• Tidak ada hasil yang ditemukan

Forest and Land Fires Management Strategy in Rawa Aopa Watumohai National Park Using Spatial Model

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Forest and Land Fires Management Strategy in Rawa Aopa Watumohai National Park Using Spatial Model"

Copied!
134
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN

LAHAN DI TAMAN NASIONAL RAWA AOPA WATUMOHAI

DENGAN PEMANFAATAN PEMODELAN SPASIAL

DWI PUTRO SUGIARTO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Strategi Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai dengan Pemanfaatan Pemodelan Spasial adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum disajikan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2013

(4)

Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai dengan Pemanfaatan Pemodelan Spasial. Dibimbing oleh KOMARSA GANDASASMITA dan LAILAN SYAUFINA.

Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW) merupakan salah satu kawasan konservasi penting sebagai tempat hidup spesies Wallacea dan telah memiliki status internasional sebagai situs Ramsar. Saat ini kawasan TNRAW mengalami gangguan kebakaran yang berpotensi menurunkan peran dan fungsi kawasan.

Penelitian ini bertujuan untuk : (1) menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kerawanan kebakaran hutan dan lahan di TNRAW dan sekitarnya; (2) mengoptimalkan penanganan kebakaran hutan dan lahan di TNRAWmelalui peringatan dini/ pemodelan spasial; (3) menyusun arahan strategi pengendalian kebakaran hutan dan lahan di TNRAW.

Pengolahan dan analisis pemodelan spasial dalam penelitian ini menggunakan metoda CMA (Composite Mapping Analysis). Sesuai hasil analisis terhadap 13 variabel terkait bahan bakar dan sumber penyalaan, terpilih 9 variabel penyusun model kepadatan hotspot terbaik di wilayah studi, yaitu jarak dari mangrove, tingkat PDRB per kapita, jarak dari sungai, tipe penutupan lahan, suhu bulanan rata-rata, elevasi, slope, jarak dari kota kecamatan dan kepadatan penduduk. Secara spasial, faktor yang paling berpengaruh terhadap kerawanan kebakaran hutan dan lahan di wilayah studi adalah faktor sosial ekonomi dan penutupan lahan, sedangkan secara temporal frekuensi kejadian kebakaran di wilayah studi erat kaitannya dengan intensitas curah hujan (musim).

Model komposit terbaik memiliki nilai koefisien determinasi 25.8 % dan berbentuk polinomial. Pengkelasan tingkat kerawanan kebakaran menggunakan batas kelas nilai rata-rata ditambah Standar Deviasi pada Arc GIS 9.3. Di TNRAW, kelas kerawanan kebakaran rendah memiliki luas 815.32 km² (77.51 %), sedang 92.74 km² (8.8 %) dan tinggi 137.14 km² (13.04 %). Kelas kerawanan kebakaran tinggi terluas pada zona rimba 104.86 km² (9.97 %), sementara untuk zona inti proporsi luasannya hanya 2.1 km² (0.2%).

Berdasarkan model spasial ini maka upaya pengendalian kebakaran yang efektif perlu memperhatikan penanganan faktor sosial ekonomi masyarakat serta pengelolaan penutupan lahan (vegetasi). Prioritas area pengendalian umumnya terdapat ada zona inti dan zona rimba dengan tingkat kerawanan kebakaran tinggi yang membentang mulai kaki Gunung Watumohai sampai dengan kawasan savana di dekat hutan mangrove. Berdasarkan teknik Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM), prioritas strategi pengendalian kebakaran hutan dan lahan di TNRAW adalah analisis gangguan dan diversifikasi metoda pengendalian kebakaran baik bersifat preventif maupun represif seperti sosialisasi, promosi dan pengembangan sarana prasarana DALKARHUT, penegakan hukum dan pemadaman kebakaran dengan nilai Total Sum of Attractiveness Score 5.87.

(5)

SUMMARY

DWI PUTRO SUGIARTO. Forest and Land Fires Management Strategy in Rawa Aopa Watumohai National Park Using Spatial Model. Under direction KOMARSA GANDASASMITA and LAILAN SYAUFINA.

Rawa Aopa Watumohai National Park (TNRAW) is one of the most important conservation areas in Indonesia which has unique species in Wallacea region, and an international status as a RAMSAR Site. Unfortunately, TNRAW has been disturbed by wildfire that could potentially degrade functions.

The objectives of this study were (1) to analyze the appropriate factors that influenced the vulnerability of forest fires in TNRAW and the surrounding areas, (2) to optimize forest fires management in TNRAW through early warning and spatial modeling, (3) to formulate strategic direction to control forest fires in TNRAW.

This research used the CMA (Composite Mapping Analysis) method. Based on the analysis of the 13 variables associated fuels and ignitions, it was formed 9 variables that built the hotspots density model in the study area, they were the average monthly temperature, elevation, slope, level of income, population density, land cover, the buffers of rivers, the buffers of mangrove / marine and the buffers of district centers. The factors influenced spatially vulnerability of the forest fires in the study area were socio-economic (regional income) and land cover. On the other hand, the rainfall intensity influenced temporally frequency of wildfires.

Best composite model had a determination coefficient of 25.8 % and formed a polynomial model. Three classes of fires vulnerability grouped by Arc GIS 9.3 based on summary mean and standard deviation, ie low vulnerability 815.32 km² (77.51 %), middle class 92.74 km² (8.8 %) and high vulnerability 137.14 km² (13.04 %). The widest class of high vulnerability was the buffer zone of 104.86 km² (9.97 %), and the core zone just only 2.1 km² (0.2 %).

According to the spatial model, the effective forest fires management needed to consider socio-economic and land cover. The priority of the forest fires management needed to be focused at the core zone and the buffer zone from the foot of Watumohai Mountains to savanna near mangrove which high vulnerability for wildfires. The chosen strategy based on Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM) method by score of 5.87 was the threats analysis and diversification of forest fire control method, devided into preventif and repressive methods, such as socialization, promotion, infrastructure development, law enforcement and fire suppression.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

STRATEGI PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN

LAHAN DI TAMAN NASIONAL RAWA AOPA WATUMOHAI

DENGAN PEMANFAATAN PEMODELAN SPASIAL

DWI PUTRO SUGIARTO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Alhamdulillahi robbil ‘alamin, segala puji dan syukur kehadirat Alloh Subhanahu wa Ta’ala, karena dengan izin dan pertolongan dari-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini dengan baik dan lancar.

Dalam kesempatan ini, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dan membimbing penulis semenjak masa perkuliahan hingga pada penyusunan tesis ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc dan Ibu Dr. Ir. Lailan Syaufina,M.Sc selaku Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan, inspirasi dan motivasi dalam penyusunan tesis ini, serta Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc selaku Penguji Luar Komisi. Terima kasih atas waktu, tenaga dan pikiran yang telah dicurahkan untuk penulis;

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus dan Ibu Dr. Ir. Khursatul Munibah,M.Sc beserta segenap Staf Pengajar Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) IPB;

3. Pimpinan dan Staf Pusbindiklatren BAPPENAS yang telah mensponsori perkuliahan ini dengan beasiswa yang diberikan kepada penulis;

4. Bapak Ir. Francisco Moga, MP selaku Kepala Balai Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai dan teman-teman sekantor Risyad N, Satri, Darman, M. Basir, M. Tayeb, Moersidi, Poci dll terima kasih atas segala bantuan dan dukungannya selama ini;

5. Bapak Ir. Kholid Indarto selaku Kepala Balai Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai periode 2009-2012 yang telah memberikan motivasi dan mengusulkan penulis untuk mengikuti seleksi beasiswa BAPPENAS;

6. Istriku tercinta, Rahmah Farida, atas segala dukungan dan pendampingan yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Tak lupa teruntuk buah hati tersayang, Faris Ahmad Dzaki yang menjadi penghibur dan penyejuk hati dengan segala polah dan celotehannya;

7. Seluruh rekan-rekan mahasiswa S-2 Ilmu Perencanaan Wilayah kelas khusus BAPPENAS angkatan 2011 atas semangat dan kebersamaan selama menjalani masa perkuliahan selama ini;

8. Semua pihak yang telah memberikan bantuannya dalam penyusunan tesis ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga semua pihak yang telah memberikan dukungan, perhatian dan kebaikan lainnya kepada penulis, diberikan balasan kebaikan yang berlipat dari Alloh SWT. Amin.

Bogor, Mei 2013

(11)

DAFTAR ISI

DAFTARTABEL ... X DAFTARGAMBAR ... XI DAFTARLAMPIRAN ... XI

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Kerangka Pemikiran ... 4

2 KONDISIUMUMWILAYAH ... 6

2.1 Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai ... 6

2.2 Kondisi Sosial Ekonomi Wilayah Sekitar Kawasan TNRAW ... 12

3 TINJAUANPUSTAKA ... 16

3.1 Memahami Api dan Kebakaran ... 16

3.2 Sistem Informasi Geografis (SIG) Kebakaran Hutan dan Lahan ... 22

3.3 Pemodelan Spasial ... 23

3.4 Analisis SWOT dan QSPM ... 24

4 METODEPENELITIAN ... 26

4.1 Lokasi dan Waktu ... 26

4.2 Data dan Alat Penelitian ... 26

4.3 Metode Penelitian ... 26

5 HASILDANPEMBAHASAN ... 37

5.1 Verifikasi Hotspot ... 37

5.2 Jumlah dan Sebaran Hotspot ... 40

5.3 Uji Beda Nyata Antar Kelas ... 42

5.4 Pembangunan Skor ... 43

5.5 Pendugaan Model Komposit ... 59

5.6 Analisis Kerawanan Kebakaran Menurut Tata Ruang Zonasi ... 66

5.7 Strategi Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan ... 70

6 SIMPULANDANSARAN ... 89

6.1 Simpulan ... 89

6.2 Saran ... 89

DAFTARPUSTAKA ... 90

LAMPIRAN ... 94

(12)

