• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Keabsahan Klaim Kedaulatan Jepang atas Kepulauan Senkaku T1 312009049 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Keabsahan Klaim Kedaulatan Jepang atas Kepulauan Senkaku T1 312009049 BAB II"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Kedaulatan

Hukum internasional mendasarkan pada konsep dari hubungan internasional

(international relations). Kemudian, sudah barang tentu bahwa yang mengadakan

hubungan internasional ini adalah negara yang juga memiliki kedaulatan karena

hal demikian sangat mendasar dalam hubungan internasional dan diterima sebagai

prinsip yang sangat sakral.1 Kedaulatan ialah kekuasaan tertinggi yang dimiliki

oleh suatu negara untuk secara bebas melakukan berbagai kepentingannya asal

saja kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional.2

Kedaulatan menciptakan hukum internasional, dan hukum mengakui kedaulatan

sebagai prinsip dasar dan utama.3 Kedaulatan merupakan salah satu prinsip dasar

bagi terciptanya hubungan internasional yang damai.4

Secara historis, konsep tentang kedaulatan, digagas pertama oleh Jean

Bodin.5 Ia melihat kedaulatan sebagai kekuasaan mutlak dan abadi dari sebuah

republik, dan sebuah republik merupakan sebuah pemerintahan yang dilandaskan

1

R.P. Anand, International Law and Developing Countries, Banyan Publications, New Delhi, 1986, h. 72.

2

Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung, 2000, h. 24.

3

R.P. Anand, Op.Cit., hl. 95.

4

Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Refika Aditama, Bandung, 2006, h. 169.

5

(2)

pada hukum alam.6 Konsep kedaulatan erat pula kaitannya dengan negara yang

berkembang (developing state) dan masyarakat yang berkembang (developing

community), sebagaimana yang dijelaskan oleh Dixon dan McCorquodale: “The

concept of sovereignty originated in the closer association of the developing state

and the developing community which became inecitable when it was discovered

that power had to be shared between them.7

Sebenarnya, secara historis dalam kasus-kasus yang terkenal pada tahun

1923, PCIJ (Permanent Court of International Justice) sudah mendefinisikan

kedaulatan sebagai “relative matter”, bergantung pada hubungan internasional.8

Kedaulatan pula tercantum dalam Charter of United Nations (selanjutnya disebut

Piagam PBB), yang menyatakan bahwa “the Organization is based on the

principle of the sovereign equality of all its member”.9 Dalam kaitannya pula

dengan kedaulatan, Declaration on the Rights and Duties of States,

mendeklarasikan bahwa: “Every state has the right to independence and hence to

exercise freely, without dictation of any other state, all its legal powers, including

the choice of its own from of government” (setiap negara memiliki hak

kemerdekaan dan oleh karenanya dilaksanakan secara bebas, tanpa dikte/perintah

dari negara lain, segara kekuasaan hukumnya, termasuk pilihan sendiri atas

pemerintahannya).10

Kedaulatan mempunyai pengertian negatif dan positif. Pengertian negatif

dari kedaulatan yaitu (a) Kedaulatan dapat berarti bahwa negara tidak tunduk pada

6

Carl J. Friedrick, The Philosophy of Law, h. 72, dalam Ibid.

7

H. Hinsley, Sovereignty, 2nd edn, 1986, h. 222-225, dalam Martin Dixon dan Robert McCorquodale, Cases and Material on International Law, Blackstone Press Limited, London, 2001, h. 248.

8

Martti Koskenniemi, “What Use for Sovereignty Today?”, Asian Journal International Law, Cambrigde Journals, 2011, h. 61.

9

Piagam PBB, Article 2, par. 1.

10

(3)

ketentuan-ketentuan hukum internasional yang mempunyai status yang lebih

tinggi, dan (b) Kedaulatan berarti bahwa negara tidak tunduk pada kekuasaan

apapun dan dari manapun datangnya tanpa persetujuan negara yang bersangkutan,

sedangkan pengertian positifnya adalah (a) Kedaulatan memberikan kepada

titulernya yaitu negara pimpinan tertinggi atas warga negaranya. Ini yang

dinamakan wewenang penuh dari suatu negara dan (b) Kedaulatan memberikan

wewenang kepada negara untuk mengeksploitasi sumber-sumber alam wilayah

nasional bagi kesejahteraan umum masyarakat banyak. Ini yang disebut

kedaulatan permanen atas sumber-sumber kekayaan alam.11

Kedaulatan, pula berarti negara memiliki kekuasaan yang berhubungan

dengan teritori dari yurisdiksi wilayah negara tersebut, semisal dalam hak

sweeping.12 Namun demikian, kedaulatan bukannya tak terbatas dan

sebebas-bebasnya (freedom) oleh suatu negara. Kedaulatan yang absolut dan sempurna di

mana tidak ada larangan oleh kewajiban-kewajiban yang ditentukan oleh semisal,

suatu perjanjian adalah tidak mungkin dan tidak diketahui dalam prakteknya.13

Tidak ada negara saat ini yang dapat bertahan tanpa manfaat dari sebuah

perjanjian, dan tanpanya (perjanjian-perjanjian tersebut), tidak akan mungkin

untuk mengadakan perdagangan internasional, komunikasi, hubungan diplomatik,

pariwisata, dan segi-segi kehidupan yang lain14, yang dari sinilah kedaulatan

memiliki konsep relatif.15

11

Jean Charpentier, Institutiones Internationales, 13 edition, 1997, Momentos Dallozz, Paris, h. 25-26, dalam Boer Mauna, Op.Cit., h. 24-25.

12

Antonio Cassese, International Law in a Divided World, Clarendon Press, Oxford, 1994, h. 130.

13

Joint Dissenting Opinion dari tujuh hakim dalam kasus Custom Regime, PCIJ series A/B, no. 41, p. 77, dalam R.P. Anand, Op.Cit., h. 64.

14

Ibid.

15

(4)

Berkaitan pula mengenai kedaulatan bahwa kedaulatan sebagai sebuah

konsep memiliki ketidakjelasan, yang oleh karenanya Dixon dan McCorquodale

menyebutnya sebagai ‘a nebulous concept’16, yang mana Allot mengomentari

kedaulatan sebagai fakta tetapi sebagai teori.17 Kedaulatan negara sekarang ini

diartikan bersifat mutlak sepanjang dilaksanakan kepada negara sendiri dalam

batas-batas wilayah.18 Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa pelaksanaan

kedaulatan secara mutlak kepada warga negara sendiripun sudah tidak

dimungkinkan lagi, semisal dalam politik Apartheid yang pernah dilakukan oleh

Afrika Selatan, yang mempraktekkan pembedaan perlakuan kepada penduduknya

antara kulit putih dan kulit hitam (diskriminasi).19

Menurut penulis, dari beberapa pendapat dan pengertian di atas, dapat

disimpulkan bahwa kedaulatan bermakna dalam arti terbatas, yang mana erat

kaitannya dengan kemerdekaan dan paham persamaan derajat, sebagaimana

Kusumaatmadja berpendapat:

Suatu akibat paham kedaulatan dalam arti yang terbatas ini,

selain kemerdekaan (independence) juga paham persamaan

derajat (equality). Artinya bahwa negara-negara yang berdaulat

itu selain masing-masing merdeka, artinya yang satu bebas dari

yang lainnya, juga sama derajatnya satu dengan yang lainnya.

