• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA KUALITAS KELEKATAN PASUTRI DENGAN STRATEGI MANAJEMEN KONFLIK (POSITIVE PROBLEM SOLVING) DALAM PERNIKAHAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA KUALITAS KELEKATAN PASUTRI DENGAN STRATEGI MANAJEMEN KONFLIK (POSITIVE PROBLEM SOLVING) DALAM PERNIKAHAN"

Copied!
174
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA KUALITAS KELEKATAN PASUTRI

DENGAN STRATEGI MANAJEMEN KONFLIK

(POSITIVE

PROBLEM SOLVING)

DALAM PERNIKAHAN

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh : Ida Ayu Ketut Asri Hariyanti NIM : 019114079

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

rentang waktu yang bergulir

hantarkan aku pada masa

saat di mana

aku ada dalam leluasa

hembus lega dalam dada

ku tlah tunaikan asa tertunda

yang terhalang

problematika

kini...

aku hadir dalam wujudku

bak individu baru

ku raih bebasku

tanggalkan penat kisahku

tiada yang lebih berarti

selain hadirMu di sisi

meski semua sangsi

penuh caci maki

banggaku akanMu

syukurku padaMu

hanya untukMu Khalik-ku

(5)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, Agustus 2007 Penulis,

(6)

ABSTRAK

Ida Ayu Ketut Asri Hariyanti. (2007). Hubungan antara Kualitas Kelekatan Pasutri dengan Strategi Manajemen Konflik (Positive Problem Solving) dalam Pernikahan. Yogyakarta : Fakultas Psikologi. Universitas Sanata Dharma.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kualitas kelekatan pasutri dengan strategi manajemen konflik (positive problem solving) dalam pernikahan.

Strategi manajemen konflik (positive problem solving) berfungsi sebagai variabel tergantung dan kualitas kelekatan pasutri sebagai variabel bebas. Subyek dalam penelitian ini adalah 50 pasang suami istri yang usia pernikahannya di bawah sepuluh tahun, yang diperoleh dengan menggunakan teknik purposive random sampling. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan dua macam skala yaitu skala kualitas kelekatan pasutri dan skala strategi manajemen konflik. Teknik analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini adalah teknik korelasi Product Moment dari Pearson.

(7)

ABSTRACT

Ida Ayu Ketut Asri Hariyanti. (2007). Correlation Between Spouses’ Attachment Quality and Conflict Management Strategy (Positive Problem Solving) in Marriage. Yogyakarta: Psychology Faculty. Sanata Dharma University.

This research aimed to find out the correlation between spouses’ attachment quality and conflict management strategy (positive problem solving) in marriage.

Conflict management strategy (positive problem solving) functioned as the dependent variable and spouses’ attachment quality functioned as the independent variable. The subjects included in this research were 50 married spouses whose marriage age was less than ten years, drawn by means of purposive random sampling method. The data were collected by two instruments for measuring the spouses’ attachment quality scales and conflict management strategy scales. The technique used to test the hypothesis in this research was the Product-Moment Correlation of Pearson.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Mulia yang telah memberikan kasih sayang, penguatan, ketegaran, berkat dan hidayah sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. P. Eddy Suhartanto, S.Psi, M.Si selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Dra. L. Pratidarmanastiti, M.S. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas segala support, nasehat, masukan, dan semua yang telah tercurah….nice to meet you, mom. Semoga Tuhan ‘kan berkatimu selalu, amin.

3. Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si. dan A. Tanti Arini, S. Psi, M.Si selaku dosen penguji skripsi yang telah memberi masukan dalam menyempurnakan skripsi ini.

4. Sylvia Carolina M.Y.M M.Si. selaku dosen pembimbing akademik. 5. Dosen-dosen Fakultas Psikologi yang telah memberikan ilmu dan

pengetahuannya selama penulis menempuh studi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

(9)

7. My lovely parents, Papi_Tonk dan Momie_Tonk yang telah mendidik, membimbing, memfasilitasi serta memberikan segala bentuk bantuan dan dukungan sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi.

8. Kakak-kakakku tercinta, Mbok Adek, Bunda_Ari, Mas Yudi, Ayah_Irfan, serta keponakan-keponakanku yang lucu dan sangat membanggakan, Hanif dan Daffa, terima kasih atas perhatian yang tercurah selama ini.

9. Keluarga besar Singaraja Bali, terimakasih atas segala dukungan yang diberikan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

10. Dove...someone yang berkesan selama paruh perjalanan hidup di Yogya. Thanks for all babe...kan selalu ada dalam kenangan dan ingatan.

11. Asri “MANK” Satriani thanks untuk support, doa, perhatian dan segala bantuan yang diberikan. Thanks a lot sist...

12. Rikhan (member of “Gejay” Soropadan) thanks a lot for everything guys... makasih ya udah pinjamin komputer dan nebeng ngeprint ☺ 13. Members of Piyungan House...terima kasih atas penerimaan dan

kebaikan selama ini, i love you all....really.

(10)

15. Mpok Hindun / O...dagh / “Nyah / Em” (teman sekamarku), makasih atas doa, dukungan, kesetiaan dan perhatiannya selama di asrama. Moga kan kau temui kehidupan yang lebih baik dari sekarang, amin. 16. Rani Ayuningtyas dan Icha, terima kasih atas segala bantuan,

dukungan dan semua yang pernah kita lewati selama di bangku kuliah ini. God bless you, friends. Yosephine Retno Maha “Rani” atas bantuan dan ajarannya mengolah data.

17. Maharani “Nyit-nyit” Andiansyah, makasih ya pren, dah masakin aku selama di Gejay☺ Thanks atas kesediaannya mendengarkan segala keluh-kesahku dan thanks atas petuah bijaknya.

18. Teman-teman kuliah di Fakultas Psikologi Sanata Dharma, semoga waktu yang kita habiskan bersama dapat menjadi kenangan indah sampai hari tua kita.

19. Pihak-pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu, yang telah ikut membantu baik langsung maupun tidak langsung, tanpa bantuan kalian skripsi ini tidak akan terselesaikan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna karena memiliki berbagai keterbatasan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.

Akhir kata, semoga skripsi ini berguna bagi kita semua.

Yogyakarta, Agustus 2007

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR SKEMA ………... xv

DAFTAR TABEL ………... xvi

DAFTAR LAMPIRAN... xvii

BAB I. PENDAHULUAN ………. ... 1

A. Latar Belakang Masalah ……….. ... 1

B. Rumusan Masalah ……….... ... 7

C. Tujuan Penelitian ………. ... 7

D. Manfaat Penelitian ………... ... 7

BAB II. LANDASAN TEORI ... 9 A. Strategi Manajemen Konflik (Positive Problem Solving)

(12)

1. Pernikahan ... 9

2. Konflik ... 11

a. Pengertian Konflik ... 11

b. Konflik dalam Pernikahan ... 12

3. Strategi Manajemen Konflik ... 15

a. Pengertian Strategi Manajemen Konflik ... 15

b. Strategi Manajemen Konflik (Positive Problem Solving) dalam Pernikahan ... 20

B. Kelekatan ... 21

1. Pengertian Kelekatan ... 21

2. Kualitas Kelekatan ... 26

3. Kualitas Kelekatan dalam Pernikahan ... 30

C. Hubungan antara Kualitas Kelekatan dengan Strategi Manajemen Konflik (Positive Problem Solving) dalam Pernikahan . 34 D. Hipotesis ... 38

BAB III. METODE PENELITIAN ... 39

A. Jenis Penelitian ... 39

B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 30

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 39

1. Strategi Manajemen Konflik (Positive Problem Solving) dalam Pernikahan ... 30

2. Kualitas Kelekatan Pasutri ... 41

(13)

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 42

1. Metode Pengumpulan Data ... 43

2. Alat Pengumpulan Data ... 44

F. Validitas dan Reliabilitas ... 49

1. Validitas . ... 49

2. Reliabilitas ... 50

G. Pelaksanaan Uji Coba Alat Pengumpulan Data ... 51

H. Hasil Uji Coba Alat Pengumpulan Data ... 52

1. Estimasi Validitas ... 52

2. Analisis Butir ... 53

3. Uji Reliabilitas ... 57

I. Metode Analisis Data ... 58

BAB IV. PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN ... 59

A. Pelaksanaan Penelitian ... 59

B. Orientasi Kancah ... 60

C. Analisis Hasil Penelitian ... 60

1. Uji Asumsi Penelitian ... 60

a. Uji Normalitas ... 60

b. Uji Linearitas ... 61

2. Deskripsi Subyek dan Data Penelitian ... 62

3. Uji Hipotesis ... 67

(14)

BAB V. PENUTUP ... 72

A. Kesimpulan ... 72

B. Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 74

(15)

DAFTAR SKEMA

Halaman Skema 1. Skema Hubungan antara Kualitas Kelekatan dengan Strategi

Manajemen Konflik (Positive Problem Solving)

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1. Sebaran Item Skala Strategi Manajemen Konflik Uji Coba ... 47

Tabel 3.2. Sebaran item Skala Kualitas Kelekatan Uji Coba ... 49

Tabel 3.3. Skala Kualitas Kelekatan Setelah Uji Coba ... 57

Tabel 3.4. Skala Strategi Manajemen Konflik Setelah Uji Coba ... 58

Tabel 4.1. Hasil Uji Normalitas ... 61

Tabel 4.2. Hasil Uji Linearitas ... 62

Tabel 4.3 Deskripsi Subyek Penelitian Berdasarkan Usia ... 63

Tabel 4.4 Deskripsi Subyek Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 64

Tabel 4.5. Deskripsi Subyek Penelitian Berdasarkan Usia Pernikahan ... 65

Tabel 4.6. Deskripsi Subyek Penelitian Berdasarkan Jenis Pekerjaan ... 66

Tabel 4.7. Deskripsi Statistik Data Penelitian ... 67

Tabel 4.8. Perbandingan Data Teoritik dan Data Empirik ... 67

(17)

Halaman

Lampiran A. Tryout ... 78

(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejak awal kehidupan, manusia selalu membutuhkan keterikatan dan keintiman dengan manusia lainnya. Pada umumnya, interaksi intim pertama manusia terjadi antara seorang bayi dengan ibunya. Selain karena bayi menggantungkan pemenuhan kebutuhan dasarnya pada ibu sebagai pengasuh, hubungan kelekatan di sisi lain juga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan emosinal ibu agar secara fisik merasakan kedekatan dengan bayinya. Perilaku ibu yang memeluk, mencium, menimang-nimang, dan bersenda gurau menjadi suatu hal yang tidak hanya mendatangkan kepuasan batin pada kedua individu tersebut, namun juga menumbuhkan ikatan emosional mendalam yang lazim disebut sebagai kelekatan.

