• Tidak ada hasil yang ditemukan

HERMENEUTIKA AL-QUR’ ÂN

1. Struktur Hermeneutis Shah}rûr

                                                         

Perbedaan itu dimaksudkan, jika untuk memahami al-Kitâb harus menggunakan metode

ijtihad sesaui dengan konteks dan perkembangan zaman, sebaliknya, ketika hendak memahami ayat-ayat al-Qur’ân harus didekati dan dipahami dengan menggunakan metode hermeneutika (ta’wîl) dan pemahamannya bisa tunduk pada perkembangan ilmu pengetahuan yang relatif

(nisbi).30

1. Struktur Hermeneutis Shah}rûr

a. Teks: Relasi Antara Bahasa dan Pemikiran

Teks adalah adalah bersifat otonom,31 demikian kata Shah}rûr. Pernyataan tersebut tidak lepas dari pendekatan struktural linguistik yang telah digunakannya. Sebagaimana disinggung dipenjelasan sebelumnya bahwa Shah}rûr, atas dasar pendekatan tersebut, tidak setuju dengan adanya sinonimitas dalam bahasa. Dengan melakukan sintesis antara teori linguistiknya Ibn Jinnî dan teori linguistiknya ‘Abd al-Qâhir al-Jurjânî, Shah}rûr menghasilkan prinsip tentang teks, yang antara lain: pertama, adanya kesusesuaian antara logika, pemikiran, dan fungsi transmisi sejak

permulaan pertumbuhan bahasa. Kedua, pemikiran manusia sesungguhnya terus melakukan

proses penyempurnaan dalam berbagai fase, mulai dari pengetahuan terhadap objek konkret hingga entitas abstrak. Ketiga, penolakan terhadap keistimewaan bahasa, yakni sinonimitas. Keempat, tata bahasa tersusun secara utuh dalam dalam berbagai level struktur yang bertingkat. Kelima, keharusan dalam memperhatikan hal-hal yang bersifat universal dan konstan dalam studi

tata bahasa tanpa menafikan hal-hal yang bersifat spesifik.32

Sampai di sini sintesis tersebut memberikan kenyataan bahwa sesungguhnya bahasa manusia pada awalnya berupa ucapan logis sehingga bentuk pertama bahasa adalah lafal yang mengungkapkan sebuah pemikiran dan memuat tujuan komunikasi.33 Pembentukan teks yang demikian pada gilirannya berimplikasi terhadap metode semantik yang tidak hanya mengandalkan kamus, tetapi lebih pada makna logis kontekstual berdasarkan perkembangan kontemporer.

b. Referensi Makna

Referensi makna Shah}rûr tidak lepas dari gagasan diferensisasi. Dalam hal ini adalah pemilahan antara al-Kitab menjadi tiga katagori muh}kâmât, mutashâbih dan lâ muh}kamât dan lâ mutashâbih. Pemetaan tersebut dimaksudkan untuk membatasi peran takwil pada objek tafsir yang

hanya bisa bermain pada mutashâbih dan lâ muh}kamât dan lâ mutashâbih. Batasan objek takwil

tersebut juga lebih ditekan pada mutashâbih, yang dikhususkan lagi pada al-Qur’ân tepatnya

dibahasan lawh mah}fûz} (sekumpulan ayat yang menginformasikan tentang hukum-hukum alam

permanen) dan imâm mubîn (hukum alam yang berubah).

Sampai di sini penekanan takwil Shah}rûr pada katagori sebagaimana disebutkan di atas, merupakan upaya penafsiran yang mengarah secara metaforis. Misalkan, ketika Shah}rûr memberi arti inzâl dan tanzîl. Inzâl adalah proses transformasi objektif di luar jangkauan akal manusia dari

sesuatu yang abstrak menjadi dapat dipahami oleh manusia. Sedangkan tanzîl adalah proses

pemindahan objek secara bentuk yang berlangsung di luar kesadaran manusia seperti 30 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir, 145-46

31 Ibid., 161

32 Ja’far Dâk Albâb, “Taqdîm: al-Manhaj al-Lughawî fî al-Kitab”, 22-24.

33 Ibid. Tafs}îl al-kitâb Sab‘ al-Mathânî Al-Qur’ân al-‘Az}îm Muh}kamât (Umm al-Kitâb)

                                                           

transformasi gelombang satelit. Ia mencontohkan konsep inzâl dan tanzîl dengan tayangan TV

yang menyiarkan pertandingan bola sepak secara langsung dari satu tempat kemudian dilihat oleh penonton yang berada di tempat yang lain.34

