5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.7 Strategi Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan
Penyusunan strategi pengendalian kebakaran hutan dan lahan memerlukan analisis bersifat makro, baik internal maupun eksternal serta evaluasi terhadap visi dan misi pengelolaan. Tujuan analisis ini adalah untuk menyesuaikan penyusunan strategi terhadap visi dan misi organisasi pengelola. Salah satu teknik yang cukup populer digunakan saat ini adalah analisis SWOT.
Sesuai Rencana Jangka Menengah (RPJM) Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai tahun 2010-2014, dalam peranannya sebagai kawasan konservasi TNRAW diarahkan pada pencapaian sasaran sebagai berikut :
a. Menjamin terpeliharanya proses ekologis dalam kawasan TNRAW yang menunjang sistem penyangga kehidupan, melalui upaya perlindungan terhadap mata air, sungai, rawa, pemeliharaan fungsi hidrologi, perlindungan pantai, serta fenomena dan keindahan alam dalam kawasan TNRAW
b. Menjamin terpeliharanya keanekaragaman hayati, sumber genetic dan tipe ekosistem dalam kawasan TNRAW melalui upaya penjagaan agar unsur-unsur tersebut tidak punah dengan tujuan agar tetap berfungsi di alam dan dapat dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.
c. Mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam hayati (SDAH) dalam kawasan TNRAW sehingga menjamin kelestariannya, melalui upaya pengendalian atau pembatasan dalam pemanfaatan SDAH sehingga dapat dilakukan secara terus-menerus.
Dari 8 kebijakan prioritas pembangunan kehutanan Kementerian Kehutanan, terdapat 5 kebijakan yang terkait peran dan fungsi kawasan TNRAW, yaitu :
a. Pengamanan hutan dan pengendalian kebakaran hutan b. Konservasi keanekaragaman hayati
c. Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan
d. Mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sektor kehutanan e. Penguatan kelembagaan kehutanan
Visi yang diemban oleh BTNRAW dalam menunjang kebijakan pembangunan kehutanan tersebut di atas adalah “mengoptimalkan keberadaan
kawasan TNRAW beserta potensinya sebagai bagian penting lingkungan”. Visi tersebut dijabarkan kedalam 3 misi pokok, yaitu :
a. Mempertahankan proses ekologis dan keberadaan keanekaragaman hayati kawasan TNRAW
b. Mewujudkan peranan, fungsi dan manfaat TNRAW secara lestari
c. Menguatkan kapasitas kelembagaan dan kerjasama kemitraan dalam pengelolaan kawasan TNRAW.
Dalam analisis makro SWOT, perlu dilakukan identifikasi terhadap komponen-komponen atau sumber daya yang mempengaruhi daya saing organisasi dalam mewujudkan tujuan pengelolaan kawasan, sehingga menghasilkan distinctive competence.
5.7.2 Tahapan Input
5.7.2.1 Analisis Lingkungan Internal
Analisis lingkungan internal bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis kekuatan (Strength) dan kelemahan (Weakness) yang ada pada organisasi. Analisis ini mencakup analisis pengaruh keberadaan sumber daya yang dimiliki organisasi dalam kaitannya dengan pencapaian tujuan pengelolaan kawasan. Kondisi lingkungan internal yang sangat banyak jumlahnya ditapis untuk menghasilkan komponen-komponen yang bersifat strategis/penting. Berdasarkan analisis tersebut, teridentifikasi faktor lingkungan internal penting yang menjadi kekuatan (Strength) organisasi dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan sebagai berikut :
a. Kebijakan pengelola kawasan dalam upaya pengendalian kebakaran hutan tinggi
Komitmen tinggi Pengelola kawasan dalam pengendalian kebakaran hutan di TNRAW terlihat dengan diadopsinya program pengendalian kebakaran hutan dan lahan sebagai salah satu kebijakan pokok dalam pengelolaan kawasan. Bentuk komitmen kebijakan ini diantaranya adalah integrasi pengendalian kebakaran hutan sebagai salah satu indikator kinerja utama, ditetapkan sebagai salah satu program pokok pada Rencana Pengelolaan Jangka Menengah BTNRAW 2010-2014 dan implementasi program melalui pembentukkan regu, pendanaan rutin, penguatan SDM, pengadaan sarpras, operasi pencegahan, operasi pemadaman dan operasi penindakkan hukum.