Dilihat secara demikian maka ketiga konsep atau pengertian

kedaulatan ini yaitu kedaulatan, kemerdekaan, dan kesamaan

16

Martin Dixon dan Robert McCorquodale, Cases and Material on International Law, Oxford University Press, New York, 2003, hal 268, dalam Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Op.Cit., h. 172.

17

Philip Allot, Eunomia: New Order for a New World, Oxford University Press, Oxford, 2001, h. 302, dalam Ibid.

18

Sulaiman Nitiatma, Unsur Kajian Hukum Internasional, CV Indriajaya, Semarang, 1994, h. 61.

19

(5)

derajat tidak bertentangan satu dengan yang lainnya bahkan

kemerdekaan dan persamaan derajat negara merupakan bentuk

perwujudan dan pelaksanaan pengertian kedaulatan dalam arti

yang wajar.20

Beliau juga mengemukakan bahwa pentingnya tunduk pada kedaulatan,

yang juga mencerminkan tunduknya suatu negara pada hukum internasional,

sebagaimana dikemukakan:

Tunduknya suatu negara yang berdaulat atau tunduknya paham

kedaulatan kepada kebutuhan pergaulan masyarakat

internasional demikian merupakan syarat mutlak bagi

terciptanya suatu masyarakat internasional yang teratur.

Mengingat bahwa kehidupan suatu masyarakat internasional

yang teratur hanya mungkin dengan adanya hukum

internasional, maka keharusan tunduknya negara-negara kepada

hukum internasional yang mengatur hubungan antara

negara-negara yang berdaulat itu merupakan kesimpulan yang tak dapat

dielakkan lagi.21

Sesuai dengan konsep hukum internasional, kedaulatan memiliki tiga aspek

utama22, yaitu:

1. Aspek ekstern kedaulatan adalah hak bagi setiap negara untuk

secara bebas menentukan hubunganya dengan berbagai negara

20

Mochtar Kusumaatmadja, Op.Cit., h. 13.

21

Ibid., h. 14.

22

(6)

atau kelompok-kelompok lain tanpa kekangan, tekanan atau

pengawasan dari negara lain.

2. Aspek intern kedaulatan ialah hak atau wewenang eksklusif

suatu negara untuk menentukan bentuk lembaga-lembaganya,

cara kerja lembaga-lembaga tersebut dan hak untuk membuat

undang-undang yang diinginkannya serta tindakan-tindakan

untuk mematuhi.

3. Aspek teritorial kedaulatan berarti kekuasaan penuh dan

eksklusif yang dimiliki oleh negara atas individu-individu dan

benda-benda yang terdapat dalam wilayah tersebut.

Salah satu unsur pokok status kenegaraan adalah penguasaan suatu wilayah

teritorial, di dalam wilayah mana berlaku hukum negara tersebut. Terhadap

wilayah ini otoritas tertinggi berada di negara terkait.23 Apabila suatu negara

melaksanakan yurisdiksi atau kekuasaan atas suatu wilayah, maka negara tersebut

mempunyai kedaulatan (sovereignty) atas wilayah itu.24 Kedaulatan di sini bukan

menunjuk hubungan antara orang dengan orang atau kemerdekaan negara, tetapi

kepada sifat-sifat atas wilayah.25

B. Konsep Kedaulatan Teritorial

Negara sendiri harus memiliki kualifikasi sendiri agar dapat disebut negara,

seperti yang sudah disebutkan dalam Article 1 The 1933 Montevideo Convention

on Rights and Duties of States:

23

J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, terjemahan oleh Bambang Iriana Djajaatmadja, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, h. 210.

24

Soekotjo Hardiwinoto, Pengatar Hukum Internasional, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995, h. 119, lihat juga J.L. Brierly, Op.Cit., h. 150.

25

(7)

The State as a person of international law should possess the

following qualification:

1. A permanent population;

2. A defined territory;

3. Government; and

4. Capacity to enter into relations with other States.

Khusus untuk nomor dua, mengenai ‘a defined territory’, maka negara

harus melaksanakan kontrol terhadap wilayah negara tersebut. Kontrol terhadap

wilayah adalah esensi dari sebuah negara.26 Oleh karena itu muncul apa yang

disebut dengan kedaulatan teritorial (territorial sovereignty), sebagaimana

dijelaskan oleh Malanzscuk: “...‘territorial sovereignty’, establishing the

exclusive competence to take legal and factual measures within that territory and

prohibiting foreign governments from exercising authority in the same area

without consent27, yang dapat diartikan bahwa kedaulatan teritorial menetapkan

kompeten eksklusif untuk memperoleh ukuran legal dan faktual dalam teritori

tersebut dan mencegah pemerintahan (negara) asing untuk melaksanakan

kewenangannya di wilayah yang sama tanpa izin). The International Court of

Justice juga mengatakan bahwa kedaulatan teritorial adalah hal yang sangat

mendasar (essential foundation) dalam hubungan internasional.28

Kedaulatan teritorial, yang menandakan bahwa di dalam wilayah kekuasaan

ini yurisdiksi dilaksanakan oleh negara terhadap orang-orang dan harta benda

26

Peter Malanczuk, Akehurt’s Modern International Law, Routledge, London, 1997, h. 75.

27

Ibid., h. 75.

28

(8)

yang menyampingkan negara-negara lain.29 Kedaulatan dan wilayah adalah dua

hal penting yang saling berkaitan dalam hukum internasional, yang secara implisit

dinyatakan oleh Adolf (1991:99):

Maksud kedaulatan teritorial adalah kedaulatan yang dimiliki

oleh suatu negara dalam melaksanakan yurisdiksi eksklusif di

wilayahnya. Karena pelaksanaan kedaulatan ini didasarkan pada

wilayah, karena wilayah mungkin adalah konsep fundamental

hukum internasional.

Dalam kasus Nationality Decrees in Tunis and Morocco, pembelaan yang

dinyatakan oleh La Pradelle, menyatakan bahwa wilayah bukan merupakan

substansi, namun merupakan sebuah kerangka, yang berarti bahwa kerangka

tersebut adalah dengan adanya pelaksanaan kekuasaan publik dan mengenai

wilayah tidak perlu dipertimbangkan karena hanya sebagai hal eksternal, yang

mana seolah-olah tanda di mana kekuasaan publik dari suatu negara

dilaksanakan.30

Selaras dengan hal ini, Glahn berpendapat bahwa: “a State has an

unquestioned right to exercise sovereign authority troughout the extent of its

territory. By virtue of this fact, teritory became in the legal order “the point of

departure in settling most questions that concern international relations” 31, yang

berarti bahwa negara memiliki hak yang tidak dapat dibantahkan dalam rangka

pelaksanaan kedaulatan dalam wilayahnya. Berdasarkan hal ini, wilayah menjadi

29

J.G. Starke, Op.Cit., h. 210.

