• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI NASIONAL PENURUNAN EMISI GRK

LAYAK SECARA NASIONAL)

4. STRATEGI NASIONAL PENURUNAN EMISI GRK

4.1 Arah Kebijakan Umum (Cross-cutting)

Apabila melihat dari perspektif lintas bidang, maka hal terpenting yang memerlukan perhatian lebih besar di masa mendatang adalah isu penggunaan lahan karena problem terkait dengan konversi dan tata guna lahan juga dibahas dalam bidang pertanian, kehutanan, dan energi.

Keterkaitan dan saling ketergantungan antar bidang tersebut akan ditindak lanjuti dalam proses penyusunan RAN-GRK di masa depan yang akan mencakup integrasi pemanfaatan tata ruang yang memuat isu perubahan iklim, penguatan kapasitas kelembagaan, dan pengembangan mekanisme untuk hukum dan perundang-undangan.

Lingkup Regional. RAN-GRK juga mempertimbangkan keragaman pada kondisi isik, ekonomi, politik dan budaya sehingga Indonesia membutuhkan pendekatan kebijakan berdasarkan aspek kewilayahan untuk perencanaan pembangunan nasional. Dengan demikian, pendekatan kebijakan untuk masalah perubahan iklim disesuaikan dengan kondisi karakter khusus yang dimiliki wilayah-wilayah di Indonesia, yaitu Sumatera, Jamali (Jawa, Madura, Bali), Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua.

Keberhasilan menghadapi perubahan iklim ditentukan juga dari seberapa jauh kebijakan iklim dipadukan ke dalam kebijakan pembangunan nasional dan bidang. Oleh karena itu, pengarusutamaan aksi mitigasi perubahan iklim dalam keputusan pembangunan yang memberikan konsekuensi pada iklim menjadi penting untuk pelaksanaannya demi mencapai pembangunan nasional rendah karbon.

Sebagai contoh, harga karbon yang efektif dapat mewujudkan potensi aksi mitigasi yang signiikan di semua bidang karena tingkat kelayakan nilai karbon dapat memberikan signal ekonomis yang menguntungkan pada pasar karbon untuk menciptakan investasi dan aliran keuangan dari negara maju ke negara berkembang.

Kebijakan yang dibutuhkan adalah kebijakan yang dapat menciptakan insentif bagi para produsen dan konsumen ke arah pembangunan yang rendah karbon. Pendekatan ini memerlukan beberapa inovasi dan perubahan terhadap pendekatan pembangunan yang tradisional.

Lebih lanjut, menerapkan pembangunan berkelanjutan yang rendah karbon dapat memberi kontribusi besar pada mitigasi perubahan iklim, tetapi pelaksanaannya mungkin membutuhkan sumber daya tambahan untuk mengatasi banyaknya tantangan.

Tidak hanya itu, perlu adanya peningkatan pemahaman tentang kemungkinan- kemungkinan untuk memilih dan melaksanakan opsi mitigasi di berbagai bidang untuk mempertahankan tingkat sinergi dan menghindari konlik dengan dimensi lain dari pembangunan berkelanjutan.

Kebijakan terkait perubahan iklim jarang diterapkan secara terpisah dengan kebijakan lain, melainkan dalam bentuk serangkaian kebijakan dengan kebijakan lain misalnya dengan kebijakan terkait pembangunan. Dalam melakukan aksi mitigasi perubahan iklim, maka satu atau lebih dari instrumen kebijakan harus diterapkan. Berbagai kebijakan dan instrumen nasional tersebut disediakan agar bisa menciptakan insentif bagi aksi mitigasi yang dilakukan, contoh yang dilaksanakan di negara-negara lain, yaitu dukungan pemerintah melalui kontribusi inansial, kredit pajak, penetapan standar dan penciptaan pasar yang penting bagi pengembangan, inovasi serta penggunaan teknologi yang efektif.

Akan tetapi, mengingat bahwa kebijakan publik seringkali mengakibatkan efek samping yang tidak diharapkan atau jauh lebih kecil dari yang diharapkan, maka pelaporan menjadi penting untuk integrasi kebijakan perubahan iklim karena dapat meningkatkan akuntabilitas dan pembelajaran. Kondisi yang stabil juga menjamin negara berkembang, seperti Indonesia, mendapatkan bantuan lainnya, contohnya transfer teknologi dan pendanaan.