(19)

bersumber dari keluarganya, namun beralih pada hubungan intim lain yang bersifat romantis (dalam Hall dan Lindzey, 1993).

Seperti keterberakaran, kelekatan juga memiliki peran penting ketika seseorang di masa dewasa berinteraksi dengan orang lain di luar keluarganya, termasuk dalam menjalin hubungan romantis (Feeney dan Noller, 1990). Berbeda dengan hubungan anak dengan orang tuanya, hubungan romantis terjalin dengan bersumber pada kerelaan kedua pihak untuk bersama-sama menjaga dan membina hubungan. Kualitas kelekatan yang baik akan turut mendukung keberhasilan seseorang dalam membina hubungan dengan pasangan.

(20)

Kualitas kelekatan tersebut kemudian akan tercermin dalam perilaku-perilaku lekat yang ditampakkan individu terhadap figur lekatnya. Dalam konteks hubungan intim, perilaku lekat ditujukan pada pasangan yang berikutnya akan memberikan pengaruh kepada pasangan tersebut dalam beberapa hal seperti gaya mencintai dan kesediaan untuk mempertahankan hubungan. Adanya hubungan antara kelekatan dengan kedua hal tersebut ditunjukkan oleh studi yang dilakukan oleh sejumlah peneliti.

Ketertarikan para peneliti terhadap pengaruh kelekatan pada masa remaja dan dewasa diawali oleh penelitian Hazan dan Shaver (1987). Dalam penelitian tersebut, dikemukakan konsep bahwa hubungan romantis yang tercermin dalam gaya mencintai (love style) pada masa dewasa merupakan sebuah proses kelekatan. Dalam proses ini seseorang dapat menjalin ikatan emosional dengan pasangannya sebagai cerminan dari ikatan emosional yang pernah terbentuk dengan orang tuanya ketika kecil. Helmi (1992) dan Rachmawatie (2002), dalam penelitiannya, mengemukakan adanya korelasi positif antara kualitas kelekatan dengan gaya mencintai pada individu usia dewasa awal.

(21)

Dari sudut pandang yang lain, Santrock (1999) menyatakan bahwa salah satu hubungan yang paling berarti untuk dipertahankan adalah hubungan yang mengandung kelekatan. Artinya, dalam hubungan pernikahan, pasangan yang memiliki kualitas kelekatan yang baik akan memiliki daya juang yang lebih tinggi dalam mempertahankan pernikahan dan memelihara keutuhan keluarganya.

Mengenai kehidupan berkeluarga, para ahli ilmu sosial, seperti Rakhmat (1988) dan Durkin (1995), berpendapat bahwa keluarga merupakan institusi sosial yang paling penting dalam masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari keluarga menjalankan fungsi-fungsi penting dalam segi ekonomi, seksual, reproduksi, pendidikan maupun sosialisasi, oleh karena itu, kualitas keluarga turut mempengaruhi tingkat kualitas masyarakat.

Kualitas keluarga terutama ditentukan oleh kondisi pernikahan dua orang dewasa yang memegang peran sebagai suami dan istri dalam keluarga tersebut. Keluarga yang berkualitas akan tumbuh dari pernikahan yang harmonis. Pernikahan yang harmonis ditandai oleh adanya keselarasan pandangan, pendapat, maupun ketertarikan suami istri pada berbagai hal. Pernikahan yang harmonis juga merupakan potensi yang mendukung keluarga dalam menjalankan fungsi-fungsinya dalam masyarakat.

(22)

(1997), kesuksesan dalam mengatasi konflik pernikahan diasumsikan sebagai akar dari stabil tidaknya kondisi pernikahan, sebab kelangsungan hidup pernikahan juga ditentukan oleh kemampuan suami istri dalam mengatasi konflik tersebut. Pandangan ini sejalan dengan pendapat Wibhowo (2002) bahwa hal yang paling utama dalam kehidupan pasutri bukanlah hal-hal dari luar mereka namun sesuatu yang ada dalam diri mereka yaitu keintiman atau keakraban.

Kenyataannya, berbagai fenomena yang muncul pada masa ini menunjukkan bahwa menjaga sebuah pernikahan tetap dalam kondisi harmonis bukanlah suatu hal yang mudah bagi setiap pasangan. Itu adalah hal yang wajar karena pernikahan merupakan perpaduan dari dua manusia yang memiliki perbedaan dalam beragam aspek, baik aspek kepribadian, latar belakang, maupun kepentingan. Apabila pasangan tidak mampu mengakomodasikan suatu perbedaan dalam kehidupan bersama, maka dapat diduga bahwa keakraban atau keintiman semakin jauh dari kehidupannya. Kondisi inipun tak jarang menimbulkan konflik dalam kehidupan pasangan suami istri.

(23)

berlangsung terus sampai sepuluh tahun pertama pernikahan sampai pada akhirnya pasangan suami istri tersebut dapat menyelesaikan konflik yang ada dengan kesepakatan.

Konflik, dalam kehidupan sosial, dapat dijadikan sebagai hal yang bepotensi positif dan juga negatif terhadap hubungan, tergantung pada bagaimana cara yang digunakan untuk mengatasi konflik tersebut. Konflik dikatakan berpotensi positif apabila penyelesaian konflik mampu menjadi solusi yang berdampak pada peningkatan kualitas suatu hubungan, sebaliknya, konflik berpotensi negatif apabila penyelesaian konflik memicu munculnya berbagai masalah baru yang pada akhirnya mengurangi kualitas hubungan (Johnson dan Johnson, 1991).

Konflik yang berkepanjangan merupakan salah satu manifestasi potensi konflik negatif. Konflik dalam pernikahan yang terus berlanjut tanpa ada penyelesaian menimbulkan beban mental yang semain lama akan mengurangi kepuasan terhadap pernikahan (Rahmah, 1997).

(24)

menyelesaikan masalah. Akan tetapi mengingat salah satu bentuk dalam SMM-E, yakni melarikan diri dari masalah, sangat berkaitan dengan adanya gangguan pada kesehatan mental, maka secara umum, SMM-M lebih efektif bagi kesehatan mental.

Sebuah studi yang lain dilakukan oleh Kurdeck (1994) mengenai interaksi pernikahan yang difokuskan pada pengidentifikasian bentuk-bentuk manajemen konflik dalam pernikahan, menerangkan bahwa strategi manajemen konflik yang digunakan pasangan suami istri dapat dijadikan sebagai bahan prediksi atas kepuasan yang dirsakan pasangan tersebut. Menurut Kurdeck (1994), pasangan yang memperoleh kepuasan adalah pasangan yang dapat menyelesaikan konflik dengan cara-cara yang konstruktif (positive problem solving).

Hasil studi tersebut juga didukung oleh hasil dari beberapa studi lain yang dilakukan berikutnya, diantaranya adalah studi yang dilakukan oleh Rahmah (1997) serta Greeff dan De Bruyne (2000). Hasil dari kedua studi tersebut menunjukkan adanya korelasi positif antara penggunaan strategi manajemen konflik yang konstruktif dengan kepuasan pasangan terhadap pernikahan.

(25)

respon-respon yang bersifat konstruktif, termasuk juga dalam menyelesaikan permasalahan berupa konflik.

Kesimpulan dari uraian di atas adalah bahwa seperti juga kelekatan antara bayi dengan ibunya, kelekatan yang berkembang pada hubungan pernikahan juga melibatkan ikatan emosional dalam kualitas tertentu. Ikatan emosional ini menjadi salah satu faktor internal kedua individu tersebut yang akan terus menyertai sepanjang kehidupan pernikahan. Ikatan emosional dalam hubungan pernikahan yang telah terjalin akan mendukung berbagai perilaku yang mengarah pada usaha memelihara hubungan. Salah satu perilaku yang kemudian muncul untuk mendukung kelanggengan hubungan adalah berupaya menjaga kualitas kelekatan antara pasangan. Dari uraian tersebut jelaslah bahwa agar hubungan pernikahan tetap berarti untuk dipertahankan semaksimal mungkin dengan cara-cara yang konstruktif, pasangan suami istri perlu selalu memelihara kualitas kelekatan dalam pernikahannya.

