• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendahuluan

Pengeringan merupakan proses pengeluaran air dari dalam bahan secara termal untuk menghasilkan produk kering. Pengeringan sudah dikenal sejak dulu sebagai salah satu metode pengawetan produk bahan pertanian. Proses ini dipengaruhi oleh kondisi eksternal yaitu suhu, kelembaban, kecepatan dan tekanan udara pengering serta kondisi internal seperti kadar air, bentuk/geometri, luas permukaan dan keadaan fisik bahan. Setiap kondisi yang berpengaruh di atas dapat menjadi faktor pembatas laju pengeringan (Brooker et al. 1981). Pengeringan merupakan metode pengawetan produk yang cukup kompleks terutama disebabkan oleh adanya perubahan yang tidak diinginkan atas kualitas produk keringnya (Madamba et al. 1996; Mujumdar & Menon 1995). Tujuan dasar dalam pengeringan produk pertanian adalah pengurangan air dalam bahan sampai ke tingkat tertentu, di mana mikroba pembusuk dan kerusakan akibat reaksi kimia dapat diminimalisasi (Rizvi 2005), sehingga kualitas produk keringnya dapat dipertahankan.

Salah satu produk pertanian yang memerlukan proses pengeringan adalah tanaman obat temu putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Rosc.) dan temu lawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) yang termasuk ke dalam suku Zingiberaceae. Bagian tanaman ini yang digunakan sebagai bahan baku obat tradisional atau lebih dikenal dengan jamu adalah umbi akar (rhizome) berupa irisan yang dikeringkan, disebut simplisia. Kadar air rimpang temu putih dan temu lawak pada saat dipanen berkisar 80-90%, angka ini cukup tinggi sehingga komoditas ini mudah rusak bila tidak segera diolah atau dikeringkan. Menurut Farmakope Herbal Indonesia (Depkes 2008) dan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 661/Menkes/SK/VII/1994 tentang Persyaratan Obat Tradisional, standar kadar air maksimum simplisia adalah 10%. Pada umumnya petani dan pedagang pengumpul melakukan pengeringan dengan cara penjemuran yang rawan kontaminasi. Selain itu tingkat suhu dan kelembaban penjemuran tidak cukup memadai sehingga sulit untuk mencapai standar kadar air yang disyaratkan. Untuk

meningkatkan kualitas hasil pengeringan maka cara pengeringan dengan penjemuran alami harus diganti dengan teknik pengeringan yang lebih modern. Untuk itu informasi tentang karakteristik pengeringan dan sifat-sifat termofisik setiap produk secara spesifik termasuk temu putih dan temu lawak harus diketahui, hal ini diperlukan dalam membuat desain rancangan proses dan peralatan pengeringannya.

Studi tentang perilaku pengeringan tanaman obat dan herbal telah menjadi topik yang menarik bagi berbagai peneliti, antara lain jahe (Balladin et al. 1996), paprika hijau dan bawang (Kiranoudis et al. 1992), bawang (Shaarma et al. 2005), wortel (Doymaz 2004), teh hitam (Panchariya et al. 2002; Temple & Boxtel 1999), daun ketumbar (Ahmed et al. 2001), daun mint (Park et al. 2002), dan rosehip (Erenturk et al. 2004).

Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh kondisi suhu, kelembaban relatif dan laju udara pengeringan terhadap karakteristik pengeringan, menentukan model matematis pengeringan serta mengkaji pengaruh kondisi pengeringan terhadap konstanta pengeringan lapisan tipis temu putih dan temu lawak.

Tinjauan Pustaka

Teori Pengeringan

Pengeringan adalah proses penguapan air dari bahan yang dikeringkan dengan memberikan panas atau energi. Panas yang disuplai dapat melalui cara konveksi, konduksi dan radiasi. Lebih dari 85% pengering industri merupakan tipe konveksi dengan medium udara panas atau gas buang. Panas diberikan pada lapisan batas bahan yang dikeringkan dan selanjutnya terdifusi kedalam bahan secara konduktif. Air dalam bahan akan bergerak ke lapisan batas dan kemudian menguap dan dibawa oleh udara pengeringan (Mujumdar & Menon 1995).