b. Struktur kelembagaan BTNRAW dibawah Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA)
Pengelolaan kawasan TNRAW masih menjadi kewenangan pemerintah pusat yang diamanatkan pada sebuah Unit Pelaksana Teknis Kementerian Kehutanan. Hal ini sebagaimana diatur pada pasal 2 ayat 3 Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom. Dengan status ini, pihak
pengelola akan memiliki keleluasaan dalam merancang program dan implementasinya dalam kerangka penjabaran rencana strategis Direktorat Jenderal PHKA.
c. Potensi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem (SDAHE) yang kaya dan unik, mencirikan kawasan Wallacea
Kawasan TNRAW memiliki keanekaragaman hayati dengan tingkat endemisitas yang tinggi. Dalam kawasan ini setidaknya terdapat 533 jenis tumbuhan dari 110 famili. Jenis satwa liar yang tercatat sebanyak 321 jenis, meliputi mamalia sebanyak 28 jenis (15 jenis endemik Sulawesi), aves sebanyak 218 jenis (1 jenis endemik Sulawesi Tenggara, 51 jenis endemik Sulawesi, dan 33 jenis migran), reptilia sebanyak 11 jenis, pisces sebanyak 28 jenis, amphibia sebanyak 3 jenis. Jenis satwa tersebut sebagian diantaranya tercatat dalam IUCN Red Data List dan Appendix II CITES (BTNRAW 2009).
d. Ketersediaan sarana/prasarana pemadaman kebakaran hutan
BTNRAW saat ini telah didukung oleh satu unit mobil pengendalian kebakaran hutan, sapras komunikasi, peralatan/perlengkapan pemadaman dan pos komando (posko). Sarana prasarana ini umumnya telah mencukupi untuk melakukan operasi pemadaman kebakaran langsung pada area-area yang dapat dijangkau di dalam kawasan, karena kebakaran yang terjadi biasanya masih berskala kecil sampai menengah.
e. Kawasan TNRAW memiliki status perlindungan internasional (RAMSAR Site)
Situs Ramsar merupakan situs-situs yang diusulkan oleh negara-negara anggota konvensi Ramsar untuk ditetapkan sebagai lahan basah penting internasional. Penetapan kawasan TNRAW sebagai situs Ramsar akan membawa implikasi peningkatan posisi tawar kawasan TNRAW dalam merancang suatu program, berkoordinasi dan melakukan kerjasama dengan pihak lain, baik di dalam maupun luar negeri. Penetapan situs Ramsar ke 1944 ini dilakukan pada tanggal 6 Maret 2011. Status kawasan ini menyusuli status TNRAW sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup melalui penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN).
f. Status hukum kawasan TNRAW kuat dengan tata batas telah temu gelang
Penataan batas luar kawasan TNRAW telah diselesaikan pada tahun 1986/1987. Setelah Berita Acara Tata Batas disahkan oleh panitia tata batas, Menteri Kehutanan melakukan menetapkan kawasan TNRAW dengan luas 105 194 ha melalui SK No. 756/Kpts-II/1990 tanggal 17 Desember 1990. Status pengelolaan kawasan cukup kuat karena batas kawasan TNRAW telah memiliki dasar hukum yang jelas dan telah terpetakan.
g. Telah terbentuk 1 regu Pengendali Kebakaran Hutan (DALKARHUT)
Dalam upaya melaksanakan tugas teknis pengendalian kebakaran hutan, BTNRAW membentuk regu Dalkarhut pada tahun 2009. Regu ini melaksanakan tugas perencanaan, pengendalian, monitoring dan evaluasi kebakaran hutan dan lahan di TNRAW.
h. Kawasan TNRAW menghasilkan jasa lingkungan untuk masyarakat
Air menjadi salah satu jasa lingkungan TNRAW yang bernilai strategis di Provinsi Sulawesi Tenggara. Masyarakat Kendari merupakan pengguna air dari PDAM. PDAM sendiri mengambil air dari Sungai Sampara yang salah satu hulunya adalah Rawa Aopa. Air dari Rawa Aopa juga dimanfaatkan untuk mengairi sawah disepanjang kiri kanan sungai. Selain air, TNRAW juga menghasilkan jasa lingkungan berupa potensi wisata alam, udara, dan penyimpan karbon.