(26)

B. Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan positif antara kualitas kelekatan pasutri dengan strategi manajemen konflik (positive problem solving) dalam pernikahan?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidak adanya hubungan positif antara kualitas kelekatan pasutri dengan strategi manajemen konflik (positive problem solving) dalam pernikahan.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini menambah kajian dalam bidang psikologi perkembangan, khususnya bahasan mengenai kelekatan dan strategi manajemen konflik (positive problem solving) dalam pernikahan.

2. Manfaat Praktis

a. Memberi pemahaman pada pasangan suami istri mengenai kualitas kelekatan, serta pentingnya pemilihan strategi manajemen konflik yang konstrutif dalam membina hubungan pernikahan.

(27)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Strategi Manajemen Konflik (Positive Problem Solving) dalam Pernikahan

1. Pernikahan

Pernikahan merupakan komitmen antara dua orang untuk hidup bersama. Menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974, pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami istri. Ikatan tersebut disahkan menurut hukum agama dan kepercayaan mereka serta dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pernikahan menurut Mc Kinney (1950) merupakan hubungan yang dinamis antara dua kepribadian. Ketika dua kepribadian bersatu dan telah terjadi kesesuaian, maka masing-masing akan dapat meningkatkan kualitas hubungan sehari-hari. Penyatuan ini tidak dapat dilakukan oleh satu pihak saja, melainkan harus diciptakan oleh kedua pasangan suami istri melalui usaha kerja sama. Landis dan Landis (1960) juga berpendapat bahwa kualitas hubungan suami-istri tidak akan dapat ditingkatkan jika masing-masing pihak berusaha berjalan dengan caranya sendiri dan mencari kebebasan sendiri.

(28)

Para ahli ilmu sosial secara berbeda-beda membagi waktu pernikahan dalam beberapa masa. Setiap masa menggambarkan karakteristik kehidupan pernikahan yang berbeda-beda. La Rose (dalam Rahmah, 1997) menyebutkan, setidaknya ada tiga masa rawan dalam kehidupan pernikahan. Tiga masa rawan tersebut yaitu:

(a) Masa rawan pertama

Pada masa ini setiap orang akan mulai tampil sebagaimana adanya, sehingga pada masa ini diperlukan penyesuaian antara kedua orang pasangan yang terlibat di dalam pernikahan. Masa ini dapat teratasi bila seseorang sanggup menerima kenyataan bahwa pasangannya tidak seperti yang diharapkan dan dibayangkan.

(b) Masa rawan ke dua

Masa ini disebut juga sebagai the seven years itch atau masa dengan kegelisahan yang menggelitik menjelang tahun ke tujuh pernikahan. Masa ini dapat mengakibatkan hadirnya orang ke tiga. Masa ini dapat teratasi bila dalam perjalanan pernikahan seseorang telah tumbuh menjadi pribadi yang dewasa.

(c) Masa rawan ke tiga

(29)

Dari sejumlah pengertian mengenai pernikahan yang telah diuraikan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami istri dalam suatu hubungan yang dinamis.

2. Konflik

a. Pengertian Konflik

Konflik adalah proses yang dinamis dan keberadaannya lebih banyak menyangkut persepsi dari orang atau pihak yang mengalami dan merasakannya. Individu dapat merasakan adanya konflik apabila perilaku individu tersebut menjadi terhambat karena perilaku orang lain.

Perbedaan persepsi terjadi karena pada prinsipnya manusia punya keyakinan, pengetahuan, dan pendapat yang berbeda. Perbedaan inilah yang menyebabkan timbulnya konflik. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial yang akan selalu berinteraksi dengan manusia lainnya membuat setiap manusia selama hidupnya akan selalu menghadapi konflik.

(30)

anggota dalam suatu kelompok tidak dapat diterima sehingga dihalangi oleh satu atau lebih anggota kelompok lain.

Kesimpulan dari berbagai pendapat di atas adalah bahwa konflik merupakan perselisihan antara dua pihak atau lebih yang muncul sebagai akibat dari adanya perbedaan kepentingan yang tidak dapat diterima oleh semua pihak yang terkait.

b. Konflik dalam Pernikahan

Seperti telah diuraikan sebelumnya, keluarga sebagai bagian dari masyarakat memiliki sejumlah fungsi penting. Hal itu membuat pernikahan sebagai inti dari keluarga mempunyai beragam aktivitas yang mengarah kepada berbagai kepentingan, baik berupa kepentingan internal keluarga tersebut, maupun kepentingan eksternal bagi masyarakat yang lebih luas. Kesenjangan kepentingan dalam interaksi keluarga, khususnya yang terjadi pada suami istri, sering memunculkan adanya konflik antar pasangan.

Beberapa ahli merumuskan sejumlah bagian atau area konflik antar pasangan dalam pernikahan. Beck (dalam Counts, 2003) mengidentifikasi tiga area, yaitu sebagai berikut:

(31)

waktu kedua pasangan untuk bersama-sama atau bergantian meluangkan waktu untuk memenuhi kebutuhan anak sehari-hari di samping kesibukannya sendiri, membuat pasangan seringkali keliru menentukan keputusan.

2) Area ke dua adalah yang berkaitan dengan ketidaksepakatan dalam cara pengasuhan anak. Pasangan seringkali memiliki pandangan yang berbeda mengenai strategi mendisiplinkan anak atau membuat aturan-aturan keluarga. 3) Area ke tiga adalah yang berkaitan dengan pembagian tanggung jawab tugas

sehari-hari dalam urusan rumah tangga. Pada masa ini fenomena wanita bekerja di luar rumah sudah merupakan hal yang umum, namun masih banyak suami yang tetap menganggap bahwa pekerjaan domestik rumah tangga dan pengasuhan anak tetap merupakan tanggung jawab istri meskipun istri juga bekerja di luar rumah, di sisi lain, istri yang bekerja di luar rumah seringkali juga mengharapkan suaminya turut berperan dan bertanggung jawab atas pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak.

Ahli yang lain, Rahim (dalam Counts, 2003) menambahkan dua lagi area konflik antar pasangan dalam pernikahan, yaitu:

(32)

2) Area ke dua adalah perbedaan kepribadian. Konflik seringkali muncul pada pasangan dengan kepribadian yang saling bertentangan. Misalnya jika istri tergolong individu yang senang bersosialisasi, bepergian ke luar rumah, serta sangat terbuka membicarakan perasaan maupun pikirannya, sementara suami termasuk individu yang pendiam, menyenangi kegiatan di dalam rumah, serta tidak menyukai pembicaraan yang berubungan dengan perasaan pribadi masing-masing.

Rahim (dalam Counts, 2003) berpendapat bahwa bagaimanapun selarasnya kondisi pasangan, konflik tetap akan terjadi secara bergantian pada kedua area karena konflik merupakan hal yang tidak dapat terelakkan dalam suatu kehidupan bersama.

Dalam hubungan pernikahan konflik dapat membantu individu untuk memperjelas dan mengubah harapannya terhadap suatu hubungan serta konsep tentang diri dan pasangannya. Konflik, di sisi lain juga dapat membangkitkan perasaan yang kuat, maka ada resiko seorang individu terjebak dan mengambil keputusan yang tidak membangun hubungan dan pada akhirnya dapat mengancam keberlangsungan suatu hubungan.

Fenomena seperti itu merupakan hal yang wajar, karena konflik merupakan suatu pertentangan sikap, tindakan, atau kognisi sebagai akibat dari tidak dapat disesuaikannya aspirasi seseorang atas kepentingan atau keyakinan yang berbeda dengan pasangannya.

(33)

karena dapat membantu mengurangi ketegangan pada salah satu pihak atau keduanya, dan dapat pula mengatasi perbedaan yang timbul secara terbuka apabila pasangan suami istri mampu menyelesaikan dengan cara-cara yang konstruktif (Landis dan Landis, 1960). Baik buruknya sifat konflik tergantung dari bagaimana cara penyelesaiannya. Konflik berakibat positif jika diselesaikan dengan cara yang positif pula. Beberapa dampak positif dari munculnya konflik antara lain adalah dapat menjernihkan suasana, menemukan pemecahan masalah, serta mencapai sikap saling pengertian antara pasangan.

3. Strategi Manajemen Konflik

a. Pengertian Strategi Manajemen Konflik

Ada banyak cara bagi pasangan dalam menghadapi konflik dalam pernikahan. Dalam hal mengatasi konflik, ada dua hal yang terkait, yaitu coping dan manajemen konflik. Agar bahasan mengenai manajemen konflik menjadi lebih jelas, berikut ini akan diuraikan dengan lebih mendalam mengenai perbedaan antara coping dan manajemen konflik.

Coping diartikan sebagai segala cara yang digunakan individu untuk mengatasi stress yang diakibatkan oleh suatu kejadian tertentu (Parry, 1992). Ruang lingkup coping lebih luas daripada manajemen konflik karena menunjuk pada kesempatan menghadapi segala macam problem termasuk problem adanya konflik, sementara manajemen konflik hanya menunjuk pada kemampuan individu dalam menghadapi konflik.

(34)

(1)Problem-focused coping

Proses coping yang mengubah hubungan aktual antara lingkungan dengan individu. Bentuk coping ini berpusat pada tindakan atau usaha yang dilakukan untuk mengubah hubungan lingkungan secara aktual.