Secara umum, NAMAs dapat menggunakan spektrum besar instrumen kebijakan dari penurunan emisi GRK, seperti: (i) Kebijakan ekonomi dan iskal, misalnya pajak karbon (carbon tax), penghapusan subsidi bahan bakar minyak, atau perdagangan emisi; (ii) Kebijakan ekonomi dan iskal yang ditargetkan, misalnya subsidi untuk investasi hemat energi, feed-in tariffs

untuk teknologi energi yang terbarukan, atau insentif keuangan; (iii) Standar, misalnya konsumsi bahan bakar kendaraan, aturan dan sertiikasi bangunan, atau standar perangkat dan pelabelan untuk eisiensi energi; (iv) Informasi transfer pengetahuan dan pendidikan, misalnya kampanye penyadaran publik, analisa energi (audit), atau kegiatan demonstrasi dan pelatihan; dan (v) Riset dan pengembangan teknologi rendah karbon dan energi baru yang lebih layak untuk menghadapi isu perubahan iklim yang harus dikaji di tingkat nasional untuk mengevaluasi penerapannya sebelum tahap pelaksanaan.

Lebih lanjut, dampak dari pelaksanaan instrumen kebijakan yang diusulkan tersebut perlu dikaji keefektifannya untuk mengetahui sejauh mana bisa meningkatkan pembangunan ekonomi rendah karbon.

Dengan demikian, terlihat jelas bahwa penerapannya bergantung pada kerangka kerja nasional dan bidang, situasi nasional, dan pemahaman atas interaksi pada skala nasional dan skala internasional.

Gambar 10 menggambarkan alur logis integrasi kebijakan perubahan iklim yang merupakan keterkaitan dari unsur-unsur utama untuk mencapai aksi yang utuh di tingkat nasional dalam memenuhi target penurunan emisi GRK di tingkat nasional.

Keadaan Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan

Program Wajib & Peluang Terkait dengan Mitigasi Perubahan Iklim

Strategi Kebijakan Instrumen Kebijakan Keluaran Gambar 10. Alur Integrasi Kebijakan Perubahan Iklim.

Menurut Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) pada pasal 3.4 disebutkan bahwa Para Pihak (Parties) memiliki hak atas, dan seharusnya, mempromosikan pembangunan berkelanjutan.

Oleh karena itu, kebijakan dan langkah untuk melindungi dunia dari perubahan iklim terutama yang dipengaruhi manusia seharusnya sesuai dengan kondisi dari setiap masing-masing negara (pihak) dan terintegrasi dengan program pembangunan nasional, sambil memperhatikan bahwa pembangunan ekonomi sangat penting untuk mengadopsi langkah-langkah dalam menanggapi perubahan iklim.

Namun demikian, pertanyaan tentang konsistensi antara sasaran perubahan iklim dan tujuan kebijakan lainnya jarang dibahas di dalam pembuatan strategi umum. Bahkan, ada pula kecenderungan untuk mengabaikan terjadinya inkonsistensi antara isu perubahan iklim dengan isu-isu lainnya, sementara potensi sinergi ditonjolkan dalam kebijakan terkait perubahan iklim.

Beberapa cara untuk mengintegrasikan kebijakan dapat dilakukan berupa integrasi kebijakan lintas bidang atau integrasi kebijakan per bidang di dalam dan di seluruh tingkatan pemerintah (lihat Gambar 11).

Kebijakan lintas bidang merujuk pada langkah dan prosedur lintas bidang untuk mengarusutamakan suatu integrasi menyeluruh dari strategi perubahan iklim dan aksi mitigasi perubahan iklim ke dalam kebijakan publik yang mencakup strategi perubahan iklim yang luas, persiapan/adopsi peraturan- peraturan baru dan anggaran nasional tahunan.

Sementara, integrasi bidang di dalam tingkatan pemerintah merujuk pada integrasi kebijakan perubahan iklim ke dalam bidang tertentu oleh berbagai entitas di bawah pengawasan suatu kementerian.

Aksi mitigasi perubahan iklim sering dilihat dalam konteks hanya satu tingkat tata pemerintahan atau jika menyangkut beberapa tingkat maka mereka dipandang hanya sebagai hirarki kendali yang atas-bawah (top-down). Namun demikian, terlihat jelas bahwa aksi mitigasi menjadi urusan semua tingkatan dari tingkat daerah hingga global dan memiliki sifat interaksi yang kompleks dan multi-arah. Oleh karena itu, strategi mitigasi harus dilaksanakan di dalam strategi dan langkah-langkah per bidang.

KEBIJAKAN