• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lampiran 20. DAFTAR RIWAYAT HIDUP

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Akulturasi

2.4 Stres akulturasi

2.4.1 Stres Akulturasi yang dihadapi oleh Mahasiswa

Berdasarkan model akulturasi oleh Arends-toth dan Viver (2006), Berry (1997, 2006), Ward et al (2001) dalam Jamhur, dkk., 2015, stres akulturasi yang dihadapi oleh mahasiswa adalah sebagai berikut :

a) Bahasa

Sebuah stresor akulturasi utama yang dihadapi oleh mahasiswa adalah hambatan bahasa. Kecemasan bahasa adalah stresor yang berinteraksi dengan stres lainnya di kedua domain akademik dan sosial budaya. Dalam domai akademik, hambatan bahasa dapat berdampak pada penyelesaian tugas, pemahaman kuliah, ujian lisan dan tulisan, dan kemampuan untuk mengajukan pertanyaan di kelas. Sedangkan di dalam domain sosial budaya, bahasa dapat menghambat upaya mahasiswa untuk berinteraksi dengan teman-teman dan dengan penduduk setempat.

b) Pendidikan

Stres akademik kemungkinan diintensifkan karena adanya stres terhadap kecemasan bahasa dan beradaptasi dengan ligkungan pendidikan yang baru. Stres akademik juga ditemukan menjadi bagian yang signifikan dari stres kehidupan. Kontribusi lain yang menyebabkan terjadinya stres akulturasi bagi mahasiswa adalah adanya ketidakcocokan dalam harapan akademis mereka dengan realitas kehidupan di universitas. Mahasiswa berharap untuk dapat lebih baik berpartisipasi dalam akademis namun

kinerja akademis mereka mungkin di bawah ekspektasi mereka karena stres akulturatif dalam belajar bahasa dan beradaptasi dengan pendidikan baru, budaya, dan lingkungan sosial. Kemudian juga adanya ketidakcocokan dalam harapan mengenai kualitas dan efisiensi pelayanan yang disediakan oleh lembaga penelitian, kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan gaya mengajar dari tuan rumah.

c) Sosial budaya

Selain terjadi dalam domain pendidikan, stres akulturasi juga terjadi disaat mahasiswa membangun jaringan sosial baru setelah meninggalkan teman-teman dan keluarga mereka. Mahasiswa imigran mungkin mengalami kesulitan dalam hal berteman dan berinteraksi dengan penduduk tuan rumah. Kesulitan membentuk persahabatan dengan penduduk setempat dapat diperparah oleh ketidaktertarikan mahasiswa dalam memulai persahabatan dengan penduduk tuan rumah.

d) Diskriminasi

Diskriminasi juga tercatat sebagai potensi terjadinya stres akulturasi. Diskriminasi yang signifikan mulai dari perasaan rendah diri, penghinaan lisan, diskriminasi saat mencari pekerjaan, dan serangan fisik. Pengalaman diskriminasi dapat berdampak negatif pada mahasiswa yang dikaitkan dengan miskin kesejahteraan psikologis dan depresi.

e) Gaya hidup

Selain stres pendidikan dan sosial budaya, mahasiswa juga mungkin mengalami sejumlah stres akulturasi dalam gaya hidup.

Penelitian menunjukkan bahwa masalah keuangan merupakan faktor terjadinya stres akulturasi.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

Pemerataan pembangunan di Indonesia saat ini telah diwujudkan melalui program beasiswa yang ditawarkan oleh perusahaan maupun lembaga dengan memberikan biaya pendidikan gratis bagi siswa berprestasi dan beasiswa peningkatan potensi akademik. Beasiswa tidak hanya dapat dinikmati oleh mahasiswa dari kota-kota besar saja, namun kini telah muncul program beasiswa yang memfasilitasi putra-putri bangsa terutama yang berada di daerah-daerah terluar yang sulit dalam akses pendidikan (Ariani, 2015).