(2)Emotion-focused

Bentuk coping ini terutama dilakukan dengan berpikir dibandingkan tindakan langsung. Coping ini berkaitan dengan usaha internal untuk merestrukturisasi pemaknaan individu terhadap situasi. Dengan mengubah makna dari sebuah situasi maka individu juga mengubah reaksi emosional yang menyertainya.

Uraian mengenai coping di atas menjelaskan bahwa jika masalah yang membebani individu berupa konflik, maka manajemen konflik merupakan bagian dari problem–focused coping yang dilakukan individu dalam menghadapi masalah tersebut.

(35)

mengkombinasikan kedua sudut pandang tersebut hingga akhirnya tercapai kesepakatan dalam menentukan keputusan bersama.

Komunikasi yang dilakukan dengan efektif dalam mengatasi konflik akan dapat menguatkan komitmen pasangan dalam mempertahankan hubungan, sebaliknya, jika komunikasi tidak berhasil, maka dapat berakibat pada berakhirnya hubungan. Beberapa strategi manajemen konflik dapat membantu pasangan dalam menguatkan hubungan pernikahan, namun ada juga strategi manajemen konflik yang menjadikan hubungan semakin renggang atau berakhir. Artinya, konflik dapat menunjang atau mengancam suatu hubungan, tergantung dari cara mengelolanya.

Secara teoretis, para ahli selama ini melakukan berbagai studi mengenai manajeman konflik dengan menggunakan klasifikasi yang berbeda-beda (dalam Rahmah, 1997). Secara trikotomi, dapat digunakan teori dari Horney (dalam Hall dan Lindzey, 1993) dengan pembagian menarik diri (moving away), mencapai solusi (moving toward), agresi (moving againts). Beberapa peneliti juga menggunakan lima tipologi manajemen konflik yang terdiri dari menghindar (avoiding), berdamai (accomodating), kompromi (compromising), menyelesaikan masalah (problem solving), dan kompetisi (competing).

Rubin (1994) juga menguraikan strategi manajemen konflik yang biasa dilakukan pasangan menjadi enam cara dalam menghadapi konflik pernikahan, sebagai berikut:

(36)

(3)Tidak bertindak (inaction) (4)Menarik diri (withdrawl) (5)Negosiasi (negotiation)

(6)Intervensi pihak ke tiga (third-party intervention)

Menurut Rubin, di antara keenam cara tersebut, yang merupakan strategi manajemen konflik yang konstruktif hanyalah negosiasi dan intervensi pihak ke tiga, karena hanya pada kedua strategi tersebut kepentingan orang lain turut dipertimbangkan dalam menghadapi konflik.

Peneliti lain, Johnson dan Johnson (1991) menyebutkan lima cara manajemen konflik sebagai berikut:

(1)Menarik diri (withdrawl) (2)Memaksa (forcing) (3)Melunak (smoothing) (4)Kompromi (compromising) (5)Konfrontasi (confronting)

Gottman dan Krokoff (1989) membagi strategi manajemen konflik dalam empat cara, yaitu:

(1)Menyerang dan lepas kontrol (conflict engagement)

(37)

(2)Kompromi dan negosiasi (positive problem solving)

Strategi ini ditandai dengan adanya pertukaran pendapat antara pasangan untuk mencapai persetujuan yang dapat diterima keduanya. (3)Menarik diri (withdrawl)

Pada strategi ini, salah satu pihak menolak melanjutkan keterlibatannya di dalam konflik.

(4)Menyerah dan tidak membela diri (compliance)

Ciri dari strategi ini adalah adanya salah satu pihak yang menyerahkan kemenangan pada pasangannya.

(38)

Para tokoh tersebut juga sepakat bahwa strategi manajemen konflik harus mengarah pada penyelesaian masalah dengan mempertimbangkan kepentingan pihak lain. Kepentingan pasangan harus dipertimbangkan dalam hal menghadapi konflik pernikahan.

Berdasarkan bahasan mengenai strategi manajemen konflik yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa strategi manajemen konflik dalam pernikahan adalah kecenderungan yang dimiliki individu dalam menghadapi dan menyelesaikan konflik yang terjadi dalam kehidupan pernikahan.

b. Strategi Manajemen Konflik (Positive Problem Solving) dalam Pernikahan

Gottman dan Krokoff (1989) berpendapat bahwa dari keempat strategi manajemen konflik yang dijabarkan di atas, yang dapat dijadikan cara penyelesaian masalah yang konstruktif hanyalah kompromi dan negosiasi (positive problem solving) karena pada strategi ini individu berupaya mengkonfrontasikan konflik yang ada secara langsung, aktif, dan terbuka. Melalui cara ini, perasaan, pendapat, kebutuhan, dan tujuan yang berhubungan dengan konflik diekspresikan dengan jelas. Kedua individu berusaha memahami dan mempertimbangkan pendapat dan perasaan pasangannya dalam menyelesaikan konflik. Hasil yang didapat melalui strategi ini biasanya adalah pemecahan konflik yang efektif.

(39)

penyelesaian konflik yang efektif dan membangun hubungan, sementara strategi manajemen konflik yang destruktif cenderung memunculkan perilaku negatif yang dapat merusak hubungan pernikahan.

Penelitian ini mengacu pada pendapat Gottman dan Krokoff karena klasifikasi dari kedua tokoh tersebut dapat mewakili berbagai macam manajemen konflik yang ada serta telah banyak digunakan oleh para peneliti lain sebelumnya dalam mengungkap keterampilan manajemen konflik dalam hubungan pernikahan (Kurdeck, 1994). Menurut Gottman dan Krokoff (1989), yang tergolong dalam strategi manajemen konflik yang konstruktif (positive problem solving) adalah kompromi dan negosiasi, sedangkan strategi manajemen konflik yang destruktif adalah menyerang dan lepas kontrol, menarik diri, serta menyerah dan tidak membela diri.

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kemampuan individu dalam mengelola konflik sangat dibutuhkan untuk memelihara hubungan pernikahan. Dan strategi manajemen konflik (positive problem solving) merupakan alternatif penyelesaian konflik yang dapat membantu kelangsungan hidup pernikahan pasutri.

B. Kualitas Kelekatan 1. Pengertian Kelekatan

(40)

dianggap berbeda dan istimewa. Menurut Bowlby, kelekatan terjadi sebagai suatu sistem yang dikembangkan oleh suatu organisme dalam rangka melestarikan jenisnya dengan cara membantu keturunannya untuk memperoleh kedekatan dengan pengasuhnya. Teori ini muncul sebagai hasil dari suatu penelitian pada bayi primata dan induknya.

Hojat (dalam Santrock, 1999) juga menyatakan bahwa kelekatan pada hewan adalah sesuatu yang penting karena hewan-hewan yang masih sangat muda memerlukan pengasuhnya untuk melindungi dirinya dari serangan makhluk predator. Kelekatan tumbuh karena adanya perasaan aman dan terlindung yang diberikan oleh pengasuh kepada makhluk-makhluk muda yang masih lemah tersebut.

Konsep kelekatan untuk pemenuhan kebutuhan fisiologis juga dipaparkan oleh Freud (dalam Santrock, 1999). Menurut Freud, seorang bayi akan cenderung menjadi lekat dengan sosok yang memenuhi kebutuhan oralnya. Pada kebanyakan bayi, kebutuhan oral dipenuhi oleh ibu yang menyusuinya.

(41)

dalam merespon kebutuhan anak sehingga tercipta hubungan kelekatan yang mutual baik bagi anak, maupun bagi figur lekatnya.

Senada dengan konsep yang diajukan Bowlby, Harlow dan Zimmerman (dalam Santrock, 1999) mengemukakan hasil penelitiannya, bahwa kontak yang memberikan perasaan nyaman bagi bayi dapat menimbulkan kelekatan lebih kuat daripada sekedar pemuasan kebutuhan oral. Perasaan nyaman tersebut berhubungan erat dengan rasa aman yang dialami bayi, yang membuat bayi menyenangi kontak yang berlangsung.

Santrock (1999) kemudian menyusun suatu definisi mengenai kelekatan dengan mengacu pada pendapat sejumlah tokoh di muka. Pengertian kelekatan yang diajukan Santrock mengacu pada hubungan antara dua individu yang mempunyai ikatan afeksi yang kuat terhadap satu sama lain dan melakukan berbagai hal untuk melanggengkan hubungan tersebut.

Tidak semua hubungan afeksi antar manusia dapat disebut sebagai kelekatan. Hubungan afeksi disebut kelekatan bila mengandung ikatan emosional yang bersifat khusus, ditujukan pada orang tertentu, dan telah berlangsung cukup lama. Pengertian ini dikemukakan oleh Ainsworth, seorang ahli lain yang secara mendalam meneliti perilaku lekat manusia (dalam Feeney dan Noller, 1990).

Pendapat Ainsworth tersebut didukung oleh Bell, dkk. (1985). Menurut Bell, dkk., kelekatan mengandung arti suatu ikatan emosional yang dibentuk oleh seseorang pada orang-orang tertentu dan berlangsung terus-menerus.

(42)

lekat tidak tampak dalam pandangan, bahkan jika figur lekat digantikan oleh orang lain.

