Penggunaan bahasa tertentu dengan demikian berimplikasi pada bentuk konstruksi realitas dan makna yang dikandung. Pilihan kata dan cara penyajian suatu realitas ikut menentukan struktur konstruksi realitas dan makna yang muncul darinya. Wartawan berdiri sebagai perwakilan rakyat dalam menyampaikan maksud dan tujuannya kepada pemerintah atau Presiden. Di mana segala permasalahan yang terjadi pada masyarakat sebagai sesuatu yang menyusahkan, merugikan dan mempermalukan rakyat Indonesia melalui permainan bahasa, kalimat, atau kata.
Di sini, ideologi yang bekerja membuat pembaca tidak sadar untuk mempertanyakan situasi yang diciptakan oleh wartawan, karena kesadaran khalayak tentang realitas sosial ditentukan oleh apa yang dialami oleh masyarakat dengan cara
78
menciptakan dukungan khalayak. Dengan kata lain, menempatkan khalayak mengikuti ideologi yang disampaikan melalui kata, kalimat, pemis dan retorisnya yang mengajak untuk lebih mengutamakan kepentingan rakyat. Maka yang muncul dalam permainan kata, kalimat atau bahasa adalah Ideologi Nasionalisme. Berikut ini diuraikan penekanan atau penonjolan yang terlihat dalam kritik sosial jurnalisme komunitas yaitu pada Rubrik Intro Indonesia dalam menyampaikan wacana-wacana kepada khalayak melalui kata, kalimat, premis atau retoris yang mengandung ideologi-ideologi Nasionalisme sebagai berikut:
Kalimat:
“Dalam prespektif politik, apa jadinya negara ini tanpa rakyat? Seperti ‘hiu tanpa taring’…?”
Konteks dalam metafora ini memperlihatkan khalayak dari beberapa segi pengertian, di mana adanya hubungan antara pemerintah dan rakyat yang tidak dapat terpisahkan. Di awali dengan menegaskan bahwa berdasarkan perspektif politik, sebuah pertanyaan, ada hubungan yang sangat erat antar negara dan rakyat atau hubungan antara pemerintah Indonesia dengan rakyatnya. Hubungan tersebut adalah hubungan saling membutuhkan antara kedua belah pihak yang sama-sama memerlukan dukungan untuk mencapai kepentingan bersama. Dengan menggunakan perpektif ini, kalimat metafora ingin memberi tahu dan menegaskan, saat ini yang terlihat adalah hubungan pemerintah dengan rakyat renggang. Di mana pemerintah cenderung mementingkan diri sendiri.
79
Wisnu Adang Jaya dalam pernyataannya di Kompasiana:
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperingatkan kepada para pejabat publik, mulai dari pusat sampai ke daerah daerah agar tidak mempergunakan fasilitas negara untuk keperluan pribadi. Peringatan yang disampaikan oleh KPK itu mengatakan, pemanfaatan fasilitas negara oleh pejabat publik untuk keperluan pribadi bisa dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
Rakyat telah lama mengalami penderitaan, sementara para pejabatnya menari nari dalam eforia kemegahan di atas penderitaan rakyatnya. Mengutip sair lagu Djalaut Hutabarat seniman kota kerang ” Pisang raja setandan jangan makan seorang, pilirkan kawan berjiran ada yang makan tak makan, terkadang makan makan, terkadang terus tak makan “ Duh rakyat nasibmu memang
malang”19
Kecenderungan pemerintah mementingan dirinya, pada akhirnya akan membuat rakyat tidak simpati pada mereka. Selaras dengan penggunaan peribahasa untuk memperkuat perspektif politik, yang menyatakan hubungan antara pemerintah dan rakyat seperti “hiu tanpa taring”. Hiu sebagai binatang yang buas tidak akan menakutkan bila tidak punya taring. Peribahasa tersebut untuk memaknai bahwa wacana yang berkembang saat ini membentuk, bahwa pemerintah kehilangan taringnya yang seharusnya didukung oleh rakyat dalam mengolah bangsa. Terlihat dari wacana yang ingin disampaikan membuktikan bahwa pemerintah menutup mata dengan kehidupan rakyat Indonesia yang sebagian besar hidup dalam kemiskinan dan keterpurukan. Bila tidak ditanggulangi hubungan ini akan mengarahkan bangsa dalam satu situasi yang akan menciptakan batasan yang lebih jauh dengan rakyat.