30

Lihat D.J. Harris, Cases and Materials on International Law (fifth edition), Sweet and Maxwell, London, 1998, h. 198.

31

(9)

tatanan hukum yaitu titik mula dalam penyelesaian masalah-masalah yang

berkaitan dengan hubungan internasional.

Hal-hal mengenai wilayah, terdapat preskripsi pada kasus the Island Palmas

Case, dengan pihaknya yaitu Amerika Serikat dan Belanda. Mengacu pada

arbitrator Max Huber dalam the Island Palmas Case (tahun 1928), kedaulatan

teritorial adalah ‘Teritorial sovereignty may defined as “right to exercise therein,

to the exclusion of any other State, the functions of a State’, yang berarti bahwa

kedaulatan teritorial dapat didefinisikan sebagai hak untuk melaksanakan di

dalamnya, terlepas dari negara lain, fungsi-fungsi suatu negara.32

Kedaulatan teritorial juga memiliki aspek negatif dan positif. Aspek positif

yang dimaksud adalah berkaitan dengan sifat hak ekslusif kompetensi suatu

negara terhadap wilayahnya.33 Aspek negatif kedaulatan teritorial ini adalah

adanya kewajiban untuk tidak mengganggu hak negara-negara lain.34

C. Kedaulatan Yurisdiksional (jurisdictional sovereignty)

Di samping kedaulatan teritorial, negara juga melaksanakan kedaulatan

yurisdiksional atas wilayahnya. Yurisdiksi pula merupakan refleksi dari

kedaulatan yang mana merupakan salah satu prinsip dalam hubungan

internasional dan jurisdiksi merupakan hal yang vital dan sentral dari kedaulatan

suatu negara, untuk melaksanakan kewenangan yang mungkin mengubah atau

menciptakan atau mengakhiri hubungan-hubungan legal dan

32

Pendapat dari Arbitrator Max Huber dalam the Island of Palmas Case, Permanent Court of Arbitration, 2 R.I.A.A. 829 at 838 (1928), dalam Rebecca M.M. Wallace, Op.Cit., h. 81, lihat juga D.J. Harris, Op.Cit., h. 190.

33

Huala Adolf, Op.Cit., h. 101.

34

(10)

kewajiban.35 Kedaulatan yurisdiksional, dapat didefinisikan sebagai pelaksanaan

kedaulatan yang meliputi kegiatan administrasi, yudisial, eksekutif, dan legislatif

yang dilakukan negara.36 Pelaksanaan kedaulatan terhadap perorangan dan

properti (benda-benda) oleh negara, diperlukan tindakan dalam skopa nasional,

yaitu melalui legislatur, police force, dan pengadilan.37 Sebagai bahan

perbandingan, dalam § 401 Categories of Jurisdiction dari American Law

Institute, dalam restatement (Third) Foreign Relations Law of the United States

(1987), menjelaskan mengenai kedaulatan yurisdiksional ini:

Under international law, a state is subject to limitations on (di

bawah hukum internasional, negara adalah subyek pembatasan

pada):

(a) Jurisdiction to prescribe, i.e., to make its law

applicable to the activities, relations, or status of

persons, or the interests of person in things, whether

by legislation, by executive act or order, by

administrative rule or regulation, or by determination

of a court (yurisdiksi dalam hal menentukan, seperti

membuat hukum yang diterapkan pada aktivitas,

hubungan, atau status perorangan, atau kepentingan

perorangan terhadap sesuatu, apakah itu dengan

legislasi, tindakan atau tatanan eksekutif, aturan atau

peraturan administratif, atau penentuan pengadilan);

35

Malcolm N. Shaw, Op.Cit., h. 572.

36

Martin Dixon dan Robert McCorquodale, Op.Cit., h. 281.

37

(11)

(b) Jurisdiction to adjudicate, i.e., to subject persons or

things to the process of its courts or administrative

tribunals, whether in civil or in criminal proceedings,

whether or not the state is a party to the proceedings

(yurisdiksi dalam hal adjudikasi, seperti kepada

subyek perorangan atau hal terhadap proses

persidangan atau peradilan administrasi, apakah itu

berupa dalam proses persidangan sipil atau kriminal,

atau negara dapat ikut atau tidak sebagai pihak dalam

proses persidangan);

(c) Jurisdiction to enforce, i.e., to induce or compliance

or to punish noncompliance with its laws or

regulations, whether through the courts or by use of

executive, administrative, police, or other nonjudicial

action (yurisdiksi dalam hal

penyelenggaraan/pelaksanaan, seperti keturutsertaan

atau pemenuhan atau menghukum ketidakpemenuhan

dengan hukum yang bersangkutan atau aturan,

apakah itu melalui pengadilan atau menggunakan

tindakan eksekutif, administrasi, kepolisian, atau

tindakan bukan yudisial yang lainnya).38

Dilihat dari restatement tersebut, Amerika Serikat menggunakan tiga prinsip

kedaulatan yurisdisional, yaitu, yurisdiksi untuk menentukan penerapan

38

(12)

hukumnya; yurisdiksi untuk adjudikasi; dan yurisdiksi untuk menyelenggarakan

regulasi hukumnya.

Perlu diperhatikan pula bahwa kaitannya dengan kedaulatan jurisdiksional,

terdapat prinsip “par in parem non habat imperium” yang secara harfiah dapat

diartikan seseorang tidak dapat melaksanakan kewenangannya terhadap

kesetaraan.39 Maksud dari prinsip ini bahwa suatu negara, pada prinsipnya adalah

sama dan tiada satupun negara yang melaksanakan jurisdiksinya tanpa izin.40

Prinsip ini sebenarnya memiliki kesamaan dengan apa yang dikemukakan oleh

Malanzscuk di atas mengenai prinsip dari kedaulatan teritorial, yang mana suatu

negara tidak dapat melakukan tindakan pemerintahan di wilayah negara lain tanpa

izin.

D. Cara Perolehan Kedaulatan

Adapun pula negara, dalam rangka perolehan kedaulatan teritorialnya, dapat di

bagi menjadi dua, yaitu dengan cara damai dan kekerasan. Dengan cara damai,

seperti cessi, preskripsi, dan okupasi.41, sedangkan dengan cara kekerasan, yaitu

conquest (penaklukan), yang mana ini sering digunakan pada zaman dahulu,

kompetisi memperebutkan wilayah seringkali dilakukan.42

Cara tradisional yang berkaitan dengan perolehan kedaulatan ini, aslinya

berasal dari pinjaman hukum Romawi atas aturan pemilikan suatu barang sampai

39

Rebecca M.M Wallace, Op.Cit., h. 108.