DAFTAR TABEL

1 Kecamatan-kecamatan di kawasan TNRAW ... 6

2 Potensi debit air musim kemarau pada sungai di kawasan TNRAW ... 7

3 Luasan kelas lereng kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai ... 8

4 Hari hujan dan curah hujan di kawasan TNRAW ... 9

5 Jenis tanah di kawasan TNRAW menurut Peta RePProt ... 10

6 Jenis bahan induk di kawasan TNRAW ... 10

7 Kelas kerapatan tajuk menurut kisaran nilai NDVI ... 11

8 Tipe penutupan lahan di kawasan TNRAW ... 12

9 Kepadatan penduduk kecamatan di sekitar kawasan TNRAW ... 13

10 Jumlah penduduk di kawasan sekitar TNRAW menurut jenis kelamin ... 14

11 Jumlah TK, SD, SMP dan SMA di kawasan sekitar TNRAW ... 15

12 Jenis data sekunder menurut sumber dan manfaat ... 26

13 Pengkelasan variabel yang akan digunakan dalam menyusun model ... 31

14 Interval skor komposit kelas kerawanan kebakaran ... 34

15 Perjumpaan kejadian kebakaran di sebagian kawasan TNRAW ... 38

16 Jumlah dan sebaran hotspot menurut lokasi ... 40

17 Kepadatan hotspot pada kelas kepadatan penduduk ... 44

18 Kepadatan hotspot pada kelas PDRB per kapita ... 44

19 Kepadatan hotspot pada kelas jarak ibu kota kecamatan ... 46

20 Kepadatan hotspot pada kelas jarak dari mangrove dan laut ... 47

21 Kepadatan hotspot pada kelas jarak sungai ... 49

22 Kepadatan hotspot pada kelas ketinggian ... 50

23 Kepadatan hotspot pada kelas lereng ... 52

24 Kepadatan hotspot pada kelas suhu bulanan rata-rata ... 53

25 Kepadatan hotspot pada kelas penutupan lahan ... 54

26 Kepadatan hotspot pada kelas status kawasan ... 56

27 Kepadatan hotspot pada kelas curah hujan ... 57

28 Kepadatan hotspot pada kelas jarak jalan ... 58

29 Kepadatan hotspot pada kelas tingkat pendidikan ... 59

30 Koefisien determinasi skor hasil rescalling terhadap kepadatan hotspot ... 60

31 Pemilihan variabel dan model terbaik ... 60

32 Pengelompokkan variabel-variabel menjadi 3 faktor ... 61

33 Bobot makro faktor fisik, sosek dan penutupan lahan serta faktor terkait air .. 61

34 Bobot mikro variabel penyusun faktor ... 62

35 Pengkelasan kerawanan kebakaran ... 63

36 Perbandingan nilai statistik skor komposit hotspot model dan validasi ... 65

37 Luasan zonasi TNRAW ... 66

38 Persentase luas kelas kerawanan berdasarkan jenis zona ... 67

39 Nilai skor resiko kebakaran ... 68

40 Statistik sebaran jabatan personil BTNRAW tahun 2010 ... 73

41 Nilai IPM pada kabupaten penyangga TNRAW 2010-2011 ... 76

42 Persentase angka kemiskinan kabupaten penyangga TNRAW tahun 2009-2010 ... 77

43 Persentase pertumbuhan PDRB tahun 2009-2010 ... 77

44 Angka pertumbuhan penduduk di wilayah studi selama tahun 2010/2011 ... 80

(13)

46 Matrik faktor strategi eksternal (EFAS) ... 83

DAFTAR GAMBAR

1 Skema kerangka pikir ... 5

2 Matrik analisis SWOT ... 24

3 Bagan alir tahapan penelitian ... 27

4 Peta area kebakaran 2011 ... 37

5 Contoh area terbakar yang tidak teridentifikasi sebagai hotspot ... 39

6 Curah hujan rata-rata bulanan dan hari hujan berdasarkan stasiun pengamatan cuaca ... 41

7 Pola hubungan curah hujan rata-rata dan hotspot bulanan ... 41

8 Peta kepadatan hotspot penyusun model ... 42

9 Pola hubungan kepadatan hotspot tiap kelas kepadatan penduduk ... 43

10 Pola hubungan kepadatan hotspot pada tiap kelas PDRB per kapita ... 45

11 Pola hubungan kepadatan hotspot pada tiap kelas jarak kecamatan ... 46

12 Pola hubungan kepadatan hotspot pada tiap kelas jarak mangrove ... 47

13 Pola hubungan kepadatan hotspot pada tiap kelas jarak sungai... 49

14 Pola hubungan kepadatan hotspot pada tiap kelas ketinggian ... 50

15 Pola hubungan kepadatan hotspot pada tiap kelas lereng ... 51

16 Pola hubungan kepadatan hotspot pada tiap kelas suhu ... 52

17 Pola hubungan kepadatan hotspot pada tiap kelas penutupan lahan ... 54

18 Pola hubungan kepadatan hotspot pada tiap kelas status kawasan ... 55

19 Pola hubungan kepadatan hotspot pada tiap kelas curah hujan ... 57

20 Pola hubungan kepadatan hotspot pada tiap kelas tingkat pendidikan ... 59

21 Visualisasi model regresi linier berganda ... 63

22 Posisi temuan kebakaran pada peta kerawanan kebakaran ... 64

23 Peta kerawanan kebakaran diekstrak dari hotspot validasi ... 65

24 Peta kelas kerawanan kebakaran TNRAW sesuai jenis zonanya ... 67

25 Skor resiko area di dalam dan desa terdekat kawasan TNRAW... 69

26 Analisis SWOT pengendalian kebakaran hutan dan lahan di TNRAW ... 86

27 Peta arahan pengembangan sarana prasarana pengendalian kebakaran ... 88

28 Peta arahan prioritas DALKARHUT di TNRAW dan sekitarnya ... 88

DAFTAR LAMPIRAN

1 Laporan kejadian kebakaran hutan dan lahan di TNRAW tahun 2011 ... 94

2 Laporan kejadian kebakaran hutan dan lahan di TNRAW tahun 2012 ... 97

3 Angka kepadatan penduduk desa di wilayah studi ... 100

4 Skor kelas status kawasan ... 104

5 Skor kelas ketinggian ... 104

6 Skor kelas curah hujan ... 104

7 Skor kelas suhu bulanan rata-rata ... 104

8 Skor kelas kepadatan penduduk ... 104

9 Skor kelas penutupan lahan ... 105

(14)

11 Skor kelas lereng ... 105

12 Skor kelas jarak dari jalan ... 105

13 Skor kelas jarak dari ibu kota kecamatan ... 106

14 Skor kelas jarak dari mangrove dan laut ... 106

15 Skor kelas PDRB per kapita ... 106

16 Skor kelas tingkat pendidikan ... 106

17 Bobot faktor strategi internal ... 107

18 Bobot faktor strategi eksternal ... 108

19 Rating faktor strategi internal ... 109

20 Rating faktor strategi eksternal ... 110

21 Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM) ... 111

22 Arahan implementasi strategi pengembangan sarpras DALKARHUT menurut jenis zona dan tingkat kerawanan kebakaran ... 115

23 Data intensitas curah hujan tahun 2007-2011 pada stasiun penakar hujan Bandara Haluoleo ... 117

24 Keluaran analisis regresi logistik biner pada software SPSS 16 ... 117

(15)

1.1 Latar Belakang

Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW) berada di kawasan Wallacea, dimana di daerah ini kaya spesies flora dan fauna endemik yang tidak dijumpai pada kawasan Oriental (Asia) maupun Australia. Sebagian dari spesies endemik tersebut berstatus sebagai spesies langka dan dilindungi sesuai lampiran Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, seperti anoa, babirusa, maleo, kus-kus, dan elang sulawesi. TNRAW memiliki nilai penting dalam perlindungan rawa gambut Sulawesi dengan luasan cukup besar yang masih tersisa (Whitten et al. 1987) dan sejak tahun 2011 kawasan ini telah menyandang status perlindungan lahan basah internasional dengan ditetapkannya sebagai Situs RAMSAR.

Dalam bidang keanekaragaman hayati, TNRAW juga berperan penting sebagai lokasi pengawetan berbagai spesies dengan tingkat endemisitas yang tinggi. Dalam kawasan ini setidaknya terdapat 533 jenis tumbuhan dari 110 famili, 73 jenis tumbuhan diantaranya terdaftar dalam Appendix II CITES. Jenis satwa liar yang tercatat sebanyak 321 jenis, meliputi mamalia sebanyak 28 jenis (15 jenis endemik Sulawesi), aves sebanyak 218 jenis (1 jenis endemik Sulawesi Tenggara, 51 jenis endemik Sulawesi, dan 33 jenis migran), reptilia sebanyak 11 jenis, pisces sebanyak 28 jenis, amphibia sebanyak 3 jenis dan lain-lain. Jenis satwa tersebut sebagian diantaranya tercatat dalam IUCN Red Data List dan Appendix II CITES serta dilindungi berdasarkan peraturan perundangan Indonesia (BTNRAW 2009).

Di sisi lain, terdapat beberapa gangguan terhadap kelestarian spesies-spesies tersebut, salah satunya disebabkan oleh kebakaran. Kebakaran di TNRAW telah mengganggu fungsi kawasan sebagai tempat hidup beranekaragam jenis flora/fauna langka yang bernilai tinggi. Beberapa spesies langka terganggu akibat terbakarnya sarang tempat bertelur, hilangnya sumber pakan, rusaknya tempat berlindung, bahkan sebagian mati terbakar secara langsung. Beberapa spesies yang terganggu diantaranya adalah maleo, anoa, kakatua kecil jambul kuning, kus-kus dan elang.

