• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kanker

2.2 Studi Fenomenologi

Penelitian kualitatif ialah jenis penelitian yang berfokus akan individu maupun grup yang memiliki perspektif berbeda dalam memandang sebuah realita

(biasanya realita sosial maupun psikologikal). Penelitian ini berfokus pada pengalaman yang dirangkum sebagai data yang tidak dapat dihitung menggunakan angka (Hancock, Ockleford & Windridge, 2009).

Fenomenologi, berakar dari tradisi filosofi yang dikembangkan oleh Husserl dan Heidegger, sebuah pendekatan untuk mengerti pengalaman kehidupan manusia setiap hari. Para pakar fenomenologi percaya bahwa pengalaman hidup memberikan arti tersendiri bagi masing-masing persepsi manusia pada setiap fenomena yang terjadi. Tujuan dari pendekatan ini ialah untuk mengerti persepsi dan pengalaman hidup bagi yang mengalami. Empat aspek pengalaman kehidupan yang diamati oleh para pakar fenomenologi ialah ruang kehidupan, ruang jasmani, ruang duniawi, dan hubungan sesama manusia (Polit & Beck, 2012).

Ada beberapa variasi dan interpretasi metodologi dalam fenomenologi yaitu fenomenologi deskriptif dan fenomenologi interpretif (Polit & Beck, 2012). Fenomenologi deskriptif pertama kali dikembangkan oleh Husserl pada tahun 1962. Fenomenologi ini mencakup hal yang didengar, dilihat, dirasakan, dipercaya, diingat, diputuskan, dievaluasi, dan aksi. Fenomenologi deskriptif memiliki empat tahap: bracketing, intuiting, analyzing, dan describing (Polit & Beck, 2012).

Langkah pertama yaitu bracketing. Bracketing adalah proses mengidentifikasi dan mengurungkan keyakinan yang terbentuk sebelumnya serta opini yang objektif tentang fenomena yang diteliti. Bracketing tidak pernah dapat diwujudkan secara total, tetapi peneliti berjuang untuk tidak menambahkan anggapan untuk menjaga data dalam keadaan asli (Polit & Beck, 2012).

Langkah selanjutnya ialah intuiting. Intuiting ialah keadaan dimana peneliti benar-benar memahami dan tenggelam dalam fenomena sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh partisipan. Peneliti menghindari segara kritik, evaluasi, ataupun opini dan tetap memerhatikan fenomena sesuai dengan yang dijelaskan partisipan (Streubert & Carpenter, 2011).

Pada tahap berikutnya adalah analyzing. Pada tahap ini peneliti mengidentifikasi esensi fenomena yang telah diinvestigasi berdasarkan data yang diperoleh dan bagaimana data diberikan (Streubert & Carpenter, 2011).

Langkah terakhir yaitu describing. Tujuan melakukan describing untuk mengkomunikasikan, menuliskan, juga memberikan perbedaan deskripsi secara verbal, elemen-elemen pengkritik dari fenomena. Deskripsi yang dilakukan berdasarkan klasifikasi dari fenomena. Peneliti harus menghindari dalam menambahkan deskripsi sebelum waktunya (Streubert & Carpenter, 2011).

Proses analisis data pada fenomenologi deskriptif adalah Collaizi (1978), Giorgi (1985), dan Van Kaam (1966). Ketiga fenomenologi tersebut berpedoman pada filosofi Husserl dimana fokus utamanya ialah mengetahui gambaran dari sebuah fenomena (Beck, 2013).

Jenis fenomenologi yang kedua adalah fenomenologi interpretif. Fenomenologi interpretif dikembangkan oleh Heidegger. Jenis penelitian ini menekankan pada pemahaman dan penafsiran, tidak sekedar deskripsi pengalaman manusia. Penelitian interpretif bertujuan untuk menemukan pemahaman dari makna pengalaman hidup dengan cara masuk ke dalam dunia partisipan (Polit & Beck, 2012).