40

Ibid.

41

University Casebook Series, March 1986, h. 771.

42

(13)

saat ini masih dapat diterima dalam hukum internasional dalam rangka bagaimana

suatu negara mendapat wilayah yang sah.43

1. Okupasi

Okupasi berasal dari kata Romawi, yaitu ‘occupatio’, yang berarti

okupasi/pendudukan res nullius, yang mana sebuah benda sebelumnya tidak

dimiliki oleh siapapun.44 Okupasi yang dilakukan pada wilayah yang sudah

diduduki oleh suatu kelompok suku/penduduk asli bukan merupakan okupasi.45

Hardiwinoto berpendapat bahwa: “okupasi adalah cara memperoleh wilayah yang

tadinya belum merupakan bagian dari wilayah kekuasaan suatu negara.”46 Starke

berpendapat bahwa: “okupasi merupakan penegakkan kedaulatan atas wilayah

yang tidak berada di bawah penguasaan negara manapun, baik wilayah yang baru

ditemukan, ataupun – suatu hal yang tidak mungkin – yang ditinggalkan oleh

negara yang semula menguasainya.”47

Tidak jauh berbeda dengan pendapat Hardiwinoto dan Starke, Adolf

mengartikan bahwa okupasi atau pendudukan adalah pendudukan terhadap

wilayah terra nullius, yaitu wilayah yang bukan dan sebelumnya pun belum

pernah dimiliki oleh suatu negara ketika pendudukan terjadi.48 Levi menyebutkan

syarat okupasi sendiri ada tiga, yaitu: wilayah yang tidak dalam kedaulatan negara

43

J.L. Brierly, Op.Cit., h. 150.

44

R.C Hingorani, Modern International Law (second edition), Oxford and IBH Publishing Co., New Delhi, 1982, h. 50.

45

Lihat dalam kasus Western Sahara Case 1975, dengan pihaknya antara Spanyol dan Maroko, mengenai legalitas dari pendudukan yang dilakukan oleh Spanyol pada wilayah Rio de Oro/Sakiet El Hamra. Maroko juga menglkaim bahwa wilayah tersebut miliknya dengan mengaitkannya melalui legal ties, namun ia tidak menjalankan pelaksanaan kedaulatan yang nyata dan kehendak untuk menjadikan wilayah tersebut dibawah kedaulatannya. Akhirnya, ICJ memutuskan bahwa wilayah tersebut bukan terra nullius dan klaim kedua belah pihak tersebut ditolak, lihat D.J. Harris, Op.Cit., h. 207-209.

46

Soekotjo Hardiwinoto, Op.Cit., 122.

47

J.G. Starke, Op.Cit., h. 214.

48

(14)

manapun, dan okupan haruslah negara, yang memperuntukkan untuk menjadikan

wilayah tersebut dalam kedaulatannya dan harus ada effective occupation untuk

melaksanakan wewenangnya.49

Menurut penulis sendiri, yang dimaksudkan dengan okupasi, mengacu dari

beberapa pendapat di atas maka okupasi adalah pendudukan oleh suatu negara,

yang didahului oleh penemuan (discovery), yang mana wilayah yang diduduki

tersebut merupakan terra nullius dan pendudukan tersebut berjalan terus menerus

dengan cara damai. Namun, untuk saat ini wilayah yang termasuk terra nullius

sudak tidak ada, dan terra nullius ini sangat banyak digunakan pada sengketa yang

berdasarkan klaim atas wilayah-wilayah yang sebelumnya disebut terra nullius.50

Ada dua syarat yang perlu diperhatikan dalam okupasi, yaitu kehendak

untuk bertindak menjadikan wilayah tersebut menjadi kedaulatan(the intention or

will to act as sovereign) dan pelaksanaan kedaulatan yang nyata (some actual

exercise or display of authority).51

1.1. The intention or will to act as sovereign

Okupan (negara yang melakukan okupasi), tentu saja harus bermaksud untuk

meyakinkan bahwa wilayah yang didudukinya tersebut di bawah kedaulatannya.52

Unsur kehendak merupakan masalah kesimpulan dari semua fakta, meskipun

kadang-kadang kehendak tersebut dapat secara formal ditegaskan dalam

pengumuman resmi kepada negara-negara lain yang berkepentingan.53 Cara ini

dapat diwujudkan, seperti aktivitas individu yang didasarkan menurut kewenangan

49

Werner Levi, Contemporary International Law (second edition): a Concise Introduction, Westview Press, San Fransisco, 1991, h. 130.

50

Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Op.Cit., h. 179.

51

J.L Brierly, Op.Cit., h. 151.

52

Werner Levi, Loc.Cit.

53

(15)

yang diterima oleh pemerintah negara yang bersangkutan atau cara lain

pemerintah dalam menyatakan wilayah tersebut menjadi jurisdiksinya.54

1.2. Effective occupation

Pelaksanaan kedaulatan yang nyata (some actual exercise or display of

authority), diwujudkan melalui effective occupation. Effective occupation,

merupakan proses tahapan untuk memperoleh kedaulatan secara legal yang

dibenarkan oleh hukum internasional. Namun sebelumnya terdapat doktrin hak

permulaan/pendahuluan (doctrine of inchoate title) yang diberikan berdasarkan

penemuan (discovery) saja55, yang mana suatu negara memperoleh hak sementara

atas suatu teritori dengan belum sempurna sampai dengan negara tersebut

meperoleh bukti kuat dalam effective occupation.56 Agar menyempurnakan

doktrin ini, maka diharuskan adanya effective occupation.57

Effective occupation merupakan penerapan dari pelaksanaan kedaulatan

yang nyata.58 Dalam The Island of Palmas Case, effective occupation harus

ditetapkan dengan tiga cara, yaitu secara terbuka, publik ,dan terus menerus,

dengan cara damai pada waktu yang cukup lama.59 Wujud dari effective

occupation ini dapat ditunjukkan dengan suatu tindakan yang jelas atau simbolis

atau langkah-langkah legislatif dan eksekutif yang berlaku di wilayah yang

diklaim, atau melalui traktat-traktat dengan negara lain yang mengakui kedaulatan

54

Lihat kasus Fisheries case, Judgment of December 18th, I951: I.C.J. Reports 1951, p. 116., lihat juga dalam Peter Malanczuk, Op.Cit., h. 149.

55

Perlu menjadi catatan bahwa doctrin of inchoate title ini mengacu pada putusan dari kasus the Island of Palmas case, lihat Malcolm N Shaw, Op.Cit., h. 425.

56

J.L. Brierly, Op.Cit., h. 154.

57

Ibid.

58

Rebecca M.M Wallace, Op.Cit., h. 82.