Kebakaran terjadi apabila segitiga api telah bertemu pada satu titik, meliputi bahan bakar, oksigen dan panas. Ketiga unsur ini harus ada untuk dapat terjadi kebakaran. Upaya pengendalian kebakaran akan lebih efektif dengan pemahaman yang baik tentang perilaku ketiga unsur tersebut, khususnya unsur bahan bakar dan panas yang lebih dapat dikendalikan melalui aktivitas pengelolaan.

(16)

Serikat. Di negara-negara subtropis, penelitian tentang kebakaran hutan telah banyak berkembang.

Di Indonesia, penelitian tentang kebakaran hutan dan lahan makin menarik perhatian pasca terjadinya kebakaran hutan tahun 1997/1998 yang menyebabkan kerugian yang cukup tinggi. WWF dan EEPSEA dalam Sumardi dan Widyastuti (2002) menyebutkan bahwa kebakaran hutan Indonesia berdampak negatif terhadap sosial ekonomi dimana diperkirakan kerugian akibat kebakaran 1997/1998 mencapai 1.45 miliar dollar AS atau sama dengan 2.5 % GNP Indonesia sebelum krisis.

Vafeidis et al. (2007) menyatakan bahwa kebakaran hutan memiliki dampak cukup besar terhadap sistem hidrologi, degradasi lahan, banjir dan erosi tanah. Gangguan kebakaran ini secara langsung maupun tidak langsung berpotensi untuk meningkatkan laju kepunahan spesies langka sehingga perlu upaya Pengendalian Kebakaran Hutan (DALKARHUT) baik terhadap kawasan di dalam TNRAW maupun desa-desa penyangganya.

Secara ekologis, peringkat nilai penting kawasan di dalam Taman Nasional dapat didekati dengan melihat posisi kawasan pada tata ruang zonasi. Sesuai Permenhut nomor P. 56 tahun 2006, sistem zonasi taman nasional membagi kawasan menjadi 4 zona, yaitu zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan dan zona lainnya. Dari keempat zona tersebut, fungsi pokok zona inti dan zona rimba terkait erat dengan upaya pengawetan spesies langka yang berada pada area dengan sensitifitas ekologi yang tinggi. Berdasarkan peranan tersebut maka zona Taman Nasional secara berturut-turut sesuai nilai ekologisnya dapat dibagi menjadi 3 zona yaitu zona inti, zona rimba dan zona lainnya.

Kebakaran di dalam kawasan TNRAW umumnya diduga disebabkan oleh beberapa aktivitas masyarakat yang berpotensi memicu terjadinya api seperti aktivitas wisata, penelitian, berburu, bertani, pengembalaan liar, membuang rokok di kawasan hutan, mengambil hasil hutan kayu dan non kayu (madu, rotan, daun-daunan, umbi, bambu, sadapan), mencari ikan, udang dan kepiting.

Interaksi masyarakat ke dalam kawasan TNRAW juga diduga dipengaruhi oleh tekanan sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan, antara lain tingkat ekonomi yang rendah, taraf pendidikan dan pengetahuan masyarakat tentang fungsi dan manfaat hutan masih rendah, adanya pertambahan penduduk masyarakat sekitar hutan serta lapangan pekerjaan yang terbatas. Kondisi ini semakin sulit dikontrol karena minimnya jumlah petugas lapangan dibandingkan dengan wilayah yang menjadi tanggung jawabnya.

Untuk itu diperlukan suatu sistem peringatan dini dalam rangka peningkatan kesiagaan dan penyusunan rencana mitigasi. Pada tingkat propinsi sistem ini diperlukan untuk menyusun rencana pencegahan kebakaran, pendelegasian tindakan ke tingkat lokal, penentuan prioritas wilayah, evaluasi sumber daya yang ada, masukan bagi pihak swasta, dan memberi informasi yang dapat diakses oleh publik. Pada tingkat lokal, informasi peringatan dini dimaksudkan untuk memberi informasi kepada masyarakat tentang keadaan lingkungan pada saat tertentu dan tindakan rasional apa yang dapat dilakukan untuk mencegah kebakaran (KLH 1998)

(17)

berfungsi sebagai peringatan dini sehingga dapat dilakukan upaya pencegahan dan penanggulangan sesegera mungkin terhadap kebakaran hutan dan lahan. Upaya ini akan meminimalkan kerusakan pada area resiko tinggi kebakaran. Dalam penelitian ini, hasil analisis resiko kebakaran ditampilkan dalam bentuk peta.

Sistem peringatan dini ini bermanfaat untuk mengefisienkan upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Pendataan tingkat potensi kejadian kebakaran perlu dilakukan dengan terlebih dahulu mengidentifikasi faktor-faktor penyebab utama. Faktor-faktor tersebut dapat dijadikan sebagai variabel independen (prediktor) pada pemodelan spasial kerawanan kebakaran hutan dan lahan serta memetakan daerah-daerah yang rawan kebakaran. Aspek yang berpengaruh tersebut dapat berupa faktor biofisik maupun faktor-faktor yang berkaitan dengan aktivitas manusia.

1.2 Perumusan Masalah

Kebakaran hutan dan lahan terjadi disebabkan oleh beberapa faktor (faktor terkait biofisik maupun manusia), namun variabel-variabel penyusun faktor utama yang mempengaruhi terjadinya kebakaran serta seberapa besar pengaruh variabel tersebut masih belum banyak diketahui. Sahardjo (2003) menyatakan bahwa 99 % penyebab kebakaran hutan di Indonesia adalah berasal dari ulah manusia, entah itu disengaja membakar atau karena api lompat yang terjadi akibat kelalaian manusia pada saat penyiapan lahan dengan menggunakan api.

TNRAW merupakan kawasan konservasi penting di Indonesia, namun mengalami permasalahan kebakaran hutan dan lahan yang menyebabkan kerugian secara ekologis dan ekonomi. Di sisi lain, penelitian tentang pencegahan kebakaran hutan dan lahan TNRAW dan sekitarnya dikaitkan dengan faktor yang mempengaruhinya belum pernah dilakukan. Faktor ini sangat penting diketahui agar dapat disusun serangkaian kegiatan pengendalian kebakaran hutan dengan prioritas sasaran berupa faktor penentu utama tersebut, sehingga kegiatan yang dilakukan nantinya dapat menimbulkan dampak yang berarti dalam menekan frekuensi kejadian kebakaran hutan dan lahan di TNRAW dan sekitarnya. Terkait dengan peringatan dini tersebut, ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab seperti :

a. Sejauh mana faktor-faktor terkait biofisik maupun manusia berpengaruh terhadap kerawanan kebakaran ?

b. Bagaimana menentukan model prediksi kebakaran hutan dan lahan yang dibuat berdasarkan analisis faktor gabungan tersebut ?

c. Bagaimana cara untuk mengoptimalkan upaya mitigasi kebakaran hutan dan lahan?

Diharapkan dengan tersusunnya model prediksi, analisis faktor serta rencana mitigasi, maka upaya yang akan dilakukan dalam rangka pengendalian kebakaran akan tepat sasaran (efektif) dan efisien. Secara umum, beberapa permasalahan yang ada di TNRAW dan sekitarnya khususnya terkait kebakaran hutan dan lahan dirumuskan sebagai berikut :

(18)

tingkat pengaruh faktor utama ini akan memberikan input bagi penyusunan rencana mitigasi. Ini untuk menjawab bagaimana/apa bentuk mitigasi

b. Belum terpetakannya daerah berpotensi kebakaran berdasarkan faktor penyebab utama dan peta daerah-daerah yang beresiko tinggi terhadap kebakaran hutan dan lahan. Ini untuk menjawab dimana perlu diprioritaskan mitigasi

c. Belum adanya strategi mitigasi berdasarkan analisis variabel yang berpengaruh terhadap kebakaran hutan dan lahan serta tingkat resikonya di wilayah studi

1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah :

a. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kerawanan kebakaran hutan dan lahan di TNRAW dan sekitarnya

b. Mengoptimalkan penanganan kebakaran hutan dan lahan di TNRAW melalui peringatan dini/ pemodelan spasial

c. Menyusun arahan strategi pengendalian kebakaran hutan dan lahan di TNRAW

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah menyediakan arahan dalam penyusunan rencana pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di TNRAW dan sekitarnya.

1.4 Kerangka Pemikiran

Dari penjelasan di atas dapat ditarik kerangka pemikiran perlunya dilaksanakan penelitian ini. Kebakaran sebagai salah satu bentuk gangguan terhadap fungsi-fungsi kawasan TNRAW memerlukan upaya pengendalian untuk meminimalkan kerugian bagi masyarakat, baik secara ekologis maupun ekonomi. Penelitian ini mencakup upaya merumuskan arahan strategi khususnya bidang perencanaan wilayah untuk mendukung efektivitas dan efisiensi pengendalian kebakaran sehingga kawasan TNRAW dengan status yang dimiliki dapat menjalankan fungsinya secara optimal.

Penyusunan arahan strategi spasial ini memerlukan pemahaman mengenai daerah-daerah yang rawan kebakaran, tingkat resiko yang terjadi apabila suatu kawasan terbakar, faktor-faktor utama yang berpengaruh dan kondisi lingkungan internal-eksternal dalam pengelolaan kawasan TNRAW. Ketiga pertanyaan tersebut didekati dengan melakukan analisis spasial, SWOT dan QSPM. Kerangka pikir penelitian ini selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1.

(19)

Gambar 1 Skema kerangka pikir

(20)

2.1 Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai 2.1.1 Wilayah Administrasi

Kawasan TNRAW terletak di Pulau Sulawesi bagian Tenggara, dengan posisi geografis terletak antara 4°22’ 4°39’ Lintang Selatan dan 121°44’ -122°44’ Bujur Timur. Secara fisik kawasan ini membentang dari selatan mulai dari Selat Tiworo di daerah Tinanggea-Lantari menuju arah utara pegunungan Makaleleo di daerah Lambuya-Tirawuta. Secara administratif pemerintahan, kawasan ini memiliki luas 105 194 ha dan berada pada Provinsi Sulawesi Tenggara meliputi empat wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, Kolaka dan Bombana.

