• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. PELAKSANAAN, HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Hasil Penelitian dan Pembahasan

2. Stres dan Strategi Coping Subjek

Tabel 13. Kategori Umum Sumber Stres Subjek

Subjek

No. Kategori Sub - Kategori

1 2 3

a. Keterbatasan ilmu dan pengalaman sehingga ragu dan bingung untuk memberikan tindakan kepada pasien.

P P P

b. Melakukan kesalahan saat pemeriksaan sedangkan harus bertanggung jawab sepenuhnya akan keselamatan pasien.

P P P

1. Penyesuaian diri pada awal masa kerja

c. Merasa rendah diri sebagai yunior karena sering melakukan kesalahan.

P a. Tekanan menghadapi berbagai kasus

yang sulit atau jarang ditemui.

P P P

b. Siap bekerja selama 24 jam/ stand by. P P P c. Mengalami kegagalan saat menangani

proses persalinan.

P d. Dilema menangani kasus yang terkait

dengan isu etik.

P P P

e. Dituntut untuk memberi pertolongan dan pelayanan yang baik kepada pasien.

P P P

f. Pasien/ keluarga tidak kooperatif. P P P 2. Tekanan-tekanan

yang dihadapi dalam pekerjaan

g. Menemui berbagai keterbatasan P P P a. Keterbatasan waktu yang dimiliki

untuk diri sendiri dan orang terdekat.

P P P

b. Rasa lelah yang dirasa setelah bekerja mempengaruhi emosi di rumah.

P P

c. Memiliki masalah pribadi dengan rekan sejawat terkait lawan jenis.

P 3. Tekanan-tekanan

yang dihadapi terkait masalah pribadi lain

d. Masalah pribadi mengganggu konsentrasi dalam bekerja.

Tabel 14. Kategori Umum Strategi Coping Subjek

Subjek

No. Kategori Sub - Kategori

1 2 3

a. Memberikan tindakan medis pada pasien. P P P b. Menenangkan diri dari situasi menekan. P P P c. Melakukan tindakan terencana sesuai

prosedur.

P P P

d. Mengutamakan tindakan medis terpenting dan mengesampingkan aktivitas lain.

P P P

e. Menunda melakukan suatu tindakan medis jika waktunya belum tepat.

P P P

f. Berkonsultasi/ meminta nasihat dari dokter, senior, atau rekan kerja.

P P P

g. Curhat/ menceritakan masalah kepada orang-orang terdekat agar merasa lega.

P P P

h. Mengambil hikmah dari setiap kasus/ masalah berat yang dihadapi.

P P P

i. Menerima dengan pasrah tugas, risiko dan tanggung jawab meskipun berat.

P P P

j. Berdoa sebelum memberi tindakan kepada pasien khususnya dalam kondisi kritis.

P P P

k. Melepaskan emosi negatif yang dirasakan agar beban terasa lebih ringan.

P P P

m.Menghentikan prosedur yang sudah tidak sesuai dengan kondisi yang ditemui.

P P

1. Strategi coping saat menghadapi masalah pekerjaan

n. Mengurangi tekanan yang dihadapi dengan melakukan berbagai aktivitas.

P P

a. Membicarakan masalah langsung dengan orang ybs, termasuk melalui SMS/ telepon

P P P

2. Strategi coping saat menghadapi masalah pribadi lain

b. Menggunakan cara yang pernah digunakan untuk mengatasi masalah yang serupa.

c. Menunggu kondisi emosi menjadi lebih tenang untuk menyelesaikan masalah.

P P P

d. Sharing dan meminta nasihat dari teman sehingga masalah dipecahkan bersama.

P e. Curhat/ menceritakan masalah kepada

orang-orang terdekat yang dipercaya.

P P P

f. Mengambil hikmah dari setiap masalah yang dihadapi.

P P P

g. Tidak ingin membicarakan masalah dan berusaha melupakannya.

P h. Melepaskan ketegangan yang dirasa

dengan berbagai cara.

P i. Menghentikan usaha- usaha penyelesaian

masalah karena tidak mendapat respon yang positif dari orang ybs.

P P P

j. Mengalihkan perhatian dari masalah yang dihadapi dengan melakukan kegiatan lain.