Ainsworth (dalam Feeney dan Noller, 1990) menerangkan lebih jauh bahwa munculnya gangguan terhadap ikatan tersebut dapat menimbulkan kecemasan, sedangkan bertahannya ikatan tersebut dapat membawa ketenangan dan menjadi sumber kebahagiaan. Kelekatan kemudian diidentifikasikan dengan mencintai dan memiliki keinginan atau hasrat yang kuat untuk dapat bersama dengan orang tertentu. Keinginan untuk selalu berdekatan dengan figur lekat tersebut tercermin dalam berbagai tingkah laku lekat.

Tingkah laku lekat merupakan berbagai macam tingkah laku yang dilakukan untuk mencari, mempertahankan, dan menambah kedekatan dengan figur lekatnya (Ainsworth dalam Durkin, 1995).

Adanya tingkah laku lekat pada seorang individu dapat diidentifikasi dari beberapa ciri-ciri berikut (Maccoby, dalam Scarr, dkk, 1986):

a. Senang berdekatan dekatan dengan figur lekat b. Menjadi cemas ketika berpisah dengan figur lekat c. Menjadi gembira dan lega ketika figur lekatnya kembali

d. Tetap berorientasi pada figur lekat meski tidak melakukan interaksi

(43)

Pendapat Craig mengenai adanya unsur ketergantungan yang kuat dalam kelekatan bertentangan dengan konsep kelekatan yang diajukan oleh Mönks, dkk. (2002). Menurut Mönks, dkk., tingkah laku lekat merupakan tingkah laku yang khusus pada manusia, yaitu kecenderungan dan keinginan seseorang untuk mencari kedekatan dengan orang lain serta untuk mencari kepuasan dalam hubungan dengan orang tersebut. Pada kelekatan, pemenuhan keinginan bukan merupakan hal yang pokok, namun hal tersebut menjadi penting pada tingkah laku ketergantungan. Ketergantungan dapat ditujukan pada siapa saja, sedangkan kelekatan selalu tertuju pada orang-orang tertentu saja.

Pemilihan figur lekat yang dianggap istimewa bagi seseorang didasarkan pada pertimbangan tertentu. Papousêk dan Papousêk, (dalam Mönks, dkk.,2002) dalam beberapa penelitiannya terhadap bayi-bayi, menemukan bahwa bukan sosok ibu yang atau pengasuh yang dijadikan alasan memilih figur lekat, melainkan siapa yang mampu memberikan perhatian penuh kepadanya. Mönks, dkk. juga menambahkan dua macam tingkah laku yang dapat menyebabkan seseorang dipilih sebagai figur lekat, yaitu:

a. Sering mengadakan reaksi terhadap tingkah laku yang dilakukan anak untuk mencari perhatian.

b. Sering membuat interaksi secara spontan dengan anak.

(44)

menambah kedekatan yang memberikan rasa aman dan ketenangan dengan figur lekat yang dianggap istimewa.

2. Kualitas Kelekatan

Istilah “kualitas” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989) diartikan sebagai tingkat baik buruknya sesuatu, derajat, taraf, atau mutu. Berdasar pada pengertian tersebut, maka kualitas kelekatan mengacu pada tingkat mutu atau kebaikan perilaku-perilaku lekat yang dimunculkan seorang individu.

Ainsworth (dalam Feeney & Noller, 1990) menyatakan bahwa kualitas kelekatan berbeda-beda dan menunjukkan karakteristik yang berbeda-beda pula. Pendapat ini dikemukakan sebagai hasil dari observasinya mengenai respon dari sejumlah besar anak terhadap episode situasi asing. Variasi kualitas kelekatan dibedakan berdasarkan beberapa tipe kelekatan yang digolongkan dari variasi respon anak terhadap situasi asing tersebut. Menurut Ainsworth (dalam Santrock, 1999; Feeney dan Noller, 1990; Mikulincer, Florian, dan Tolmacz, 1990; dan Hazan dan Shaver, 1987), pada dasarnya tipe kelekatan terbagi dalam dua kategori: tipe kelekatan aman dan tipe kelekatan tidak aman. Lalu tipe kelekatan tidak aman terbagi lagi menjadi dua dengan kekhasan tertentu, yaitu tipe kelekatan cemas dan menghindar.

(45)

internalisasi bayi tehadap pengalamannya. Berikut ini dijelaskan dengan lebih rinci kekhasan yang terdapat pada ketiga tipe kelekatan:

a. Kelekatan Tipe Aman (secure attachment)

Bayi menggunakan pengasuhnya, biasanya ibunya, sebagai dasar yang dianggapnya aman untuk mengeksplorasi lingkungan. Ketika dewasa, individu dengan tipe kelekatan aman cenderung mengembangkan model mental dengan memandang orang lain sebagai orang yang bersahabat, dapat dipercaya, responsif, dan penuh kasih sayang; dan memandang diri sendiri sebagai orang yang berharga. Individu dengan tipe kelekatan aman juga relatif mudah untuk berdekatan dengan orang lain dan tidak khawatir ditinggalkan. Menurut Kobak dan Hazan (1991), individu tipe ini lebih terbuka dalam mengeksplorasi lingkungan sosialnya, aktif menyerap informasi-informasi sosial, dan peka terhadap informasi yang didapatnya.

b. Kelekatan Tipe Cemas (anxious/ ambivalent attachment)

(46)

c. Kelekatan Tipe Menghindar (avoidant attachment)

Bayi dengan tipe ini menunjukkan kecemasan dengan bersikap menghindari kontak dengan ibunya. Ketika dewasa, individu dengan tipe kelekatan ini mengembangkan model mental yang memandang diri sendiri sebagai orang yang kurang pengertian, kurang percaya diri, kurang berharga, takut ditinggalkan atau tidak dicintai oleh orang lain; memandang orang lain sebagai orang yang mudah berubah, punya komitmen yang rendah dalam berhubungan; dan cenderung salah dalam menginterpretasikan tanda-tanda yang diberikan oleh orang lain.

Tipe-tipe kelekatan tersebut terbentuk dari bagaimana tingkat sensitivitas dan responsivitas pengasuh terhadap tanda-tanda yang diberikan bayi. Misalnya, bayi dengan tipe kelekatan aman biasanya memiliki ibu yang lebih sensitif, lebih memberikan penerimaan dan lebih ekspresif menunjukkan perasaan. Ibu dari bayi-bayi dengan tipe kelekatan menghindar biasanya lebih sedikit melakukan kontak fisik dengan bayinya, lebih sering menunjukkan kemarahan dan wajah tidak senang daripada mengekspresikan kasih sayangnya. Lain halnya dengan ibu dari bayi dengan tipe kelekatan cemas. Ibu dengan bayi tipe ini tidak banyak menunjukkan perasaan sayangnya namun juga tidak menunjukkan perilaku menolak pada bayinya (Ainsworth, dalam Santrock, 1999).

(47)

dan sensitivitas yang ditunjukkan oleh figur lekat. Sebaliknya, kurangnya responsivitas dan sensitivitas figur lekat akan menimbulkan ketidakpercayaan (mistrust) individu terhadapa figur lekatnya, sehingga akan terbentuk kualitas kelekatan yang tidak aman. Kualitas kelekatan tersebut kemudian akan tercermin dalam perilaku-perilaku lekat yang ditampakkan individu terhadap figur lekatnya.

Alan Sroufe (dalam Santrock, 1999) juga melakukan penelitian dengan hasil yang menunjukkan bahwa kualitas kelekatan berpengaruh terhadap perilaku sosial anak dalam berhubungan di masa mendatang. Lebih spesifik, Sroufe menjelaskan bahwa anak-anak dengan kelekatan tipe aman mempunyai lebih sedikit masalah, lebih mampu menikmati masa remajanya dan sukses dalam menjalin hubungan akrab dengan sebayanya. Walaupun anak-anak dengan tipe kelekatan tidak aman memiliki resiko lebih besar untuk mendapat lebih banyak masalah di masa mendatang, namun anak-anak dengan kelekatan tipe inipun dapat merasa lebih tenang pada masa remajanya jika ibu kemudian mampu mengadakan hubungan yang penuh kasih sayang dan meredakan gejala-gejala depresi pada anaknya (Ostoja, dkk., dalam Santrock, 1999).

(48)

ini, tingkat kualitas kelekatan tidak diketahui melalui penggolongan subjek ke dalam tipe-tipe kelekatan tertentu, melainkan melalui perilaku-perilaku lekat yang dimunculkan individu terhadap figur lekatnya.

3. Kualitas Kelekatan dalam Pernikahan

Hubungan pernikahan diharapkan tidak hanya diartikan sebagai sebuah perangkat sosial semata, namun juga mengandung ikatan emosional di dalamnya. Adanya ikatan emosional dalam hubungan pernikahan sangat penting karena menurut Santrock (1999), ikatan emosional atau kelekatan merupakan alasan yang paling kuat bagi individu untuk menjalin dan memelihara hubungan dengan individu lain.

Hubungan kelekatan antara pasangan intim, seperti pasangan suami istri, tumbuh dengan proses yang serupa dengan proses tumbuhnya kelekatan pada bayi dan kanak-kanak terhadap ibunya. Durkin (1995) menjelaskan bahwa model mental yang terbentuk dari relasi kelekatan pada masa bayi melandasi terbentuknya hubungan individu dengan individu lain. Apa yang dipelajari dari hubungan antara anak dengan ibu akan digeneralisasikan pada hubungan yang lain di kemudian hari, salah satunya adalah hubungan berpasangan seperti pacaran dan hubungan pernikahan.