Hasil analisis makro faktor lingkungan internal penting yang menjadi kelemahan (Weakness) organisasi dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan di TNRAW adalah sebagai berikut :
a. Keterbatasan jumlah petugas dibandingkan luas kawasan
Jumlah pegawai TNRAW sampai dengan akhir tahun 2010 sebanyak 71 orang terdiri atas Staff 21 orang, Polisi Kehutanan (POLHUT) 29 orang, Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) 14 orang dan pejabat struktural 5 orang. Rasio jumlah petugas Polisi Kehutanan terhadap luas kawasan adalah 1 : 3 620 ha, artinya setiap petugas Polisi Kehutanan rata-rata mengamankan kawasan seluas 3 620 ha. Statistik sebaran jabatan personil sebagaimana disajikan pada Tabel 40.
Tabel 40 Statistik sebaran jabatan personil BTNRAW tahun 2010
No Kantor
Jabatan
Jumlah Struktural Non
Stuktural
PEH Polhut Penyuluh
1. Kantor Balai TN 2 13 6 2 2 25 2. Kantor SPTN I 1 5 3 6 - 15 3. Kantor SPTN II 1 3 2 10 - 16 4. Kantor SPTN III 1 - 3 6 - 10 5. SPORC - - - 5 - 5 Jumlah 5 21 14 29 2 71
b. SDAHE belum divaluasi secara memadai, sebagian telah rusak
Kerusakan sumber daya alam di dalam kawasan TNRAW terutama disebabakan oleh perambahan untuk pemukiman dan pertanian. Kerusakan juga disebabkan oleh aktivitas masyakat lainnya seperti perburuan,
penambangan, kebakaran dan pembalakkan liar. Luas kawasan rusak akibat pengolahan menjadi lahan pertanian hasil analisis visual citra di dalam kawasan TNRAW mencapai sekitar 17.5 % luas kawasan, selain kerusakan akibat jenis gangguan lainnya. Aktivitas-aktivitas tersebut menyebabkan degradasi lahan, peningkatan pemanfaatan ruang yang tidak sesuai peruntukkannya, degradasi kekayaan hayati, perubahan penutupan lahan, penurunan kualitas dan kuantitas jasa lingkungan serta mengancam kelestarian proses-proses ekologis dalam kawasan.
c. Keterbatasan kewenangan penegakan hukum kebakaran hutan
Dari sisi kewenangan, penegakan hukum di dalam kawasan TNRAW dilakukan oleh Polisi Kehutanan dan dibantu Petugas Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Kewenangan pokok penegakan hukum masih berada pada aparat kepolisian maupun kejaksaan, sehingga peran serta kedua lembaga tersebut sangat menentukan keberhasilan penegakan hukum atas kasus-kasus gangguan kebakaran hutan.
d. Belum optimalnya sinkronisasi pembangunan kawasan TNRAW dan daerah penyangga
Sinkronisasi rencana pembangunan kawasan TNRAW dan daerah penyangga diperlukan untuk mendukung pemanfaatan potensi kawasan dan pengembangan daerah penyangga, seperti wisata alam, pengembangan jaringan jalan, akomodasi dan pemberdayaan masyarakat.
e. Sebagian pal batas kawasan tidak jelas, rusak, hilang dan berpindah tempat.