P P P

a. Dukungan dari keluarga/ orang terdekat. P b. Keterampilan dan keinginan untuk

mencoba hal- hal yang baru.

P P

3. Faktor pendukung usaha penyelesaian masalah

c. Pendapat atau masukan dari orang lain P P a. Keterbatasan dalam ilmu kebidanan

maupun pengobatan umum.

P P P

b. Kurang percaya diri pada kemampuan yang dimiliki.

P c. Pasien dan keluarga yang tidak kooperatif. P 4. Faktor penghambat

usaha penyelesaian masalah

d. Keterbatasan peralatan, tenaga medis, dan obat-obatan.

P 5. Hasil setelah a. Merasa lega dan tenang setelah masalah

terselesaikan.

b. Hub ungan dengan orang lain menjadi lebih baik terlebih jika terkait hubungan profesional.

P P P

c. Keluhan fisik seperti tremor, berkeringat, dan berdebar-debar perlahan menghilang setelah situasi tidak menyenangkan dapat dilewati.

P P P

menggunakan strategi coping

d. Kesesuaian strategi yang digunakan dengan masalah yang dihadapi setelah dapat menyelesaikan masalah.

P P

Tabel 13 dan Tabel 14 di atas memberi gambaran mengenai sumber stres sebagai penyebab munculnya rasa tertekan yang dialami dan strategi coping yang digunakan oleh ketiga subjek untuk menghadapi sumber stres tersebut sehingga situasi-situasi yang kurang menyenangkan dapat berkurang. a. Sumber stres dan strategi coping yang digunakan di awal masa kerja

Setelah menamatkan pendidikan kebidanannya dan memperoleh SIB (Surat Izin Bidan), ketiga subjek segera masuk dalam dunia kerja yang sesungguhnya. Stres dan perasaan tertekan tidak dapat dihindari pada masa awal bekerja. Mereka dituntut untuk segera dapat menyesuaikan diri dan segera mulai bekerja meskipun hal itu tidak mudah bagi ketiga subjek. Penyesuaian diri ini meliputi penyesuaian terhadap tugas-tugas barunya dan penyesuaian terhadap lingkungan sosial, seperti mulai bersosialisasi dengan bidan atau tenaga medis yang bekerja di tempat tersebut (ADS. BS2.WwI.no.21). Subjek yang mengalami rasa tertekan itu pada akhirnya

melakukan berbagai upaya agar ia terlepas dari perasaan yang tidak menyenangkan tersebut.

Pada saat ketiga subjek melakukan penyesuaian terhadap tugas-tugasnya, situasi itu menyadarkan mereka pada keterbatasan ilmu dan pengalaman yang dimiliki, baik terkait dengan ilmu kebidanan maupun pengobatan umum. Seperti yang terjadi pada Subjek 3 ketika melakukan kesalahan penghitungan tanggal kembali pasien KB suntik sehingga memunculkan rasa takut dan rasa bersalah (ADS.BS3.WwIII.no.69). Setelah mendapat teguran (ADS.BS3.WwIII.no.70) dan meminta nasihat dari senior, maka subjek segera mene mui pasien untuk meminta maaf serta mengkoreksi kesalahannya tersebut. Meskipun sempat merasa tertekan, hal ini menjadi motivasi bagi subjek agar bekerja lebih teliti sehingga tidak mengulangi kesalahannya lagi (ADS.BS3.WwIII.no.69). Hal yang hampir sama terjadi pada Subjek 1 ketika ia salah memberikan obat dan tindakan kepada pasien, sehingga merasa takut bahkan hingga kini masih sering teringat. Namun ia mengatasi rasa tertekan itu dengan bekerja lebih teliti baik saat memberikan tindakan maupun jenis obat dan dosisnya (ADS.BS1.WwI.no.32).