19
http://kompasiana/MobilDinasDigunakanUntuk Selingkuh,KPK Semoga Bukan Gertak Sambal/Wisnu AJ/htm pada 6 September 2012 pukul 15.31
80
Kalimat:
“Pro-kontra diantara para pemimpin, masih selalu membinggungkan rakyat!”
Konteks dalam kalimat ini adalah pemerintah mempertontonkan sikap buruk di depan rakyat. Kalimat tegas dengan diakhiri penggunaan tanda seru (!), untuk menegaskan bahwa pemerintah tidak punya kesatuan yang membuat rakyat tidak dapat mengerti dengan tingkah laku yang tidak sepaham. Kalimat ini memperlihatkan bahwa kritik sosial tertuju pada pemerintah, sehingga mencoba menuduh pemerintah dalam mengambil keputusan atau kebijakan membuat rakyat binggung untuk menjalankannya. Permasalahan-permasalahan yang muncul dari segala kebijakan dianggap sebagai solusi yang terbaik, namun malah menimbulkan masalah baru. Hal ini merupakan tanda bahwa di dalam pembentukan atau pembuatan sebuah kebijakan sering terjadi silang pendapat antar sesama pejabat-pejabat bangsa, sehingga tidak mampu merumuskan kebijakan dengan baik. Satu kesatuan dalam tubuh pemerintahan sangat penting karena jabatan yang ada dipundak mereka merupakan sebuah tanggung jawab yang tidak main-main. Rektor Universitas Paramadina Anies R Baswedan, menyatakan:
Tak hanya itu, komunikasi di antara para pemimpin bangsa juga tak terjalin, bahkan pemimpin cenderung melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji saat rapat kerja seperti adu argumentasi yang berakhir pada adu jotos atau
saling menjelek-jelekan satu dengan yang lain20.
20
ht t p:/ / ant ara-new s/ anies-indonesia-alami-krisis-kepem im pinan.htm / pada 6 sept em ber 2012 pukul 09.30
81
Namun, hal ini tidak ditanggapi serius oleh pemerintah. Adu jotos dan perang
mulut dalam sidang dianggap lumrah padahal memperlihatkan attitude kepemimpinan
yang buruk dan tidak terpuji. Khalayak harus menyadari sikap-sikap ini. Sikap yang tidak mampu mengubah kehidupan yang terbaik bagi rakyat. Kualitas pemerintah semakin hancur karena tidak ada perubahan mendasar dalam memilih dan menempatkan seseorang dalam kursi pemerintahan. Pro kontra yang tidak jelas dan tidak mendasar atau hanya argumentasi kosong dalam rapat-rapat atau sidang memposisikan pemerintah pada level terendah dalam benak rakyat.
Kalimat:
“Apa yang kita tanam hari ini, itu yang akan kita tuai kemudian. Siapa yang kita pilih hari ini, itu yang akan memimpin kita kemudian”.