Ketidakjelasan tanda batas kawasan TNRAW terhadap kawasan luar berpotensi mendorong aktivitas illegal di dalam kawasan, seperti perambahan, pembangunan sarana-prasarana yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan, pembakaran, penambangan dan illegal logging.
f. Pemanfaatan potensi kawasan TNRAW bagi pembangunan daerah belum optimal
Sesuai dengan tujuan pembentukkannya, kawasan taman nasional dapat dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Intensitas kegiatan penelitian dan pendidikan di dalam kawasan TNRAW masih rendah. Kontribusi kawasan TNRAW terhadap peningkatan pendapatan daerah secara langsung (melalui pajak/retribusi) juga belum optimal.
g. Sebagian besar kawasan TNRAW bertopografi datar-landai dan rawan gangguan
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tingginya kerawanan kebakaran hutan berkorelasi kuat dengan kelas lereng datar-landai. Hal ini berkaitan
dengan preferensi masyarakat untuk berburu dan membuka lahan pertanian di daerah yang datar. Aktivitas pembersihan lahan untuk berburu dan pertanian berpotensi meningkatkan kerawanan kebakaran hutan.
h. Kawasan TNRAW bersifat open access
Kondisi perbatasan kawasan TNRAW yang cukup panjang, berdekatan dengan pusat aktivitas masyarakat dan umumnya bertopografi datar memudahkan masyarakat untuk mengakses sumber daya alam di dalam kawasan. Keberadaan sarana/prasarana berupa jalan masuk di sepanjang batas yang jumlahnya cukup banyak (akses masuk berjumlah ± 124 jalan kecil dan 3 jalan besar) serta 15 jalan cabang pada 2 jalan besar membelah kawasan menyulitkan dalam pengawasan.
5.7.2.2 Analisis Lingkungan Eksternal
Hasil analisis makro faktor lingkungan eksternal penting yang menjadi peluang (Opportunity) organisasi dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan di TNRAW adalah sebagai berikut :
a. Tersedianya peraturan, arahan dan petunjuk teknis pengelolaan kawasan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan
Tersedianya regulasi tentang penegakan hukum, pengendalian kebakaran hutan, kerjasama dan kolaborasi pengelolaan SDA kawasan konservasi memberikan peluang bagi pengembangan pengelolaan taman nasional. Beberapa peraturan tersebut diantaranya Instruksi Presiden nomor 16 tahun 2011 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan dan Peraturan Menteri Kehutanan No. 12 tahun 2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan yang dapat memperkuat proses penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran dan meningkatkan sinergitas lintas sektor pengendalian kebakaran hutan dan lahan.
Terkait hubungan lintas sektor tersebut, Kementerian Kehutanan juga menerbitkan peraturan Menhut Nomor P.390/Menhut-II/2003 tentang Kerjasama di Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Pelestarian Alam dan Kawasan Suaka Alam. Ijin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA) di dalam kawasan taman nasional juga dimungkinkan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor PP. 36 Tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam. Peraturan-peraturan tersebut memberikan peluang menjalin kemitraan dengan pihak lain dalam rangka peningkatan kapasitas pengelolaan kawasan. Salah satu kewajiban pemegang ijin pengusahaan pariwisata alam adalah melakukan kegiatan pengendalian kebakaran hutan (Permenhut No.12 tahun 2009).
Desa-desa di sekitar kawasan TNRAW umumnya telah memiliki bangunan sekolah dasar. Untuk bangunan sekolah tingkat SMP dan SMA, terdapat 80 buah sekolah setingkat SMP dan 33 sekolah setingkat SMA pada 16 kecamatan di sekitar kawasan TNRAW.
Tabel 41 Nilai IPM pada kabupaten penyangga TNRAW 2010-2011
No Kabupaten Tahun 2010 Tahun 2011
1 Konawe 69.27 69.77 2 Kolaka 70.41 70.83 3 Konawe Selatan 69.24 69.42 4 Bombana 66.63 67.20 Sulawesi Tenggara 69.52 70.00 Sumber : BPS Sultra (2012)
Pada lingkup kabupaten, terjadi pula peningkatan nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) pada 4 kabupaten penyangga kawasan TNRAW sebagaimana ditampilkan pada Tabel 41. Nilai IPM Kabupaten Kolaka tahun 2011 (70.83) tercatat lebih tinggi dari angka IPM Provinsi Sulawesi Tenggara (70.00).