Dengan demikian realitas kontemporer tentang teori ilmiah dapat memberikan referensi yang difalsifikasi dan dirumuskan dari oleh al-Qur’ân yang sesuai dengan perkembangan zaman. Karenanya, sifat dan hasil takwil adalah relatif (nisbi) sesuai dengan perkembangan teori ilmu pengetahuan.

c. Objektivitas Penafsiran

Standar objektivitas menurut Shah}rûr adalah adanya kaidah penelitian dan teori ilmu pengetahuan kontemporer, khususnya ilmu-ilmu alam, sebab bagaimanapun realitas hanya bisa dikaji berdasarkan aturan penelitian ilmiah objektif.35 Dengan begitu, standar objetivitas takwil al-Qur’ân sejauhmana ayat-ayat al-al-Qur’ân menghasilkan berbagai teori ilmiah serta dapt dikaji dalam kerangka metodologi penelitian ilmiah yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan kontemporer. Dengan kata lain, konsep takwil Shah}rûr bersifat epistemologi-metodologis yang menuntut untuk ditindaklanjuti ke dalam tataran praksis dalam kerangka objektivitas ilmiah.

d. Metode dan Pendekatan Penafsiran

Guna mengatasi problem penafsiran parsial dan atomistik Shah}ûr menawarkan metode penafsiran yang meliputi:

a. Metode Tartil

Adapun metode yang sesuai menurut Shah}rûr dan mendapat presenden dari al-Qur’ân yaitu “tartîl”.36 Berbeda pada umumnya kata tartila sering diterjemahkan dengan membaca (tilâwah), tidak demikian dengan Shah}rûr yang memaksudkan tartîl, yaitu mengambil ayat-ayat

yang berkaitan dengan satu topik dan mengurutkan sebagaiannya di belakang sebagaian yang lain. Tartil diperlukan sebab banyak topik tertentu di dalam al-Qur’ân disebutkan secara berserakan. Agar memperoleh gambaran komprehensif dan alternatif, ayat-ayat yang berserakan itu harus dipertemukan.37

Dari pengertian yang dikemukan Shah}rûr, yang dimaksud dengan metode tartîl hampir

mirip bahkan serupa dengan tematik. Pengertian tematik secara umum bisa dipahami debagai upaya memahami al-Qur’ân dengan memokuskan pada tema yang telah ditetapkan dengan mengkaji secara serius tentang ayat-ayat yang terkait dengan tema tersebut. Topik inilah yang menjadi ciri utama dari metode tematik.38 Kekurangan dari metode tartîl yang ditawarkan oleh

Shah}rûr yang mirip dengan pengertian tematik tersebut adalah tidak penjelasan detail langkah-langkah metodisnya. Sebaliknya langkah-langkah-langkah-langkah metodis justru telah dirumuskan al-Farmawî: 1) Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik); 2) Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut; 3) Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbâb al-nuzûl-nya; 4) Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya

masing-masing; 5) Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out-line); 5) Melengkapi

pembahasan dengan h}adîth-h}adîth yang relevan dengan pokok bahasan; dan 5) Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayat-ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang ‘âm (umum) dan yang khâs} (khusus),

mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya

bertemu dalam satu muara, tanpa perdebatan atau pemaksaan.39

34 Shah}rûr, al-Kitâb wa al-Qur’ân, 147-155. 35 Ibid., 103.

36 QS. Muzammil [73]: 4.

37 Shah}rûr, al-Kitâb wa al-Qur’ân, 198. 38 Mustaqim, Epistemologi Tafsir, 167.

39 ‘Abd al-H{ay al-Farmâwî, al-Bidâyah fî al-Tafsîr Al-Mawd}û‘î (Kairo: al-H{ad}ârah Al-‘Arabîyah, 1977), 114-115.

                                                           

Di sisi lain, untuk melengkapi prosedurnya, dalam upayanya Shah}rûr, memanfaatkan pendekatan paradigmatis-sintagmatis. Paradigmatis ialah suatu analisa pencarian dan pemahaman

terhadap sebuah konsep (makna) suatu simbol-simbol lain yang mendekati dan yang berlawanan, sedangkan sintagmatis adalah analisa yang bertujuan untuk menetapkan makna yang paling tepat di

antara makna-makna yang ada, di mana setiap kata pasti dipengaruhi oleh hubungannya secara linear dengan kata-kata di sekelilingnya. Dalam meramu aspek semantik dengan model analisanya ini Shah}rûr kerap menggunakan metafora dan analogi yang diambil dari bidang keahlian dasarnya, ilmu teknik dan sains secara umum, terutama sekali adalah penggunaan analisa matematika dan fisika.40

b. Metode Ijtihad

Seperti telah disinggung sebelumnya, salah satu temuan orsinal Shah}rûr dalam rangka menafsirkan ayat-ayat muhkamat dalam al-Qur’ân adalah apa yang disebutnya teori batas (naz}arîyat al-h}udûd). Teori ini di bangun di atas asumsi dasar pemahaman yang serius terhadap

