Umi Lestar
4. Sudut Pandang ‘Seniman Perempuan’ dan Yang Universal (laki-
laki)
Ketika saya membaca liputan tentang pameran-pameran seniman perempuan, selalu ada kata-kata seperti ini, “seniman ini membicarakan hal bla bla bla dengan sudut pandangnya sebagai perempuan.” Saya tak pernah menemukan tulisan mengenai sudut pandang laki-laki dalam liputan-liputan pameran seni di mana senimannya adalah laki-laki. Selalu saja, keperempuanan seorang seniman perempuan ditegaskan, sedangkan laki-laki tak pernah disinggung mengenai kelelaki-lakiannya. Hal ini bisa dilihat dengan jelas dalam judul liputan dan artikel seputar pameran yang diikuti oleh seniman perempuan. Saya mengambil contoh artikel yang berjudul “Perempuan Juga Melukis Dunia” dari Harian Kompas, liputan tentang pameran karya seni 29 seniman perempuan pada 17 – 28 Mei 2001 di Bentara Budaya Jakarta. Dalam artikel tersebut tertulis, “melihat pengalaman perempuan dari sudut pandang perempuan memang sangat berbeda.” Penyebutan ulang
www.archive.ivaa-online.org
‘perempuan’ dalam satu kalimat ini menurut saya terasa janggal. Haruskan perempuan ditegaskan terus-menerus supaya publik tahu bahwa yang berkarya di sana adalah perempuan? Lalu mengapa sudut pandang perempuan melulu harus ditekankan?
Apabila perempuan yang menjadi senimannya, maka karyanya akan dilekatkan dengan keperempuanannya. Tetapi ketika seorang seniman laki-laki mengeksplorasi tubuh, tak pernah karyanya dilekatkan dengan kemaskulinan atau kelaki-lakiannya. Seniman laki-laki dianggap manusia kelas satu yang membuat karya-karya yang universal untuk semua orang. Misalnya saja dalam artikel “Mereka Mencari Perspektif Mo Limo” dari Koran Tempo tanggal 25 September 2004 tentang pameran memperingati ulang tahun Bentara Budaya ke-22 yang diikuti oleh Suwarno Wisetrotomo, Yuswantoro Adi, Hendro Suseno, Suraji, Arin Dwihartanto, Putu Sutawijaya, Ardison, Nyoman Sukari, Made Arya Palguna, Edi Sunaryo tak ada yang mengaitkan karya seniman- seniman tersebut dengan kemaskulinannya. Dalam tulisan ini seniman laki-laki ditulis sebagai seniman saja, tidak seperti ketika media massa menyematkan ‘perempuan’ di belakang kata seniman untuk tulisan- tulisan tentang pameran yang diikuti oleh seniman perempuan. Bagi
Kiri: Lindungi Aku dari Keinginanmu, kanan: Bayang-bayang
Maha Kecil karya Titarubi.
media, laki-laki yang membuat karya seni itu sudah lumrah, maka tak perlu lagi ditegaskan sudut pandang kelaki-lakiannya dalam mengejawantahkan suatu tema ke dalam karya seni.
Efek Domino: Wacana perempuan di Media dan Imbasnya pada Pameran di Jakarta dan Yogyakarta
Seperti yang sudah disinggung di atas, ketika Orde Baru runtuh, perlahan namun pasti nama-nama seniman perempuan banyak bermunculan. Hal ini bisa dilihat dari pameran bertajuk “karya seniman perempuan” yang cukup banyak diadakan pada tahun 2000an. Selain munculnya ragam praktik kesenian, media yang terus merayakan kemunculan seniman perempuan, bisa jadi pula pelaku-pelakunya memanfaatkan momentum ini. Wacana mengenai perempuan dan gender yang cukup terbuka, dimanfaatkan pula oleh senimannya. Tak hanya nama-nama lama yang bermain, nama-nama baru pun banyak bermunculan. Ranah seni rupa semakin ramai.
