• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 KAJIAN TEORI ............................................................................. 12-36

2.2. Konsep Diri Akademik

2.2.2. Struktur konsep diri akademik

Proses perkembangan konsep diri tidak pernah berakhir, hal tersebut berjalan terus dengan aktif dari saat kelahiran sampai kepada kematian sejalan dengan individu tersebut secara terus menerus menemukan potensi-potensi yang baru dalam proses membentuk diri. Untuk memiliki sebuah konsep diri, seorang anak harus memandang dirinya sendiri sebagai sebuah obyek yang

jelas berbeda dan mampu untuk melihat obyek-obyek lainnya. Lalu menjadi sadar terhadap perspektif-perspektif lainnya, hanya di dalam cara yang demikian, hanya dalam cara yang demikanlah dia dapat sadar terhadap evaluasi-evaluasi dari orang lain terhadap dirinya.

Terdapat tiga sumber yang tampaknya penting dalam pembentukan konsep diri, walaupun nilai penting relatifnya berlain-lainan pada periode-periode yang berbeda-beda di dalam jangka kehidupannya. Ketiga sumber itu adalah (dalam Burns, 1993):

1. Diri fisik dan citra tubuh

Konsep diri pada mulanya adalah citra tubuh, sebuah gambaran yang dievaluasikan mengenai diri fisik. Pada masa awal perkembangan bayi perbedaan yang pertama dibuat antara diri dan bukan diri didasarkan atas kesadarannya terhadap sensasi-sensasi sentuhan, otot dan dan kinestetiknya sendiri sewaktu dia menyentuh, mencubit, melempar, jatuh, menubruk dan lain-lainnya. Sosok tubuh, penampilan dan ukurannya merupakan hal teramat penting di dalam mengembangkan pemahaman tentang evolusi konsep diri seseorang. Perasaan-perasaan yang bersangkutan dengan tubuh dan citra tubuh menjadi inti dari konsep diri di dalam tahun-tahun pertama kehidupan.

Sangat jelas bahwa perkembangan bahasa membantu perkembangan dari konsep diri, karena penggunaan ‘aku’, ‘dia’ dan ‘mereka’ berguna untuk membedakan diri (self) dengan orang-orang lainnya. Simbol-simbol bahasa juga membentuk dasar dari konsepsi-konsepsi dan evaluasi-evaluasi tentang diri, misalnya sedang sedih atau merasa bahagia. Umpan balik dari orang-orang lain seringkali dalam bentuk verbal. Dengan kata lain konsep diri dipahami dalam hubungannya dengan bahasa dan perkembangannya dibuat mudah dengan bahasa. Jadi jelas bahwa bahasa menjadi sumber konsep diri, dimana individu mampu untuk mengkonseptualisasikan dan memverbalisasikan diri dan orang lain.

3. Umpan balik

Sumber utama lainnya dari konsep diri, selain citra tubuh dan keterampilan berbahasa adalah umpan balik dari orang-orang lain yang dihormati. Sebuah contoh dijelaskan oleh Guthrie (Burns, 1993) dalam menjelaskan pengaruh umpan balik terhadap konsep diri. Sebuah kelompok dari siswa pria memainkan yang dimaksudkan sebagai lelucon kepada seorang siswa wanita yang bodoh dan tidak menarik. Mereka memperlakukan siswa wanita tersebut untuk beberapa waktu lamanya seakan-akan ia sangat populer dan menarik. Siswa-siswa pria tadi terkejut karena dalam waktu satu tahun dia mengambangkan sikap yang santai, percaya diri dan popularitas. Sikap semacam itu meningkatkan perolehan yang positif dan memperkuat

reaksi-reaksi dari orang lain. Siklus umpan balik yang serupa terdapat dibalik banyak konsep diri dan pola-pola tingkah laku dari kita semua.

Ditambahkan pula oleh Calhoun dan Acocella, potret diri mental (konsep diri) memiliki tiga dimensi, yaitu pengetahuan tentang diri anda sendiri, pengharapan anda tentang anda sendiri, dan penilaian tentang diri anda sendiri.