Keterbatasan yang dialami subjek di luar ilmu kebidanan terjadi pula pada Subjek 1, dimana ia harus menangani bayi yang sakit parah (ADS.BS1.WwI.no.17). Saat itu ia merasa ragu akan kemampuannya (ADS.BS1.WwI.no.15), sehingga bingung dan takut jika salah dalam memberi tindakan. Walaupun berada dalam keadaan tertekan, subjek tetap

berusaha memberi pengobatan awal kepada pasien (ADS.BS1.WwI. no.17). Berbeda dengan Subjek 1, Subjek 2 menghadapi kasus lain yang menimbulkan stres bagi dirinya. Ia menangani pasien yang mengalami pendarahan hebat saat persalinan meskipun sebelumnya luka sudah dijahit (ADS.BS2.WwI.no.16). Menghadapi kasus tersebut, walaupun subjek belum banyak memiliki pengalaman, ia segera melakukan pertolongan awal, seperti dengan memasang infus, mencari sumber pendarahan dan menjahitnya, selain berusaha menenangkan pasien (ADS.BS2.WwI.no17). Dalam keterbatasan itu, Subjek 2 juga banyak bertanya pada bidan senior sehingga ia dapat lebih mengerti tindakan apa yang harus dilakukan pada kasus tersebut (ADS. BS2.WwIII.no.77).

Meskipun menghadapi kasus yang berbeda-beda, tekanan yang cukup membebani subjek pada masa awal kerjanya adalah keharusan untuk bertanggung jawab sepenuhnya terhadap keselamatan pasien.

“Subjek tertekan karena bertanggung jawab atas nyawa dan keselamatan pasien ditambah risiko dituntut jika mengalami kesalahan”.(ADS.BS2.WwI.no.15)

Hal ini berbeda dengan situasi ketika mereka menjalani praktik atau magang yang masih mendapat bimbingan dari dosen ataupun senior (ADS.BS3.WwIII.no.67) bahkan masih berhadapan dengan panthom (ADS.BS1.WwI.no.16). Di samping itu, stres semakin terasa saat mereka harus bekerja dengan cepat menghadapi kasus gawat yang belum pernah mereka tangani sebelumnya (ADS.BS3.WwIII.no.72).

Seperti yang telah disinggung di atas, bahwa ketiga subjek juga melakukan penyesuaian terhadap lingkungan sosial, dimana mereka dituntut untuk dapat bekerja sama dengan tenaga medis maupun karyawan di tempat mereka bekerja. Masa penyesuaian ini sebenarnya cukup berat bagi ketiga subjek, terlebih bagi Subjek 1, dimana proses penyesuaian itu membuatnya tertekan sehingga merasa rendah diri. Sebagai yunior ia merasa setiap tindakan yang dilakukannya masih kurang benar apabila dibandingkan dengan bidan atau tenaga medis lainnya yang notebene lebih berpengalaman (ADS.BS1.WwI.no.51). Oleh karena itu, subjek sering mengeluh dan mengungkapkan kekesalannya pada teman dalam menghadapi situasi seperti itu (ADS.BS1.WwI. no.52).

Tabel 15. Kesimpulan Sumber Stres dan Strategi Coping yang Digunakan Pada Awal Masa Kerja

Sumber Stres Strain Strategi Coping

Melakukan kesalahan saat memeriksa atau memberi tindakan kepada pasien, spt salah menghitung tanggal kembali pasien KB.

Merasa takut dan merasa bersalah.

§ Meminta nasihat dari bidan senior.

§ Menemui pasien, meminta maaf dan mengkoreksi kesalahan.

Melakukan kesalahan dalam memberi jenis obat dan dosis.

Merasa takut. § Bekerja lebih teliti agar tidak mengulangi kesalahan. Terbatasnya pengetahuan di

luar ilmu kebidanan, spt saat menangani bayi sakit parah.

Merasa ragu, bingung dan takut.

§ Segera melakukan tindakan medis meskipun bersifat sementara.

Menghadapi kasus pendarahan saat persalinan.

§ Melakukan tindakan awal, spt pasang infus, mencari sumber pendarahan dan menjahitnya.

§ Menenangkan pasien.

§ Bertanya pada bidan senior. Sebaga i yunior, tindakan

dirasa masih kurang benar dibandingkan dengan bidan/ tenaga medis lain.

Merasa tertekan dan rendah diri.

§ Mengeluh.

