• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Suhu

Suhu Permukaan Laut (SPL) perairan Indonesia sangat dipengaruhi oleh topografi daratan dan/atau fluks atmosfer-lautan disebabkan posisi

geografisnya diantara benua Asia dan Australia dan diantara Samudera Hindia dan Pasifik, (Aldrian dan Susanto, 2003). Variabilitas SPL di perairan Indonesia sangat dipengaruhi oleh muson Asia-Australia dan interaksi kompleks antara atmosfer dan lautan, seperti ENSO di Samudera Pasifik tropis bagian barat dan IODM di Samudera Hindia tropis (Susanto et al., 2006), percampuran yang diakibatkan oleh pasut dan Arus Lintas Indonesia (Qu et al., 2005). Variabilitas SPL tahunan sekitar 3.5 0C dimana wilayah-wilayah dekat Australia (Laut Arafuru, Samudera Hindia antara Australia dan Jawa/Nusa Tenggara) memiliki variabilitas SPL tertinggi. SPL rata-rata tahunan di perairan Indonesia adalah 26.8 0C – 29.9 0C (Susanto et al., 2006). Menurut Purba (2009), variasi SPL di selatan Jawa-Sumbawa berkisar antara 26.0 0C – 28 0C dimana SPL bagian timur perairan selatan Jawa-Barat cenderung lebih rendah (26.0 0C – 27.5 0C) daripada bagian barat (26.5 0C – 28.5 0

Variabilitas suhu permukaan laut mempengaruhi karakteristik biologis di laut baik secara langsung maupun tidak langsung (Farita et al., 2006). Sebaran SPL merupakan salah satu indikator terjadinya proses upwelling di suatu perairan (Farita et al., 2006). Nilai SPL dan gesekan angin zonal dapat

digunakan untuk menghitung transpor Ekman di perairan Indonesia (Sprintall dan Liu, 2005). Fakta bahwa SPL rata-rata bulanan di daerah perbatasan antara

selatan Jawa Tengah dan Jawa Timur merupakan terendah dibanding wilayah lain di Selatan Jawa-Sumbawa selama bulan Juli-September mengindikasikan penguatan upwelling di daerah tersebut (Purba, 2009).

Ketebalan lapisan tercampur sangat tergantung pada kecepatan dan lamanya angin bertiup. Proses percampuran air laut di perairan Indonesia juga ditentukan oleh aliran kuat pada perairan dangkal atau dari selat-selat yang sempit dan percampuran oleh energi pasut (Ffield dan Gordon, 1996). Wyrtki (1961) menyatakan bahwa gradien suhu pada lapisan homogen (tercampur) tidak lebih dari 0.03 0C/m. Menurut Purba (1995) di perairan Selatan Jawa

ketebalan lapisan tercampur berkisar antara 40-75 m. Hasil penelitian Farita et al. (2006) menyatakan bahwa pada Musim Barat ketebalan lapisan tercampur di selatan Jawa bagian barat paling dalam sekitar 100 m dan pada Musim Timur lapisan tercampur ditemukan paling tipis sekitar 50 m. Sementara Fieux et al. (1994) menyatakan bahwa di perairan selatan Sumbawa pada kedalaman 0-50 m terdapat kolom massa air dengan suhu lebih tinggi dari 26 0

Dibandingkan perairan sekitarnya, seperti selatan Jawa-Bali, lapisan tercampur perairan selatan Sumbawa secara umum lebih dalam, lebih dingin dan salinitasnya lebih tinggi. Hal ini disebabkan kuatnya tekanan sistem Angin

Muson. Massa air di perairan selatan Sumbawa merupakan massa air hasil pencampuran antara massa air belum tercampur (unmixed) yang berasal dari Laut Sawu dan kedua sisi Pulau Sumba dan massa air yang keluar dari Laut Timor yang telah terekspos Angin Muson Tenggara yang kering dan bercampur dengan massa air hangat yang berasal dari barat laut Australia serta massa air dekat permukaan yang bersalinitas tinggi yang berasal dari Samudera Hindia khususnya dari perairan antara Bali dan Australia (Fieux et al., 1994).