Sampai tahun 2012, terdapat 16 kecamatan yang bersinggungan langsung dengan kawasan TNRAW. Diantara kecamatan-kecamatan tersebut, sebagian besar luasan taman nasional berada pada Kecamatan Mata Usu. Kawasan TNRAW berbatasan dengan lahan budidaya masyarakat, kecuali pada bagian Tenggara dengan Selat Tiworo dan Hutan Produksi (HP) pada sebagian kecil di utara kawasan, serta bagian barat dan barat daya. Batas fisik kawasan TNRAW di lapangan ditandai dengan pal batas sepanjang 366 km. Tata batas kawasan ini dilaksanakan tahun 1984-1987 dan telah temu gelang. Daftar nama kecamatan-kecamatan tersebut tercantum pada Tabel 1.

Tabel 1 Kecamatan-kecamatan di kawasan TNRAW

Kabupaten Kecamatan Ibu Kota Luas Kecamatan

(Km²)

Bombana 1. Lantari Jaya Lantari 285.01

2. Mata Usu Kolumbi Mata Usu 456.17

Kolaka 3. Ladongi Atula 194.43

4. Lambandia Penanggo Jaya 308.63

5. Loea Loea 107.94

6. Polinggona Polinggona 46.65

7. Tanggetada Anaiwoi 409.91

8. Tirawuta Rate-Rate 206.80

9. Watubangga Watubangga 388.79

Konawe 10.Onembute Onembute 99.13

11.Puriala Watundehoa 236.85

Konawe Selatan

12.Angata Motaha 330.00

13.Basala Basala 106.00

14.Benua Benua 138.31

15.Lalembuu Atari Jaya 204.82

16.Tinanggea Tinanggea 354.74

(21)

2.1.2 Potensi Hayati 2.1.2.1 Potensi Ekosistem

Kawasan TNRAW terdiri atas 4 tipe ekosistem, meliputi ekosistem mangrove, ekosistem savana, ekosistem hutan tropis dataran rendah sampai pegunungan rendah serta ekosistem rawa. Keberadaan ekosistem kawasan TNRAW dengan bentang alamnya memiliki peranan penting dalam perlindungan proses ekologis sistem penyangga kehidupan serta menjadi habitat alami yang menjamin kelestarian keanekaragaman hayati khususnya keberadaan spesies endemik dan dilindungi yang menjadi ciri khas dari zona Wallacea (BTNRAW 2009).

2.1.2.1 Keanekaragaman Tumbuhan dan Satwa Liar

Dengan posisinya yang terletak dalam zona wallacea, kawasan TNRAW memiliki keanekaragaman hayati dengan tingkat endemisitas yang tinggi. Dalam kawasan ini setidaknya terdapat 533 jenis tumbuhan dari 110 famili. 73 jenis tumbuhan diantaranya terdaftar dalam Appendix II CITES. Jenis satwa liar yang tercatat sebanyak 321 jenis, meliputi mamalia sebanyak 28 jenis (15 jenis endemik Sulawesi), aves sebanyak 218 jenis (1 jenis endemik Sulawesi Tenggara, 51 jenis endemik Sulawesi, dan 33 jenis migran), reptilia sebanyak 11 jenis, pisces sebanyak 28 jenis, amphibia sebanyak 3 jenis dan lain-lain. Jenis satwa tersebut sebagian diantaranya tercatat dalam IUCN Red Data List dan Appendix II CITES serta dilindungi berdasarkan peraturan perundangan Indonesia (BTNRAW 2009).

2.1.3 Potensi Non Hayati

TNRAW merupakan hulu dari tiga sub DAS di daratan Provinsi Sulawesi Tenggara yang meliputi sub DAS Konaweha, Roraya dan Poleang. Ketiga sub DAS tersebut memberikan kontribusi hidrologis dan ekologis bagi masyarakat di sepanjang daerah alirannya, baik sebagai sumber air bersih, sumber pengairan lahan pertanian dan perkebunan, sumber bahan baku PAM, menjaga kestabilan muka air tanah, serta menjadi daerah limpasan banjir dan mempengaruhi pasokan ikan air tawar. Potensi debit air sungai berdasarkan hasil pengukuran di musim kemarau sebagaimana tercantum pada Tabel 2.

Tabel 2 Potensi debit air musim kemarau pada sungai di kawasan TNRAW

No Nama Sungai Debit (m3/det)

Zonasi Terbesar

Pemanfaatan

1 Sungai Langkowala

100.63 Zona Rimba Pengairan sawah, keperluan rumah tangga, minuman ternak (2010)

2 Rawa Aopa 1 316 Zona Tradisional

(22)

Tabel 2 (lanjutan)

Pengairan sawah, empang, sumur bor/ gali (2010)

4 Sungai Penanggoosi

3.45 Zona

Pemanfaatan

Pengairan sawah, kebutuhan rumah tangga (Pipa PDAM) (2012)

5 Sungai Poleang

437.96 Zona Rimba Pengairan sawah/irigasi, keperluan rumah tangga (mencuci, minum), minuman ternak (2010)

6 Sungai Iwoikondo

3 Zona Rimba Pengairan sawah (2012)

Sumber : BTNRAW (2010, 2012)

Kawasan TNRAW memiliki potensi wisata beberapa Obyek Wisata Alam (OWA), meliputi Rawa Aopa, Air Terjun Penanggosi, savana dan mangrove. Keempat OWA dimaksud telah diakomodir dalam zona pemanfaatan, sehingga membuka peluang pemanfaatan melalui Ijin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA). Namun demikian, pemanfaatan wisata di kawasan ini masih sangat terbatas (BTNRAW 2009).

2.1.4 Topografi

Kawasan TNRAW memiliki bentang wilayah mulai dari datar, landai, curam maupun terjal. Terdapat 3 pegunungan di bagian utara dan selatan kawasan, yaitu Gunung Mokaleleo (500 mdpl), Gunung Watumohai (330 mdpl) dan Gunung Mendoke (790 mdpl). Umumnya kawasan TNRAW bertopografi datar dengan kisaran kelerengan 0 – 2 %. Kawasan ini terdiri atas savana, rawa, mangrove dan kawasan di sekitar Desa Bou memanjang sampai Desa Horodopi. Luasannya mencapai 52 147.57 ha atau 49.57 % dari luas seluruh kawasan TNRAW. Kelerengan landai dengan kisaran lereng 2 – 8 % banyak terdapat di kaki Gunung Mendoke dan Gunung Watumohai yang berbatasan dengan lahan budidaya masyarakat.

Tabel 3 Luasan kelas lereng kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai

No Kelas Lereng Luas Kelas Lereng

(Ha)

Persen (%)

1. Kelerengan 0 - 2% 52 147.57 49.57

2. Kelerengan 2 - 8% 13 527.35 12.86

3. Kelerengan 8 - 15% 14 197.84 13.50

4. Kelerengan 15 - 20% 6 949.29 6.61

5. Kelerengan 20 - 25% 9 680.32 9.20

6. Kelerengan 25 - 30% 2 362.61 2.25

7. Kelerengan 30 - 40% 4 849.28 4.61

8. Kelerengan > 40% 1 479.74 1.41

(23)

Kelas lereng curam sampai sangat curam dengan kisaran lereng 20 – 40 % ditumbuhi oleh pepohonan yang membentuk ekosistem hutan dataran rendah di Gunung Mendoke, Makaleleo dan Gunung Watumohai. Daerah puncak Gunung Mendoke dan Makaleleo termasuk wilayah sangat terjal dengan kelerengan di atas 49 %. Luasan dan persentase masing-masing kelas lereng ditunjukkan Tabel 3.

2.1.5 Tipe Iklim

Di sekitar kawasan TNRAW terdapat 4 pos pengamatan cuaca. Curah hujan bulanan pada keempat pos hujan ditampilkan pada Tabel 4. Pergantian musim kemarau ke musim penghujan terjadi pada bulan Nopember. Hujan umumnya mulai terjadi pada bulan Desember dan mencapai puncaknya pada bulan Mei. Sementara musim kemarau dimulai pada bulan Juli dan mencapai puncaknya pada bulan Oktober dengan curah hujan bulanan dibawah 100 mm.

Bagian selatan kawasan Taman Nasional berupa dataran rendah yang didominasi oleh savana seluas 22 000 ha. Kawasan tersebut memiliki karakteristik suhu panas, dapat mencapai kisaran 30-32 ⁰C. Kondisi ini terjadi pula pada bagian tengah taman nasional yang berupa wilayah datar memanjang ke utara sampai kaki gunung Makaleleo.

Tabel 4 Hari hujan dan curah hujan di kawasan TNRAW

Bulan St. Bandara Haluoleo

(2011)

BP3K Kec. Lantari Jaya

(2010)

Dinas Pertanian Kab. Bombana

(2009)

PT. Antam UBM Pomalaa

(2011)

HH CH HH CH HH CH HH CH

Januari 19 208.2 12 123 9 106 13 213.4

Februari 16 206.2 13 110 9 106 12 46.5

Maret 21 154.7 18 183 9 147 18 231.3

April 18 121.2 9 176 14 187 21 115.2

Mei 12 466.4 12 179 13 215 18 191.4

Juni 24 172.5 12 132 5 20 12 68.5

Juli 21 153.8 13 88 2 4 10 93.8

Agustus 8 140.9 8 31 - - 10 16.8

September 17 130.9 20 97 - - 9 131.3

Oktober 15 148.9 24 32.2 - - 18 138.7

Nopember 19 233.1 18 50 - - 20 203.6

Desember 14 190.2 13 82.9 - - 15 130

Jumlah 204 2 327 172 1 284.1 61 785 176 1 580.5

Ket : HH = Hari Hujan (hh); CH = Curah Hujan (mm)

Sumber : BPS Bombana (2012b, 2012c); BPS Konsel (2012a); BPS Kolaka (2012d)

2.1.6 Tanah dan Batuan

(24)

ini mendominasi ekosistem rawa dan savana yang umumnya berada pada bentang wilayah datar sampai landai. Jenis tanah entisol mencakup 5 % luasan yang tersebar di 2 lokasi, salah satunya kawasan yang berdekatan dengan laut. Kawasan ini berupa ekosistem mangrove yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Komposisi jenis tanah (pengolahan Peta RePProt) tercantum pada Tabel 5.