Konteks dalam kalimat ini adalah khalayak mempunyai hak yang harus digunakan dengan cerdas saat momentum Pemilu. Tidak terlepas juga mengkritisi diri sendiri atau khalayak sebagai rakyat Indonesia. Kalimat yang digunakan dengan memberi penekanan atau penonjolan kalimat kritik seperti sebuah pepatah. Kalimat ini mengartikan bahwa apa yang diputuskan oleh khalayak atau rakyat saat memilih pemimpin bangsa Indonesia akan menghasilkan pemimpin yang sesuai dengan keinginan rakyat. Jangan mudah terpengaruh dengan elit-elit politik yang menebar kebaikan-kebaikan lewat media, karena apa yang dipilih oleh rakyat menentukan masa depan bangsa. Apalagi memilih secara asal-asalan atau dipengaruhi orang, maka pemimpin dengan kualitas buruk akan terpilih kembali. Kualitas kepemimpinan yang
82
buruk akan membawa bangsa dalam mimpi buruk hingga 5 tahun mendatang. Dan dalam tahun-tahun itulah rakyat akan hidup dalam kesengsaraan tidak hentinya.
Di saat rakyat mendengarkan janji-janji kampanye peserta Pemilu dan mereka terpilih menjabati kursi-kursi empuk tersebut, maka rakyat pasti akan disuguhkan kesenangan-kesenangan palsu. Hal ini pun harus disadari oleh khalayak, agar elit-elite politik bersungguh-sungguh mencalonkan dirinya sebagai wakil rakyat. Wacana yang berkembang saat ini memunjukkan kepada rakyat bahwa janji manis elit politik tidak dibawa sampai mereka terpilih. Seperti salah satu berita dalam Suara Karya Online:
Pemerintah diharapkan tidak mengumbar janji akan meningkatkan kesejahteraan buruh/pekerja jika tidak bisa merealisasikannya segera. Apalagi selama ini terbukti seluruh wacana pemerintah yang tergolong "angin surga" selalu tidak berjalan baik.
Pemerintah yang terpilih akan membumbui janji-janji kampanyenya dengan indah dan rakyat hanya menunggu-nunggu kapan semua janji akan dilaksanakan. Tapi, janji-janji indah tersebut hanya lepas lewat mulut dan hilang lewat udara di sekitarnya seperti kenyataan-kenyataan yang sering terjadi.
Kalimat:
“Mau jadi apa negara ini jika pemimpinnya melankolis?”
Konteks dalam kalimat ini adalah Presiden Indonesia menunjukan bukan sikap atau gaya kepemimpinan yang tepat menjalankan pemerintahan. Kalimat ini sedang menuduh Presiden Indonesia yaitu Presiden SBY. Menggunakan kata “melankolis” memperlihatkan bahwa sosok SBY saat ini seperti pemimpin yang tidak tegas dan tidak
83
berani. Menjadi seorang Presiden bukan hal yang mudah karena segala pusat kekuasaan berada dalam tangannya. Presiden SBY tidak menyadari perilaku melankolisnya selama kepemimpinannya dalam periode I dan II. Hal ini akan berimbas pada rakyat. Rakyat mempercayai bangsa ini pada Presiden, tapi Presiden tidak mempunyai kepercayaan atas tanggung jawab yang diembannya. Maka timbulah kalimat tanya ini. Sepertinya tidak ada kepercayaan rakyat bahwa sifat melankolis presiden akan membawa bangsa sesuai yang dicita-citakan selama ini. Pengamat politik Cartha Politika, Yunarto Wijaya menyatakan:
Seharusnya di periode terakhir ini, SBY harus bisa meninggalkan gaya komunikasi melankolis. “Dulu saat awal 2004, memang SBY mendapat keuntungan dari underdog effect. Di mana dia saat itu seolah-olah terzalimi olah penguasa. Beda dengan saat ini, ini periode kedua, Toh, dia pun tidak akan bisa maju untuk periode berikutnya. Sehingga pencitraan sudah tidak lagi terlalu penting.” kata Yunarto. Menurutnya, seharusnya Presiden SBY bisa lebih all out dan lebih tegas lagi serta tak terjebak dalam underdog effect. Yunarto pun menyoroti output komunikasi SBY yang normatif atau mengambang. Hal ini
akan menimbulkan multitafsir dan ketidakjelasan21.