C. Penelitian Cresswell et al. (1993) di Laut Timor pada Musim Barat kedalaman lapisan tercampur lebih dalam dan hangat.

Gradien perubahan suhu pada lapisan termoklin sekitar 0.05 0C/m (Laevastu and Hela, 1970). Ross (1970) menyatakan bahwa gradien perubahan suhu lapisan termoklin sekitar 0.1 0C/m. Di perairan selatan Jawa, batas lapisan termoklin sebelah atas adalah 45-70 m dan batas bawahnya adalah 150-200 m (Purba, 1995). Hasil penelitian Fieux et al. (1994) menunjukkan bahwa pada musim barat (Februari-Maret) di perairan antara Bali dan Australia pada lintang 80-10.50 LS ketebalan lapisan termoklin sekitar 80-207 m dengan kisaran perubahan suhu sekitar 10-27 0C. Hal ini merupakan efek dari bertiupnya Angin

Muson Barat Laut yang menyebabkan proses downwelling di perairan selatan Jawa-Sumbawa dan membangkitkan Arus Pantai Jawa. Masuknya massa air hangat bersalinitas rendah dekat perairan pantai meningkatkan kedalaman dinamik dan memperkuat pengaruh angin baratan di atas sirkulasi permukaan yang mengarah ke timur.

Cresswell et al. (1993) menyatakan bahwa lapisan termoklin kuat di Laut Timor pada musim timur (Oktober) terbentuk pada kedalaman 80-120 m dengan kisaran perubahan suhu 18-25 0C. Gordon dan Illahude (1996) menyatakan bahwa pada saat Angin Muson Tenggara bertiup, termoklin di Laut Flores berada pada kedalaman 80-300 m dengan kisaran 10-26 0

Ketebalan dan kedalaman lapisan perairan dipengaruhi oleh proses-proses regional yang terjadi di sekitar perairan selatan Sumbawa. Penebalan lapisan tercampur pada Musim Peralihan I diduga berkaitan dengan datangnya Gelombang Kelvin di sepanjang pantai selatan Jawa-Sumbawa (Sprintall et al., 2000). Selama periode La Nina massa air hangat dari Samudera Pasifik bergerak menuju Samudera Hindia melalui selat di sepanjang Jawa hingga Timor.

Masuknya massa air hangat ini menyebabkan lapisan termoklin bertambah dalam sekitar 20-30 m dan intensitas penaikan massa air melemah. Dangkalnya lapisan termoklin di sepanjang pantai selatan Jawa-Sumbawa berkaitan dengan ENSO melalui jalur Arlindo dan anomali Angin Muson Tenggara (Susanto et al., 2001). Lapisan dalam terdapat di bawah lapisan termoklin. Pada lapisan ini penurunan suhu terhadap kedalaman sangat kecil (Nybakken, 1992).

C. Massa air yang berada di lapisan termoklin ini pada kedalaman 80-200 m merupakan massa air Samudera Pasifik Utara subtropis dan menyebar ke bagian barat Laut Banda dan membelok ke utara memasuki Celah Timur hingga Samudera Hindia.

Sebaran menegak suhu perairan penting untuk mengetahui stratifikasi vertikal massa air. Volume dan kecepatan transpor massa air secara vertikal dalam bentuk upwelling dan downwelling ditentukan oleh stratifikasi lapisan kolom perairan, terutama ketebalan dan kedalaman lapisan termoklin. Selain itu, keberadaan lapisan termoklin sangat mendukung tingginya laju produktifitas primer di laut. Bagian bawah dari lapisan tercampur atau lapisan atas lapisan termoklin merupakan daerah yang memiliki konsentrasi nutrien yang cukup tinggi sehingga dapat merangsang meningkatnya produktifitas primer. Lapisan

termoklin yang dangkal dapat lebih berperan dalam menunjang produktifitas perairan daripada lapisan termoklin yang dalam. Ini disebabkan karena pada

saat terjadi proses percampuran vertikal, nutrien pada lapisan termoklin yang dangkal lebih mudah mencapai lapisan permukaan daripada lapisan termoklin yang lebih dalam. Beberapa penelitian tentang produktifitas primer dalam kaitannya dengan keberadaan massa air menyimpulkan bahwa kedalaman dimana konsentrasi klorofil-a maksimum adalah pada bagian batas atas lapisan termoklin (Tubalawony, 2007).

2.4 Proses-proses Regional

Dokumen terkait