Sumber data dalam studi fenomenologi berasal dari perbincangan yang cukup dalam (in-depth interview) antara peneliti dan partisipan dimana peneliti membantu partisipan untuk menggambarkan pengalaman hidupnya tanpa adanya suatu diskusi. Melalui perbincangan yang cukup dalam peneliti berusaha untuk menggali informasi sebanyak mungkin dari partisipan (Polit & Beck, 2012).

Dalam studi fenomenologi, jumlah partisipan yang terlibat adalah 10 orang atau lebih sedikit. Partisipan yang terlibat dalam penelitian ini akan dipilih dengan menggunakan teknik purposive sampling yaitu metode pemilihan partisipan dalam suatu penelitian dengan menentukan terlebih dahulu kriteria partisipan yang akan dilibatkan dalam penelitian. (Polit & Beck, 2012).

Dalam penelitian ini, peneliti mengunakan pendekatan fenomenologi desriptif. Hasil penelitian dalam studi fenomenologi diperoleh melalui proses analisa data Collaizi (1978 dalam Polit & Beck, 2012) menyatakan ada tujuh langkah yang harus dilalui untuk menganalisa data. Proses analisa data tersebut meliputi: 1) membaca transkrip wawancara untuk mendapatkan perasaan partisipan, 2) meninjau setiap transkrip dan menarik peryataan yang signifikan, 3) menguraikan makna dari setiap pernyataan yang signifikan dan memilih kata kuncinya, 4) mengelompokkan makna-makna tersebut kedalam kelompok-kelompok tema, 5) mengintegrasikan kedalam bentuk transkrip, 6) memformulasikan deskripsi lengkap dari fenomena yang diteliti sebagai identifikasi pernyataan, dan 7) memvalidasi apa yang telah ditemukan kepada partisipan sebagai tahap validasi akhir.

Penelitian kualitatif termasuk fenomenologi perlu ditingkatkan kualitas dan integritas dalam proses penelitiannya, sehingga perlu diperiksa bagaimana tingkat keabsahan data pada penelitian kualitatif termasuk fenomenologi. Lincoln dan Guba (1985 dalam Polit & Beck, 2012) menyatakan bahwa untuk memperoleh hasil penelitian yang dapat dipercaya maka data divalidasi dengan beberapa kriteria yaitu: 1) credibility (dapat dipercaya), 2) dependability

(konsisten), 3) confirmability (persetujuan relevansi), 4) transferability (bisa digunakan pada konteks lain), dan 5) authenticity.

Credibility meliputi keyakinan terhadap kebenaran data dan interpretasinya. Kredibilitas yang tinggi tercapai jika partisipan yakin dan mengenali dengan benar tentang hal-hal yang diceritakannya. Tujuan prosedur ini adalah untuk memvalidasi keakuratan hasil laporan transkrip kepada partisipan terhadap apa yang telah diceritakan tentang pengalamannya.

Dependability merupakan suatu bentuk kestabilan data pada setiap waktu dan kondisi. Dependability dilakukan dengan melibatkan pembimbing penelitian atau pakar penelaahan data. Pembimbing merupakan eksternal viewer yang berfungsi untuk memeriksa hasil pengolahan data yang dilakukan peneliti.

Confirmability mengandung makna bahwa sesuatu hal dinilai secara objektif dan netral, dimana ada beberapa orang independen yang menilai data-data yang telah dikumpulkan oleh peneliti. Prinsip confirmability dilakukan dengan cara mendiskusikan hasil penelitian berupa tema-tema yang telah didapatkan kepada ahli dalam penelitian ini yaitu pembimbing.

Transferability merupakan bentuk validitas eksternal yang menunjukkan derajat ketepatan sehingga hasil penelitian dapat diterapkan pada setting dan kelompok yang berbeda pada populasi yang sama. Seorang peneliti harus dapat menyediakan deskripsi data dengan rinci, jelas, sistematis dan mudah dimengerti pada laporan penelitiannya sehingga pengguna lainnya dapat mengevaluasi data kedalam konteks yang lain.