§ Menceritakan kekesalannya dengan teman.

b. Sumber stres dan strategi coping yang digunakan saat menghadapi masalah pekerjaan

Setelah melalui masa penyesuaian diri dengan lingkungan kerja, subjek juga harus siap apabila menghadapi masalah- masalah yang lebih berat di kemudian hari bahkan tidak sedikit yang berpotensi menimbulkan stres. Mereka harus siap dengan berbagai kondisi hingga yang terburuk sekalipun. Tuntutan dan tekanan yang dialami oleh ketiga subjek, yaitu: 1) Tekanan akibat menghadapi berbagai kasus

Pada saat menghadapi berbagai kasus, ketiga subjek terkadang tidak bisa menghindar dari rasa tertekan. Kondisi tersebut sering terjadi ketika mereka menghadapi kasus-kasus sulit atau kasus yang jarang ditemui, yang semakin didukung dengan situasi-situasi yang kurang menyenangkan.

Kasus pendarahan akibat persalinan (ADS.BS1.WwII&Obs. no.64; ADS.BS2.WwI.no.16; ADS.BS3.WwI.no.12), partus letak sunsang (ADS.BS1.WwI.no.14), persalinan dengan ibu pre-eklamsi (ADS.BS1.WwIII.no.91), kasus distosia bahu (ADS.BS3.WwI.no.15) dan afeksia (ADS.BS2.WwI.no.19), atau menangani pasien percobaan bunuh diri (ADS.BS3.WwIII.no.71) cukup membuat ketiga subjek selain mengalami gejala-gejala fisik seperti tremor, bedebar-debar, lemas dan berkeringat (ADS.BS1.WwI.no.28; ADS.BS2.WwI.no.34; ADS.BS3.WwI.no.27), juga merasa panik dan bingung dalam bertindak mengingat mereka masih kurang memiliki pengalaman. Menghadapi kasus-kasus tersebut terlebih jika harus bertugas sendiri,

maka mereka cenderung untuk berkonsultasi dengan dokter atau senior (ADS.BS3.WwIII.no.71), memberikan tindakan medis (ADS.BS1. WwII&Obs.no.64), dan merujuk pasien ke rumah sakit bila tidak memungkinkan mendapat pertolongan di klinik (ADS.BS2. WwI.no.19).

Pada saat Subjek 2 menangani kasus bayi biru (kulit bayi yang baru dilahirkan berubah kebiru-biruan), meskipun merasa panik ia dan tenaga medis lain menunda membawa pasien ke rumah sakit agar kondisi pasien lebih baik sebelum dirujuk dengan memberikan suplai oksigen terlebih dahulu (ADS.BS2.WwI.no.45). Di kesempatan yang berbeda, Subjek 3 juga harus menghadapi kasus persalinan kehamilan pertama yang menunda dilakukannya tindakan episiotomi untuk melihat keelastisan kulit perineum, sehingga jika elastis tindakan episiotomi tidak perlu dilakukan (ADS.BS3.WwIII.no.80). Dalam menangani kasus kecelakaan, Subjek 2 mengesampingkan sesaat usaha untuk merujuk pasien, namun ia dengan segera membersihkan dan menjahit luka agar tidak terjadi infeksi dan pendarahan. Setelah kondisi lebih baik, pasien segera dibawa ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut (ADS.BS2.WwII&Obs.no.68).

Ketika Subjek 2 merasa sangat lelah, ia menangani persalinan dengan pendarahan dan bayi yang sulit keluar. Setelah melakukan berbagai tindakan, pasien dapat selamat. Rasa takut dan lelah tidak dirasakan lagi namun mengambil hikmah bahwa situasi ini merupakan

pengalaman berharga karena selain merupakan pengalaman pertama dan berhasil, pengalaman ini juga dapat dibagi dengan rekan lainnya.

“...capek, benar-benar ndak tidur dari kemarin, pasien melahirkan banyak, eh pasien ini tiba-tiba melahirkan pendarahan. Tapi setelah itu diambil pelajaran, eh itu pengalaman mana ada pasien kayak gitu. Jadi positifnya, kita pas ngadapin itu, pas tertangani lagi ‘kan. Ya Allah itu pengalaman berharga belum tentu orang lain bisa. Kebanggan, itu syukur”. (ADS.BS2.WwI.no.47)

Subjek 1 juga mengambil hikmah dari setiap kasus yang dihadapi, yaitu sebagai kesempatan mengintrospeksi kekurangannya (ADS.BS1. WwI.no.50), sedangkan bagi Subjek 3 menyelesaikan masalah/kasus merupakan kesempatan mengasah mental dan pengalamannya (ADS. BS3.WwI.no.21&40).