(49)

a. Berkaitan dengan pandangannya terhadap orang lain; apakah orang lain dinilai dapat memberikan perlindungan, penghargaan dan dorongan.

b. Berkaitan dengan pandangannya terhadap dirinya sendiri; apakah dirinya dinilai sebagai orang yang berharga dan dicintai.

Penilaian tersebut kemudian melandasi berkembangnya model mental pada diri individu secara internal yang berisi tentang kepercayaan dan harapan apakah figur lekatnya hangat dan responsif atau tidak.

Dalam hubungan berpasangan, model mental yang terorganisasi sebagai harapan-harapan akan respon dari figur lekat tersebut akan mengarahkan individu untuk meramalkan perilaku pasangannya (Bartholomew & Horowitz, 1991; Westmast & Silver, 2001).

Menurut Bell, dkk. (1985), hubungan cinta dalam konteks pasangan merupakan suatu langkah awal untuk mendapatkan status orang dewasa. Hubungan cinta dapat menjadi jawaban dari ketidakseimbangan, kekosongan, dan kecemasan karena salah satu tugas perkembangan yang harus diselesaikan pada masa dewasa awal adalah memilih teman hidup.

(50)

Berscheid, dkk. (dalam Santrock, 1999) menyatakan hasil surveinya bahwa hubungan romantis adalah hubungan yang paling dianggap penting oleh kalangan orang dewasa. Mereka juga menyatakan bahwa ikatan dengan pasangan romantis adalah hubungan yang paling dekat.

Santrock (1999) menerangkan bahwa dalam keterampilan menjalin hubungan yang adaptif, salah satu hal yang penting dilakukan untuk mengembangkan kemampuan sosial-emosional pada orang dewasa adalah dengan membina hubungan cinta yang memuaskan dengan pasangannya. Hal ini menjadi penting karena dalam hubungan cinta, terkandung gairah, emosi, dan komitmen yang secara positif berarti ada kesediaan untuk saling mengembangkan identitas positif masing-masing, saling membagi kehidupan, saling terbuka dan dapat memandang dari perspektif pasangannya.

Hubungan kelekatan dalam interaksi orang dewasa, termasuk dalam hubungan pernikahan, menurut Myers (1999) memiliki aspek yang agak berbeda dengan aspek-aspek kelekatan pada bayi dan anak-anak. Hal ini disebabkan karena kelekatan antara individu dewasa lebih merupakan hubungan yang timbal balik daripada hubungan kelekatan yang terjalin pada masa bayi dan kanak-kanak. Myers menjelaskan kelekatan di antara individu dewasa dalam hubungan pernikahan meliputi tiga aspek, yaitu:

a. Pengertian yang berkualitas (mutual understanding)

(51)

b. Pemberian dukungan timbal-balik (giving and receiving support)

Artinya, setiap individu memberikan dukungan baik secara materi maupun afeksi untuk menguatkan diri pasangannya dalam berbagai hal.

c. Menikmati dan memaknai kebersamaan dengan pasangan (valuing and enjoying being with the love one)

Aspek ini ditampakkan dengan kemampuan individu dalam memaknai kebersamaan dengan pasangannya baik secara fisik maupun afeksi. Hasil pemaknaan ini akan mempengaruhi kemampuan individu dalam menikmati kebersamaan dengan pasangannya.

Menurut Myers (1999), terpenuhinya ketiga aspek tersebut menandakan kualitas kelekatan yang baik antara dua individu dewasa yang akan mengarah pada semakin kokohnya hubungan yang terjalin.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kualitas kelekatan pada pasangan dalam pernikahan merupakan tingkat mutu atau kebaikan kelekatan yang tercermin dalam perilaku-perilaku lekat yang dimunculkan individu terhadap figur lekatnya, yaitu pasangannya.

(52)

suportivitas yang tinggi, serta kenyamanan yang tinggi dalam menikmati kebersamaan.

C. Hubungan antara Kualitas Kelekatan dengan Strategi Manajemen Konflik dalam Pernikahan

Telah diketahui bahwa kualitas kelekatan yang terjadi pada hubungan antara seorang bayi dengan pengasuhnya di kemudian hari menjadi dasar dari hubungan yang dijalani oleh anak selanjutnya. Penelitian Feeney dan Noller (1990) telah menunjukkan bahwa ikatan emosional dalam hubungan yang lekat tetap terjadi hingga dewasa. Kualitas kelekatan yang tampak pada hubungan intim yang terjalin pada saat individu dewasa bersumber dari kualitas kelekatan yang dirasakan oleh individu tersebut ketika bayi hingga kanak-kanak.

Hal tersebut terjadi pula pada berbagai kemampuan adaptif yang berkaitan dengan kemampuan sosial, karena perkembangan kemampuan sosial bersumber pula dari perkembangan karakteristik mental individu seperti harga diri, kepercayaan diri, kemampuan penyesuaian emosional, dan sebagainya (Burland dan Zimmerman, dalam Santrock, 1999).

(53)

tulus tanpa dikuasai oleh perasaan curiga dan cemburu yang terlalu mengikat dan disertai oleh komitmen.

Tingkat kepercayaan yang dirasakan oleh seorang individu terhadap pasangannya juga akan mempengaruhi upaya yang dilakukannya dalam memelihara hubungan. Hal ini dijelaskan oleh Heath (dalam Counts, 2003) dengan teori pertukaran sosial, bahwa kepercayaan seseorang terhadap pasangannya akan memperkuat respon-respon positif yang akan berfungsi dalam membangun hubungan. Respon-respon positif tersebut juga tercermin dalam cara-cara yang digunakan seseorang dalam menghadapi konflik dengan pasangannya. Artinya, seseorang yang memiliki kualitas kelekatan yang baik dan merasa aman terhadap pasangannya, akan cenderung menggunakan cara-cara penyelesaian konflik yang konstruktif agar hubungan pernikahan tetap terpelihara.

(54)

Hubungan seseorang dengan figur lekatnya atau sering disebut kelekatan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keintiman suami istri (dalam Wibhowo, 2002). Menurut Wibhowo (2002), keintiman yang terjalin pada pasangan suami istri dapat mempengaruhi kepuasan dalam pernikahan. Pada bagan di atas dijelaskan bahwa kualitas kelekatan pada pasangan suami istri ditunjukkan dalam tiga aspek, yaitu pengertian yang berkualitas, pemberian dukungan timbal balik, menikmati dan memaknai kebersamaan dengan pasangan. Ketiga aspek ini dapat mempengaruhi kepuasan dalam pernikahan.

Konflik merupakan hal yang tidak dapat dihindari dalam setiap kehidupan bersama (Kottler, dalam Counts, 2003). Konsekuensi dari munculnya konflik, baik positif maupun negatif, sangat tergantung pada cara-cara yang digunakan dalam menghadapi konflik tersebut. Menurut Wibhowo (2002), cara menyelesaikan masalah dan cara pengambilan keputusan terhadap masalah merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keintiman. Berdasarkan

(55)

bagan di atas, cara menyelesaikan konflik atau strategi manajemen konflik konstruktif dibedakan menjadi dua yaitu kompromi dan negosiasi. Kemampuan pasangan suami istri dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah yang terjadi dalam rumah tangga akan berpengaruh terhadap keintiman atau keakraban. Jika keintiman pasutri tersebut dapat terjaga maka akan menimbulkan suatu kepuasan dalam pernikahan.

Kesimpulan yang dapat diambil dari bagan di atas adalah bahwa jika suatu hubungan pernikahan yang memiliki kualitas kelekatan yang baik, maka pasangan tersebut dapat merasakan kepuasan dalam pernikahannya. Apabila pasangan suami istri memandang pernikahan sebagai suatu hubungan yang berharga, maka mereka akan berupaya untuk tetap mempertahankannya. Pasutri cenderung menggunakan strategi manajemen konflik yang konstruktif, yaitu dengan cara positive problem solving, sebagai salah satu upaya yang harus dilakukan untuk memelihara pernikahan. Alur logika tersebut memperkuat pandangan mengenai adanya hubungan antara kualitas kelekatan pada pasangan dengan penggunaan strategi manajemen konflik dalam pernikahan.

D. Hipotesis

(56)
(57)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah jenis penelitian

korelasional. Penelitian korelasional yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk

mencari hubungan atau relasi antara dua variabel. Dalam penelitian ini, penulis

ingin mengetahui apakah ada hubungan yang positif antara kualitas kelekatan

pasutri dan strategi manajemen konflik (positive problem solving) dalam

pernikahan.

B. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Variabel tergantung : Strategi manajemen konflik (positive

problem solving)

2. Variabel bebas : Kualitas kelekatan pasutri

C. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN

1. Strategi Manajemen Konflik (Positive Problem Solving) dalam Pernikahan

Strategi manjemen konflik (positive problem solving) dalam pernikahan

diartikan sebagai kecenderungan yang dimiliki oleh pasangan suami istri dalam

(58)

tersebut mengarah pada penyelesaian konflik yang efektif dan membangun

hubungan. Strategi manajemen konflik (positive problem solving) terdiri dari yaitu

kompromi dan negosiasi. Kompromi merupakan suatu strategi atau cara

menyelesaikan konflik dimana kedua pihak yang terlibat konflik mencoba untuk

mengorbankan sebagian tujuannya demi mencapai persetujuan bersama sehingga

keduanya sama-sama mendapat keuntungan. Sedangkan negosiasi adalah suatu

bentuk manajemen konflik yang ditandai dengan adanya pertukaran pendapat

antara dua pihak atau lebih yang terlibat konflik untuk mencapai persetujuan

bersama yang dapat diterima oleh semua pihak. Dalam pertukaran pendapat

tersebut pihak-pihak yang terlibat konflik tetap melakukan interaksi sehingga

persetujuan dapat tercapai tanpa menggunakan kekerasan.