59

(16)

negara penuntut tersebut, dengan penerapan batas-batas wilayah, dan seterusnya60,

seperti misalnya dalam kasus Pulau Sigitan dan Pulau Sipadan, dengan pihaknya

atara Indonesia dan Malaysia, yang mana kasus ini dimenangkan oleh Malaysia

karena prinsip effective occupation ini telah dilakukan oleh Malaysia dengan

pengaturan dan kontrol terhadap telur-telur kura-kura sejak tahun 1917 dengan

dikeluarkannya the 1917 Turtle Preservation Ordinance.61 Tindakan Malaysia ini

juga mencerminkan adanya prinsip effectivités, yang mana prinsip ini, seperti

yang ditegaskan oleh International Court of Justice bahwa aktivitas yang

dilakukan oleh perseorangan tidak dapat dilihat sebagai effectivités jika tidak

ditempatkan pada basis pengaturan resmi atau dibawah kewenangan

pemerintahan.62

2. Preskripsi

Menurut Hardiwinoto, preskripsi (daluwarsa) diartikan:

Cara prescription baru dapat dibenarkan atau diakui, apabila

penduduknya atas suatu wilayah tertentu itu telah dilakukan

dalam waktu yang cukup lama tanpa adanya protes atau

gugatan-gugatan dari pihak manapun dan memerintah wilayah

tersebut secara teratur.63

60

J.G. Starke, Op.Cit., h. 215.

61

Lebih lanjut lihat dalam putusan International Court of Justice (ICJ), Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan (Indonesial/Malaysia), Judgement, I. C. J. Reports 2002, h. 625.

62

Malcolm N. Shaw, Op.Cit., h. 434, sebagaimana beliau mengutip dari kasus

Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan (Indonesial/Malaysia). Beliau juga mengemukakan bahwa klaim atas wilayah dapat dibagi menjadi tiga aktivitas/kegiatan, yaitu pelaksanaan kekuasaan kedaulatan oleh negara (titre de souverain); atau oleh individu yang tindakan tersebut disahkan oleh negaranya; atau oleh korporasi atau perusahaan yang diizinkan oleh negara untuk beroperasi demi kepentingan kedaulatan negara tersebut.

63

(17)

Wallace berpendapat bahwa “prescription is the acquisition of title by a

public peaceful and continous control of territory”(preskripsi adalah cara

mengakuisisi titel/hak atas wilayah dengan perdamaian yang ditujukan kepada

publik dan kontrol yang berkelanjutan terhadap suatu wilayah). 64 Adolf pula

berpendapat: “dalam hukum internasional, yang dimaksud dengan preskripsi

adalah pemilikan suatu wilayah oleh suatu negara yang telah didudukinya dalam

jangka waktu yang lama dan dengan sepengetahuan pemiliknya.”65 Tidak jauh

berbeda, Von Glahn mendefinisikan preskripsi, yaitu “Prescription is a legal term

related to title to territory; it means continued occupation, over a long period of

time, by one state of territory actually and originally belonging to another state.”

(preskripsi adalah istilah hukum yang berkaitan dengan titel terhadap wilayah;

yang berarti okupasi yang terus-menerus, dalam jangka waktu yang lama, oleh

suatu negara terhadap wilayah yang sebenarnya dan aslinya adalah milik dari

negara lain)66

Menurut penulis, dari beberapa pendapat mengenai preskripsi di atas, maka

yang dimaksudkan dengan preskripsi adalah cara perolehan wilayah yang

sebelumnya sudah dimiliki/dikuasai oleh suatu negara, di mana wilayah tersebut

kemudian didiami oleh negara lain, dengan sepengetahuan negara ‘pemilik’ asli

tersebut dan tanpa adanya protes dan diduduki dalam jangka waktu yang lama

dengan cara damai. Shaw, berpandangan negatif mengenai definisi preskripsi.

Beliau mengemukakan bahwa: “prescription is a mode of establishing title to

territory which is not terra nullius and which has been obtained either unlawfully

or in circumstances wherein the legality of the acquisition cannot be

64

Rebecca M.M. Wallace, Op.Cit., h. 85.

65

Huala Adolf, Op.Cit., h. 110.

66

(18)

demonstrated”67 yang dapat diartikan bahwa preskripsi adalah sebuah cara

menetapkan hak atas wilayah yang bukan terra nullius dan yang mana sudah

diperoleh secara melawan hukum atau dalam keadaan tertentu di mana legalitas

perolehan wilayah tersebut tidak dapat ditunjukkan. Beliau juga mengatakan

bahwa:

It is the legitimisation of a doubtful title by the passage of time

and the presumed acquiescence of the former sovereign, and it

reflects the need for stability felt within the international system

by recognising that territory in the possession of a state for a

long period of time and uncontested cannot be taken away from

that state without serious consequences for the international

order.(preskripsi adalah legitimisasi atas titel yang sangsi/ragu

dengan perjalanan waktu dan menduga secara diam-diam dari

kedaulatan sebelumnya, dan merefleksikan kebutuhan akan

stabilitas di bawah sistem internasional dengan mengakui bahwa

wilayah dalam pemilikan negara untuk jangka waktu yang lama

dan tidak ditentang (oleh negara lain) tidak dapat diambil dari

negara lain tanpa konsekuensi serius dalam tatanan

internasional)68

Adapun pula Von Glahn, membedakan antara abandonment dengan

preskripsi:

Abandonment implies a withdrawal, a kind of open retreat from

a territory. Prescription means that a foreign state occupies a

67

Malcolm N. Shaw, Op.Cit., h. 426.

68

(19)

portion of territory claimed by a state, encounters no protests on

the part of the “owner”, and exercises rights of sovereignty over

a long period of time. Eventually the original title lapses and the

“squatter state” acquires legal title to the territory.69

Dari pendapat yang dikemukakan oleh Von Glahn di atas, maka

abandonment lebih merujuk kepada penarikan kembali dan mundurnya suatu

negara atas penguasaan terhadap wilayah tertentu, sedangkan preskripsi berarti

negara asing menduduki bagian wilayah yang diklaim oleh suatu negara, dengan

tidak adanya protes dari pemilik aslinya dan melaksanakan kedaulatannya dengan

waktu yang lama dan titel aslinya menjadi hilang digantika oleh negara yang

menduduki wilayah tersebut.

Preskripsi membutuhkan pelaksanaan kedaulatan secara de facto.70 Lebih

lanjut, dijelaskan oleh Starke:

Hak yang diperoleh melalui preskripsi (yaitu preskripsi akuisitif)

adalah hasil dari pelaksanaan kedaulatan de facto secara damai

untuk jangka waktu yang sangat lama atas wilayah yang tunduk

pada kedaulatan negara lain, dan preskripsi ini mungkin sebagai

akibat dari pelaksanaan kedaulatan demikian yang sudah

berjalan lama sekali (misalnya karena dengan jangka waktu

tersebut menghilangkan kesan kedaulatan oleh negara

pendahulu) atau sebagai akibat lamanya pemilikan yang

bertentangan semata-mata.71

69

Gerhard Von Glahn, Op.Cit., h. 319.