Beasiswa Afirmasi Dikti (ADik) menjadi solusi bagi putra-putri asli Papua untuk melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia. Program tersebut berlandaskan pada Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang berbunyi “Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, yang selanjutnya disebut UP4B, adalah lembaga yang dibentuk untuk mendukung koordinasi, memfasilitasi dan mengendalikan pelaksanaan Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat”.

Beasiswa Afirmasi Dikti (ADik) adalah beasiswa hasil kerjasama Kemdikbud, Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B), dan Majelis Rektor PTN Indonesia, dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia di Papua dan Papua Barat (Sumber: website resmi UP4B

Implikasi dari adanya program beasiswa ini mengharuskan para mahasiswa asli Papua keluar dari Papua dan tinggal di daerah-daerah tempat mahasiswa melanjutkan pendidikan di universitas-universitas negeri yang tersebar di Indonesia. Beasiswa ini diselenggarakan mulai tahun 2012 bekerja sama dengan 32 PTN di Indonesia. Tahun 2014 jumlah Perguruan Tinggi Negeri yang bergabung dengan program beasiswa ini mengalami pertambahan menjadi 39 PTN yang tersebar diseluruh Indonesia (Sumber: website resmi UP4B

Universitas Sumatera Utara (USU) merupakan salah satu dari 39 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang menerima mahasiswa dari Papua melalui program beasiswa Afirmasi Dikti (ADik). Sejak tahun 2012 hingga penerimaan mahasiswa baru 2015 terdapat 58 mahasiswa Papua yang aktif kuliah di USU. Semua mahasiswa tersebut diterima melalui jalurseleksi nasional SNMPTN.Mahasiswa Papua yang menerima beasiswa Afirmasi Dikti (ADik) di USU harus pindah dan menjalani kehidupan yang baru sebagai mahasiswa USU. Kehadiran mahasiswa Papua di USU memberikan nuansa baru dalam dunia pendidikan perguruan tinggi di USU.

Mahasiswa Papua mulai angkatan 2012 hingga angkatan 2015 menetap di lingkungan USU dengan segala aspek sosial budaya yang berbeda dari tempat asal mahasiswa Papua.Tinggal atau kuliah di tempat masyarakat yang berbeda secara sosial dan budaya kemungkinan memunculkan dampak sosial psikologis tertentu. Salah satu dampak sosial-psikologis yang biasa terjadi adalah beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Perbedaan bahasa, nilai, dan kebiasaan, diluar persoalan

iklim geografis, menjadi hambatan utama (Wijanarko & Safiq, 2013). Oleh karena itu banyak hal yang dirasakan oleh mahasiswa asal Papua berubah dari kesehariannya di Papua. Mulai terjadi perbedaan adat-istiadat, makanan, minuman, bahasa, lingkungan dan sosial yang berbeda.

Ariani (2015) menunjukkan dalam penelitian kualitatifnya bahwa mahasiswa Papua yang menerima beasiswa Afirmasi Dikti (ADik) di Unnes mengalami hambatan sosial budaya pada saat berkuliah di Unnes. Hasilnya menunjukkan hambatan yang dialami mahasiswa Papua adalah : 1) kurangnya pengetahuan dan bekal mahasiswa Papua mengenal Unnes; 2) perbedaan makanan; 3) perbedaan gaya berpenampilan; 4) Homesick; 5) stereotip dan diskriminasi; serta 6) perbedaan bahasa. Hambatan tersebut memunculkan dampak psikologis dalam diri personal maupun khidupan sosial mereka.

Wijanarko & Safiq (2013) menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa mahasiswa luar pulau yang berasal dari Papua di Surabaya mengalami berbagai hambatan dalam menyesuaikan diri. Hambatan tersebut adalah adanya perbedaan bahasa, karakteristik fisik, dan kebiasaan budaya dengan masyarakat lokal. Hambatan-hambatan tersebut memunjulkan dampak psikologis dalam diri personal maupun kehidupan sosial mereka.