Saya mencatat beberapa pameran dengan pelaku-pelaku perempuan yang muncul dan berkesinambungan setelah tahun 2000. Pertama adalah “Mata Perempuan” yang pertama kali diadakan pada tahun 2003 dan masih berlanjut hingga tahun 2012. Pameran Mata Perempuan yang diadakan di Jakarta dengan kurator Firman Ichsan dan Lisabona Rachman mengajak tujuh fotografer perempuan untuk memamerkan karya mereka di Galeri Oktagon, Jakarta. Pameran ini kemudian disebut sebagai “pameran fotograi perempuan pertama di Indonesia”.
Menurut Yudhi Soerjatmoko dalam artikelnya di Tempo, 22 Juni 2003, yang berjudul “Jagad Perempual dalam Jeruji Fotograi”, pameran ini merujuk pada suatu fenomena kehadiran penulis-penulis perempuan di sastra seperti Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu. Pameran ini membuat istilah baru yakni “suara perempuan” atau “mata perempuan” yang malah makin mempertegas perbedaan sudut pandang laki-laki dan perempuan. Pameran yang dikuratori perempuan dan diikuti oleh seniman perempuan ini malah melanggengkan kotak-kotak gender yang pada awal 2000an meruak.
Fenomena yang menarik justru hadir di ruangrupa Jakarta. Sesuai dengan motonya, yakni “artist initiative”, perupa-perupa perempuan yang tergabung di ruangrupa berinisiatif untuk melakukan pameran, baik itu tunggal maupun bersama-sama. Walaupun tidak berkala, tetapi setiap tahun ada saja kegiatan yang melibatkan perupa-perupa perempuan di sana. Sebut saja pameran “The Project #25” pada tahun 2004 ketika empat seniman perempuan merespon pemilu kala itu. Pameran tunggal Aprilia Apsari atau yang lebih dikenal dengan
Sari White Shoes yang berjudul “Rayuan Pulau Kelapa” menjadi contoh bagaimana seniman dan kurator yang sama-sama perempuan menginisiasi sebuah pameran. Ciri khas yang inisiatif ini ternyata masih berlanjut hingga sekarang. Misalnya saja pameran pameran “Body Festival” dan “Begadang Neng?” pada tahun ini yang memang berasal dari inisiatif perupanya sendiri.
Lalu bagaimana dengan Yogyakarta? Boleh dikatakan pameran seniman perempuan banyak sekali hadir pada tahun 2000 hingga 2010, bahkan hingga sekarang. Pamerannya tak hanya pameran tunggal tetapi juga pameran bersama-sama. Keikutsertaan perempuan dalam perhelatan besar seperti Biennale bisa dilacak sejak pertama kali Biennale Jogja diadakan. Secara garis besar, media tidak begitu mengotak-kotakkan mana yang perempuan dan mana laki-laki ketika menulis artikel mengenai biennale. Tetapi ketika ada pameran yang diikuti oleh seniman perempuan saja, entah mengapa media menggembor-gemborkannya.
Lalu mengapa pameran seniman perempuan malah makin marak? 2 Bisa jadi.. Bisa jadi…seniman-senimannya sendiri menyambut gayung yang
diberikan oleh media, atau bisa jadi, media-lah yang merespon gegap gempita pameran seniman perempuan pada tahun 2000an.
Menurut saya, wacana seniman perempuan yang saya sebutkan di atas tidak berjalan dari atas ke bawah. Ada dasar sukarela sehingga seniman- seniman perempuan tidak menggugat apabila ada nada-nada seperti empat poin di atas di berbagai media. Baik seniman dan media sadar bahwa masing-masing harus memanfaatkan momentum ini.
Kesadaran itu bisa dilihat dari banyaknya inisiatif dari perempuan- perempuan untuk berpameran bersama. Bila di Jakarta, para
perempuan memiliki satu payung bernama ruangrupa untuk mewadahi inisiatif mereka, di Jogja pameran yang diikuti oleh perempuan tersebar dan tidak merujuk pada satu payung manapun. Contoh yang paling baru adalah “Membatalkan Keperempuanan”. Pameran yang diadakan pada bulan Maret 2012 ini adalah contoh di mana perempuan-perempuan yang bergerak di ranah seni rupa di Jogja bekerja bersama-sama. Walaupun alasan dan momennya masih saja klise: karena seniman perempuan jarang muncul dan untuk memperingati hari perempuan, ini bisa menjadi contoh di mana inisiatif seniman tidak berpangku pada satu payung.