70

Rebecca M.M. Wallace, Op.Cit., h. 85.

71

(20)

Dalam hal ini, perlu diperhatikan bahwa ada perbedaan dan persamaan

antara preskripsi dan okupasi. Perbedaan dari okupasi dan preskripsi terletak pada

pemilikan suatu wilayah dan waktu, jika okupasi wilayah tersebut terra nullius

ditemukan dan diatur, tetapi tidak membutuhkan jangka waktu yang lama agar titel

wilayahnya menjadi milik negara yang menduduki, sedangkan preskripsi wilayah

tersebut diperoleh karena adanya pemilikan, suatu pemilikan wilayah orang lain

yang telah berlangsung lama dan tidak ada protes dari pemilik aslinya.72

Persamaannya bahwa preskripsi dan okupasi berdasarkan effective control pada

wilayah tersebut.73

Jangka waktu dalam preskripsi ini, tidak ada kesamaan pendapat dikalangan

sarjana hukum internasional. Dalam beberapa definisi mengenai preskripsi di atas,

hanya disebutkan waktu yang cukup lama. Bahkan, Wallace berpendapat bahwa:

there has to date been no decision of an international tribunal conclusively

acknowledging title founded on prescription.”74 Melihat dalam putusan arbitrasi

The Island of Palmas Case, jangka waktu preskripsi diputuskan dua ratus tahun.75

Di samping itu, dalam hukum nasional, terdapat jangka waktu tersendiri dalam

menentukan periode preskripsi, semisal dalam hukum nasional Inggris selama dua

belas tahun, begitu pula India yang menetapkan dua belas tahun dalam

preskripsi.76

72

Huala Adolf, Op.Cit., h. 110, lihat juga Peter Malanczuk, Op.Cit., h. 150.

73

Ibid.

74

Rebecca M.M. Wallace., Op.Cit., h. 85.

75

Philip C. Jessup, “The Palmas Island Arbitration”, 22 AJIL (1928), h. 735-752, dan R. V. Jennings, The Acquisition of Territory in International Law, Manchester University Press, Manchester, 1963, dalam Gerhard Von Glahn, Op.Cit., h. 321, lihat juga D.J. Harris, Op.Cit., h. 197. Namun, menurut penulis, dari beberapa literatur, putusan ini masih menimbulkan perbedaan pendapat antara penulis/ahli hukum internasional.

76

(21)

Dalam kaitannya dengan preskripsi, Fauchille dan Johnson, mengemukakan

beberapa syarat agar suatu preskripsi sah:

1. Pemilikan tersebut harus dilaksanakan secara a titre de

souverain. Maksudnya, yaitu bahwa pemilikan tersebut harus

memperlihatkan suatu kewenangan/kekuasaan negara dan di

wilayah tersebut tidak ada negara yang mengklaimnya;

2. Pemilikan tersebut harus berlangsung secara damai dan tidak

ada gangguan (protes) dari pihak lain. Hakim Huber dalam

kasus The Palmas menggunakan istilah “terus-menerus dan

damai”;

3. Pemilikan tersebut harus bersifat publik. Yang dimaksud

publik di sini yaitu yang diumumkan atau yang diketahui oleh

pihak lain;dan

4. Pemilikan tersebut harus berlangsung terus. 77

3. Cessi (Penyerahan)

Cessi (cession;transfer) adalah pengalihan wilayah secara damai dari suatu

negara ke negara lain dan kerapkali berlangsung dalam rangka suatu perjanjian

perdamaian setelah usainya perang.78 Starke menyatakan bahwa “Penyerahan

merupakan suatu metode penting diperolehnya kedaulatan teritorial. Metode ini

didasarkan atas prinsip bahwa hak pengalihan wilayah adalah atribut fundamental

77

Ian Brownlie, Principles of Public International Law, Oxford Univ. Press, Oxford, 1979, dalam Huala Adolf, Op.Cit., h. 111.

78

(22)

dari kedaulatan suatu negara.”79 Cessi menurut Hardiwinoto adalah proses

memperoleh wilayah baru atau cara penambahan wilayah melalui suatu perjanjian

(penyerahan melalui perjanjian tertulis).80 Cessi ini bisa dilakukan dengan sukarela

atau dengan paksaan akibat peperangan, sedangkan menurut penulis sendiri, cessi

diartikan sebagai transfer kedaulatan suatu wilayah dari negara yang memperoleh

wilayah aslinya kepada negara penerima wilayah, dengan melalui suatu perjanjian

tertulis dan damai.

Penyerahan kedaulatan melalui cessi ini, dapat pula diperoleh berdasarkan

perjanjian dari kolonial atau kekuasaan administratif kepada penduduk asli.81

Transfer teritori ini, adalah selalu memperoleh titel turunan kepada wilayah

tertentu.82 Cessi selalu diikuti dengan perjanjian (treaty), seperti misalnya dalam

sebuah perjanjian damai sebagaimana berakhirnya perang dalam Treaty of

Versailles 1919 dan Treaty of Peace with Japan 1951.83

Dalam penyerahan kedaulatan melalui cessi ini, perlu juga diperhatikan

mengenai maxim nemo dat quod non habet, yang berarti tidak seorangpun

memberikan apa yang ia tidak punya.84 Negara yang menyerahkan tidak dapat

mengurangi apa yang telah ia serahkan.85 Oleh karena itu, dalam hal ini

berdasarkan suatu penyerahan wilayah perlu dialihkan semua hak-hak berdaulat

yang terkandung dalam wilayah yang diserahkannya.86 Dengan alasan yang sama,

suatu negara yang melakukan penyerahan tidak dapat mengalihkan lebih daripada

wilayah di mana ia telah melaksanakan kedaulatan; karenanya negara penerima

79

J.G. Starke, Op.Cit., h. 221.

80

Soekotjo Hardiwinoto, Op.Cit., h. 121.

(23)

akan mengurus wilayah yang diserahkan tunduk pada suatu pembatasan

kedaulatan atau hak-hak berdaulat (misalnya, berkenaan dengan suatu kawasan

khusus) yang sebelumnya mengikat negara yang menyerahkan.87

Alasan dalam transfer wilayah ini tidak menyangkut hukum.88 Von Glahn

secara terpisah menjelaskan mengenai voluntary cession (cessi dengan sukarela)

dan involuntary cession by conquest.89 Menurutnya, cessi dengan sukarela

membawa titel hukum kepada pemilik barunya. Menurutnya, cessi (dengan cara

damai) memiliki banyak ragam, seperti misalnya, pada zaman dahulu terdapat a

treaty of sale [populer pada abad terdahulu, yang tidak diketahui pada zaman

sekarang, seperti Lousiana Purchase (1803); the Florida Purchase (1819); the

Galsden Purchase (1853); the Alaska Purchase (1867); the purchase of the Danish

West Indies (Virgin Islands tahun 1916)]; pertukaran real estate kepada negara

lain/wilayah lain, seperti transfer Pulau Heligoland dari Inggris kepada Jerman

tahun 1890 dalam pertukaran wilayah Afrika Timur Jerman (German East Africa);

cessi melalui hadiah, dapat dikatakan sebagai “a royal dowry”, seperti

pernyerahan bagian batuan karang Danau Erie dari Inggris kepada Amerika

Serikat (tahun 1850), sedangkan involuntary cession by conquest, selalu

menggunakan kekuatan bersenjata, dengan serangan hingga mencapai

kemenangan, yang kemudian didapatkan dengan penggabungan ke negara

pemenang tersebut.90

87

Ibid.