Tanggapan dari pengamat politik pun menegaskan bahwa tidak ada gunanya Presiden SBY memimpin seperti itu. Kepemimpinan melankolis akan memperlihatkan hal-hal yang tidak jelas dan tentu akan mempermalukan rakyat dihadapan pemimpin-pemimpin bangsa lainnya yang berhasil menjadi pemimpin-pemimpin yang berani. SBY harus menjadi dirinya sendiri dan memperlihatkan sikap seorang pemimpin bangsa yang tepat dan benar serta menghantarkan bangsa kepada kemajuan dan sejajar dengan negara-negara maju lainnya.
21
84
Kalimat:
“Betapa konyolnya bangsa ini, jika dipimpin oleh presiden yang dikit-dikit ngadu, dikit-dikit ngeluh, dikit-dikit minta dikasihani, dikit-dikit merasa dikritik, dikit-dikit merasa dikeroyok”.
Konteks kalimat ini adalah Presiden SBY pemimpin yang sering melakukan tindakan-tindakan lemah di pemerintahannya. Kalimat memaparkan detil-detil sifat yang kemudian muncul dari seorang presiden SBY selama menjabat sebagai pemimpin bangsa ini. Di awali dengan ungkapan dengan rasa penyesalan “betapa konyol” kata ini memperlihatkan, tidak ada keuntungan yang didapati oleh bangsa bila pemimpin bangsa dalam konteks ini SBY yang menunjukan kelemahannya dalam memimpin bangsa Indonesia.
Kemudian dilanjutkan dengan detil-detil kekonyolan SBY seperti kata “dikit-dikit ngadu”, ““dikit-dikit-“dikit-dikit ngeluh”, ““dikit-dikit-“dikit-dikit minta dikasihani”, ““dikit-dikit-“dikit-dikit merasa dikritik”, dan “dikit-dikit merasa dikeroyok” yang semakin memperjelas bahwa sikap-sikap tersebut memang sering dilakukan Presiden SBY sebagai pemimpin. Pada akhirnya mensugestikan khalayak bahwa tidak pantasnya SBY menjadi presiden dan memimpin bangsa yang besar ini. Hanya karena tidak mampu menghadapi suatu permasalahan SBY sudah terkesan menyerah dan ketakutan. Hasil survey Litbang Monitoring Indonesia juga menunjukkan:
Seratus hari kerja pemerintahan, Presiden ternyata telah melakukan delapan kali curhat, mulai Kamis, 29 Oktober 2009, SBY curhat mengenai
85
media yang sering sinis kepadanya. Hal itu bahkan disampaikan di depan 1.400
peserta National Summit di Hotel Bidakara22.
Pengamat politik LIPI Siti Zuhro pun memperkuat hasil survey Litbang, menyatakan:
Pernyataan Presiden SBY sebenarnya lebih mirip curhat yang bisa membuat publik justru merasa bingung. “Pernyataan yang terlalu sering menunjukkan rasa sensitif yang berlebih. Komunikatif itu bukan curhat, jadi
kurang tepat dari perspektif komunikasi,” paparnya kepada Monitor Indonesia.
Seharusnya, sebagai pemegang otoritas tertinggi untuk mengeksekusi program di negara ini, Presiden menyampaikan informasi tentang kebijakan pemerintah. Bukan justru membeberkan perasaannya. “Ini kan hubungan sebagai sebagai
pemimpin dan yang dipimpin23.
Sederhana saja, dengan mempertegas gaya kepemimpinan adalah tuntutan yang dianggap dapat dijalankan SBY di periode keduanya dan membentuk satu harapan untuk mewujudkan pemimpin bangsa yang berbeda dengan pemimpin bangsa. Sehingga, wacana yang berkembang di masyarakat tentang sikap SBY sebagai Presiden yang tidak berani terutama tidak berani berbeda pendapat. Dalam kepemerintahan sikap tersebut dapat ditepis dengan mewujudkan sikap yang bukan melankolis lagi.