Hambatan yang dialami mahasiswa dalam konteks antar negara tergambar pada penelitian Sodjakusumah & Everts (1996 dalam Wijanarko & Safiq, 2013) terhadap mahasiswa Indonesia di New Zealand menunjukkan bahwa mereka menghadapi masalah akademis (termasuk didalamnya perbedaan bahasa dan sistem pembelajaran), masalah sosial (tidak bisa berinteraksi dengan lingkungan

sekitar), dan masalah pribadi (merasa sendiri dan rindu rumah). Kemampuan bahasa diperlukan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang asing.apabila pendatang tidak dapat berbahasa sesuai dengan lingkungan barunya maka mereka akan merasa terisolasi.

Selain hambatan bahasa dan komunikasi, (Meganga, 2009 dalam Wijanarko & Safiq, 2013) juga menyebutkan kecenderungan mahasiswa asing untuk mengelompok dengan mahasiswa dari asal atau etnis yang sama sebagai hambatan adaptasi sosial. Hal ini disebabkan karena pendatang cenderung memandang kehadiran mereka bersifat sementara. Akibatnya, mereka cenderung untuk tidak berupaya maksimal dalam mengambil pengalaman interaksi dengan masyarakat lokal ketika muncul hambatan-hambatan adaptasi. Pada prosesnya mereka akan membentuk wadah-wadah (enclaves) diantara mereka sendiri. Karena merupakan kumpulan dari orang yang berasal dari budaya pendatang yang sama, wadah seperti ini mampu mengurangi kecemasan dan rasa tidak berdaya akibat tekanan lingkungan asing tempat mereka belajar. Namun, dampak buruknya, mereka akan kehilangan kesempatan untuk mengembangkan diri melalui belajar secara langsung bagaimana hidup dengan masyarakat dari beragam budaya.

Sodowsky, Lai & Plake (1991 dalam Sodowsky & Maestas, 2000) mendefinisikan proses adaptasi kelompok minoritas terhadap kultur kelompok mayoritas disebut dengan akulturasi.Akuturasi juga didefinisikan sebagai proses yang terjadi pada saat dua atau lebih kultur yang saling berinteraksi (Suinn, 1992 dalam Andiyasari, 2005).Akulturasi dapat menciptakan hubungan yang menekan

dan mendorong, hal ini dapat diartikan bahwa individu dari kelompok minoritas merasa ditekan untuk berakulturasi ke dalam kelompok dominan yang ada dalam masyarakat (Roysircai-Sodowsky & Macstas, 2000 dalam Andiyasari, 2005).

Salah satu dampak negatif dari kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru adalah stres akulturasi. Stres akulturasi adalah serangkaian pengalaman psikologis yang kompleks, biasanya tidak menyenangkan dan menganggu (Tsytsarev & Krichmar dalam Shiraev & Levy, 2012).

Acculturative stressjuga merupakan sebuah pengalaman tertekan dengan perubahan-perubahan yang terjadi akibat proses akulturasi (Berry dalam Organista, Chun, & Marin, 1998). Pengalaman individu pada perubahan-perubahan tersebut bervariasi pada berbagai tingkat, dari sangat banyak hingga sedikit sekali. Pada beberapa individu, proses akulturasi yang dialami dapat menjadi stressor, sementara pada individu lain mungkin dilihat sebagai peluang (Andiyasari, 2005).

Acculturative stress tergantung pada sejumlah faktor perantara, termasuk

diantaranya adalah karakter kelompok dominan, stretegi akulturasi yang dilakukan kelompok minoritas, bentuk-bentuk akulturasi yang dialami, kondisi demografi, sosial, dan karakteristik psikologis dari kelompok maupun anggota kelompok. Masing-masing faktor ini dapat mempengaruhi level acculturative

stress (Berry dalam Organista, Chun & Marin, 1998).