88

Werner Levi, Op.Cit., h. 131.

89

Gerhard Von Glahn, Op.Cit., h.321-324.

90

Sebelum adanya Konvenan League of Nations dan Charter of The United Nations

(24)

Namun, perolehan kedaulatan melalui cessi dengan penaklukan, saat ini

dilarang, baik dalam ketentuan sebelum 1945, seperti Kellog-Briand Treaty 1928,

dan juga doktrin the Stimson Doctrine of Non-Recognition (1932) yang

menyatakan apabila dalam perolehan suatu wilayah dengan menggunakan

kekerasan maka perolehan tersebut tidak akan diakui91; maupun sesudah 1945,

yaitu dalam Article 2 (4) United Nations Charter, dengan larangan penggunaan

use of force terhadap wilayah negara lain.

4. Aneksasi (conquest/penaklukan)

Brierly, mendefinisikan aneksasi, yaitu perolehan kedaulatan (acquisition)

wilayah dari musuh dengan sempurna dan subjugasi final dan sebuah deklarasi

dari negara yang menaklukan untuk menggabungkan wilayah tersebut.92 Wallace

mendefinisikan conquest ini terkait juga dengan perang, yang mana wilayah

tersebut dikuasai/diambil alih oleh angkatan bersenjata (military force)93,

sedangkan Starke lebih menitikberatkan aneksasi pada ‘pemaksaan’ dalam

perolehan kedaulatan teritorial.94 Adapun pula padanan kata aneksasi ini yaitu

subjugasi, yang menurut Black’s Law Dictionary : “a means of ending a war and

acquiring territory when one of the belligerent countries has been so soundly

defeated that is adversory is able to decide alone the fate of the defended

country’s territory”(sebuah cara mengakhiri perang dan mendapatkan wilayah

ketika satu dari negara yang berperang terkalahkan yang mana negara tersebut

91

Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Op.Cit., h. 182.

92

J.L. Brierly, Op.Cit., h. 155.

93

Rebecca M.M. Wallace, Op.Cit., h. 85.

94

(25)

memutuskan untuk menyerahkan wilayah kepada negara yang memenangkan

perang tersebut --penulis--).

Aneksasi, pada waktu sebelum Perang Dunia Kedua seringkali terjadi,

sedangkan untuk saat ini aneksasi dilarang. Dalam UN Charter Article 2 (4),

menyatakan bahwa “All Members shall refrain in their international relations

from the threat or use of force against the territorial integrity or political

independence of any state, or in any other manner inconsistent with the Purposes

of the United Nations”, kecuali dalam situasi dan keadaan tertentu semisal

dekolonialisasi.95

5. Akresi

Shaw menjelaskan akresi sebagai proses geografis yang mana tanah baru

terbentuk dan menjadi ‘berhimpit’ dengan tanah yang ada, seperti misalnya

pembentukan pulau-pulau di mulut sungai atau pergantian arah dari batas sungai

yang meninggalkan tanah kering yang muncul ke permukaan.96 Tidak jauh

berbeda, Strake mendefinisikan akresi, yaitu terjadi apabila wilayah yang baru

ditambahkan, terutama karena sebab sebab ilmiah, yang mungkin timbul karena

pergerakan sungai atau lainnya (misalnya tumpukkan pasir karena tiupan angin),

terhadap wilayah yang telah ada yang berada di bawah kedaulatan negara yang

memperoleh hak tersebut.97 Tindakan atau pernyataan formal tentang hak ini tidak

diperlukan.

E. Traktat (Treaty)

95

R.C Hingorani, Op.Cit., h. 53.

96

Malcolm N. Shaw, Op.Cit., h. 419.

97

(26)

1. Konsep Traktat

Traktat dalam pengertian luasnya adalah perjanjian antara pihak-pihak

peserta atau negara-negara di tingkat internasional.98 Werner Levi mendefinisikan

traktat adalah perjanjian di bawah hukum internasional antara dua (bilateral) atau

diantara lebih dari dua (multilateral) negara untuk mencapai suatu prestasi yang

terdapat dalam perjanjian tersebut.99 John O’ Brien sebagaimana dikutip dari

Jawahir Thontowi, et.al, merangkum beberapa definisi mengenai traktat, yaitu:

Pertama, traktat uncul diakibatkan oleh persetujuan. Kedua,

negara yang memberikan persetujuan terikat untuk

memberlakukannya sebagaimana yang diinginkan oleh traktat

terhadap pihak lain. Ketiga dalam hal traktat tersebut

mengkodifikasi kebiasaan, maka para negara peserta terikat oleh

traktat yang menurut prinsip-prinsip umum. Keempat, dalam hal

bukan negara-peserta, yang dimaksud oleh prinsip ketiga, maka

traktat tetap mengikat berdasar pada alasan kewajibannya

muncul sebagai akibat dari kebiasaan. Terakhir adalah traktat

multilateral pada umumnya, dibentuk di bawah the International

Law Comission, dengan tujuan untuk terciptanya pembentukan

hukum internasional yang progresif, yang tentunya melibatkan

kodifikasi atas hukum kebiasaan.100

Definisi mengenai traktat ini sebenarnya sudah ada dalam Vienna

Conventions on the Law of Treaties 1969 (mulai berlaku pada tanggal 27 Januari

98

John O’Brien, International Law, Cavendish, London, 2001, h. 80, dalam Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Op.Cit., h. 56.

99

Werner Levi, Op.Cit., h. 203.

100

(27)

1980;selanjutnya disebut Konvensi Wina 1969) dalam Article 1 huruf a,

sebagaimana tertulis: “treaty means an international agreement concluded

between States in written form and governed by international law, whether

embodied in a single instrument or in two or more related instruments and

whatever its particular designation.”