Air yang diuapkan terdiri dari air bebas dan air terikat. Laju penguapan air bebas sebanding dengan perbedaan tekanan uap pada permukaan air terhadap tekanan uap pengering (Henderson & Perry 1976). Bila konsentrasi air permukaan cukup besar, maka akan terjadi laju penguapan yang konstan.

Air bebas adalah bagian air yang terdapat pada permukaan bahan, dapat digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya serta dijadikan sebagai media reaksi-reaksi kimia. Air bebas dapat dengan mudah diuapkan pada proses pengeringan. Untuk menguapkan air bebas diperlukan energi yang lebih kecil daripada menguapkan air terikat.

Air terikat dibagi menjadi dua, yaitu air yang terikat secara fisik dan air yang terikat secara kimiawi. Air yang terikat secara fisik merupakan bagian air yang terdapat dalam jaringan matriks bahan karena adanya ikatan-ikatan fisik. Apabila kandungan ini diuapkan maka pertumbuhan mikroba, reaksi pencoklatan (browning), hidrolisis atau oksidasi lemak dapat dikurangi.

Bila air permukaan telah habis, maka akan terjadi migrasi air dan uap dari bagian dalam ke permukaan secara difusi (Hall 1957; Henderson & Perry 1976). Difusi air atau uap air dalam bahan dapat terjadi melalui satu atau beberapa mekanisme berikut (Jangam & Mujumdar 2010):

• Difusi cair (liquid diffusion), jika suhu bahan berada di bawah suhu titik didih (boiling point) cairan

• Difusi uap air (vapor diffusion), jika air menguap di dalam bahan

• Difusi Knudsen, jika pengeringan terjadi pada suhu dan tekanan yang sangat rendah seperti pada proses pengeringan beku

• Difusi permukaan (surface diffusion), mungkin terjadi walaupun belum terbukti

• Perbedaan tekanan hidrostatis (hydrostatic pressure differences), terjadi ketika laju penguapan internal lebih besar daripada laju transfer uap air dari bahan ke lingkungan

• Kombinasi dari mekanisme di atas.

Struktur fisik bahan yang dikeringkan mengalami perubahan sepanjang waktu pengeringan sehingga mekanisme penguapan juga dapat berubah. Pengeringan merupakan operasi yang kompleks yang melibatkan fenomena transfer panas dan massa secara simultan. Proses ini dapat menyebabkan terjadinya perubahan fisik dan kimiawi bahan. Perubahan secara fisik meliputi penyusutan, puffing, kristalisasi dan transisi gelas, sedangkan secara kimia menyebabkan perubahan warna, tekstur, bau dan sifat-sifat bahan lainnya.

Pengeringan merupakan unit operasi dengan tingkat konsumsi energi tinggi dan bersaing dengan proses destilasi sebagai the most energy-intensive unit operation sehubungan dengan tingginya panas laten penguapan air dan ketidakefisienan (inherent inefficiency) dari penggunaan udara panas sebagai media pengeringan pada umumnya (Jangam & Mujumdar 2010).

Pada proses pengeringan terdapat dua jenis laju pengeringan, yaitu laju pengeringan konstan (constant rate) dan laju pengeringan menurun (falling rate). Grafik laju pengeringan ini dapat dilihat pada Gambar 2-1. Menurut Brooker et al. (1981) laju pengeringan konstan terjadi pada awal proses pengeringan produk dengan kadar air lebih besar dari 70% bb. dan merupakan fungsi dari suhu, kelembaban udara, dan kecepatan udara pengering. Umumnya laju pengeringan konstan merupakan periode yang singkat sehingga dapat diabaikan dalam proses pengeringan (Henderson & Perry 1976).