c. Pengetahuan dan teknologi deteksi kebakaran hutan telah berkembang
Mitigasi kebakaran hutan saat ini terbantu dengan ada perkembangan teknologi penginderaan jauh. Beberapa jenis satelit, seperti NOAA dan Modis dilengkapi dengan sensor termal yang dapat menghasilkan data yang diproses menjadi hotspot. Hotspot merupakan salah satu indikator kejadian kebakaran hutan banyak dimanfaatkan untuk pemetaan kerawanan kebakaran. Beberapa lembaga/organisasi telah menyediakan sistem informasi hotspot yang dapat diakses secara bebas, seperti NASA, LAPAN dan situs indofire (Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan).
d. Kebijakan pemerintah pusat dalam pengendalian kebakaran hutan
Pengendalian kebakaran hutan dan lahan menjadi salah satu dari 8 program prioritas Kementerian Kehutanan. Sesuai Peraturan Menteri Kehutanan No.12 tahun 2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan, Menteri Kehutanan menginstruksikan upaya pencegahan, pemadaman dan penanganan pasca kebakaran baik level nasional, propinsi, kabupaten, unit pengelola kawasan hutan dan pemegang ijin pemanfaatan hutan. Kebijakan pemerintah pusat ini sekaligus memberi peluang bagi pengelola kawasan untuk melakukan koordinasi dan kerjasama dalam rangka pengendalian kebakaran hutan dan lahan.
Cagar alam, taman nasional, hutan lindung dan kawasan pelestarian alam lainnya merupakan sistem penyangga kehidupan dan warisan alam dunia. Areal-areal konservasi tersebut dapat rusak akibat kebakaran yang sebagian besar ditimbulkan oleh aktivitas manusia. Untuk itu perlindungan hutan dari kebakaran diprioritaskan pada kawasan hutan tersebut tanpa mengecualikan
arti kawasan hutan produksi sebagai salah satu modal dasar pembangunan nasional (Suratmo 2003b)
e. Peran serta media massa lokal, LSM, kelompok pecinta alam dan komunitas konservasi di desa penyangga
Di sekitar kawasan TNRAW telah terbentuk berbagai kelompok pecinta alam dan LSM yang melakukan kampanye lingkungan hidup. Beberapa LSM mitra BTNRAW berkolaborasi dalam pengelolaan kawasan TNRAW, seperti Lembaga Asosiasi Kerukunan Antar Desa (AKAD), Asosiasi Kerukunan Masyarakat Pecinta Rawa (AKMAPER) dan Lembaga Komunitas Mangrove (LKM), Forum Pecinta Air Terjun Penanggosi (Forum PALAPA), FORMASTRIP dan Masyarakat Peduli Lingkungan (MPL). Keenam OPSDA tersebut berlokasi di daerah penyangga yang tersebar di empat Kabupaten sekitar kawasan TNRAW.
f. Perekonomian daerah makin membaik, angka kemiskinan menurun
Kelompok masyarakat dengan tingkat pendapatan rendah dapat dikategorikan sebagai penduduk miskin. Angka kemiskinan provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 2011 mengalami penurunan cukup signifikan. Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki jumlah penduduk 2 734 959 jiwa, 398 210 jiwa (14.56%) di antaranya penduduk miskin. Angka kemiskinan tersebut menurun dibandingkan angka kemiskinan pada tahun 2005 sebesar 21.45%. Penurunan angka kemiskinan juga terjadi pada Kabupaten Konawe Selatan, Kolaka dan Bombana. Angka kemiskinan Kabupaten Konawe Selatan menurun dari 15.17 % tahun 2009 menjadi 13.5 % pada tahun 2010. Kabupaten Bombana menurun dari 16.63 % tahun 2009 menjadi 15.71 % tahun 2010. Sementara untuk Kabupaten Kolaka terjadi penurunan dari 20.46 % tahun 2009 menjadi 18.91 % tahun 2010. Persentase angka kemiskinan pada 4 kabupaten di sekitar TNRAW disajikan pada Tabel 42.