Tabel 5 Jenis tanah di kawasan TNRAW menurut peta RePProt

No Jenis Tanah Luas Kelas Tanah (Ha) Persen (%)

1. Entisols 5 327 .77 5 .07

2. Inceptisols 61 121 .57 58 .10

3. Oxisols 20 714 .25 19 .69

4. Ultisols 18 030 .42 17 .14

Jumlah 105 194.00 100.00

Dalam sistem klasifikasi Pusat Penelitian Tanah, komposisi jenis tanah di TNRAW terdapat 5 tipe tanah, yaitu alluvial, kambisol, mediteran, organosol, dan podsolik. Jenis dominan adalah podsolik, merupakan jenis tanah yang mendominasi dataran tinggi Gunung Mendoke, Gunung Watumohai dan Gunung Makaleleo, serta bagian barat Rawa Aopa. Ekosistem savana yang didominasi oleh herba tersusun oleh tanah mediteran di bagian barat dan kambisol di bagian timur. Tanah aluvial banyak dijumpai pada wilayah bertopografi datar di sekitar Rawa Lere atau bagian selatan Rawa Aopa yang banyak ditumbuhi oleh pepohonan.

Jenis tanah organosol yang kaya kandungan bahan organik banyak ditemukan di daerah-daerah berlumpur, tergenang air atau berawa. Jenis ini mendominasi ekosistem mangrove dan daerah tergenang Rawa Aopa. Luasan tanah organosol (11.23 %) merupakan terendah dibanding jenis tanah yang lain.

Komposisi bahan induk (pengolahan Peta RePProt) sebagaimana ditampilkan pada Tabel 6 didominasi oleh batuan sedimen yang banyak dijumpai di daerah berbukit atau bergelombang. Bahan ini tersebar di dua lokasi yaitu di daerah sekitar enclave Horodopi dan yang terluas di bagian selatan kawasan, membentang mulai Kecamatan Lalembuu Kabupaten Konawe Selatan sampai dengan Kecamatan Mata Usu Kabupaten Bombana. Luas seluruhnya sekitar 39 125 ha atau 37.19 % dari luasan TNRAW.

Tabel 6 Jenis bahan induk di kawasan TNRAW

No Jenis Bahan Induk Bentang Wilayah Luas Bentang Wilayah (Ha)

Persen (%)

1. Aluvium Datar 18 172.14 17.27

2. Aluvium dan Organik Datar 15 728.58 14.95

3. Metamorf Berbukit/ Bergelombang 11 453.07 10.89

4. Plutonik Berbukit/ Bergelombang 20 714.25 19.69

5. Sedimen Berbukit/ Bergelombang 39 125.96 37.19

(25)

Kawasan dengan kelas lereng datar dan landai yang berdekatan dengan mangrove dan rawa umumnya memiliki batuan induk aluvium dan sebagian bercampur bahan organik. Daerah berbukit di Gunung Mendoke dan Gunung Mokaleleo didominasi oleh batuan induk Plutonik. Batuan ini meliputi kawasan 19.69 % dari luasan TNRAW.

2.1.7 Kondisi Vegetasi

Hasil interpretasi nilai indeks vegetasi (NDVI) citra landsat 2009 menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan TNRAW masih diliputi oleh tajuk yang rapat. Luasan seluruhnya 56 229.48 ha atau 53.45 %. Kawasan tersebut terdiri atas kawasan berhutan di sekitar Gunung Mendoke, hutan di sekitar badan air Rawa Aopa, Gunung Mokaleleo, Gunung Watumohai dan kawasan-kawasan yang difungsikan tidak sesuai dengan peruntukkannya, seperti kebun campuran, tanaman tahunan, dan perladangan. Vegetasi dengan tajuk sangat rapat terutama dijumpai di bagian atas Gunung Mendoke dan Gunung Makaleleo.

Kawasan savana yang didominasi oleh alang-alang (Imperata cylindrica) diklasifikasikan ke dalam vegetasi bertajuk jarang dengan nilai kritis NDVI berkisar antara 0.11 sampai dengan 0.4067. Luasan seluruhnya sekitar 16,033.01 ha atau 15.24%. Kawasan berhutan dengan karakteristik memanjang di kiri kanan sungai membelah ekosistem savana diklasifikasikan sebagai vegetasi bertajuk sedang. Tipe vegetasi ini juga ada di pinggir kawasan berhutan atau perkebunan yang mengalami kerusakan. Komposisi kelas kerapatan tajuk selengkapnya ditunjukkan pada Tabel 7.

Tabel 7 Kelas kerapatan tajuk menurut kisaran nilai NDVI

No Kisaran Nilai NDVI

Kelas Kerapatan Tajuk Luas Kelas Kerapatan Tajuk (Ha)

Persen (%)

1. <0.11 Awan 10 554 .69 10 .03

2. <0.11 Badan air 354 .51 0 .34

3. <0.11 Lahan terbuka 118 .77 0 .11

4. 0.11-0.4067 Kerapatan tajuk jarang 16 033 .01 15 .24 5. 0.4067-0.7033 Kerapatan tajuk sedang 21 904 .98 20 .82

6. 0.7033-1 Kerapatan tajuk lebat 56 229 .48 53 .45

Jumlah 105 194.00 100.00

2.1.8 Penutupan Lahan

Kelas penutupan lahan kawasan TNRAW hasil penafsiran citra landsat 2009 dan Bing 2011 terbagi menjadi 13 kelas, meliputi badan air, hutan mangrove (primer), hutan pegunungan dataran rendah primer, hutan pegunungan dataran rendah sekunder, hutan rawa, jalan (membelah savana), lahan terbuka, pemukiman, pertanian lahan kering, rawa, savana, semak, dan sawah.

(26)

dan pertanian lahan kering (16.05 %) menempati urutan kedua dan ketiga. Pertanian lahan kering ini mencakup kawasan perladangan, kebun campuran, tanaman tahunan, dan palawija. Tipe ini terutama tersebar di wilayah administrasi Kecamatan Ladongi, Lambandia, Benua dan Basala.

Tabel 8 Tipe penutupan lahan di kawasan TNRAW

No Tipe Penutupan Lahan Luas Penutupan

Lahan (Ha)

Persen (%)

1. Badan air 4 507.78 4.38

2. Hutan mangrove 5 618.09 5.34

3. Hutan pegunungan dataran rendah primer 43 227.92 41.09

4. Hutan rawa 8 804.13 8.37

5. Hutan pegunungan dataran rendah sekunder 1 673.58 1.59

6. Jalan 43.63 0.04

7. Lahan terbuka 231.30 0.22

8. Pemukiman 256.94 0.24

9 Pertanian lahan kering 16 887.95 16.05

10. Rawa 2 832.35 2.69

11. Savana 18 322.56 17.42

12. Sawah 1 526.65 1.45

13. Semak 1 161.11 1.10

Jumlah 105 194.00 100.00

2.2 Kondisi Sosial Ekonomi Wilayah Sekitar Kawasan TNRAW 2.2.1 Kependudukan

Data kondisi kependudukan di sekitar Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai disajikan dalam bentuk penduduk tingkat pemerintahan desa, kecamatan dan menurut jenis kelamin.

2.2.1.1 Penduduk Tingkat Pemerintahan Desa

Pada radius 2-3 km, teridentifikasi 96 desa memiliki posisi cukup dekat dengan kawasan TNRAW. Terdapat pula desa-desa berlokasi cukup jauh namun masih masuk dalam kategori desa penyangga bernilai penting karena memiliki interaksi cukup erat dengan kawasan taman nasional, seperti Desa Akuni dan Desa Bungin Permai Kecamatan Tinanggea. Jika digabungkan, maka secara keseluruhan desa terkait erat dengan kawasan taman nasional berjumlah 98 desa, yang terletak pada 16 kecamatan dan 4 kabupaten.

Berdasarkan data kependudukan bersumber dari BPS, BPS Konsel, BPS Kolaka, BPS Konawe dan BPS Bombana tahun 2012, jumlah penduduk pada 98 desa di sekitar TNRAW berjumlah 100 622 jiwa dan terbagi ke dalam 24 226 KK. Desa Ladongi Jaya tercatat sebagai desa dengan penduduk terbanyak, yaitu 3 976 jiwa dari 882 kepala keluarga. Jumlah penduduk terendah dimiliki oleh Desa Ahuawali dengan jumlah penduduk 245 jiwa dari 59 kepala keluarga.

(27)

Kepadatan rata-rata desa Morengke hanya 2 jiwa tiap km². Sedikit lebih padat dari Desa Morengke adalah Desa Lamuru dengan kepadatan 2 jiwa per km². Kedua desa tersebut terletak pada Kecamatan Mata Usu Kabupaten Bombana.