Authenticity memfokuskan pada sejauh mana peneliti dapat menunjukkan berbagai realitas. Authenticity muncul dalam penelitian ketika partisipan menyampaikan pengalaman partisipan dengan penuh perasaan. Penelitian memiliki keaslian jika dapat mengajak pembaca merasakan pengalaman kehidupan yang digambarkan, dan memungkinkan pembaca untuk mengembangkan kepekaan yang meningkat sesuai masalah yang digambarkan.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Kanker adalah istilah umum untuk sekelompok besar penyakit yang dapat mempengaruhi setiap bagian dari tubuh. Istilah yang digunakan adalah tumor ganas dan neoplasma (WHO, 2015). Kanker tersebut berkembang melalui penciptaan sel-sel abnormal yang cepat membelah lebih dari batas biasa, dan kemudian dapat menyerang bagian tubuh dan menyebar ke organ lain. Proses tersebut dikenal dengan sebutan metastatis. Jika metastasis kanker tidak terkontrol dengan baik, maka akan menyebabkan kematian (American Cancer Society, 2015).

Telah diperkirakan pada tahun 2015 sebanyak 10.380 kasus kanker terjadi pada anak dengan usia 0-14 tahun (American Cancer Society, 2015). Setiap tahun, jumlah anak dengan kanker meningkat disebabkan oleh kenaikan tidak hanya dalam insiden, tetapi juga di tingkat kelangsungan hidup. Tingkat insiden kanker pada anak di Amerika Serikat mengalami peningkatan dari 11,5 kasus per 100.000 anak di tahun 1975 menjadi 14,9 per 100.000 anak pada tahun 2004. Tingkat insiden kanker anak di Jordan juga berfluktuasi antara 9 dan 10 kasus per 100.000 anak antara tahun 2000 dan 2007 (Masa’Deh, Collier, & Hall, 2012).

Menurut penelitian yang dilakukan Kars et al. (2011) banyak anak dengan kanker dapat disembuhkan, namun sekitar 25% meninggal akibat penyakit yang diderita. Begitu juga dengan data yang diberikan oleh National Statistic Report Vital pada tahun 2013 menerangkan bahwa kematian terbesar pada anak

disebabkan oleh penyakit kanker sebanyak 58%. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) tahun 2014 menerangkan bahwa di Indonesia, data registrasi kanker di DKI Jakarta menunjukkan jumlah kasus kanker pada anak adalah sebesar 4,7% (601 kasus) dari seluruh kasus kanker (12.792 kasus).

Pengetahuan tentang penyebab kanker, dan intervensi untuk mencegah dan menanggulangi penyakit sudah disebar secara luas. Kanker dapat dikurangi dan dikendalikan dengan pelaksanaan strategi berbasis bukti untuk pencegahan kanker, deteksi dini kanker, dan manajemen pasien. Kanker memiliki peluang yang tinggi untuk disembuhkan jika terdeteksi lebih dini dan ditangani secara adekuat (WHO, 2015).

Beberapa sumber onkologi anak setuju bahwa menjadi orang tua dari anak dengan kanker adalah suatu peristiwa stres emosional. Studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa orang tua dari anak penderita kanker terlibat dalam terapi jangka panjang. Anak dengan kanker dapat menjalani hidup terus-menerus dengan ketidakpastian hasil, dan mungkin harus hidup dengan ancaman kambuh atau kematian selama bertahun-tahun. Ditemukan banyak orang tua yang terpengaruh pikologisnya disebabkan diagnosa yang dihasilkan, efek samping pengobatan, dan status kesehatan anak. Selain itu, orang tua juga melaporkan beban kerja dan status keuangan, hubungan keluarga dengan merawat anak lainnya, dan kadang-kadang merasa bersalah (Masa’Deh, Collier, & Hall, 2012).

