dan strategi manajemen konflik dalam pernikahan
Hubungan seseorang dengan figur lekatnya atau sering disebut kelekatan
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keintiman suami istri (dalam
Wibhowo, 2002). Menurut Wibhowo (2002), keintiman yang terjalin pada
pasangan suami istri dapat mempengaruhi kepuasan dalam pernikahan. Pada
bagan di atas dijelaskan bahwa kualitas kelekatan pada pasangan suami istri
ditunjukkan dalam tiga aspek, yaitu pengertian yang berkualitas, pemberian
dukungan timbal balik, menikmati dan memaknai kebersamaan dengan pasangan.
Ketiga aspek ini dapat mempengaruhi kepuasan dalam pernikahan.
Konflik merupakan hal yang tidak dapat dihindari dalam setiap kehidupan
bersama (Kottler, dalam Counts, 2003). Konsekuensi dari munculnya konflik,
baik positif maupun negatif, sangat tergantung pada cara-cara yang digunakan
dalam menghadapi konflik tersebut. Menurut Wibhowo (2002), cara