Tabel 42 Persentase angka kemiskinan kabupaten penyangga TNRAW tahun 2009-2010
No Kabupaten Tahun 2009 Tahun 2010
1 Konawe 19.97 17.46
2 Kolaka 20.46 18.91
3 Konawe Selatan 15.17 13.50
4 Bombana 16.63 15.71
Sumber : BPS Sultra (2012)
Tabel 43 Persentase pertumbuhan PDRB tahun 2009-2010
No Kabupaten Tahun 2009 Tahun 2010
1 Konawe 9.71 6.66
2 Kolaka 1.96 12.01
3 Konawe Selatan 11.68 9.71
4 Bombana 7.74 8.04
Pada Tabel 43 terlihat bahwa perekonomian Sulawesi Tenggara juga tumbuh selama tahun 2009-2010, dimana pertumbuhan PDRB tahun 2009 senilai 7.57 % dan mengalami peningkatan pada tahun 2010 menjadi 8.19 %. Perekonomian 4 kabupaten penyangga juga dinyatakan tumbuh selama tahun 2009 dan 2010 meskipun sebagian kabupaten (Kabupaten Konawe dan Konawe Selatan) mengalami penurunan pertumbuhan PDRB.
g. Modal sosial masyarakat dengan ciri gotong-royong masih ada
Masyarakat di sekitar TNRAW masih menerapkan kehidupan tradisional yang saling menjaga hubungan kekeluargaan dan memelihara budaya gotong royong. Kelompok pengajian (majelis ta’lim) ibu-ibu terbentuk di pedesaan sebagai wahana mempelajari ilmu agama sekaligus silaturahmi antar warga. Warga suku Bali di sekitar kawasan juga masih menerapkan kegiatan-kegiatan keagamaan pada hari-hari besar sebagai media komunikasi dan ibadah agama Hindu.
h. Peran serta perguruan tinggi dalam pengembangan ilmu pengetahuan
Pada kurun waktu tahun 1994 – 2009, setidaknya telah dilaksanakan penelitian di kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai sebanyak 107 judul, 48 judul diantaranya dilaksanakan oleh mahasiswa/dosen Universitas Haluoleo. Selain itu, Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai juga menjadi tujuan pendidikan mahasiswa Universitas Haluoleo, antara lain kegiatan praktek lapang, seminar, dan lain sebagainya.
Dalam upaya mengoptimalkan pelaksanaan kegiatan tersebut, Balai Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai dan Universitas Haluoleo pada tanggal 20 Februari 2009 menandatangani nota kesepahaman untuk mengadakan kerjasama kemitraan dalam pemanfaatan kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan dan pendidikan.
Hasil analisis makro faktor lingkungan eksternal penting yang menjadi ancaman (Threats) organisasi dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan di TNRAW adalah sebagai berikut :
a. Aktivitas masyarakat di dalam kawasan tinggi, terutama untuk pemenuhan kebutuhan hidup
Sebagian masyarakat penyangga memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap pemanfaatan sumber daya alam di dalam kawasan TNRAW, baik bersifat legal maupun illegal. Aktivitas pemenuhan kebutuhan hidup yang dilakukan seperti pembukaan lahan pertanian, pengambilan kayu (log dan kayu bakar), rotan, bambu, sadapan, pengembalaan, penangkapan ikan, perburuan satwa, pertambangan dan lain sebagainya. Beberapa aktivitas tersebut berpotensi menyebabkan kebakaran hutan dan lahan di dalam kawasan.
Kebakaran di taman nasional erat katannya dengan modus pembukaan lahan untuk pertanian, seperti terjadi pada kebakaran-kebakaran skala kecil di
wilayah Kecamatan Lambandia. Pembakaran lahan masih menjadi pilihan termurah dalam rangka pembersihan lahan. Kebakaran di daerah pertanian tersebut tidak menyebar luas disebabkan berada di daerah yang lembab dan bervegetasi hutan pegunungan yang sulit terbakar. Menurut hasil analisis spasial citra tahun 2009, luas areal pertanian di dalam kawasan TNRAW setidaknya telah mencapai ± 18 414 ha atau 17.50 % dari luas seluruh kawasan.
