Istilah suksesi negara digunakan untuk menggambarkan cabang dari hukum internasional yang berhubungan dengan konsekuensi legal dari pergantian kedaulatan atas wilayah.114 Menurut Merriam-Webster Online, yang dimaksudkan dengan suksesi negara adalah “one of a number of states that succeed a former
state in sovereignty over a certain territory.” Dalam suksesi negara, menurut
hukum internasional, sebenarnya tidak terjadi penggantian negara lama, yang telah berubah identitasnya, oleh negara lain, yang terjadi adalah hilangnya seluruh atau sebagian kedaulatan wilayah dari negara lama dan sekaligus perolehan kedaulatan wilayah atas wilayah itu oleh negara lain.115
Pengertian suksesi negara, secara jelas dicantumkan dalam Vienna
Convention of 1978 on Succession of States in Respect of Treaties (selanjutnya
disebut Kovensi Wina 1978) dan 1983 Vienna Convention on Succession in
Respect of State Property, Archives, and Debts (selanjutnya disebut Konvensi
Wina 1983), yang menyatakan bahwa ‘succession of States means the
112
Sugeng Istanto, Op.Cit., h. 91.
113
United Nations Conventions on the Law of Treaties, Article 35.
114
Peter Malanczuk, Op. Cit., h. 161.
115
replacement of one state by another in the responsibility for the international
relations of a territory’(suksesi negara berarti pergantian satu negara kepada
lainnya dalam tanggungjawabnya untuk hubungan internasional terhadap sebuah wilayah).116
Ada beberapa macam bentuk suksesi, antara lain annexation, cession,
dismemberment, seccession, union, merger, atau yang sejenisnya, yang mana
bentuk bentuk suksesi negara ini memiliki kegunaan dan kategori deskriptif, bahwa kata-kata ini merefleksikan teori suksesi yang khusus, semisal antara cessi
dan union; dan conquest dan seccession117. Adapun menurut O’Brien suksesi
dapat terjadi sebagai berikut:
a. Bagian dari negara A bergabung dengan negara B atau menjadi tergabung ke dalam beberapa negara X, Y, dan Z;
b. Bagian dari negara A menjadi satu negara baru;
c. Seluruh wilayah dari negara X menjadi bagian dari negara Y; d. Seluruh wilayah negara A terbagi menjadi beberapa negara
baru Y, X dan Z;
e. Keseluruhan bagian dari negara X membentuk dasar bagi beberapa negara baru yang berdaulat.118
Sebagai bahan perbandingan, ada dua sudut pandang mengenai suksesi negara, yaitu dari Eropa Kontinental dan Amerika Serikat. Dalam sudut pandang Eropa Kontinental, suksesi negara dibedakan dalam hukum internasional publik dan hukum internasional privat, yang mana hukum internasional publik
116
Article 2 (b) Konvensi Wina 1978; dan Article 2 (a) Konvensi Wina 1983.
117
Matthew C.R. Craven, “The Problem of State Succession and the Identity of States under International Law,” European Journal of International Law 9, 1998, h. 146.
118
John O’Brien, International Law, Cavendish, London, 2001, h. 588, dalam Jawahir Thontowi dan Praboto Iskandar, Op.Cit., h. 214.