22
http://monitoringindonesia/ DiaryCurhatSBYPolitikMelankolisBerdampak Sistemik.htm/ pada 2 september 2012 pukul 12.30
23
86
Kalimat:
“Para Menteri cukup senang dengan mobil baru ini”.
Konteks kalimat ini adalah menteri-menteri kabinet SBY-Boediono Menerima mobil mewah. Fakta tentang mobil baru para menteri yang tengah berkembang dalam masyarakat telah membentuk satu wacana yang menginformasikan kepada khalayak bahwa pemerintah sedang bersenang-senang dengan fasilitas baru yang dinikmatinya. Pejabat-pejabat memperlihatkan kegembiraannya tersebut dengan menuturkannya kepada banyak media. Dengan alasan menunjang pelayanan mereka kepada rakyat. Namun dari kalimat di atas, kebahagiaan yang dirasakan para menteri diwakilkan dengan kata “cukup” yang berarti masih ada ketidakpuasan yang tersirat. Mobil mewah dengan harga selangit akan menaikan gengsi mereka sebagai pejabat. Namun dengan kalimat ini pun akan membentuk wacana lain, di mana mereka akan menuntut fasilitas-faslitas mewah lainnya sehingga rasa puas benar-benar terpenuhi. Berita dalam Rakyat Merdeka menuliskan:
Pembelian mobil baru untuk anggota Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II itu bertentangan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 64/PMK.02/2008 tanggal 29 April 2008 mengenai Standar Biaya Umum Anggaran 2009, Lampiran 32.1, yang menyebutkan standar biaya tertinggi pengadaan dinas pejabat adalah Rp 400 juta per unit.
Apalagi para menteri serta pejabat negara yang menerima mobil baru itu juga masih mengeluhkan kondisi mobilnya. Misalnya, Menteri Perindustrian MS Hidayat mengatakan, mobil Mercedes Benz-nya lebih enak dibandingkan dengan mobil barunya.”Enakan Mercy saya. Ini (Crown) baru hari ini saya pakai,” katanya.
Menko Perekonomian Hatta Rajasa pun berpendapat, mobil barunya lebih sempit dibandingkan dengan mobilnya yang lama, Toyota Camry.
87
“Mobilnya lebih kecil dari yang dulu, dalamnya kita lihat tuh lebih sempit,” kata
Hatta saat ditemui di kantornya24.
Pengadaan mobil mewah bagi menteri-menteri ini pun memperlihatkan satu ketimpangan. Di mana sebagian besar pejabat adalah orang yang berada atau mampu seperti orang yang tidak berkecukupan dengan meminta-minta fasilitas dan tidak tanggung-tanggung yang diinginkan adalah yang mewah dan mahal. Khalayak harus membantah setiap alasan-alasan ini. Menteri yang seharusnya memperlihatkan kinerja yang baik dan benar baru bisa mendapatkan satu penghargaan yaitu penghargaan dari rakyat. Bukan sebaliknya, di mana belum terlihat kinerjanya sudah menuntut fasilitas-fasilitas yang sebenarnya membebani negara dengan anggaran yang tidak sedikit. Salah satu berita di media online Indosiar menunjukkan:
Fasilitas mewah bagi pejabat tinggi negara sering menjadi sorotan panjang. Sejak masa pemerintahan Presiden Soeharto, para menteri dan pejabat tinggi lainnya menikmati fasilitas mewah tersebut, mulai dari rumah dan mobil mewah hingga fasilitas hotel mewah. Namun saat ini fasilitas tersebut dipertanyakan.
Untuk menunjang pelayanan terhadap publik, para pejabat publik mendapat fasilitas dari negara antara lain rumah dinas, mobil dinas dan tunjangan-tunjangan lain. Pada tahun ini Ketua MPR dan DPR serta para pejabat tinggi negara diberikan Volvo seri baru dengan harga sekitar 500 sampai 800 juta rupiah25.