2.2.1.2 Penduduk Tingkat Pemerintahan Kecamatan

Kawasan TNRAW secara administratif terbagi menjadi 16 kecamatan. Jumlah penduduk kecamatan-kecamatan tersebut adalah 199 942 jiwa yang menempati wilayah seluas 3 874.18 km², sehingga kepadatan rata-rata kecamatan tersebut 51.61 jiwa/km². Untuk tingkat kecamatan ini, kepadatan penduduk terendah dimiliki oleh Kecamatan Mata Usu dan Lantari Jaya Kabupaten Bombana dengan nilai kepadatan masing-masing 2 jiwa/km² dan 26 jiwa/km². Kecamatan Polinggona merupakan kecamatan paling padat dengan nilai kepadatan 142 jiwa/km². Urutan kepadatan tertinggi kedua adalah Kecamatan Ladongi dengan kepadatan 125 jiwa/km². Proporsi penduduk tiap kecamatan di sekitar taman nasional disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Kepadatan penduduk kecamatan di sekitar kawasan TNRAW

Kabupaten No Kecamatan Luas Kecamatan (Km²)

Jumlah Penduduk (Jiwa)

Jumlah KK

Kepadatan (Jiwa/Km)

Bombana 1. Lantari Jaya 285.01 7 670.00 1 726.00 26.00

2. Mata Usu 456.17 1 289.00 336.00 2.00

Sub Jumlah 741.18 8 959.00 2 062.00 12.09 Kolaka 3. Ladongi 194.43 24 270.00 6 191.00 125.00 4. Lambandia 308.63 28 474.00 7 436.00 92.00

5. Loea 107.94 6 293.00 1 635.00 58.00

6. Polinggona 46.65 6 626.00 1 625.00 142.00 7. Tanggetada 409.91 13 574.00 3 026.00 33.00 8. Tirawuta 206.80 12 686.00 3 240.00 61.00 9. Watubangga 388.79 14 428.00 3 828.00 37.00 Sub Jumlah 1 663.15 106 351.00 26 981.00 63.95

Konawe 10. Onembute 99.13 6 059.00 1 500.00 61.12

11. Puriala 236.85 7 553.00 1 669.00 31.90

Sub Jumlah 335.98 13 612.00 3 169.00 40.51 Konawe

Selatan

12. Angata 330.00 15 229.00 3 312.00 46.00

13. Basala 106.00 8 291.00 2099 78.22

14. Benua 138.31 9 846.00 2 387.00 71.00

15. Lalembuu 204.82 15 882.00 4 174.00 77.54 16. Tinanggea 354.74 21 772.00 4 890.00 61.38 Sub Jumlah 1 133.87 71 020.00 16 862.00 62.64

Jumlah 3 874.18 199 942.00 49 074.00 51.61

Sumber : BPS Bombana (2012a); BPS Konsel (2012a); BPS Konawe (2012a); BPS Kolaka (2012a); BPS (2012)

(28)

Kecamatan Ladongi dan Kecamatan Tinanggea masing-masing dengan jumlah penduduk 24 270 dan 21 772 jiwa. Penduduk paling sedikit terdapat pada Kecamatan Mata Usu dengan Jumlah penduduk 1 289 jiwa. Sebagian besar penduduk Kecamatan sekitar TNRAW terkonsentrasi pada wilayah administratif Kabupaten Kolaka.

2.2.1.3 Penduduk Menurut Jenis Kelamin

Komposisi penduduk di sekitar kawasan TNRAW didominasi penduduk laki-laki dibanding perempuan. Hal ini dapat terlihat dari angka sex ratio pada Tabel 10, dimana semua kecamatan di sekitar kawasan TNRAW memiliki angka sex ratio di atas 100, artinya tiap 100 penduduk perempuan terdapat laki-laki lebih dari 100. Hal ini menunjukkan penduduk laki-laki lebih besar jumlahnya daripada penduduk perempuan.

Tabel 10 Jumlah penduduk di kawasan sekitar TNRAW menurut jenis kelamin

Kabupaten No Kecamatan Laki-Laki Perempuan L+P Sex ratio

Bombana 1 Lantari Jaya 4 083 3 587 7 670 114

2 Mata Usu 717 572 1 289 125

Sub Jumlah 4 800 4 159 8 959

-Kolaka 3 Ladongi 12 349 11 921 24 270 104

4 Lambandia 15 071 13 403 28 474 112

5 Loea 3 256 3 037 6 293 107

6 Polinggona 3 535 3 091 6 626 114

7 Tanggetada 7 040 6 534 13 574 108

8 Tirawuta 6 482 6 204 12 686 104

9 Watubangga 7 498 6 930 14 428 108

Sub Jumlah 55 231 51 120 106 351

-Konawe 10 Onembute 3 120 2 939 6 059 106

11 Puriala 3 825 3 728 7 553 103

Sub Jumlah 6 945 6 667 13 612

-Konawe Selatan

12 Angata 7 821 7 408 15 229 106

13 Basala 4 306 3 985 8 291 111

14 Benua 5 154 4 692 9 846 110

15 Lalembuu 8 176 7 706 15 882 106

16 Tinanggea 11 192 10 580 21 772 106

Sub Jumlah 36 649 34 371 71 020

Jumlah 103 625 96 317 199 942

-Sumber : BPS Bombana (2012a); BPS Konsel (2012a); BPS Konawe (2012a); BPS Kolaka (2012a)

2.2.2 Pendidikan

(29)

sampai tahun 2011 berjumlah 106 sekolah sederajat TK, 235 sederajat SD, 68 sederajat SMP dan 25 sekolah sederajat SMA.

Untuk tingkat pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD), Kecamatan Lambandia tercatat memiliki sekolah terbanyak dengan Jumlah 21 unit TK dan 33 unit SD. Ini merupakan salah satu indikasi besarnya perhatian Kecamatan Lambandia terhadap pengembangan sarana/prasarana pendidikan dasar tingkat SD ke bawah. Untuk tingkat SMP dan SMA, pembangunan sekolah terbanyak terdapat di Kecamatan Tinanggea. Jumlah sarana pendidikan (sekolah) masing-masing kecamatan tersaji pada Tabel 11.

Tabel 11 Jumlah TK, SD, SMP dan SMA di kawasan sekitar TNRAW

Kabupaten Kecamatan Jumlah TK (Unit)

Jumlah SD (Unit)

Jumlah SMP (Unit)

Jumlah SMA (Unit)

Bombana 1. Lantari Jaya 4 7 2 0

2. Mata Usu 0 4 0 0

Sub Jumlah 4 11 2 0

Kolaka 3. Ladongi 13 24 6 2

4. Lambandia 21 33 8 2

5. Loea 2 8 2 1

6. Polinggona 2 8 2 1

7. Tanggetada 6 21 5 1

8. Tirawuta 12 15 4 1

9. Watubangga 9 22 8 2

Sub Jumlah 65 131 35 10

Konawe 10. Onembute 4 6 2 2

11. Puriala 8 12 2 1

Sub Jumlah 12 18 4 3

Konawe Selatan

12. Angata 1 21 6 3

13. Basala 4 7 2 1

14. Benua 6 10 2 1

15. Lalembuu 14 17 7 3

16. Tinanggea 0 20 10 4

Sub Jumlah 25 75 27 12

Jumlah 106 235 68 25

Sumber : BPS Bombana (2012); BPS Konsel (2012); BPS Konawe (2012); BPS Kolaka (2012)

(30)

3

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Memahami Api dan Kebakaran

Jaber et al. (2001) menyatakan bahwa manajemen kebakaran hutan dan lahan mencakup pembahasan terhadap empat komponen utama, yaitu :

a. Deteksi dini kebakaran

b. Penilaian resiko (berhubungan dengan kondisi cuaca)

c. Penilaian terhadap luasan areal terbakar (kebakaran yang terjadi pada area yang tidak luas umunya tidak berbahaya)

d. Simulasi terhadap perilaku penyebaran api

Pengelolaan resiko kebakaran hutan dan lahan dimulai dari penilaian terhadap besar resiko yang disebabkan oleh kejadian kebakaran tersebut. Perilaku api terkadang tidak menentu sehingga sulit untuk dideteksi dan dilakukan pendekatan. Memprediksi kondisi aktual kebakaran dengan suatu permodelan tidak mudah. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kebakaran, baik faktor ekologi maupun sosial ekonomi, tidak bisa dianalisis secara terpisah. Resiko kebakaran hutan dapat didekati dengan menjumlahkan skor pada faktor kemudahan menyala, topomorfologi, dan landuse (Guettouche et al. 2011).

Braun et al. (2010) telah membuat pendekatan penilaian peluang terjadinya kebakaran dengan menggunakan data waktu kejadian kebakaran, lokasi penyalaan dan area terbakar. Batasan pengertian area terbakar mencakup area tempat kejadian penyalaan dan juga area penyebaran dari titik api tersebut. Untuk mengurangi terjadinya bias, maka dibuat buffer dengan radius 5 km di sekitar wilayah kajian. Hal ini didasarkan kemungkinan api merambat keluar dari wilayah studi.

Pembakaran lahan telah menyebabkan terjadinya pemadatan tanah. Pembakaran lahan bertujuan untuk meningkatkan kesuburan tanah secara mudah dan murah, dimana masyarakat untuk mengolah lahannya tidak perlu mengeluarkan dana untuk membeli pupuk. Pembakaran lahan secara nyata telah menurunkan sifat biologi tanah seperti jumlah mikroorganisme yang hidup di tanah (Wasis 2003). Kebakaran hutan juga memiliki dampak cukup besar terhadap sistem hidrologi, degradasi lahan, banjir dan erosi tanah (Vafeidis et al. 2007).

3.1.1 Penggunaan Hotspot MODIS

(31)

Satelit Terra (EOS AM) melewati khatulistiwa sekitar pukul 10:30 pagi dan 10:30 malam setiap hari, Aqua (EOS PM) satelit melewati khatulistiwa sekitar pukul 1:30 pagi dan 1:30 siang. Adanya jalur orbit yang sama memungkinkan satelit untuk melewati daerah yang sama pada waktu yang sama dalam setiap periode 24 jam. Diperlukan waktu sekitar 2 - 4 jam setelah proses liputan satelit untuk pemrosesan data, dan pembaharuan data FIRMS pada situs web. Untuk sebagian besar ekuator Bumi, ada 4 liputan dalam jangka waktu 24 jam (2 untuk Aqua dan 2 untuk Terra). Sebagai orbit kedua satelit "tumpang tindih" di kutub, ada cakupan lebih per daerah mengingat lebih jauh ke utara atau selatan daerah dari khatulistiwa (http:/firefly.geog.umd.edu/firms/).