mendefinisikan suksesi negara sebagaimana tercantum dalam Konvensi Wina 1978 dan Konvensi Wina 1983.119 Ada beberapa unsur penting yang menyangkut mengenai suksesi negara dalam pandangan Eropa Kontinental, antara lain wilayah, negara, dan hubungan antara negara yang melakukan suksesi dan wilayah negara tersebut120; dan dalam hal pengakuan tidak diperlukan (hanya bersifat deklaratif).121
Dalam sudut pandang Amerika Serikat, yang menjadi titik tolok dalam suksesi negara adalah pengakuan (bersifat konstitutif)122, yang mana hal ini salah satunya merupakan prasyarat untuk masuk ke dalam pengadilan Amerika Serikat.123 Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam hal pengakuan ini, menyatakan bahwa "[i]n order to take advantage of diversity jurisdiction [in U.S. federal courts], a foreign state and the government representing it must be
'recognized' by the United States”.124
G.1. Suksesi Negara dan Suksesi Pemerintahan
Suksesi negara dan suksesi pemerintahan memiliki pengertian yang berbeda, baik pada fakta atau kenyataan ketika telah terjadi suksesi (factual succession), maupun pada akibat hukumnya (legal succession).125 Suksesi pemerintahan, menurut Hackworth dalam Digest of International Law adalah:
119
Matthew C.R. Craven, Op.Cit., h. 759.
120 Ibid., h. 760-761. 121 Ibid., h. 759-761. 122 Ibid., h. 759. 123
Ibid., h. 769. “Under U.S. law, it is generally accepted that a suit on behalf of a sovereign state may be maintained in U.S. courts "only by that government which has been recognized by the political department of [the U.S.] government as the authorized government of the foreign state.”
124
National Petrochemical Co. of Iran v. M/T Stolt Sheaf, 860 F.2d 551, 553 2d Cir., 1988, citing Pfizer Inc. v. India, 434 U.S. 308, 1978, h. 319-320, dalam Ibid., h. 770-771.
125
Budi Lazarusli dan Syahmin A.K., Suksesi Negara dalam Hubungannya dengan Perjanjian Internasional, Remadja Karya, Bandung, 1986, h. 20.
A government, the instrumentally trough which a State functions, may change from time to time both as to form – as a form a monarchy to a republic – and as to the head of the government without affecting the continuity or identity of the
State as an international person.126
Maksud dari pendapat tersebut adalah pemerintahan suatu negara dapat berubah, baik pada bentuknya seperti, misalnya, dari kerajaan menjadi republik atau sebaliknya, maupun pada orang-orang atau personalia yang menjadi kepala pemerintahan, yaitu misalnya kabinet yang satu diganti kabinet yang lain, atau juga kepala negara yang satu diganti kepala negara lainnya, misalnya melalui suatu pemilihan umum. Perubahan pemerintahan dimaksud tidak mempengaruhi kontinuitas atau identitas negara yang bersangkutan sebagai subyek hukum internasional.127
Mengenai akibat hukum dari suksesi pemerintahan negara, berlaku asas kontinuitas. Ini berarti bahwa setiap pemerintah baru bertaggungjawab atas tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah lama yang digantikannya.128 Hal ini terlihat dalam kasus Orient Marine Corp. v. Star Trading & Marine, Inc., di mana penggugat menuntut Sudan atas wanprestasi oleh Sudan atas kontrak yang dibuat kedua belah pihak tersebut.129 Sudan membela diri bahwa negara tersebut telah berubah pemerintahannya, dari Sudan menjadi Republic of Sudan, karena terjadinya pergantian pemerintahan dari rezim militer yang digantikan oleh
126
G.H. Hackworth, Digest of International Law, Vol. I, U.S. Goverment Printing Office, Washington, 1940, h. 127, dalam Ibid., h. 21.
127
Ibid.
128
Ibid., h. 22.