Ada baiknya jika ketentuan-ketentuan sebagai pejabat di negara ini dirumuskan kembali, dengan maksud memperlihatkan kinerja yang nyata kepada bangsa dan rakyat
24
http://RMonline/ BPK,-Periksalah-Segera-Anggaran-Mobil-Menteri.htm/ pada 3 september 2012 pukul 16.12
25
http://indosiar/ fasilitas-mewah-untuk-pejabat-dipertanyakan_28975.html/ pada 6 september 2012 pukul 16.00
88
terlebih dahulu. Fasilitas mewah seperti ini pun jelas merusak citra pejabat, di mana rakyat merasakan bahwa terbukti pemerintah hanya memikirkan kebaikan dirinya sendiri. Pekerjaan sebagai wakil rakyat di nomor duakan.
Kalimat:
“Ini membuktikan bahwa pejabat tinggi di negeri ini, belum lagi bisa rendah hati”.
Konteks kalimat ini adalah menteri-menteri tidak mempunyai sikap rendah hati kepada rakyat. Sudah terlanjur untuk memperbaiki kembali citra para menteri-menteri atau pejabat di negeri ini. Rakyat sudah memasang pemikiran-pemikiran yang buruk kepada pemerintah. bagaimana tidak pemerintah tidak dapat menunjukan sikap yang baik dan merakyat. Kata “membuktikan” dalam kalimat ini berarti memaknai bahwa pejabat tinggi dalam konteks ini Presiden dan para menterinya terbukti tidak mempunyai satu sikap yang peduli kepada rakyat kecil. Penegasan ini pada akhirnya membangun satu wacana dalam masyarakat bahwa pemerintah hanya memikirkan dirinya sendiri dan tidak peduli rakyat menderita dengan tingkahnya.
Kalimat “belum lagi bisa rendah hati” pada akhirnya memperkuat wacana yang disampaikan kepada khalayak. Kalimat ini menyatakan bahwa selama ini pemerintah tidak pernah belajar dari kesalahan terdahulu, bahwa mereka belum menunjukan kerendahan hatinya kepada rakyat Indonesia. Ini berarti ada berbagai aspek-aspek kehidupan di mana para pemerintah sering melakukan tindakan-tindakan yang tidak
89
rendah hati selama mereka menguasai bangsa ini. Wayan Sudirta, Ketua Kaukus Anti-Korupsi dalam salah satu berita di Rakyat Merdeka mengatakan:
“Dalam situasi sulit seperti sekarang seharusnya para pemimpin memiliki sensitivitas. ‘Kan mereka sering bilang bahwa perekonomian kita berat, pertumbuhan sulit, jumlah rakyat miskin masih 10,8 persen, pengangguran banyak, apa mereka lupa itu? Kok maunya yang enak saja sih,” kata I Wayan. Senator asal Bali itu meminta para pejabat tinggi negara menahan diri, tidak aji mumpung, dan sebaiknya menunjukkan kepedulian pada penderitaan rakyat. Kalau kondisi keuangan negara sudah bagus, tidak apa-apa ada pemberian mobil mewah. Tetapi kalau dilakukan sekarang, sangat ironis dan paradoks.
“Lihat dong kehidupan rakyat, mereka masih sengsara, masak pejabatnya dapat mobil mewah. Berarti, pemerintah sengaja menciptakan ketidakadilan,
membiarkan terjadinya gap yang makin lebar. Pejabat hidupnya mewah
sementara rakyat miskin tidak ketulungan,” tegas dia26.
Sepertinya pemerintah belum siap menerima segala tanggung jawab memenuhi kesejahteraan rakyat Indonesia. Dengan banyaknya kritikan yang datang dengan sikap mereka sepertinya belum tentu bisa menyadarkan pemerintah yang terlanjur tenggelam dengan segala kemewahan. Khalayak harus mengontrol tindakan-tindakan pemerintah yang semakin tidak karuan ini, dengan meminta pertanggung jawaban atas segala kinerjanya di pemerintahan.