Sebagian kasus kebakaran hutan di TNRAW juga berkaitan dengan aktivitas perburuan dimana para pemburu liar melakukan pembakaran untuk merangsang pertumbuhan rumput muda yang disukai rusa. Setelah lahan dibakar dan rumput muda mulai tumbuh, pemburu kembali datang dan memasang jerat di sekitar rumput muda tersebut. Warga Bugis dan Tolaki mengenal jerat tradisional ini dengan sebutan Pacoro. Alat ini dipasang di sekitar rumput muda yang dikelilingi oleh pagar yang tertutup daun agel, dipasang sedemikian rupa untuk membuat rusa yang terjebak bingung dan melewati jalan yang dipasangi jerat. Modus kebakaran ini terutama terjadi pada penutupan lahan savana khususnya berdekatan dengan tutupan lahan berupa hutan, mangrove dan sungai.
Kebakaran hutan di wilayah administrasi Kecamatan Puriala berhubungan dengan aktivitas penambangan batu dimana para penambang liar membakar lahan untuk memudahkan pengambilan batu. Kebakaran semacam ini dapat merambat ke tempat lain yang lebih luas dan terkadang turut membakar lahan pertanian di desa terdekat.
Beberapa kasus kebakaran di sekitar mangrove juga terkait dengan aktivitas pembersihan lahan untuk mempersiapkan lahan pemancingan, memasang jala dan membuat tempat peristirahatan. Pengaruh aktivitas ini terlihat pada pola sebaran hotspot yang banyak dijumpai di area savana yang berdekatan dengan hutan mangrove.
b. Persepsi masyarakat dan Pemda tentang kawasan TNRAW beragam
Masyarakat dan Pemda masih memahami pengelolaan TNRAW dalam perspektif yang beragam. Sebagian masyarakat memahami bahwa tujuan pengelolaan kawasan adalah untuk perlindungan rusa, ada juga yang memahami TNRAW sebagai kawasan yang tidak boleh dimanfaatkan. Pemahaman yang kurang tepat tentang tujuan pengelolaan TNRAW berpotensi menimbulkan gangguan kawasan.
c. Masyarakat daerah penyangga didominasi kelompok menengah ke bawah
Sebagian besar desa-desa penyangga berdekatan dengan perbatasan antar kabupaten. Kondisi desa yang umumnya berlokasi jauh dari ibu kota kabupaten dan sebagian wilayahnya masih berupa hutan. Dibandingkan desa- desa lain di dekat perkotaan, pembangunan infrastruktur berlangsung lebih lambat. Desa-desa ini dihuni oleh masyarakat yang umumnya menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian dan tergolong kelompok masyarakat menengah ke bawah. Untuk menambah pendapatan, sebagian masyarakat mengakses hutan untuk mengambil kayu bakar, ikan, getah,
sadapan dan lain sebagainya. Peningkatan aktivitas masyarakat di dalam kawasan berpotensi meningkatkan peluang terjadinya kebakaran.
d. Masyarakat dengan mudah mengakses ke dalam kawasan
Aktivitas masyarakat keluar masuk kawasan tanpa ada pengawasan yang memadai berpotensi untuk meningkatkan kejadian kebakaran. Dari sisi status kawasan sekitar, lebih dari setengah batas TNRAW bersinggungan dengan area budidaya. Kawasan TNRAW juga berdekatan dengan pusat-pusat pemukiman dan aktivitas masyarakat, seperti ibu kota kecamatan, sentra pertanian dan jalan-jalan beraspal yang cukup ramai. Di beberapa bagian kawasan yang rawan kebakaran dibelah oleh jalan nasional yang memiliki kepadatan perlintasan kendaraan yang cukup tinggi. Prasarana jalan menuju ke kawasan TNRAW, khususnya jalan ukuran kecil, tersebar di hampir tiap desa penyangga. Jalan-jalan ini bisa dimanfaatkan untuk mengakses sumber daya alam.
e. Pertumbuhan penduduk dan kebutuhan lapangan kerja
Dari sisi dampak, peningkatan jumlah penduduk akan menyebabkan peningkatan kebutuhan lapangan kerja. Di sisi lain, dengan luas lahan yang