Gambar 2-1. Kurva pengeringan (Hall 1957)

Laju pengeringan menurun terjadi setelah akhir laju pengeringan konstan, dimana kadar air bahan pada perubahan laju pengeringan ini disebut kadar air kritis (critical moisture content) (Hall 1957; Henderson & Perry 1976). Laju pengeringan menurun sering dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap laju pengeringan menurun pertama dan tahap laju pengeringan menurun kedua. Tahap

A B C D E M t

laju pengeringan menurun pertama terjadi pada saat berkurangnya permukaan bahan yang basah karena kecepatan pergerakan air dari dalam lebih kecil dibandingkan kecepatan penguapan di permukaan (Heldman & Singh 1981). Sedangkan laju pengeringan menurun kedua terjadi pada saat bagian dalam bahan menguap dan uap air berdifusi ke permukaan. Gambar laju pengeringan konstan dan laju pengeringan menurun dapat dilihat pada Gambar 2-2, dimana:

A-B : periode pemanasan B-C : laju pengeringan konstan C : kadar air kritis

C-D : periode penurunan laju pengeringan pertama D-E : periode penurunan laju pengeringan kedua

Gambar 2-2. Kurva karakteristik laju pengeringan (Hall 1957)

Kadar air kritis adalah kadar air terendah dimana laju air bebas dari dalam bahan ke permukaan tidak terjadi lagi. Pada periode laju pengeringan menurun terjadi penurunan tekanan uap dari permukaan produk di bawah tekanan uap jenuh. Karena uap air secara terus menerus meninggalkan bahan, maka tekanan uap dalam bahan semakin kecil, yang berarti perbedaan tekanan uap antara bahan dengan udara disekitarnya semakin kecil. Kondisi tersebut akan menghasilkan penurunan pada laju pengeringan produk, sehingga disebut dengan laju pengeringan menurun. E D C B A LP M Laju pengeringan menurun Laju pengeringan tetap Me dM/dt

Besarnya laju pengeringan berbeda-beda pada setiap bahan. Faktor-faktor yang mempengaruhi laju pengeringan tersebut adalah:

1. Bentuk bahan, ukuran, volume dan luas permukaan.

2. Sifat termofisik bahan, seperti: panas laten, panas jenis spesifik, konduktifitas termal dan emisivitas termal.

3. Komposisi kimia bahan, misalnya kadar air awal 4. Keadaan diluar bahan, seperti suhu, kelembaban udara

Pada Gambar 2-3 terlihat beberapa tipe kurva pengeringan yang umum digunakan dalam menggambarkan proses pengeringan (Kemp et al. 2001).

Gambar 2-3. Kurva Pengeringan (Kemp et al. 2001)

Kadar Air Keseimbangan

Kadar air keseimbangan didefinisikan sebagai nilai kandungan air bahan pada saat tekanan uap air di permukaan bahan seimbang dengan tekanan uap air lingkungannya (Hall 1957). Konsep kadar air kesimbangan ini penting dalam mempelajari proses pengeringan karena akan menentukan kadar air minimum yang dapat dicapai pada kondisi pengeringan tertentu (Brooker et al. 1981).

Jika tekanan uap air di permukaan bahan lebih besar dari udara sekitar akan terjadi pelepasan air dari bahan ke udara (proses desorspsi), sedangkan pada keadaan sebaliknya terjadi penyerapan air oleh bahan (proses adsorpsi). Brooker

et al. (1981) menyebutkan bahwa dalam kondisi seimbang laju desorpsi sama dengan adsorpsi. Kondisi keseimbangan ini spesifik untuk setiap jenis bahan pada kelembaban nisbi dan suhu tertentu. Henderson menggambarkan hubungan antara kadar air keseimbangan dengan kelembaban nisbi dan suhu adalah sebagai berikut (Brooker et al. 1981):

1 - RH = exp (- c T Men) (2.1)

Kurva persamaan di atas ditampilkan dalam hubungan kadar air keseimbangan terhadap kelembaban nisbi pada suhu tertentu. Persamaan Henderson banyak dipakai termasuk dalam penelitian ini karena bentuknya sederhana walupun demikian persamaan tersebut cukup representatif.