Faktor-faktor perantara yang lain adalah bagaimana kelompok dominan menggunakan pengaruh-pengaruhnya pada proses akulturasi dan tingkat pluralisme dalam masyarakat (Murphy, 1965 dalam Berry, 1989). Masyarakat

multikultural, merupakan kebalikan dari masyarakat monokultural yang dicirikan oleh dua faktor penting: pertama, keberadaan jaringan sosial dan kelompok yang dapat mendukung kelompok minoritas masuk ke dalam proses akulturasi; kedua, toleransi yang cukup besar atau penerimaan terhadap perbedaan-perbedaan kultur (Murphy, 1965 dalam Berry, 1989).

Acculturative stress merupakan konsekuensi dari proses akulturasi, tetapi

kemungkinan terjadinya dapat berkurang secara signifikan jika partisipasi dalam masyarakat dan pertahanan kultur yang diwariskan didukung oleh kebijakan dan praktek di dalam masyarakat. Acculturative stress juga diketahui berdampak pada tingkat personal, beberapa diantaranya adalah menurunnya kesehatan (fisik, sosial, dan psikologis), menurunnya tingkat motivasi, perasaan terasing, dan meningkatnya penyimpangan sosial (Murphy, 1965 dalam Berry, 1989).

Satu hal yang cukup penting diketahui adalah bahwa individu yang berakulturasi pada masyarakat plural cenderung lebih rendah stresnya dibanding individu yang berakulturasi pada masyarakat monokultural yang menekankan asimilasi (Berry dalam Organista, Chun & Marin, 1998). Namun demikian, timbul juga paradoks pada masyarakat multikultural yang sengaja diciptakan kebijakan menolak kelompok minoritas berpartisipasi di dalam kehidupan kemasyarakatan, maka penolakan ini dapat mengakibatkan meningkatnya acculturative stress pada kelompok minoritas tersebut (Berry dalam Organista, Chun & Marin, 1998).

Penelitian yang dilakukan oleh Permana & Endang (2015) menunjukkan bahwa stres akulturasi yang dialami mahasiswa Papua lebih tinggi dibanding dengan mahasiswa Batak di kota Semarang. Berdasarkan kategorisasi skor stres

akulturasi pada mahasiswa Papua di Semarang, diketahui bahwa kebanyakan berada pada kategori tinggi yaitu 21 orang, sedang 13 orang, dan yang berada pada kategori sangat tinggi sebanyak 1 orang. Berdasarkan kategorisasi skor stres akulturasi pada mahasiswa Batak, diketahui bahwa kebanyakan berada pada ketegori sedang yaitu 29 orang, rendah 8 orang, tinggi 7 orang, dan yang berada pada kategori sangat rendah sebanyak 1 orang.

Mahasiswa papua di USU sebagai minoritas termasuk salah satu yang mengalami proses akulturasi. Proses akulturasi tersebut, memungkinkan mahasiswa Papua di USU terpapar dengan berbagai hambatan-hambatan akibat dari adanya perbedaan budaya. Fenomena yang terjadi pada mahasiswa Papua di USU bahwa sudah ada 2 orang yang meninggal dunia pada tahun 2015 akibat hambatan yang dirasakan selama proses akulturasi. Hambatan yang dirasakan tersebut adalah perbedaan makanan & minuman karena sudah terbiasa enak makan makanan khas Papua (sagu, ubi) sehingga pada saat di medantidak selera makan karena tidak cocok dengan makanan di medan,juga disebabkan karena kebiasaan minum minuman beralkohol, dan hambatan bahasa juga terjadi terhadap sosialnya sehingga merasakan kesulitan dalam berkomunikasi dengan sosial untuk mecari pelayanan kesehatan.

Berdasarkan fenomena-fenomena tersebutmembuktikan bahwa pentingnya dilakukan penelitian yang mendalam mengenai stres akulturasi, sehingga mendorong peneliti untuk meneliti apakah mahasiswa Papua yang menjalani perkuliahan di Universitas Sumatera Utara mengalami stres akulturasi atau tidak.