Penyerahan kepada Tuhan dengan berdoa dilakukan ketiga subjek saat berada dalam masa sulit, terutama saat menangani pasien kritis (ADS.BS1.WwII&Obs.no.76). Subjek 2 berusaha menenangkan diri/ menarik nafas (ADS.BS2.WwII&Obs.no.66) sambil tidak henti-hentinya berdoa agar pasien selamat ketika ia merujuk bayi ke rumah sakit dengan kondisi kurang oksigen dan detak jantung yang lambat (ADS.BS2.WwI.no.50). Subjek 3 juga melakukan hal yang sama, selain selalu berdoa sebelum bekerja agar dibimbing dan dilindungi Tuhan, ia juga berdoa pada saat menangani pasien gawat bahkan mengajak pasien untuk berdoa juga (ADS.BS3.WwI.no.43).

Tabel 16. Kesimpulan Sumber Stres dan Strategi Coping Saat Menghadapi Masalah Pekerjaan – Tekanan Akibat Menghadapi Berbagai Kasus

Sumber Stres Strain Strategi Coping

Menghadapi kasus pendarahan, partus letak sunsang, ibu pre-eklamsi, kasus distosia bahu, afeksia, kasus percobaan bunuh diri.

Tremor, berdebar-debar, lemas, dan berkeringat. Merasa panik dan bingung.

§ Berkonsultasi dengan dokter atau bidan senior.

§ Memberikan tindakan medis.

§ Merujuk pasien ke RS.

§ Intropseksi diri dan mengasah mental serta pengalaman. Menghadapi kasus bayi biru. Merasa panik. § Memberi suplai oksigen

sebelum merujuk ke RS. Menangani kasus kecelakaan. § Mengesampingkan merujuk

untuk membersihkan luka. Dalam kondisi capek, harus

menangani persalinan dengan pendarahan.

Merasa takut dan lelah.

§ Mengambil hikmah dari setiap situasi menekan sebagai pengalaman berharga.

Menangani pasien bayi yang kekurangan oksigen dan detak jantung yang lambat.

§ Merujuk pasien ke RS.

§ Menenangkan diri dengan mengatur nafas.

§ Terus berdoa agar pasien dapat selamat.

2) Dituntut untuk siap bekerja 24 jam

Ketiga subjek memiliki jadwal kerja yang sudah diatur oleh atasan termasuk hari liburnya. Akan tetapi mereka juga harus siap jika dibutuhkan hingga 24 jam, misalnya untuk membantu persalinan atau menangani pasien gawat dan menggantikan tugas rekan yang tidak dapat bekerja pada hari itu.

Subjek 1 dituntut harus siap untuk stand by walaupun dalam kondisi kurang istirahat karena sudah bekerja di shift sebelumnya atau sedang menghadapi masalah pribadi (ADS.BS1.WwII&Obs.no.72). Seringkali ia merasa kesal dan keberatan terlebih jika rekan-rekannya menjadi terbiasa mengandalkan dirinya karena statusnya sebagai yunior (ADS.BS1.WwI.no.26&27). Subjek 2 juga mengalami hal

serupa, ia harus siap bertugas karena bidan senior/ atasannya harus kuliah sehingga terkadang ia harus bekerja selama hampir 24 jam bahkan sendirian menghadapi kasus-kasus sulit (ADS.BS2.WwI. no.24) atau ia tidak dapat langsung pulang setelah shift selesai karena harus membantu bidan jaga (ADS.BS2.Obs.no.76).

Berbeda halnya dengan keadaan Subjek 3, ia harus selalu siap karena ia bertempat tinggal di klinik sehingga tanggung jawab pada shift malam dilimpahkan kepadanya. Ia juga selalu dipanggil jika bidan jaga memerlukan bantuan padahal ia baru saja turun jaga.