Satelit MODIS memiliki resolusi spasial (250 m) yang lebih tinggi dari pada AVHRR pada Band 1 (0.620–0.670 µm) dan Band 2 (0.841–0.876 µm) (Zhang et al. 2011). Salah satu kelebihan MODIS dibanding dengan satelit lainnya adalah dalam pembacaan algoritmanya tidak ada batas atas untuk api terbesar dan / atau terpanas yang dapat dideteksi dengan MODIS. Ini tidak dimiliki oleh beberapa satelit seperti AVHRR, VIRS, dan ATSR (Giglio 2010).

Dalam kejadian kebakaran, besar minimum api terdeteksi oleh sensor dipengaruhi oleh banyak variabel, seperti sudut scan, bioma, posisi matahari, suhu permukaan tanah, tutupan awan, jumlah asap dan arah angin, dll), sehingga nilai yang tepat sulit diketahui. Dari resolusinya MODIS mendeteksi kebakaran 1000 m², namun apabila pengamatan dilakukan dalam kondisi optimal (misalnya di dekat titik nadir, asap sedikit atau tidak ada, permukaan tanah yang relatif homogen, dll), kebakaran dengan luas 100 m² dapat dideteksi, bahkan dalam kasus yang sangat jarang dapat mendeteksi kebakaran seluas 50 m² (Giglio 2010).

Diantara kelebihan Satelit MODIS (resolusi 250 m) adalah produk yang tidak mahal, resolusi temporal yang tinggi, cakupan areal yang sangat luas dan memberikan informasi dalam rangka monitoring kondisi kesehatan ekosistem hutan. Penggunaan data MODIS dapat mengenali sebaran area terbakar sebagai bahan masukan bagi petugas pengendali kebakaran. Namun hasil identifikasi area terbakar tersebut umumnya memiliki luasan lebih rendah dibanding dengan pengukuran GPS (Quintano et al. 2011).

Validasi hotspot Terra MODIS dan Aqua MODIS telah dilakukan dengan menggunakan pengamatan Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer (ASTER) dengan hasil yang baik (Klerk 2008 dan Hawbaker et al. 2008 dalam Giglio 2010). Citra Landsat 5 TM juga dapat digunakan sebagai data lapangan untuk validasi MODIS. Validasi terhadap MODIS dengan citra Landsat TM menunjukkan hasil yang akurat sebagai sumber informasi peta kebakaran (Shimabukuro et al. 2009). Demikian juga validasi dengan pengecekan lapangan, penggunaan data hotspot MODIS memiliki akurasi yang cukup tinggi (di atas 90 %) sehingga cukup layak digunakan sebagai data dalam kegiatan pengendalian kebakaran hutan di Thailand (Tanpipat et al. 2009).

(32)

Hotspot diproses oleh MODIS Rapid Response Sistem menggunakan algoritma berstandar MODIS MOD14/MYD14 Fire dan produk Thermal Anomalies. Deteksi kebakaran dilakukan dengan memanfaatkan emisi yang kuat dari radiasi inframerah tengah yang dipantulkan/dipancarkan oleh kebakaran. Algoritma memeriksa setiap pixel dari petak MODIS, dan parameter data meliputi data yang hilang, awan, air, non-api, api, atau tidak diketahui (http:/firefly.geog.umd.edu/firms/).

3.1.2 Faktor –faktor yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan dan Lahan Penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terdiri dari dua faktor yaitu faktor alam antara lain petir, letusan gunung berapi atau potensi batu bara yang terbakar berupa dan faktor manusia baik yang sengaja maupun tidak sengaja (Syaufina 2008). Menurut Asian Development Bank tahun 1997/1998, kebakaran hutan disebabkan oleh 99% perbuatan manusia dan 1 % faktor alam. Kebakaran yang disebabkan perbuatan manusia dapat dikelompokan menjadi : puntung rokok 35%, kecerobohan 25%, konversi lahan 13%, perladangan 10%, pertanian 7%, kecemburuan sosial 6%, kegiatan transmigrasi 13% (Sumantri 2007).

Di Nevada, kebakaran yang disebabkan oleh alam sering terjadi pada daerah dengan kerapatan petir yang tinggi. Pengaruh faktor alam terlihat pada daerah-daerah yang sulit diakses oleh manusia yang dapat memicu terjadinya penyalaan api. Kebakaran secara alami ini terjadi ketika didukung oleh kesesuaian bahan bakar dan topografi (Dilts et al. 2009). Untuk Indonesia kebakaran disebabkan faktor alam ini jarang terjadi. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan mencakup faktor sosial ekonomi (dalam segitiga api terkait sumber penyalaan) dan biofisik (terkait bahan bakar).

3.1.2.1 Faktor Sosial Ekonomi Pengolahan Lahan

Menurut penelitan hampir 100% kebakaran hutan dan yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh faktor kesengajaan manusia akibat adanya kegiatan pembukaan lahan (Syaufina 2008). Sebagian masyarakat sengaja membakar hutan untuk memperluas lahan garapan. Pembakaran lahan dapat meningkatkan kesuburan tanah secara mudah dan murah, dimana masyarakat untuk mengolah lahannya tidak perlu mengeluarkan dana untuk membeli pupuk. Pembakaran lahan secara nyata telah menurunkan sifat biologi tanah seperti jumlah mikroorganisme yang hidup di tanah (Wasis 2003).

(33)

Demografi (Penduduk)

Kepadatan penduduk pedesaan, angka buta huruf serta ketergantungan penduduk pedesaan pada sumber daya hutan merupakan faktor yang berpeluang menimbulkan kebakaran hutan (Prasad et al. 2008). Pengaruh tingkat kepadatan penduduk ini juga terlihat pada pola sebaran kebakaran yang frekuensinya semakin meningkat di daerah berpenduduk padat dan sedkit di daerah-daerah yang penduduknya jarang (Calcerrada et al. 2010).

Di banyak daerah kebakaran dipengaruhi oleh jumlah penduduk dimana pada daerah-daerah yang penduduknya rendah ada kecenderungan jumlah kebakaran yang terjadi juga rendah. Ini terkait dengan faktor manusia sebagai penyebab terjadinya penyalaan api. Dengan semakin banyaknya jumlah penduduk, intensitas aktivitas manusia untuk mengakstraksi sumberdaya alam dalam rangka pemenuhan kebutuhan ekonomi juga meningkat meningkat (Zhai et al. 2003; Yamashita 2008; Syphard et al. 2009).

Faktor pendorong terjadinya kebakaran hutan di Riau adalah pertambahan jumlah penduduk yang cukup tinggi, lapangan kerja, dan kesempatan kerja yang terbatas, kurangnya pembinaan terhadap masyarakat di sekitar hutan dan tidak adanya sanksi adat yang diberikan kepada masyarakat di sekitar hutan (Mangandar 2000)

Samsuri (2008) mengidentifikasi ada empat faktor utama yang berpengaruh terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Kalimantan Tengah, yaitu tipe sistem lahan, tipe tutupan lahan, tipe tanah dan fungsi kawasan yang dapat digunakan untuk menduga kepadatan hotspot per km².

Aksesibilitas

Faktor utama penyebab kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat adalah aktivitas manusia yang dipengaruhi jarak dari kota, penggunaan lahan, dan faktor biofisik yang dipengaruhi oleh tutupan lahan (Kayoman 2010).

Pengaruh faktor manusia ini juga terlihat dari pola sebaran titik api yang berkorelasi kuat dengan ketersediaan aksesibilitas di wilayah tersebut. Daerah-daerah yang berdekatan dengan jalan lebih rawan terjadi kebakaran daripada daerah yang jauh (Zhai et al. 2003; Calcerrada et al. 2010).

Pemahaman Masyarakat

(34)

Status Kawasan

Status kawasan yang berbeda menunjukkan frekuensi kebakaran yang berbeda. Berdasarkan status kawasannya, kebakaran lebih sering terjadi di hutan alam dari pada di Hutan Tanaman Industri maupun Hutan Hak di luar keperluan industri. Hutan hak non industri lebih rendah kerawanannya daripada kedua status kawasan lainnya. Terkait jenis tanamannya, kebakaran lebih sering terjadi di hutan pinus dan campuran pinus-daun lebar daripada hutan daun lebar. Ini terkait dengan kemudahan terbakar pada media bahan bakar api (Zhai et al. 2003).

Daerah Terbangun

Tingkat perkembangan wilayah juga mempengaruhi frekuensi kebakaran. Kebakaran umumnya meningkat dengan makin dekatnya jarak terhadap pusat-pusat pemukiman. Daerah yang lebih dekat lebih tinggi kepadatan hotspot-nya dibandingkan daerah yang jauh dan sulit diakses penduduk. Kepadatan hotspot ini menurun untuk daerah-daerah yang sangat dekat dengan pemukiman (Yamashita 2008).

3.1.2.2 Faktor Biofisik

Faktor lingkungan biofisik, mencakup variabel-variabel lingkungan yang mempengaruhi kemudahan untuk terbakar dan kejadian kebakaran, meliputi :

Topografi

Salah satu unsur yang mempengaruhi perilaku api adalah Topografi. Faktor topografi terdiri atas data ketinggian (elevasi), kelerengan (slope), aspect dan tingkat keterisolasian (Chuvieco et al. 1997). Slope mempengaruhi kecepatan penjalaran api dan aspek berhubungan dengat kondisi kelembaban udara. Variabel elevasi mempengaruhi tingkat kelembaban bahan bakar dan udara (Setiawan et al. 2004).

Syaufina (2008) menyatakan bahwa semakin curam lereng maka akan semakin cepat api menjalar disebabkan nyala api lebih dekat dengan bahan bakar. Aliran angin biasanya menuju puncak. Udara yang terpanaskan akan menambah kecepatan angin dan menimbulkan lompatan bara api yang jatuh ke bawah dan menimpa bahan bakar baru. Bentang alam berpengaruh terhadap pola angin setempat yang dapat menjadi penghalang dan merubah aliran udara yang akan menyebabkan turbulensi. Aspek adalah arah menghadapnya lereng terhadap penyinaran matahari. Biasanya lereng yang pertama kali mendapat penyinaran matahari akan mempengaruhi cuaca setempat seperti suhu, kelembaban dan arah angin.