Variabel strategi manajemen konflik pada penelitian ini diungkap dengan

Skala Strategi Manajemen Konflik yang disusun oleh peneliti. Penyusunan skala

tersebut didasarkan pada indikator strategi manajemen konflik (positive problem

solving), yaitu tetap menjaga kedekatan dengan pasangan; mendengarkan,

menerima, dan memahami pasangan; mendiskusikan penyelesaian yang terbaik

bagi kedua belah pihak; mengendalikan diri dan berkomunikasi secara positif;

serta mengorbankan sebagian tujuan untuk kesepakatan bersama. Semakin tinggi

skor subjek, semakin tinggi kecenderungan penggunaan strategi manajemen

konflik (positive problem solving) dalam pernikahan. Sebaliknya, semakin rendah

skor subjek, maka kecenderungan penggunaan strategi manajemen konflik

(59)

2. Kualitas Kelekatan Pasutri

Kelekatan diartikan sebagai ikatan emosional timbal balik yang kuat dan

bertahan lama antara dua orang individu yang dilakukan untuk mencari,

mempertahankan, dan menambah kedekatan yang memberikan rasa aman dan

ketenangan dengan figur lekat yang dianggap istimewa.

Kualitas kelekatan yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan tingkat

kelekatan yang khas pada pasangan suami istri, sehingga pengertian figur lekat

mengacu pada pasangan. Kualitas kelekatan dalam pernikahan tercermin dalam

kemunculan aspek-aspek pengertian berkualitas (mutual understanding),

pemberian dukungan timbal balik (giving and receiving support), serta

kemampuan individu menikmati dan memaknai kebersamaan dengan

pasangannya (valuing and enjoying being with the love one).

Variabel kualitas kelekatan pasangan suami istri pada penelitian ini

diungkap dengan Skala Kualitas Kelekatan Pasutri yang disusun oleh peneliti.

Penyusunan skala tersebut berdasarkan pada indikator kualitas kelekatan yaitu:

a. Pengertian berkualitas (mutual understanding)

(1) Tidak memaksa pasangan untuk melakukan sesuatu

(2) Berpikir positif, mempercayai dan menjaga kepercayaan pasangan

(3) Memaafkan tanpa syarat

(4) Menerima dan mengerti kelebihan dan kekurangan masing-masing

(5) Memahami kebutuhan pasangan serta hal-hal yang disenangi dan tidak

disenangi

(60)

b. Pemberian dukungan timbal balik (giving and receiving support)

(1) Saling mendukung aktivitas pasangan

(2) Ada di dekat pasangan saat dibutuhkan

(3) Menerima dan memberi bantuan yang diperlukan pasangan

c. Menikmati dan memaknai kebersamaan dengan pasangan (valuing and

enjoying being with the love one)

(1) Merasa nyaman bersama pasangan

(2) Menghargai perhatian dan tanda cinta pasangan

(3) Merasa cemas dan kehilangan saat berjauhan

(4) Menikmati interaksi fisik dengan pasangan

(5) Tetap berorientasi pada pasangan meski tidak sedang berinteraksi

Pada penelitian ini, variabel kualitas kelekatan pasangan suami istri

diungkap dengan Skala Kualitas Kelekatan yang disusun oleh peneliti. Semakin

tinggi skor subjek, semakin baik kualitas kelekatan subjek pada pasangannya.

Sebaliknya, semakin rendah skor subjek, semakin kurang baik kualitas kelekatan

subjek dengan pasangannya.

D. SUBJEK PENELITIAN

Subjek pada penelitian ini adalah pasangan suami istri yang diambil

menggunakan teknik purposive sampling, yaitu teknik penentuan sample dengan

pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2006). Subjek penelitian ini diambil sebanyak

(61)

kualitas kelekatan pasutri dengan strategi manajemen konflik (positive problem

solving) dalam pernikahan, dengan kriteria sebagai berikut:

1. Usia subjek

Usia subjek berkisar antara 20-50 tahun, telah menikah dan

memiliki anak, dengan asumsi subjek pada usia ini sudah cukup

matang untuk menjalani hidup pernikahan.

2. Usia pernikahan

Usia pernikahan subjek di bawah sepuluh tahun. Menurut

pandangan Landis dan Landis (1960), konflik antara suami istri sering

terjadi pada tahun-tahun awal pernikahan. Konflik tersebut terjadi

karena pasangan suami istri sedang dalam proses belajar untuk hidup

bersama. Keadaan ini akan berlangsung terus sampai sepuluh tahun

pertama pernikahan sampai pada akhirnya pasangan suami istri

tersebut dapat menyelesaikan konflik yang ada dengan kesepakatan.

3. Latar belakang pendidikan

Latar belakang pendidikan subjek adalah minimal SLTP-Sarjana

dengan tujuan agar subjek lebih mudah dalam memahami skala yang

disajikan. Selain itu adanya asumsi bahwa subjek yang memiliki

pengetahuan dari pendidikan yang ditempuhnya akan mempunyai

kemampuan untuk menjalin komunikasi yang baik dan terarah.

4. Subjek juga tidak bersama orang tua sehingga strategi manajemen

konflik yang muncul tidak terpengaruh oleh keberadaan figur orang

(62)

E. METODE DAN ALAT PENGUMPULAN DATA 1. Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan untuk memperoleh data dalam penelitian ini

adalah metode kuantitatif korelasional. Alat untuk memperoleh data berupa

skala. Skala yang digunakan dalam penelitian ini disusun untuk

mengungkap kualitas kelekatan pasutri dan strategi manajemen konflik

dalam pernikahan. Peneliti memilih menggunakan skala dalam

pengumpulan data dengan pertimbangan asumsi bahwa subyek adalah orang

yang paling tahu tentang dirinya sendiri. Selain itu, metode skala juga

merupakan metode yang praktis, mudah pelaksanaannya, efektif serta

efisien. Metode ini dikatakan efektif dan efisien karena dalam waktu singkat

dapat diperoleh data yang banyak, serta ekonomis terutama dalam segi

biaya.

Sebelum digunakan pada penelitian yang sesungguhnya, skala yang

akan digunakan diujicobakan terlebih dahulu. Data dari hasil uji coba

kemudian dianalisis secara statistik untuk menentukan validitas dan

reliabilitas alat ukur. Skala yang telah memenuhi kualifikasi validitas dan

reliabilitas inilah yang akan dipakai dalam penelitian, dengan asumsi bahwa

alat ukur tersebut dapat secara tepat mengungkap apa yang ingin diungkap,

serta ajeg dalam penelitian.

2. Alat Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan skala sebagai alat pengumpulan data. Skala dalam

(63)

a. Skala Strategi Manajemen Konflik

Variabel strategi manajemen konflik pada penelitian ini diungkap dengan

Skala Strategi Manajemen Konflik yang disusun oleh peneliti berdasarkan

indikator strategi manajemen konflik yang konstruktif, yaitu kompromi dan

negosiasi (positive problem solving). Indikator-indikator kompromi dan

negosiasi meliputi tetap menjaga kedekatan dengan pasangan; mendengarkan,

menerima, dan memahami pendapat pasangan; mendiskusikan penyelesaian

yang terbaik bagi kedua pihak; mengendalikan diri dan berkomunikasi secara

positif; serta tetap berusaha menyelesaikan konflik.

Skala ini memberikan empat pilihan jawaban terhadap item-item pada

masing-masing strategi manajemen konflik. Pada item-item yang favourable

skor jawaban Selalu (SL) = 4, Sering (SR) = 3, Kadang-Kadang (KD) = 2, dan

Tidak Pernah (TP) = 1. Pada aitem-aitem dianggap unfavourable dengan skor

jawaban Selalu (SL) = 1, Sering (SR) = 2, Kadang-Kadang (KD) = 3, dan

Tidak Pernah (TP) = 4.

Skor total dari tiap subyek akan diperoleh dengan menjumlah skor dari

semua item pada masing-masing skala. Dengan demikian, semakin tinggi skor

subjek, semakin tinggi kecenderungan penggunaan strategi manajemen

konflik yang konstruktif (Positive Problem Solving) dalam pernikahan.

Sebaliknya, semakin rendah skor subjek, kecenderungan penggunaan strategi

manajemen konflik yang konstruktif (Positive Problem Solving) dalam

(64)

Pada Tabel 3.1 berikut ini disajikan sebaran item pada setiap indikator

perilaku dalam Skala Strategi Manajemen Konflik untuk uji coba.

Tabel 3. 1

Sebaran Aitem Skala Strategi Manajemen Konflik Uji Coba

Indikator Nomor Item Jumlah

Total

2, 10,6 merupakan item yang digugurkan

Jumlah total item pada tiap-tiap indikator sama, dikarenakan tidak ada

kontribusi yang dominan dari indikator-indikator tertentu terhadap variabel

strategi manajemen konflik yang hendak diukur.

b. Skala Kualitas Kelekatan

Skala Kualitas Kelekatan ini disusun berdasarkan pada aspek-aspek

kelekatan yang dikemukakan oleh Myers, yaitu pengertian yang berkualitas

(mutual understanding), pemberian dukungan timbal-balik (giving and

receiving support), serta kemampuan individu menikmati dan memaknai

kebersamaan dengan pasangannya (valuing and enjoying being with the love

one). Dalam hal ini, konteks figur lekat mengacu pada pasangan yaitu suami

(65)

Butir-butir pernyataan disusun berdasarkan model (skala summated rating)

dengan empat pilihan jawaban. Pilihan jawaban tersebut adalah sangat sesuai

(SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS), dan sangat tidak sesuai (STS).