duan karakter Islam, yakni konsep istiqâmah (gerak konstan) dan h}anîfîyah (gerak lurus) dalam al-Kitab. H{anîfîyah merupakan penyimpangan dari jalan yang lurus, sedangkan istiqâmah merupakan

lawan dari h}anîfîyah yang berarti mengikuti jalan yang lurus. Shah}rûr menyimpulkan bahwa kedua

sifat ini merupakan bagian integral dari risalah yang mempunyai hubungan simbiotik. H}anîfîyah

adalah sifat alam yang terdapat juga ada pada manusia.41 Jika h}anîfîyah terdapat pada sifat alam,

“teori batas” inilah yang dijadikan jawaban atas konsep istiqâmah-nya. Teori ini diperoleh

diperoleh melalui penelaahan terhadap sifat dasar di atas dengan mendasarkan pada analisis matematika Isaac Newton.42 terutama mengenai persamaan fungsi yang dirumuskan dengan Y=F (X), jika ia hanya mempunya satu variable dan Y + F (X, Z) jika ia mempunyai dua variable atau lebih.43

Karenanya, memahami persamaan fungsi ini menjadi sesuatu yang niscaya bagi seseorang yang akan memahami ajaran Islam yang memiliki dua sisi yang berlawanan namun saling berkaitan (interwined), yaitu sisi al-thâbit istiqâmah) yang bergerak konstan dan sisi al-h}anîfîyah (al-mutaghayyir) yang bergerak dinamis. Hubungan antara sisi al-istiqâmah dan sisi al-h}anîfîyah dapat

digambarkan seperti kurva dan garis lurus yang bergerak pada sebuah matriks.44 Lihat gambar sebagai berikut:

Gambar Metode Ijtihad

Sumbu X menggambarkan Zaman konteks waktu dan sejarah, sedangkan Y menggambarkan hukum yang ditetapkan Allah. Dengan demikian dinamika ijtihad sesungguhnya

40 Sibawaihi, “Pembacaan al-Qur’ân Muhammad Syahrur”, dalam Jurnal Tashwirul Afkar, LAKPESDAM NU, Edisi

No. 12 tahun 2002, 121.

41 Hukum fisika mengatakan bahwa tidak ada benda yang gerakannya dalam garis lurus terus. Seluruh benda sejak dari elektron yang paling kecil hingga galaksi yang terbesar bergerak secara h}anîfîyah (tidak lurus). Lihat Muh}ammad

Shah}rûr, al-Kitâb wa al-Qur’ân, 447-449. 42 Ibid., 450.

43 Mustaqim, Epistemologi Tafsir, 198. 44 Ibid.

Y h}udûd

Zaman/konteks X

                                                           

berada dalam wilayah kurva al-h}anîfîyah yang bergerak dinamis sejalan dengan sumbu X. Hanya

saja, gerak dinamis dibatasi oleh h}udûd Allah, yakni Y (kurva al-istiqâmah)45

Catatan Akhir

Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa apa yang ditawarkan Shah}rûr telah memberi kontribusi besar bagi perkembangan keilmuan, terutama di bidang kajian al-Qur’ân. Dengan konsentrasi pada bidang bahasa (linguistik), Shah}rûr yang notabene sebagai

insinyur teknik mampu mendalami kajian al-Qur’ân sampai pada menelorkan teori baru, yakni kajian tentang pembacaan hermeneutis kontemporer (qirâ’ah al-muâ‘as}irah), yakni sebuah model

pembacaan hermeneutika uantuk memberikan pemaknaan baru dengan mendekonstruksi sekaligus merekonstruksi terhadap term-term istilah al-Qur’ân dengan menggantikan pemahaman lama yang begitu mapan mewarnai kehidupan khazanah keilmuan Islam.

Metode hermeneutika ta’wîl diaplikasikan terhadap ayat-ayat mutashâbih yang berisi

informasi atau isyarat ilmu pengetahuan. Dengan menggunakan metode tersebut, ayat-ayat yang tadinya masih merupakan kebenaran teoretis rasional atau berupa realitas objektif di luar kesadaran manusia menjadi sebuah teori yang benar-benar sesuai dengan akal dan realitas empiris. Jadi, hermeneutika yang ditawarkan Shah}rûr untuk memahami ayat-ayat mutashâbih

dimaksudkan untuk membuktikan bahwa informasi teoretis al-(q)ur’ân agar sesuai dengan realitas empiris sehingga terjadi harmonisasi antar-sifat absolut ayat-ayat al-(q)ur’ân dengan pembacaan relatif pembacanya.

45 Ibid.

                                                           

PAKET 6