“Saya tinggal di klinik itu sendiri. Jadi kadang kita waktunya istirahat kita tiba-tiba dipanggil untuk bantu pasti ada”. (ADS.BS3. WwI.no.20)

“...subjek sempat diminta menangani pasien untuk membantu bidan di luar jam jaga. Meskipun akhirnya ia membantu, tapi ia tampak sedikit malas karena ia baru selesai mandi setelah jam jaganya usai”. (ADS.BS3.Obs.no.65)

Meskipun dengan alasan yang berbeda-beda, ketiga subjek menerima dengan pasrah tuntutan tersebut mengingat tanggung jawab akan tugasnya dan status sebagai yunior (ADS.BS1.WwII&Obs.no72; ADS. BS2.WwI.no.25; ADS.BS3.WwI.no.20). Mereka tetap harus bekerja secara profesional walaupun tidak jarang mereka mengeluh akan tugas dan tanggung jawab berat yang dibebankan kepadanya (ADS.BS2. WwI.no.48; ADS.BS3.WwI.no.42)

Tabel 17. Kesimpulan Sumber Stres dan Strategi Coping Saat Menghadapi Masalah Pekerjaan – Dituntut untuk Siap Bekerja 24 Jam

Sumber Stres Strain Strategi Coping

Dituntut untuk siap bekerja 24 jam meskipun dalam kondisi kurang istirahat atau sedang menghadapi masalah pribadi. Siap bertugas sendirian dan 24 jam saat atasan harus kuliah atau membantu bidan jaga. Siap bekerja 24 jam karena bertempat tinggal di klinik.

Merasa kesal dan keberatan.

§ Menerima dengan pasrah tuntutan tersebut sebagai tanggung jawab akan tugasnya dan mengingat statusnya sebagai yunior.

§ Mengeluhkan tugas dan tanggung jawabnya sebagai bidan.

3) Tekanan akibat gagal dalam menangani proses persalinan

Dalam melaksanakan tugasnya, subjek bertanggung jawab untuk menolong pasien semaksimal mungkin, sehingga pasien dapat terhindar dari kemungkinan terburuk. Meskipun demikian terkadang bidan tidak dapat mengelak dari kemungkinan-kemungkinan tersebut. Hal ini terjadi pada Subjek 3 ketika ia menolong kasus persalinan. Ia bersama tenaga medis lainnya sudah berusaha memberi tindakan medis hingga merujuk pasien ke rumah sakit (ADS.BS3.WwI.no.17), namun bayi yang baru saja lahir tidak dapat diselamatkan karena kondisinya buruk sejak dalam kandungan dan paru-parunya tidak dapat berfungsi (ADS.BS3.WwI.no.16). Subjek yang baru pertama kali menghadapi kegagalan seperti ini merasa bersalah dan sedih setiap kali mengingat hal ini. Pada akhirnya ia menghindar dari pembicaraan mengenai kasus ini sambil menggeleng-gelengkan kepalanya (ADS.BS3.Obs.no.66).

Tabel 18. Kesimpulan Sumber Stres dan Strategi Coping Saat Menghadapi Masalah Pekerjaan – Gagal Dalam Menangani Proses Persalinan

Sumber Stres Strain Strategi Coping

Gagal menolong bayi saat persalinan karena kondisi bayi sudah tidak baik sejak dalam kandungan.

Merasa sedih dan bersalah.

§ Memberi tindakan medis.

§ Merujuk pasien ke RS.

§ Menghindari pembicaraan mengenai kasus ini.

4) Tekanan akibat dilema yang terkait dengan isu etik

Sebagai bidan, ketiga subjek sering menghadapi dilema yang terkait dengan isu etik. Di satu sisi mereka memiliki kewajiban untuk membantu pasien, namun di sisi lain harus berhadapan dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat.