Model matematika pengeringan lapisan tipis

Henderson & Perry (1976) menyatakan bahwa pengeringan lapisan tipis adalah pengeringan dimana semua bahan yang terdapat dalam lapisan menerima secara langsung aliran udara dengan suhu dan kelembaban relatif yang konstan, dimana kadar air dan suhu bahan seragam. Pengeringan rimpang temu putih menggunakan metode lapisan tipis karena semua permukaan bahan menerima langsung panas yang berasal dari udara pengering.

Untuk menduga perubahan kadar air bahan selama pengeringan lapisan tipis, dikembangkan model matematika baik secara teoritis, semi teoritis dan empiris. Luikov (1966) dalam Brooker et al. (1981) telah mengembangkan model matematik dalam bentuk persamaan diferensial untuk menggambarkan proses pengeringan dari produk hasil pertanian sebagai berikut:

�� � = ∇2K1.1M +∇2K1.2T +∇2K1.3P � � =∇2K2.1M +∇2K2.2T +∇2K2.3P �� � =∇2K3.1M +∇2K3.2T +∇2K3.3P (2.2)

Mekanisme perpindahan massa dalam bahan pertanian adalah kompleks. Pengeringan bahan-bahan biologik pada umumnya mengikuti periode laju pengeringan menurun. Pada periode ini perpindahan air atau uap air dikendalikan secara difusi. Dengan menganggap bahwa resistensi perpindahan air tersebar

secara merata didalam bahan yang homogen, analogi hukum Newton untuk pendinginan pada persamaan (2.3) dipakai untuk analisis pengeringan.

=−� � − � (2.3)

Dalam persamaan ini diasumsikan bahwa sampel cukup tipis dan kecepatan udara tinggi (minimum 0.3 m/s), suhu dan kelembaban udara yang melalui bahan dijaga tetap konstan. Pengeringan lapisan tipis didasarkan pada pengeringan bahan yang sepenuhnya terbuka terhadap hembusan udara yang menyebabkan semua bahan dalam lapisan tersebut mengalami pengeringan secara seragam (ASABE 2006) .

Persamaan (2.3) dapat diintegralkan menjadi (Palipane & Driscoll 1994; Pahlavanzadeh et al. 2001; Doymaz & Pala 2003):

��= � − �

�0 − �

= �exp −� ∙ (2.4)

Konstanta pengeringan merupakan karakteristik bahan dalam mempertahankan air yang terkandung didalamnya terhadap pengaruh udara panas. Konstanta pengeringan dinyatakan sebagai persatuan waktu (1/menit atau 1/jam). Makin tinggi nilai konstanta pengeringan makin cepat suatu bahan membebaskan airnya. Konstanta pengeringan (k) dalam sistem pengeringan lapis tipis tergantung pada kondisi bahan (kadar air, suhu dan geometri bahan) dan kondisi pengeringan (suhu, kelembaban dan laju aliran udara pengering).

Model pengeringan lapisan tipis membedakan perilaku pengeringan bahan- bahan biologik dalam tiga kategori, yaitu teoritis, semi-teoritis dan empiris. Model semi-teoritis pada umumnya diperoleh dari penyederhanaan deret umum dari solusi hukum Fick kedua atau modifikasi dari penyederhanaan model dan berlaku (valid) pada selang suhu, kelembaban nisbi dan kecepatan udara dimana model dibangun (Ozdemir & Derves 1999). Diantara model-model pengeringan lapisan tipis (Tabel 2-1), model Lewis, Henderson-Pabis, two-term dan model Page adalah yang paling sering digunakan (Akpinar et al. 2003; Madamba et al. 1996). Model-model semi teoritis dan empiris ini pada umumnya dapat menjelaskan proses pengeringan lapisan tipis secara memuaskan (Sarsavadia et al. 1999; Rizvi 2005).