129
Carsten Thomas Ebenroth dan Matthew James Kemner, “The Enduring Political Nature of Questions of State Succession and Secession and The Quest for Objective Standards,”
pemerintahan sipil.130 Namun, pengadilan memutuskan bahwa Sudan hanya berganti pemerintahan saja dan bukan negara (karena masih dalam satu negara)131, yang berarti bahwa pergantian pemerintahan bukan merupakan suksesi negara, sehingga Sudan tetap bertanggungjawab terhadap wanprestasi atas kontrak tersebut. Begitu pula dengan kasus lain, seperti Revolusi Bolshevik 1917 (Uni Soviet) dan revolusi komunis Tiongkok (dari pemerintahan kekaisaran Tiongkok menjadi Republik Rakyat Tiongkok/People’s Republic of Tiongkok), yang mana dari kedua kasus ini negara tetap bertanggung jawab atas hutang-hutang yang dibuat pada negara pendahulunya.132
G.2.Suksesi Negara dan Traktat
Dalam praktek negara terungkap bahwa negara-negara baru terikat padanya oleh sekurang-kurangnya lima puluh persen traktat, yang secara aslinya ditandatangani oleh kekaisaran atau parent State.133 Ini menunjukkan bahwa dapat dikatakan negara baru yang dimulai dengan clean slate (lembaran baru) tidak tepat.134 Traktat sendiri digolongkan menjadi beberapa kategori, diantaranya traktat multilateral termasuk traktat kategori khusus mengenai hak asasi manusia internasional; traktat mengenai ketentuan teritorial dan rezim; traktat bilateral; dan traktat yang berbicara tentang keadaan politik.135 Namun, kaitannya dengan suksesi sendiri, seperti yang tertuang dalam Konvensi Wina 1978, secara umum traktat dibagi menjadi tiga macam, antara lain traktat mengenai teritori, politik,
130
Ibid., h. 757.
131
Ibid., “The court found that the "only changes in the Sudan...have been in the government...But there has been only one state."”
132 Ibid., h. 758. 133 R.C. Hingorani., Op.Cit., h. 103. 134 Ibid. 135
dan traktat lainnya.136 Ketika bagian wilayah suatu negara, atau ketika beberapa bagian wilayah dalam hubungan internasional, yang mana suatu negara bertanggungjawab terhadap wilayah tersebut, yang tidak merupakan wilayah dari negara tersebut, maka wilayah tersebut menjadi bagian dari wilayah negara lain, dengan catatan bahwa traktat negara pendahulu masih berlaku sejak tanggal suksesi negara tersebut.137
Mengenai deklarasi unilateral dijelaskan bahwa negara penerima tidak terikat atas hak dan kewajiban atas traktat yang berlaku terkecuali negara penerima tersebut menyatakan dengan deklarasi unilateral dalam rangka perlanjutan dari traktat atas wilayah tersebut.138 Pengaturan khusus mengenai rezim wilayah terdapat dalam Article 11, di mana suksesi negara tidak berakibat pada batas yang telah ditetapkan dalam traktat; dan hak dan kewajiban yang ditetapkan dalam traktat dan hubungannya dengan rezim batas (wilayah).
Kemudian, pengaturan rezim wilayah yang lainnya, terdapat dalam Article 12, yaitu dalam ayat (1) suksesi negara tidak berakibat pada hak dan kewajiban yang telah ditetapkan dalam traktat terhadap penggunaan beberapa wilayah, atau pembatasan penggunaan wilayah atas negara asing; dan aturan ini berlaku pula pada sekelompok negara (ayat (2)). Provisi terhadap Article 12, menurut ayat (3), tidak berlaku pada kewajiban negara pendahulu atas pendirian basis militer negara asing terhadap wilayah negara tersebut yang mana berhubungan dengan suksesi negara.
136
Ibid.
137
Konvensi Wina 1978, Article 15.
138
Untuk negara yang baru merdeka (newly independent state/clean slate), maka traktat yang dibuat oleh negara pendahulu tidak terikat kepadanya.139 Konvensi Wina 1978 ini juga membagi traktat menjadi dua, yaitu traktat multilateral dan bilateral. Dalam hal traktat multilateral, khususnya dalam hal negara yang baru merdeka, sesuai dengan ketentuan dalam Article 17 dan 18, keterikatan antara traktat dan suksesi harus dibuat notification of succession, antara lain dalam hal status sebagai pihak peserta traktat;contracting State, baik jika traktat tersebut belum berlaku (not into force) atau sudah berlaku (enter into force).
139