• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. LANDASAN TEORI

2. Konflik

a. Pengertian Konflik

Konflik adalah proses yang dinamis dan keberadaannya lebih banyak menyangkut persepsi dari orang atau pihak yang mengalami dan merasakannya. Individu dapat merasakan adanya konflik apabila perilaku individu tersebut menjadi terhambat karena perilaku orang lain.

Perbedaan persepsi terjadi karena pada prinsipnya manusia punya keyakinan, pengetahuan, dan pendapat yang berbeda. Perbedaan inilah yang menyebabkan timbulnya konflik. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial yang akan selalu berinteraksi dengan manusia lainnya membuat setiap manusia selama hidupnya akan selalu menghadapi konflik.

Deutsch (dalam Boardman dan Horrowitz, 1994) menjelaskan timbulnya konflik sebagai akibat dari terjadinya aktivitas dua atau lebih pihak yang saling bertentangan. Pendapat tersebut sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Pruitt dan Robin (dalam Boardman dan Horrowitz, 1994). Menurut Pruitt dan Robin, konflik muncul sebagai akibat dari tidak dapat disesuaikannya aspirasi dari pihak-pihak yang bersangkutan atas suatu keperluan atau keyakinan yang berbeda. Forsyth (dalam Boardman dan Horrowitz, 1994) juga menerangkan konflik sebagai suatu situasi yang terjadi jika tindakan atau keyakinan dari satu atau lebih

anggota dalam suatu kelompok tidak dapat diterima sehingga dihalangi oleh satu atau lebih anggota kelompok lain.

Kesimpulan dari berbagai pendapat di atas adalah bahwa konflik merupakan perselisihan antara dua pihak atau lebih yang muncul sebagai akibat dari adanya perbedaan kepentingan yang tidak dapat diterima oleh semua pihak yang terkait.

b. Konflik dalam Pernikahan

Seperti telah diuraikan sebelumnya, keluarga sebagai bagian dari masyarakat memiliki sejumlah fungsi penting. Hal itu membuat pernikahan sebagai inti dari keluarga mempunyai beragam aktivitas yang mengarah kepada berbagai kepentingan, baik berupa kepentingan internal keluarga tersebut, maupun kepentingan eksternal bagi masyarakat yang lebih luas. Kesenjangan kepentingan dalam interaksi keluarga, khususnya yang terjadi pada suami istri, sering memunculkan adanya konflik antar pasangan.

Beberapa ahli merumuskan sejumlah bagian atau area konflik antar pasangan dalam pernikahan. Beck (dalam Counts, 2003) mengidentifikasi tiga area, yaitu sebagai berikut:

1) Area pertama adalah hal-hal yang berkaitan dengan ketidaksepakatan pasangan menentukan kepentingan dalam hal menghabiskan waktu bersama-sama. Misalnya jika semua pasangan memiliki aktivitas yang berbeda-beda di luar rumah, diperlukan kesepakatan agar kedua pasangan dapat menemukan waktu untuk menghabiskan waktu bersama-sama. Konflik pada area ini akan semakin banyak terjadi apabila ada anak-anak dalam keluarga. Pembagian

waktu kedua pasangan untuk bersama-sama atau bergantian meluangkan waktu untuk memenuhi kebutuhan anak sehari-hari di samping kesibukannya sendiri, membuat pasangan seringkali keliru menentukan keputusan.

2) Area ke dua adalah yang berkaitan dengan ketidaksepakatan dalam cara pengasuhan anak. Pasangan seringkali memiliki pandangan yang berbeda mengenai strategi mendisiplinkan anak atau membuat aturan-aturan keluarga. 3) Area ke tiga adalah yang berkaitan dengan pembagian tanggung jawab tugas

sehari-hari dalam urusan rumah tangga. Pada masa ini fenomena wanita bekerja di luar rumah sudah merupakan hal yang umum, namun masih banyak suami yang tetap menganggap bahwa pekerjaan domestik rumah tangga dan pengasuhan anak tetap merupakan tanggung jawab istri meskipun istri juga bekerja di luar rumah, di sisi lain, istri yang bekerja di luar rumah seringkali juga mengharapkan suaminya turut berperan dan bertanggung jawab atas pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak.

Ahli yang lain, Rahim (dalam Counts, 2003) menambahkan dua lagi area konflik antar pasangan dalam pernikahan, yaitu:

1) Area pertama adalah kurangnya atau buruknya kualitas komunikasi antar pasangan. Komunikasi antara pasangan memiliki peran yang sangat penting dalam pernikahan. Hal ini disebabkan karena komunikasi merupakan alat yang vital digunakan untuk saling menyampaikan isi hati, pikiran, dan juga harapan. Ketika komunikasi tidak dapat berfungsi secara efektif dalam penyampaian pesan, maka akan terjadi kesalahpahaman yang berakibat pada munculnya konflik.

2) Area ke dua adalah perbedaan kepribadian. Konflik seringkali muncul pada pasangan dengan kepribadian yang saling bertentangan. Misalnya jika istri tergolong individu yang senang bersosialisasi, bepergian ke luar rumah, serta sangat terbuka membicarakan perasaan maupun pikirannya, sementara suami termasuk individu yang pendiam, menyenangi kegiatan di dalam rumah, serta tidak menyukai pembicaraan yang berubungan dengan perasaan pribadi masing-masing.

Rahim (dalam Counts, 2003) berpendapat bahwa bagaimanapun selarasnya kondisi pasangan, konflik tetap akan terjadi secara bergantian pada kedua area karena konflik merupakan hal yang tidak dapat terelakkan dalam suatu kehidupan bersama.

Dalam hubungan pernikahan konflik dapat membantu individu untuk memperjelas dan mengubah harapannya terhadap suatu hubungan serta konsep tentang diri dan pasangannya. Konflik, di sisi lain juga dapat membangkitkan perasaan yang kuat, maka ada resiko seorang individu terjebak dan mengambil keputusan yang tidak membangun hubungan dan pada akhirnya dapat mengancam keberlangsungan suatu hubungan.

Fenomena seperti itu merupakan hal yang wajar, karena konflik merupakan suatu pertentangan sikap, tindakan, atau kognisi sebagai akibat dari tidak dapat disesuaikannya aspirasi seseorang atas kepentingan atau keyakinan yang berbeda dengan pasangannya.

Konflik pada umumnya tidak selalu bersifat negatif dan harus dihindari. Berkaitan dengan hal ini, konflik memiliki fungsi tertentu. Konflik diperlukan

karena dapat membantu mengurangi ketegangan pada salah satu pihak atau keduanya, dan dapat pula mengatasi perbedaan yang timbul secara terbuka apabila pasangan suami istri mampu menyelesaikan dengan cara-cara yang konstruktif (Landis dan Landis, 1960). Baik buruknya sifat konflik tergantung dari bagaimana cara penyelesaiannya. Konflik berakibat positif jika diselesaikan dengan cara yang positif pula. Beberapa dampak positif dari munculnya konflik antara lain adalah dapat menjernihkan suasana, menemukan pemecahan masalah, serta mencapai sikap saling pengertian antara pasangan.

Dokumen terkait