Kalimat:
“Mereka asik dengan fasilitas yang diperoleh dari uang negara, yang notabene adalah uang rakyat”.
Konteks kalimat ini adalah pemerintah menggunakan uang rakyat untuk membeli mobil mewah. Dana yang digunakan untuk membeli semua mobil mewah para
26
http://RMonline/ BPK,-Periksalah-Segera-Anggaran-Mobil-Menteri.htm/ pada 3 september 2012 pukul 16.12
90
menteri tidaklah sedikit. Kalimat ini semakin diperkuat dengan adanya kalimat “diperoleh dari uang negara” yang berarti memaknai bahwa fasilitas yang dinikmati oleh para pejabat tinggi negara adalah hasil dari uang negara atau uang rakyat. Diyakini dana tersebut diambil dari dana APBN 2009 yang adalah uang rakyat. Wacana yang berkembang di masyarakat menyatakan bahwa uang rakyat adalah untuk rakyat bukan untuk kepentingan pemerintah sendiri. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Abdullah Dahlan, mengatakan:
Anggaran pembelian mobil baru menteri masuk dalam APBN 2009. Yakni, anggaran mendesak Depkeu dengan kuasa penggunanya Setneg. Jumlah mobil yang dibeli 79 unit, dengan harga per unitnya Rp 810 juta. Namun, biaya mobil baru dalam APBN 2009 disepakati per unit Rp 810 juta. Apabila itu di-kalikan dengan jumlah pejabat yang berhak, 79 orang, maka nilainya mencapai Rp 31,6 miliar.
Sedangkan harga mobil merek Toyota Crown Royal Saloon menurut keterangan pemerintah mencapai Rp 800 juta per unit sehingga total anggarannya menjadi Rp 63,9 miliar. Jika dihitung terjadi selisih 100 persen lebih. “Kalau asumsi sesuai anggaran maka nilai pemborosan mencapai Rp 32,3 miliar dengan harga mobil Rp 800 juta tersebut. Belum lagi kalau nilainya mencapai Rp 1,32 miliar per unit pemborosan mencapai Rp 71,1 miliar,” kata
Abdullah27.
Mahalnya harga sebuah mobil menteri tentu sangat menyakiti hati rakyat terutama rakyat yang hidup di dalam garis kemiskinan yang tiap hari hidup dalam kekurangan. Mendapati bahwa kenyataan uang yang seharusnya untuk keberlangsungan hidup mereka disalahgunakan oleh pemerintah. Kalimat ini menunjukan adanya diskriminasi yang didapati atau dirasakan oleh rakyat. Wacana yang berkembang dalam masyarakat membuktikan satu fakta bahwa rakyat menikmati fasilitas memprihatikan, dengan tidur dalam ruangan yang kecil dan berdesa-desakan. Sekarang saatnya untuk
27
91
bertindak tegas menghadapi pemerintah yang kian hari kian melenceng dari harapan rakyat sebagai perwakilan dari rakyat bukan dengan demo yang arnakis tetapi dengan kegiatan-kegiatan yang lebih pintar dan membuat malu pemerintah.
Kalimat:
“Ketika ada gejolak di tanah air, sang pemimpin malah “melancong” kemana-mana sampai jauh ke luar negeri”.
Konteks kalimat ini adalah tanah air penuh dengan berbagai masalah, Presiden SBY jalan-jalan ke luar negeri dengan alasan menjalin kerjasama. Negara Indonesia tidak lepas dari masalah-masalah bangsa yakni permasalahan politik, ekonomi, sosial dan lain-lain. SBY tidak sadar dengan tingkah lakunya yang senang melakukan perjalanan ke luar negeri untuk menjalin kerjasama bilateral, hanya menjalinsaja dan tidak menghasilkan sebuah hasil.