Apa yang Harus Dilakukan?
Sederhana saja: nikmatilah. Dolorosa Sinaga pernah menyerukan untuk membuat pameran-pameran yang diikuti oleh seniman-seniman perempuan – dan itu bisa dilihat dari maraknya pameran yang diikuti oleh seniman perempan pada 2000an. Lalu, Wulan Dirgantoro sudah menyarankan untuk melakukan penelitian yang berfokus pada isu gender di seni rupa Indonesia – dan itu sudah saya lakukan sekarang. Selanjutnya ada Heidi Arbuckle yang menganjurkan untuk menulis mengenai perupa-perupa perempuan yang jarang ditulis – kalau yang ini sedang berjalan. Lalu selanjutnya apa? Ya nikmati saja!
Lamat-lamat Terdengar Suara
Kamis, 21 November 2013, saya mengundang tujuh perempuan muda
untuk berbagi cerita mengenai pengalaman mereka dalam menjalani proses di ranah seni rupa Indonesia. Malam itu dingin, dan kami ditemani air mineral dan camilan ringan. Perempuan-perempuan yang berbicara mengenai apa saja dalam bidang seni rupa, itulah kami. Berikut adalah transkrip wawancara saya dengan beberapa pelaku kesenian di Yogyakarta mengenai seniman perempuan dan posisinya
dalam ranah seni rupa di Indonesia. Apabila dalam kesimpulan tulisan
saya, saya mengajak setiap orang untuk menikmati, maka dengan ini saya ingin melihat bagaimana proses penikmatan itu hadir dalam diri seniman-seniman perempuan yang menjadi narasumber saya.
Saya memilih seniman-seniman perempuan muda (di bawah 30
tahun) sebagai narasumber saya, karena di masa yang akan datang, merekalah yang akan menjalani bidang seni rupa ini. Sayangnya, apa yang menjadi harapan mereka, sebagai perempuan dan sebagai seniman tentu saja, tidak tercatat dalam transkrip ini karena kesalahan saya yang tidak merekam pembicaraan di akhir sesi yang penting tersebut. Namun, yang masih saya ingat, mereka yang menjadi narasumber saya, sangat bersemangat dan berdedikasi penuh untuk menjalani. Mereka sangat bertanggung jawab dengan keputusan mereka sendiri memilih karir di seni rupa dengan segala kelebihan dan kekurangan yang bidang ini punya.
Umi: Aku udah nanya latar belakang Mbak-Mbak semua. Aku mau nanya seniman yang jadi idola Mbak-Mbak semua siapa?
-Seniman Indonesia? Umi: Indonesia. -Seniman perempuan? Umi: Bebas.
Fika: Aku sih idola gak mesti dari seni rupa. Tapi ketika berkarya, musik dan ilm mempengaruhi. Jadi kalau disuruh milih idola dari seni rupa mungkin hampir semua seniman terkenal suka. Cuma yang lebih mempengaruhi itu dari musik. Kalau aku lihat yang musik, gak hanya musiknya. Bisa berupa video klipnya. Banyak juga artis dari seni musik itu yang menghasilkan karya-karya seni rupa. Kalau yang paling mempengaruhi seniman musik itu mungkin Bjork. Tapi kalau memang harus memilih idola yang seniman seni rupa mungkin Yoko Ono. U: Kalau yang dari Indonesia?
Siapa ya? Itu sih yang paling. Titarubi. U: Kalau Mbak Nisa dan Mbak Agra?