Tabel 2-1. Model-model persaman matematis pengeringan lapisan tipis

(Ertekin & Yaldiz 2004; Ceylan et al. 2007)

No Model Persamaan

1 Lewis MR = exp(−k t)

2 Henderson-Pabis MR = a exp(−k t)

3 Page MR = exp(−kt n)

4 Modified Page MR = exp(−k t )n 5 Logarithmic MR = a exp(−k t) + c

6 Two-term MR = a exp(−k1 t)+ b exp(- k2 t) 7 Wang and Singh MR = 1 + a t + b t2

Pengeringan Simplisia

Simplisia merupakan produk pertanian yang setelah melalui proses panen dan pasca panen menjadi produk sediaan kefarmasian untuk dipakai atau diproses lebih lanjut. Simplisia juga dibuat untuk pemenuhan stok dalam proses produksi. Proses pembuatan simplisia mempengaruhi mutu simplisia yang mencakup komposisi zat atau bahan aktif, kadar air akhir, kontaminasi dan keawetan. Secara teknis kegiatan pasca panen diawali dengan proses pengangkutan hasil panen, sortasi, pengupasan, pencucian, perajangan, pengeringan, pengepakan, penyimpanan. Pasca panen sebagai mata rantai proses untuk memperoleh jaminan mutu bagi simplisia, secara umum sangat dipengaruhi oleh (1) kandungan air bahan, (2) suhu (pemanasan) selama proses pengeringan, (3) sinar ultra violet dan (4) pH pada saat enzim di dalam jaringan bahan masih dalam kondisi aktif (Pantastico et al. 1975).

Ketika tanaman dipanen, aktivitas metabolisme yang terjadi di dalam tanaman berhenti, tetapi komponen-komponen kimia seperti enzim (hidrolase, oksidase, polymerase) yang tertinggal pada jaringan bahan yang dipanen belum berhenti. Enzim memiliki sifat tidak tahan terhadap pemanasan. Aktifitas enzim dapat dihentikan dengan melakukan proses blansir (blanching) terlebih dahulu sebelum pengeringan (Ertekin & Yaldiz 2004). Kerusakan fisik dapat terjadi karena aktivitas air yang kurang terkontrol sehingga menimbulkan cemaran, khususnya mikroba. Proses pengeringan dengan menggunakan sinar matahari atau oven merupakan alternatif lain untuk menghentikan aktivitas enzim dan mencegah timbulnya cemaran mikroba. Tetapi beberapa bahan mudah rusak jika dikeringkan

langsung dibawah paparan sinar matahari yang mengandung sinar ultra violet, misalnya bahan yang mengandung minyak atsiri, pro-vitamin A dan zat antioksidan. Demikian juga dengan suhu pengeringan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kandungan zat aktif dalam bahan berkurang bahkan hilang. Pengaturan suhu selama proses pengeringan merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam menghasilkan simplisia yang baik, secara fisik maupun kimia. Untuk memperoleh kualitas optimal, Farmakope Herbal Indonesia menyatakan pengeringan sebaiknya dilakukan pada suhu tidak lebih dari 60o C (Depkes 2008).

Studi tentang perilaku pengeringan tanaman obat telah menjadi topik yang menarik bagi berbagai peneliti, antara lain jahe (Balladin et al. 1996), paprika hijau dan bawang (Kiranoudis et al. 1992), bawang (Shaarma et al. 2005), wortel (Doymaz 2004), teh hitam (Panchariya et al. 2002; Temple & Boxtel 1999), daun ketumbar (Ahmed 2001), daun mint (Park et al. 2002), dan rosehip (Erenturk et al. 2004). Izadifar & Baik (2007) melakukan studi tentang pengeringan akar tanaman obat Podophyllum peltatum. Studi yang komprehensif tentang karakteristik pengeringan lapisan tipis rimpang tanaman obat temu putih dan temu lawak belum dilakukan.