Dilema ini sering membuat subjek merasa tertekan, seperti yang dialami oleh Subjek 2, yang menangani kasus seorang ibu dengan gangguan rahim. Oleh karena harus dilakukan pemeriksaan yang intensif, maka subjek menyarankan ibu untuk dirujuk ke rumah sakit, namun pasien menolak dengan alasan keterbatasan ekonomi dan memohon untuk ditangani oleh subjek. Ia merasa bingung karena tidak bisa memaksakan hak pasien untuk tidak dirawat di rumah sakit tetapi ia juga tidak dapat berbuat banyak untuk kesembuhan pasien. Pada akhirnya subjek memutuskan untuk berkonsultasi dengan dokter dan memberikan tindakan medis agar kondisi pasien dapat menjadi lebih baik walaupun hanya bersifat sementara (ADS.BS2.Obs.no.73). Pasien atau keluarga yang tidak memberi izin kepada subjek untuk melakukan tindakan juga menimbulkan rasa tertekan dan kesal karena tugasnya adalah menyelamatkan nyawa pasien namun ia sendiri tidak dapat

bertindak tanpa sepengetahuan pasien karena risiko hukum yang harus ditanggung. Oleh karena it u, ia meminta pasien/ keluarga untuk menanda tangani surat inform consent sehingga tanggung jawab beralih dari subjek kepada pasien/ keluarga setelah sebelumnya memberikan informasi mengenai kondisi pasien.

“Setiap tindakan ‘kan memang harus dapat persetujuan pasien atau keluarga. Tapi kita kasih tahu dulu gimana-gimananya... Kalau tetap nggak mau ya kita kasih surat inform consent itu, biar segala sesuatu udah jadi tanggung jawab pasien ama keluarganya”.

(ADS.BS2.WwIII.no.82)

Perasaan tertekan ini juga dialami oleh Subjek 3, dimana ia harus menghadapi pasien aborsi. Pada dasarnya ia tidak tega melihat kondisi pasien yang datang sambil menangis dengan berbagai alasan dan mendesak dirinya untuk membantu menggugurkan kandungan, akan tetapi ia juga terikat sumpah jabatan dan dapat dihadapkan pada hukum dan norma agama (ADS.BS3.WwI.no.18). Dengan demikian subjek menolak memberi bantuan sembari memberikan nasihat kepada pasien (ADS.BS3.WwI.no.19). Berbeda dengan aborsi dengan alasan kriminalis, terkadang subjek harus menyarankan pengguguran kandungan kepada pasien karena kondisi pasien yang tidak baik, seperti ibu yang menderita penyakit jantung sangat beresiko karena dapat membahayakan nyawa ibu dan bayi. Akan tetapi jika pasien dan keluarga tidak memberikan izin, maka subjek mengikuti kemauan pasien dan tidak melakukan tindakan, selain meminta pasien/ keluarga menanda tangani surat inform consent.

“...setiap tindakan ya perlu persetujuan dari keluarga ataupun pasien, ya walaupun itu demi kebaikan pasien sendiri, kadang pasien ada yang menolak sih ya. Misalnya, bayinya digugurkan masalahnya karena ibu ada penyakit jantung. Itu nanti ketimbang ibunya berbahaya, bayinya juga berbahaya, mending digugurkan salah satu. Ibunya nggak mungkin ‘kan, kemungkinan bayi. Itu harus ada surat izin tindakan. Tapi kalau keluarganya nggak setuju ya udah, kita nggak perlu ngelakuin, tetap kita nggak boleh”.

(ADS.BS3.WwIII.no.73)

Tabel 19. Kesimpulan Sumber Stres dan Strategi Coping Saat Menghadapi Masalah Pekerjaan – Dilema Terkait Isu Etik

Sumber Stres Strain Strategi Coping

Tidak bisa memaksakan pasien gangguan rahim untuk dirujuk namun tidak dapat berbuat banyak jika ditangani di klinik.

Merasa bingung. § Berkonsultasi dengan dokter dan memberikan tindakan medis meskipun bersifat sementara.

Keluarga pasien tidak memberi izin untuk melakukan tindakan penggguran meskipun dapat membahayakan ibu dan bayi.

Merasa kesal dan tertekan.

§ Tidak melakukan tindakan tanpa izin pasien/ keluarga.

§ Meminta keluarga menanda tangani surat inform consent. Tidak tega melihat kondisi

pasien yang menangis mohon untuk diaborsi namun tidak dapat melanggar hukum dan kode etik.

Merasa tidak tega.

§ Menolak untuk melakukan aborsi.

§ Memberi nasihat kepada pasien agar mengurungkan niatnya.

5) Dituntut untuk memberi pertolongan dan pelayanan yang baik Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sebagai bidan, ketiga subjek bertanggung jawab penuh terhadap keselamatan pasien

Dokumen terkait