Agra: Aku Titarubi aku suka. Memang dari dulu suka. Karena dia bikin karya itu bukan hanya karyanya aja secara visual, dia juga bisa menjelaskan secara detail kenapa dia memilih konsep berkarya seperti itu. Mulai dari bahan hingga sampai tampilan. Saya pikir dia juga melakukan riset yang mendalam ketika dia membuat suatu karya. Umi: Selain Titarubi?
Agra: Mungkin Patricia Malina untuk fotograi. Walaupun dia fashion, dia membuat foto tentang perempuan itu tidak tampak murahan walaupun pakaiannya seksi. Seperti itu.
Umi: Jadi dengan sudut pandangnya sendiri dia bisa mengubah? Agra: Iya, jadi perempuan itu terlihat gagah. Walaupun dengan pakaian yang minim. Jarang orang bisa membuat foto yang seperti itu. Kadang perempuan itu dikasih baju seksi lalu terlihat sangat murah. Jadi orang ngelihatnya kaya cuma mengumbar keseksian aja. Tapi kalau Malina itu menampilkan karakter dari perempuan itu dia tonjolkan dalam fotonya. Umi: Mbak Nissak?
Nissak: Kalau aku ada Entang sama Heri Dono. Dua seniman itu kuanggap mampu menjawab tantangan zaman. Mereka cukup bertahan di era-era yang berubah dari tahun 80-an, 90-an, sampai sekarang. Mereka tetap tahan. Masa karir mereka di seni rupa cukup panjang dan mereka tetap eksis sampai sekarang. Dan karya mereka tetap diterima di kancah seni rupa nasional maupun internasional.
Umi: Mbak-Mbak sekalian mengikuti linimasa seni rupa di Indonesia tidak? Seperti pembabakannya, seperti di tahun berapa seniman perempuan yang muncul siapa aja.
Nissak: Kalau mempelajari, iya. Kalau ngikutin, aku baru masuk di dunia ini 2010-an. Pada tahun itu aku baru masuk. Kalau untuk yang belakangnya, mungkin sifatnya hanya mempelajari. Hanya membaca. Karena aku belum ada di masa itu. Jadi hanya bisa sebatas membaca, mempelajari, ada pergeseran-pergeseran apa sih di tahun sekian sampai tahun sekarang. Dari gerakan seni rupa baru di masa itu sampai sekarang. Seperti apa sih perjalanannya. Perjalanannya kan gak linier kaya gitu,
Umi: Seperti Emiria Soenassa dan misalnya kalau tahun 80-an itu ada kelompok ibu-ibu di Jakarta yang bikin pameran seni lukis di sana. Mengikuti alur tersebut tidak?
Nissak: Aku gak tahu, gak begitu tahu. Entah bagaimana itu
terdokumentasi atau tidak. Kemudian kontribusi mereka sejauh mana. Apakah hanya sebatas seniman-seniman perempuan yang berpameran atau mereka punya kontribusi khusus atau tidak. Aku kurang tahu. Memang lebih dekat sama yang praktiknya masih berjalan sampai sekarang. Yang dari 2000-an ke sini. Praktik mereka mungkin sudah lama. Cuma yang masih bertahan sampai sekarang itu. Yang lebih dekat sama yang masih berkarya sampai sekarang. Yang sudah off-off itu yang sudah gak.
Umi: Kalau Mbak Fika?
Fika: Sama sih sebetulnya sama Nisa. Ketika mulai mengenal seni rupa di 2005, itu kan masih kuliah di Padang. Jadi ada keterbatasan- keterbatasan. Susah mengakses buku seni rupa atau majalah seni rupa. Hanya bisa mengakses lewat internet. Ketika 2010 di Jogja, mungkin agak lebih mudah mendapatkan informasi. Ya, mulai 2010 juga sih sebetulnya mengikuti. Cuma kalau ditanya seniman-seniman perempuan yang diketahui ya mungkin baru yang tahun 2000-an. Umi: Berarti mulai dari yang aktif di sini ya, Mbak Agra?