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pindah Panas dan Massa Departemen Teknik Pertanian, Fateta IPB Bogor pada bulan Maret 2009 hingga Juni 2010.

Bahan dan Alat

Bahan yang dipakai dalam penelitian ini adalah rimpang temu putih dan temu lawak yang diperoleh dari Kebun Percobaan Balittro Bogor. Alat-alat yang digunakan antara lain: pengering laboratorium terkendali-terakuisisi, timbangan digital model AQT 200(kapasitas 200 gram dan ketelitian 0.01 gram), oven Ikeda Scientific SS204D, desikator, anemometer Kanomax A541 dan seperangkat pengolah data.

Pengering Laboratorium

Alat pengering laboratorium didesain dan dibuat memenuhi standar untuk percobaan lapisan pengeringan tipis dimana suhu dan kelembaban nisbi (RH) dapat dijaga konstan (Lampiran 1). Pengontrolan kondisi pengeringan dilakukan dengan kontrol PID dengan akurasi suhu ± 1oC dan RH ± 2% sesuai dengan standar (ASABE 2006). Kondisi pengeringan yang dapat dilakukan berada pada selang suhu 30-80 oC dan RH 20-90%. Sensor suhu dan RH menggunakan SHT15 keluaran Sensirion. Secara keseluruhan alat pengering dikontrol oleh mikroprosesor AVR Atmel. Alat ini dilengkapi juga dengan sistim humidifier 2000 W, sistim pemanas 2000 W, kipas elektrik dan dehumidifier. Kecepatan udara pengering yang melalui ruang pengering (drying chamber) yang berdimensi 35 cm  35 cm  35 cm dikontrol secara manual dan diukur dengan menggunakan anemometer digital Kanomax dengan akurasi ± 0.1 m/s. Skema alat pengering terlihat pada Gambar 2-4.

.

Gambar 2-4. Skema fungsional (kiri) alat pengering laboratorium (kanan)

Prosedur Percobaan

Bahan berupa rimpang temu putih dan temu lawak dibersihkan, dicuci dan diiris melintang dengan menggunakan pisau. Sebelum dikeringkan, irisan temu putih dan temu lawak direndam dahulu dalam air dengan suhu 95 oC (diblansir) selama 5 menit (Ertekin & Yaldiz 2004). Sampel temu putih kemudian diletakkan

pada wadah sedemikian rupa dalam bentuk lapisan tipis. Tebal irisan sampel sekitar 3-4 mm dan berat sampel setiap pengeringan berkisar 150 gram. Pada setiap percobaan, alat pengering dihidupkan sekitar setengah sampai satu jam sebelum percobaan dimulai untuk menstabilkan ruangan pengering sesuai dengan kondisi percobaan yang diinginkan. Kondisi percobaan pengeringan lapisan tipis temu putih yang dilakukan adalah pada suhu 40, 50, 60 dan 70 oC dengan RH 20%, 40%, 60%, dan 80% serta laju aliran udara pengering v1 (0.8-0.9 m/s) dan v2 (0.2-0.3 m/s) (Tabel 2.2) sedangkan untuk pengeringan temu lawak dilakukan pada suhu 50, 60 dan 70 oC serta RH 20%, 30% dan 40% (Tabel 2.3).