(35)

Miller dan Urban (1999); Platt et al. (2006) menjelaskan bahwa variabel ketinggian dapat digunakan untuk menggambarkan tingkat suhu dan kelembaban udara yang berpengaruh terhadap tingkat kebasahan dari bahan bakar. Pada daerah-daerah yang tinggi, suhu udara lebih rendah dan kelembabannya lebih tinggi sehingga lebih sulit untuk terbakar. Demikian juga sebaliknya, pada daerah-daerah yang berada pada ketinggian yang rendah diukur dari permukaan laut maka kondisi suhunya akan lebih tinggi dan kelembabannya rendah. Kondisi tersebut dapat berdampak pada mudahnya bahan bakar yang ada di wilayah tersebut untuk terbakar. Setiawan et al. (2004) menyatakan bahwa lebih dari 90 % kebakaran terjadi pada elevasi 100 m dpl. Kerusakan yang terjadi akibat kebakaran pada area rendah lebih besar dibandingkan area yang tinggi. Hal ini juga dipengaruhi oleh besarnya curah hujan pada daerah tinggi tersebut.

Bahan Bakar

Pemahaman terhadap karakteristik bahan bakar merupakan komponen sangat penting dalam management kebakaran hutan dan lahan. Data karakteristik bahan bakar dapat digunakan untuk menghitung bahaya, resiko, perilaku dan dampak dari kebakaran hutan dan lahan. Karakteristik bahan bakar tersebut cukup sulit dijelaskan karena sangat komplek dan bervariasi (Manzanera et al. 2008).

Bahan bakar menentukan ketersediaan energi maksimum, susunannya menentukan aerasi dan penjalaran api, distribusi dan ukurannya mempengaruhi kemudahan menyala, serta ada tidaknya kandungan kimia mempengaruhi kecepatan nyala api (Syaufina 2008).

Bahan bakar dipengaruhi oleh kadar air, ukuran, susunan, volume dan kandungan resin. Semakin rendah kelembaban suatu bahan bakar semakin cepat api akan menjalar. Semakin kecil ukuran bahan bakar semakin cepat terbakar. Susunan bahan bakar terkait dengan pola kesinambungan bahan bakar apakah ada penghambat penjalaran api. Bahan bakar yang mengandung resin akan mempercepat proses penyalaan dan keawetan untuk menyala

Volume terkait dengan kuantitas kebakaraan, semakin banyak bahan bakar terbakar maka semakin tinggi intensitasnya. Semakin besar ukuran pohon-pohonnya maka volume bahan bakar juga akan semakin besar. Volume bahan bakar dan kelembabannya secara bersama-sama mempengaruhi proses penyalaan api (Miller dan Urban 1999; Syaufina 2008).

Prasad et al. (2008) mengidentifikasi variabel yang berpengaruh kuat pada kejadian kebakaran adalah luas kawasan berhutan, kepadatan biomassa, kepadatan penduduk pedesaan, curah hujan rata-rata kuartal terpanas, elevasi dan suhu tahunan rata-rata. Di antara variabel-variabel ini, kepadatan biomassa dan curah hujan rata-rata kuartal terpanas memiliki signifikansi tertinggi, diikuti oleh variabel lainnya.

Faktor biofisik yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan di Sub DAS Kapuas Tengah Kalimantan Barat adalah vegetasi halus seperti rumput, Alang- alang, semak yang biasanya memiliki kerapatan vegetasi sedang (Arianti 2006).

(36)

tersebut terkadang dijumpai pada daerah bertopografi datar dan berbatu, sehingga rumput lebih mampu tumbuh dibandingkan jenis lainnya.

Iklim

Komponen iklim/cuaca yang berpengaruh terhadap kebakaran mencakup suhu, kelembaban, angin dan curah hujan (Chuvieco et al. 1997). Iklim/Cuaca menentukan jumlah bahan bakar yang tersedia, kerasnya musim kemarau mengatur kadar air dan flamibilitas bahan bakar mati dan mempengaruhi proses penyalaan (Syaufina 2008).

Ketersediaan air mempengaruhi kelembaban dan produktivitas bahan bakar. Simuasi model kebakaran permukaan, iklim dan hutan di California menunjukkan bahwa pada lokasi-lokasi dengan ketinggian di atas 1 500 meter, ketersediaan bahan bakar yang diperlukan dalam proses penyalaan sangat sedikit. Faktor pembatas juga mencakup variabel kelembaban dimana pada ketinggian di atas 1 500 tersebut bahan bakar menjadi terlalu lembab untuk bisa terbakar. Sehingga daerah-daerah dengan ketinggian di atas 1 500 m tidak rawan terbakar (Miller dan Urban 1999).

Terkait dengan waktu, periode kritis terjadinya kebakaran adalah Pukul 10.00 sampai 18.00, setelah jam 10.00 penyinaran matahari menyebabkan temperatur meningkat sehingga kelembaban turun dan kecepatan angin meningkat sehingga menyebabkan kadar air bahan bakar menurun (Sumantri 2007).

3.2 Sistem Informasi Geografis (SIG) Kebakaran Hutan dan Lahan Morisette et al. (2005) dalam Prasad et al. (2008) menyebutkan bahwa penginderaan jauh yang menggunakan multi waktu, multispektral, cakupan dan pola kejadian berulang dapat memberikan informasi tentang jumlah kebakaran, luas area dan jenis ekosistem yang terbakar.Untuk menghitung daerah yang terbakar dengan penginderaan jauh umumnya menggunakan 2 cara :

a. Deteksi kebakaran aktif b. Deteksi pasca kebakaran

GIS sangat bermanfaat dalam pengolahan data digital citra satelit untuk membuat peta sebaran bahan bakar, pemodelan spasial resiko kebakaran serta pemodelan spasial peluang kejadian kebakaran. Informasi yang dihasilkan dari GIS tersebut dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi pengelola kawasan untuk melakukan pencegahan, perencanaan dan penanganan kebakaran (Bonazountas et al. 2007).

(37)

Setiawan et al. (2004) juga menggunakan GIS berbasis grid dengan didukung Multi Criteria Analysis (MCA) untuk memetakan daerah-daerah yang bahaya/rawan kebakaran pada hutan rawa gambut. Variabel-variabel yang diuji meliputi landuse, jaringan jalan, slope, aspect, tanah, vegetasi dan ketinggian. Sebagai pembobot model digunakan skor dari proses Analitical Hierarcy Process (AHP).

GIS juga dapat dimanfaatkan untuk menguji hubungan antara variabel bebas terhadap variabel tak bebas tingkat kepadatan kejadian kebakaran melalui pemodelan spasial Regresi Linier Terboboti. Kepadatan hotspot dihitung dengan fungsi Kernel Density Estimate (KDE) dengan nilai bandwidth 2 640 feet. Bandwith yang optimal untuk fungsi kebakaran ini adalah 3 087 feet (Yamashita 2008).

Geographical Information System (GIS) juga bermanfaat untuk memetakan daerah-daerah yang terkena dampak kebakaran serta membuat model zonasi bahaya kebakaran. Data multi waktu citra satelit dapat digunakan untuk memetakan area penyebaran api serta arahnya (Kunwar dan Kachhwaha 2003).

3.3 Pemodelan Spasial

Pemodelan spasial adalah proses manipulasi dan analisis data spasial atau geografis untuk membangkitkan informasi yang lebih berguna bagi pemecahan permasalahan yang komplek. Model spasial dapat digunakan untuk memprediksi berbagai fenomena alam karena beberapa alasan diantaranya :

a. penemuan hubungan antar bentang alam geografis untuk pemahaman, dan mengkaitkan permasalahan utama

b. pendefinisian masalah agar lebih jelas dan logis

c. penyediaan kerangka pemahaman proses di dunia nyata

d. simulasi untuk mengekstrak informasi yang tidak mungkin dan terlalu mahal untuk diukur

Menurut Brimicombe (2010), model spasial yang memanfaatkan GIS biasanya terdiri atas tiga hal :

a. garis regresi yang memprediksi nilai output berdasarkan variabel input

b. sejumlah tabel yang menggambarkan hubungan dan proses yang komplek, merupakan hasil manipulasi dari beberapa layer peta

c. Sejumlah formula matematika yang menggambarkan hubungan sebab akibat yang dikompilasi melalui program komputer.

Gambar

Tabel 12 Jenis data sekunder menurut sumber dan manfaat
Gambar 3 Bagan alir tahapan penelitian
Tabel 13 Pengkelasan variabel yang akan digunakan dalam menyusun model
Gambar 4 Peta area kebakaran 2011
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam inovasi pendidikan terdapat difusi inovasi pendidikan yaitu, penyebarluasan dari gagasan inovasi pendidikan tersebut melalui suatu proses komunikasi yang dilakukan

Second, even if this could be the case, the longer the timeframe between the requirements determination activity and the completion of the project, the more likely it is that

Tabel 3.2 Peletakan Bahan Baku Dan Peralatan Yang Jarang Digunakan Sesuai Dengan Frekuensi Pemakaian. No Frekuensi pemakaian

Through the adoption of recent innovations in automation in vision metrology, it can be demonstrated that rigorous, yet user-friendly digital photogrammetric processes of

[r]

Sastra sebagai karya seni bersifat kreatif, artinya sebagai hasil ciptaan manusia yang berupa karya bahasa yang bersifat estetik (dalam arti seni), hasilnya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan para investor sebagai salah satu referensi dalam pengambilan keputusan penanaman modal yang akan dilakukan pada lembaga keuangan

Sipda Atau Sistem Informasi pelayanan desa adalah sistem yang bertujuan untuk mempermudah atau membantu aparat-aparat desa dalam konteks pelayanan Administrasi kependudukan