Agra: Karena basic saya itu kuliahnya itu televisi ilm sebenarnya. Jadi selama 2007 sampai 2010 itu saya lebih banyak di bidang televisi sebenarnya. Karya foto juga masih mencari-cari walaupun baru beberapa kali pameran. Jadi gak terlalu mengikuti yang seni rupa. Meski karya visual masuk seni rupa juga sebenarnya, cuma medianya aja yang beda. Cuma kalau ini kan kalau televisi ilm di tempatku itu begitu komersial ya. Baru ngikutin itu ya, 2011 ketika pindah ke Jogja sampai sekarang dari pameran-pameran yang aku lihat di sini. Kemudian bertemu dengan orang. Perkembangannya sih baru sebatas itu.
Umi: Berarti tahu pameran ‘Mata Perempuan’ itu di Jakarta? Nissak: Yang di Galnas itu?
Umi:Gak. Jadi pamerannya itu dimulai 2003. Tentang fotograi. Terus yang ikut fotografer perempuan semua.
Agra: Belum. Karena situasi di Solo dengan situasi di Jogja itu sangat berbeda.
Umi: Oh, Mbak dulu di Solo?
Agra: Di Solo waktu televisi. Dan untuk bidang fotograi itu kebetulan di angkatanku yang cewek dari awal itu ya cuma aku. Jadi ya gak ada yang bisa diajak diskusi, segala macam. Terus untuk hal-hal seperti itu paling tahu ketika saya dikirim berpameran di Jogja. Terus ketemu dengan yang dari mana-mana. Di situ baru tahu, “Oh ternyata ada ya yang kaya gitu.” Di situ baru terbuka. Dan benar-benar terbuka waktu di Jogja. Jadi perkembangan yang kaya di Galnas gitu-gitu itu gak tahu sebelum saya di sini.
Umi: Dari literatur yang aku dapatkan, aku melihat bahwa seni rupa di Indonesia dan Jogja juga ternyata bias gender. Kadang-kadang melihat mana yang cewek, mana yang cowok. Tadi kan Mbak Agra curhat kalau di fotograi itu isinya cowok semua. Mungkin di ISI kaya gitu juga kan? Mbak kuliah, mungkin, teman-temannya juga cowok semua. Dan Mbak mungkin juga begitu. Itu waktu masuk ke dunia yang ternyata seperti itu, bagaimana kalian menyiasatinya bagaimana? Apakah ada pergolakan batin atau yang lain?
Nissak: Soal gender itu aku kira yang mempersoalkan hanya perempuan saja. Laki-lakinya aku kira mereka tidak melihat itu. Mereka hanya melihat, “mana karyamu?” Terus jangan kamu bersikap mellow atau apa karena kamu perempuan. “Kita gak peduli kalau kamu perempuan.” Waktu itu aku berusaha keluar dari situ. Ternyata setelah kuamati perempuan bukan hanya di seni rupa, di seni lain pun mengalami hal yang sama: lebih sibuk dengan diri sendiri ketimbang melihat keluar. Itu yang bikin aku jadi, misalnya, stop bicara masalah tubuh. Aku nyoba untuk yang ngamatin studio teman-teman, aku ngamatin yang lain, ya intinya berhentilah curhat. Sampai yang karyamu benar-benar karya yang di luar persoalan diri yang bingung mau berdiri di mana, yang bingung mau memposisikan diri. Aku sudah ngelewatin itu. Dan ternyata cuma perempuannya doang yang sibuk dengan dirinya sendiri. Perempuan harus gini, perempuan harus gitu. Padahal yang cowok-cowok gak mempersoalkan itu. Mereka hanya ingin tahu karyamu. Sebatas karya yang dilihat. Hanya karya, jangan lihat orangnya. Kadang masih kelihatan sih, ini karya cewek banget. Kadang juga kalau melihat karya perempuan, ada yang berpikir kalau itu karya laki-laki. Memang secara kemampuan teknis, secara ide atau apa, ternyata ada rata-rata yang level segini. Tapi perempuan hanya mampu sampai level segini. Sebatas itu saja, belum bisa lewat dari level itu. Karena sebenarnya seniman-seniman itu sensitif.