Tabel 2-2. Kondisi percobaan pengeringan lapisan tipis temu putih

Suhu RH 20% 40% 60% 80% * 40 oC 50 oC 60 oC 70 oC

Laju alira udara v1 (0.8-0.9 m/s) - v2 (0.2-0.3 m/s) *) hanya v

1

Tabel 2-3. Kondisi percobaan pengeringan lapisan tipis temu lawak

Suhu RH

20% 30% 40%

50 oC

60 oC

70 oC

Laju aliran udara 0.8-0.9 m/s

Berat dan suhu bahan serta suhu dan kelembaban udara pengering dimonitor secara kontinu dan direkam datanya setiap 5 menit selama percobaan. Perubahan berat sampel diukur langsung secara otomatis dengan menggunakan timbangan GF-3000 A&D dengan kapasitas 0–3000 g dan akurasi 0.01 g. Percobaan dihentikan setelah berat sampel konstan. Kadar air akhir percobaan ditentukan dengan mengeringkan sampel selama 24 jam pada suhu 103 ± 2 oC dengan memakai oven (Kashaninejad et al. 2003).

Model Matematika

Besarnya laju pengeringan selama percobaan dihitung dengan persamaan berikut:

� � �� ������ = �+ − � (2.5)

dimana Mt dan Mt+dt masing-masing adalah kadar air pada saat t dan kadar air pada saat t + dt (kg uap air/kg bahan kering), t adalah waktu pengeringan (menit) (Erenturk et al., 2004). Hubungan antara konstanta dari model matematik terbaik dengan variabel pengeringan yaitu suhu dan kelembaban juga akan ditentukan. Beberapa model akan dipakai untuk menjelaskan kesesuaian (fitted) model terhadap data pengeringan yang didapatkan, yaitu model Lewis, Henderson-Pabis dan Page (lihat Tabel 2.1).

Untuk menentukan model persamaan terbaik dipakai kriteria coefficient of determination (COD atau R2) (Lee et al. 2004) sedangkan untuk menghitung keragaman dalam kurva pengeringan digunakan standard error (SE) (Menges & Ertekin 2006). Nilai R2 menunjukkan kemampuan model (the ability of the model) dengan nilai tertingginya adalah 1. Nilai SE menunjukkan deviasi antara hasil hitung terhadap data pengukuran, nilai yang diinginkan adalah mendekati nol. Kedua kriteria tersebut digunakan untuk menentukan ketepatan model (the goodness of the fit), semakin tinggi nilai R2 dan semakin kecil nilai standard error (SE) maka model semakin tepat. Persamaan kriteria statistik tersebut adalah sebagai berikut: � = ���� ,� − ���� ,� 2 � �=1 � − � (2.6) �2 = 1 �� ��,�− ���� ,� 2 � �=1 �� ��,� − �� �� 2 � �=1 (2.7)

dimana MRexp,i adalah rasio kadar air percobaan ke-i, MRpre,iadalah rasio kadar air hitung ke-i, N adalah jumlah pengamatan, n adalah jumlah konstanta dalam model pengeringan dan �� �� adalah nilai rata-rata dari rasio kadar air percobaan. Hubungan konstanta dan koefisien dari model yang terbaik dengan parameter

pengeringan, dalam hal ini suhu, ditentukan dengan menggunakan teknik regresi (Menges & Ertekin 2006; Midili & Kucuk 2003a). Model pengeringan yang dipilih adalah model dengan nilai R2 tertinggi serta SE terkecil, persamaan tersebut merupakan model terbaik dalam mewakili data percobaan pengeringan lapisan tipis temu putih dan temu lawak.

Penentuan Konstanta Pengeringan

Konstanta pengeringan pada persamaan (2.4) ditentukan dengan metode regresi non-linier berdasarkan data percobaan pengeringan dengan bantuan program CurveExpert versi 1.40. Program ini menggunakan metode Levenberg- Marquardt (LM) untuk pemecahan regresi non-linear. Metode LM merupakan kombinasi metode steepest-descent dengan metode ekspansi deret Taylor. Penjelasan tentang metode regresi non linier ini terdapat pada Lampiran 8.

Kadar air keseimbangan (Me) temu putih ditentukan dari kadar air akhir pengeringan (Kashaninejad et al. 2007). Nilai ini digunakan untuk menghitung rasio kadar air (MR) berdasarkan persamaan berikut:

��= � − �

�0− �

(2.8)

Dokumen terkait