Banyak peningkatan yang dialami oleh anak dengan kanker dikarenakan intensif terapi yang dilakukan seperti operasi, kemotrerapi, radiasi, dan transplantasi stem sel. Peningkatan tersebut masih belum menimbulkan

kenyamanan pada kondisi orang tua karena masih ditemukan tanda dan gejala dari stres, kelemahan, atau gangguan stress post- trauma (Klessen et al., 2012). Ketidakberhasilannya pengobatan menciptakan rasa takut kehilangan yang dialami oleh Ibu yang menyebabkan meningkatnya usaha Ibu dalam penyediaan pengobatan yang diberikan pada anak (Kars et al., 2011).

Pengalaman dalam merawat anak dengan kanker membuat Ibu mengalami gangguan baik secara fisik, mental, dan kesejahteraan sosial. Sejak timbul gejala hingga akhirnya anak menderita kanker stadium akhir, Ibu mengalami emosi yang timbul silih berganti (Kristiani, Wirawan, Kusumarjo, & Tehuteru, 2008). Orang tua juga mengalami gangguan tidur, kelelahan, tidak selera makan, kehilangan maupun bertambahnya berat badan, depresi, rasa bersalah, ansietas, rasa amarah, isolasi sosial, dan kondisi kesehatan lainnya (Klassen et al., 2012).

Beberapa orang tua yang diwawancarai mengatakan bahwa merawat anak dengan penderita kanker menimbulkan banyak pengaruh pada kondisi kesehatan. Banyak orang tua menjelaskan bahwa penyakit kanker yang diderita oleh anak menimbulkan kecemasan yang mengakibatkan kesulitan tidur pada orang tua. Orang tua yang menjaga anak di rumah sakit juga menjelaskan bahwa betapa sulitnya untuk memiliki kualitas dan kuantitas tidur yang baik, ditambah lagi dengan orang tua yang bangun pada tengah malam untuk merawat anak seperti memberi makan, membantu toileting, dan membuat anak agar merasa nyaman. Kelelahan fisik dan psikis yang dirasakan oleh para orang tua menimbulkan gangguan tidur dan distres emosional seperti kuatir akan kondisi anak. Orang tua juga menjelaskan bahwa letih dan perasaan kurang energi menggangu segala

aktivitas harian, seperti kehilangan waktu tidur yang semakin memperburuk keadaan (Klassen et al., 2012).

Nafsu makan yang hilang membuat orang tua mengalami gangguan pada berat badan, ada yang semakin bertambah bahkan ada yang mengurang. Beberapa anak yang tidak bisa makan ataupun menoleransi bau makanan tertentu menyebabkan orang tua memutuskan untuk tidak makan. Gangguan interaksi selama merawat anak penderita kanker juga kerap dirasakan orang tua (Elcigil & Conk, 2010). Beberapa dari orang tua mengekspresikan kekecewaan yang dirasakan pada jaringan sosial, khususnya dengan keluarga dan teman yang tidak bisa mengerti keadaan (tidak pernah berkunjung) begitu juga dengan dukungan sosial yang berangsur-angsur berkurang seiring waktu (Klassen et al., 2012).

Penelitian yang dilakukan sebelumnya mengenai pengalaman keluarga dengan anak penderita penyakit kronis menghasilkan respon emosional, membawa ke pengobatan diluar medis, juga menemukan aspek budaya yang mempengaruhi dalam memberikan pengasuhan pada anak penderita kanker. Berdasarkan hal tersebut, peneliti berencana membuat penelitian mengenai pengalaman orang tua khususnya Ibu dalam merawat anak penderita kanker, dengan penelitian ini peneliti berharap bahwa pada hasil akhirnya peneliti mampu menemukan hal-hal apa saja yang dapat mempengaruhi pengalaman Ibu dalam merawat anak penderita kanker.

Dokumen terkait