Pernyataan-pernyataan tersebut terdiri dari item-item yang favorable dan unfavorable.

Pemberian skor jawaban untuk item favorable adalah SS = 4; S = 3;

TS = 2; dan STS = 1. Sebaliknya, item unfavorable diberi skor SS = 1; S =2;

TS = 3; dan STS = 4. Skor total dari tiap subyek akan diperoleh dengan

menjumlah skor dari semua item pada masing-masing skala. Semakin tinggi

skor subjek menandakan kualitas kelekatan semakin baik, sebaliknya skor

yang rendah menandakan kualitas kelekatan yang kurang baik.

(66)

Tabel 3.2

Sebaran Aitem Skala Kualitas Kelekatan Uji Coba

Aspek Indikator Nomor Aitem Jumlah

Favourable Unfavorable

Mutual understanding

•Tidak memaksa untuk melakukan sesuatu

•Berpikir positif, mempercayai dan menjaga kepercayaannya

•Memafkan tanpa syarat

•Menerima dan mengerti kelebihan dan kekurangan masing-masing •Memahami kebutuhannya serta

hal-hal yang disenangi dan tidak disenangi

•Menerima emosi positif dan negatif yang diekspresikan •Ada di dekatnya saat dibutuhkan •Menerima dan memberi bantuan

yang diperlukan •Menghargai perhatian dan tanda

cintanya

•Merasa cemas dan kehilangan saat berjauhan

•Menikmati interaksi fisik dengan pasangan

•Tetap berorientasi pada figur lekat meski tidak sedang berinteraksi

Keterangan: 36 merupakan item yang gugur

26, 43 merupakan item yang digugurkan

Jumlah total item pada tiap-tiap indikator sama, dikarenakan tidak ada

kontribusi yang dominan dari indikator-indikator tertentu terhadap variabel

kualitas kelekatan yang hendak diukur.

Seleksi terhadap item-item skala dilakukan dengan perhitungan statistik

untuk mendapatkan item-item yang memenuhi standar validitas dan

(67)

F. VALIDITAS DAN RELIABILITAS

Validitas dan reliabilitas suatu alat ukur memegang peranan penting dalam

penelitian. Benar tidaknya suatu hasil penelitian yang diungkap dengan alat

pengumpul data tergantung dari validitas dan reliabilita alat tersebut. Validitas

dan reliabilitas sebaiknya ditetapkan terlebih dahulu sebelum suatu alat ukur

digunakan untuk penelitian.

1. Validitas

Validitas merupakan ukuran seberapa cermat suatu alat tes dapat melakukan

fungsi ukurnya (Azwar, 2001). Sebuah alat ukur dapat dikatakan valid jika alat

ukur tersebut dapat memberikan hasil ukur sesuai dengan maksud pengukuran

tersebut. Validitas yang digunakan dalam skala ini adalah validitas isi, yang

artinya bahwa pengujian validitas dilakukan dengan mencocokkan antara definisi

operasional dengan indikator-indikator yang kemudian dijabarkan dengan

item-item (Sugiyono, 2006). Untuk pengujian validitas isi dilakukan dengan

professional judgement, yaitu proses penilaian oleh orang yang dianggap ahli

yakni dosen pembimbing, apakah item-item tersebut benar-benar mewakili untuk

mengukur seluruh aspek yang hendak diukur (Azwar, 2001).

Setelah melakukan uji validitas isi, penulis melakukan seleksi item. Seleksi

item ini pertama diambil dari hasil uji coba pada subjek yang memiliki

karakteristik setara dengan subjek yang akan diteliti. Lalu item-item tersebut

dievaluasi dengan analisis butir-butir dengan menggunakan parameter daya beda

(68)

membedakan antar individu atau kelompok individu yang mempunyai dan yang

tidak mempunyai atribut yang hendak diukur (Azwar, 2000).

Pengujian daya beda item akan dilakukan dengan komputasi koefisien

korelasi antara distribusi skor item dengan distribusi skor skala yang akan

menghasilkan koefisien korelasi total yang disebut parameter daya beda item,

berdasarkan tes signifikansi 0,05 (5%). Jadi semua item yang mencapai koefisien

korelai item total positif (+) dan signifikan pada taraf signifikansi (5%) dianggap

mempunyai daya beda yang memuaskan. Perhitungan ini dilakukan dengan

menggunakan komputer program analisis item SPSS (Statistical Product and

Service Solution Release 11.5 For Windows).

2. Reliabilitas

Reliabilitas yaitu sejauhmana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya atau

diandalkan. Hal ini ditunjukkan apabila dalam beberapa kali pelaksanaan

pengukuran terhadap kelompok subjek yang sama diperoleh hasil yang relatif

sama, selama aspek dalam diri subjek yang diukur memang belum berubah, maka

alat ukur tersebut dapat dipercaya (Azwar, 2001).

Reliabilitas skala dalam penelitian ini diuji dengan pendekatan konsistensi

internal yang diperoleh lewat penyajian satu bentuk skala yang dikenakan hanya

sekali saja pada sekelompok subyek dengan prosedur analisis koefisien reliabilitas

alpha yang dapat digunakan pada tes yang belahannya tidak paralel satu sama lain

(Azwar, 2001).

Uji reliabilitas bertujuan untuk melihat taraf kepercayaan atau keajegan hasil

(69)

solving) dihitung dengan koefisien Alpha Cronbach (Azwar, 2001). Nilai

reliabilitas kedua skala dianggap memuaskan bila α > 0,900 (Azwar, 2000).

Hasilnya menunjukkan Skala Kualitas Kelekatan memperoleh koefisien Alpha (α)

0,9521 dan Skala Strategi Manajemen Konflik memperoleh Koefisien Alpha (α)

0,9450. Hasil ini berarti item-item Skala Kualitas Kelekatan dan Skala Strategi

Manajemen Konflik dapat diandalkan untuk tujuan pengambilan data penelitian.

Hasil uji kesahihan butir dan reliabilitas Skala Kualitas Kelekatan dan Skala

Strategi Manajemen Konflik dapat dilihat pada lampiran.

G. PELAKSANAAN UJI COBA ALAT PENGUMPULAN DATA

Pelaksanaan uji coba (tryout) alat pengumpulan data diawali peneliti dengan

meminta ijin kepada pengurus RT dan RW setempat untuk mengadakan uji coba

dan penelitian dengan menyerahkan surat ijin penelitian dari Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Setelah proses perijinan selesai, uji coba

dilaksanakan pada tanggal 6 sampai dengan tanggal 16 Maret 2007 di RW 06

Asrama POLRI Pathuk Yogyakarta dengan melibatkan 80 subyek. Jumlah subjek

uji coba 80 orang, terdiri dari 40 pasang suami istri. Kepada seluruh subjek

diberikan dua jenis skala, yaitu Skala Kualitas Kelekatan dan Skala Strategi

Manajemen Konflik. Dari 80 eksemplar yang diberikan dapat terisi semua oleh

responden dan sesuai dengan petunjuk yang diberikan. Setelah melakukan uji

coba untuk kedua jenis skala tersebut kemudian data hasil uji coba kedua skala

Gambar

Tabel 3. 1
Tabel 3.2 Sebaran Aitem Skala Kualitas Kelekatan Uji Coba
Tabel 3.3 Skala Kualitas Kelekatan Setelah Uji Coba
Tabel 3.4 Skala Strategi Manajemen Konflik Setelah Uji Coba
+7

Referensi

Dokumen terkait

silang negara-negara ASEAN pada Gambar 2, kemudian menuliskan hasil pengamatannya dengan mengisi kolom seperti berikut. Negara-negara ASEAN terletak di antara Samudra ... 3)

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka ditarik kesimpulan bahwa Nilai budaya perusahaan, sikap kedisiplinan dan kepuasan karyawan memiliki pengaruh yang

Tahap Ke – enam Laporan Hasil Uji Coba.. Dari bagan tersebut pada tahap pertama pengembang melakukan studi awal penelitian. Studi awal penelitian ini dilakukan untuk

Dari skrining fitokimia yang dilakukan terhadap 20 jenis tumbuhan obat diketahui bahwa kandungan senyawa kimia dalam tumbuhan obat berkhasiat antiinflamasi antaralain

Dari pengecekan faktor-faktor penyebab rendahnya produktivitas pada mesin sandblasting, maka ditetapkan 2 hal yang diperkirakan sebagai penyebab utam dan akan dilakukan

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam pembuatan alat tugas akhir ini adalah:.  Merancang suatu sistem alat hitung obyek dalam suatu

Penelitian yang dilakukan di Kelurahan Pakuncen Wirobrajan Wogyakarta pada tahun 2012 juga menunjukkan hal yang serupa bahwa ada hubungan lemah antara indeks massa

Kemudian setelah sampai di teras rumah saksi Boni Marpaung selanjutnya saksi Bahri Efendi Ritonga als Bahri, saksi Sanip Rambe, saksi Edlis Siregar als Edi dan Sdr Damri