Shavelson dkk. (dalam Marsh & Hattie, 1996) memperkenalkan model konsep diri, terdapat tujuh karakteristik penting dalam konstruk konsep diri yang menjadi pertimbangan dalam penyusunan model Shavelson dkk.

a. Orang-orang mengorganisasi sejumlah besar informasi yang mereka miliki mengenai diri mereka sendiri dalam dimensi-dimensi dan mengaitkan setiap dimensi tersebut satu sama lain dalam sebuah struktur.

b. Konsep diri yang dimiliki seseorang bersifat multifaset, dan setiap fasetnya mencerminkan sebuah dimensi yang diciptakan oleh orang tersebut atau masyarakatnya.

c. Konsep diri yang bersifat hirarkis. Persepsi terhadap perilaku dalam situasi yang spesifik terletak didasar hirarki, penyimpulan tentang diri dalam dimensi-dimensi tertentu terletak di tengah hirarki, dan konsep diri yang bersifat umum dan global terletak dipuncaknya.

d. Konsep diri umum yang terletak dari puncak hirarki bersifat stabil. Di bawah puncak ini, konsep diri menjadi semakin spesifik terhadap situasi-situasi tertentu, sehingga sifatnya juga lebih tidak stabil. Oleh karena itu,

perubahan dalam konsep diri yang terletak di bagian bawah hirarki mungkin tidak terlalu berpengaruh terhadap konsep diri yang berada di atasnya, namun perubahan konsep diri umum di puncak hirarki akan ikut mempengaruhi konsep diri seseorang di banyak bidang.

e. Konsep diri menjadi lebih bersifat multifaset seiring dengan perkembangan individu dari bayi hingga dewasa. Pada masa bayi, seseorang belum dapat membedakan dirinya dari lingkungannya, sementara anak-anak cenderung masih memiliki konsep diri yang global dan belum terbedakan. Baru pada masa dewasa konsep diri seseorang makin terdiferensiasi dan terintegrasi menjadi konstruk yang hirarkis dan multifaset.

f. Konsep diri memiliki aspek deskriptif dan evaluatif. Evaluasi dapat dilakukan dengan membandingkan dengan kondisi ideal yang absolut, standar relatif terhadap teman-teman sebaya, atau tuntutan dari orang-orang terdekat. Setiap dimensi konsep diri dapat memiliki bobot makna yang berbeda-beda bagi tiap orang.

g. Konsep diri pada bidang tertentu memiliki hubungan yang lebih kuat pada konstruk yang secara teoritis berkaitan daripada konsep diri pada bidang lain yang tidak berkaitan. Misalnya, prestasi akademik akan memiliki hubungan yang lebih kuat dengan konsep diri akademik dibandingkan dengan konsep diri sosial atau fisik.

Dari ketujuh karakteristik yang telah dikemukakan tersebut, Shavelson dkk. (dalam Marsh & Hattie, 1996) menciptakan sebuah bagan struktur konsep

diri yang bersifat multidimensional dan hirarkis, yang selanjutnya secara ringkas di gambarkan oleh peneliti.

Oleh Strein (dalam Tan & Yates, 2007)) istilah konsep diri akademik diatas dapat ditandai dengan dua elemen yang konsisten dengan model Shavelson. Pertama, akademik konsep diri mencerminkan deskriptif (misalnya, saya suka matematika) serta evaluatif (misalnya, saya baik di matematika) aspek persepsi diri. Kedua, persepsi diri yang terkait dengan konsep diri akademik cenderung berfokus pada kompetensi akademis, bukan sikap. Hal ini senada dengan teori yang dikembangkan oleh Liu dan Wang (dalam Tan & Yates, 2007) ada dua ranah konsep diri akademik yaitu academic confidence

(kepercayaan diri akademik) yakni persepsi dan perasaan siswa terhadap kompetensi akademik mereka. Kemudian academic effort (usaha akademik) yaitu komitmen siswa akan keterlibatan dan minatnya terhadap tugas sekolah.

General Self-Concept

Academic

Self-Concept Nonacademic Self-Concept:

1. Social Self-Concept. 2. Emotional

Self-Concept.

Dokumen terkait