Dari definisi tersebut, menurut penulis, ada beberapa unsur yang

menjadikan traktat sebagai hukum, yaitu perjanjian internasional, pihaknya adalah

negara, berbentuk tertulis, ,diatur oleh hukum internasional, berwujud instrumen

tunggal atau dua ataupun lebih instrumen dan bentuknya bergantung pada negara

yang membuat traktat tersebut. Namun, tidak semua traktat mengikat secara

hukum dan tidak diatur oleh hukum internasional, seperti contoh yang secara jelas

dalam the Final Act of the Helsinki Conference on Security and Co-operation in

Europe 1975.101

Kata traktat digunakan dalam bidang internasional, yang menggambarkan

perjanjian internasional secara umum.102 Traktat benyak sekali macamnya, seperti

pakta, konvensi, piagam, charter, deklarasi, protokol, arrangement, accord,

modus vivendi, convenant, dan lain sebagainya.103 Pembedaan dalam penamaan

traktat ini tidak memiliki pengaruh hukum, semuanya sama dan setara penerapan

hukumnya.104 Traktat atau perjanjiian internasional adalah sarana utama yang

101

Lihat Case concerning Maritime Delimitation and Territorial Questions between Qatar and Bahrain (Qatar v Bahrain) (Jurisdiction – First Phase), ICJ Rep. 1994 112, dalam Martin Dixon dan Robert McCorquodale, Op.Cit., h. 61.

102

Thomas Buergenthal dan Harold G. Maier, Public International Law in a Nutshell, West Publishing Co, St. Paul Minn, 1990,h. 91.

103

Mochtar Kusumaatmadja, Op.Cit., h. 85.

104

(28)

dipunyai negara untuk memulai dan mengembangkan hubungan internasional.105

Tiap-tiap negara pasti menjadi para pihak dari traktat dan mereka juga

memastikan bahwa kepentingan mereka yang tertuang dalam traktat tersebut dapat

berjalan secara efektif, sama halnya ketika semua negara memiliki aturan yang

lazim dalam kekebalan diplomatik dalam rangka memfasilitasi hubungan

diplomatik.106 Selain itu, traktat adalah alternatif legal utama untuk menyelesaikan

sengketa internasional, yang mana saat ini penggunaan kekerasan menjadi illegal

dalam penyelesaian sengketa internasional.107

2. Metode Interpretasi Traktat

Permasalahan yang dihadapi oleh pengadilan maupun pengacara, dalam

skopa hukum nasional dan internasional adalah mengenai interpretasi (penafsiran)

dan karena itu aturan-aturan dan teknik-teknik dalam memecahkan masalah

tersebut sudah dikedepankan untuk membantu badan-badan peradilan.108 Shaw

mengemukakan bahwa ada tiga macam pendekatan dasar dalam interpretasi

terhadap suatu traktat, antara lain:

The first centres on the actual text of the agreement and

emphasises the analysis of the words used. The second looks to

the intention of the parties adopting the agreement as the

solution to ambiguous provisions and can be termed the

subjective approach in contradistinction to the objective

approach of the previous school. The third approach adopts a

105

F. Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Penerbit Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 1994, h. 88.

106

Peter Malanczuk, Op.Cit., h. 130.

107

Werner Levi, Op.Cit., h. 202.

108

(29)

wider perspective than the other two and emphasises the object

and purpose of the treaty as the most important backcloth

against which the meaning of any particular treaty provision

should be measured.

Dari pernyataan yang dikemukakan oleh Shaw di atas, dapat diartikan bahwa

pertama pemusatan kepada teks yang ada dalam perjanjian dan menekankan pada

analisis penggunaan kata. Kedua melihat pada tujuan dari para pihak mengadopsi

perjanjian tersebut sebagai solusi atas keambiguan dari beberapa ketentuan, dan

hal ini dapat disebut dengan pendekatan subyektif dalam perbedaan ketidaksuaian

terhadap pendekatan obyektif dari aliran sebelumnya. Ketiga, pendekatan dengan

mengambil perspektif yang lebih luas daripada dua yang sebelumnya dan

menetapkan obyek dan kegunaan dari traktat sebagai yang sangat penting sekali

yang mana arti dari beberapa ketentuan traktat yang menjadikan ukuran traktat

tersebut).109

Tidak jauh berbeda mengenai penafsiran traktat, secara sederhana,

Hingorani mengemukakan tiga macam aliran interpretasi, yaitu (1) tekstual, yang

mana aliran ini berpendapat bahwa traktat harus diinterpretasikan menurut hakikat

dan arti yang biasa dalam teks traktat tersebut; (2) intentions or subjective, aliran

ini berpendapat bahwa suatu traktat tidak akan sempurna tanpa mengetahui intensi

dari pembuat traktat tersebut, yang mana di sini diperlukan travaux preparationes

(preparatory works), yang berarti bahwa ulasan seperti debat, diskusi, dan

korespondensi yang mendahului kesimpulan dari suatu traktat; dan (3)

109

(30)

teleological, yang mana suatu traktat dapat ditafsirkan dengan mengetahui obyek

dan kegunaan dari traktat tersebut.110

Dari kedua pendapat di atas, dalam hukum internasional, penafsiran traktat

mengacu pada aturan umum (general rule of interpretation) yang terdapat dalam

Article 31 Konvensi Wina 1969:

1.A traty shall be interpreted in good faith in accordance with

the ordinary meaning to be given to the term of the treaty in

their context and the light of its object and purpose.

2.The context for the purpose of the interpretation of treaty

shall comprise, in addition to the text, including its preamble

and annexe:

(a) Any agreement relating to the treaty which was made

between parties in connection with the conclusion of the

treaty;

(b) Any instrument which was made by one or more parties in

connection with the conclusion of the treaty.

3.There shall be taken into account, together with context:

(a) Any subsequent agreement between the parties regarding

the interpretation of the treaty or the application of its

provisions;

(b) Any subsequent practice in the application of the treaty

which established the agreement of the parties regarding its

interpretation;

110

(31)

(c) Any relevant rules of international law applicable in the

relations between the parties.

4.A special meaning shall be given to a term if it is established

that the parties so intended.

Dari Article 31 tersebut, dapat disimpulkan bahwa Konvensi tersebut

menggunakan kombinasi antara aliran tekstual dan teleological.111 Untuk travaux

preparationes, dijelaskan dalam Article 32:

Recourse may be had to supplementary means of interpretation,

including the preparatory work of the treaty and the

circumstances of its conclusion, in order to confirm the meaning

resulting from the application of Article 31, or to determine the

meaning when the interpretation according to Article 31:

(a) leaves the meaning ambiguous or obscure; or

(b) leads to a result which is manifestly absurd or unreasonable.

Pada intinya, travaux preparationes merupakan traktat pada tahapan

persiapan pengajuan traktat, yang nantinya akan menjadi pelengkap dalam

interpretasi terhadap beberapa masalah penafsiran (arti kata atau kalimat) yang

ambigu dan hasil yang tidak masuk akal dan tidak beralasan.

3. Pengaruh traktat terhadap negara ketiga

Prinsip yang sangat mendasar dalam hukum traktat internasional adalah

bahwa traktat tidak menciptakan hak ataupun kewajiban terhadap negara ketiga

tanpa adanya consent, sebagaimana tercantum dalam Article 34 Konvensi Wina

111

(32)

1969, bahwa “[a] treaty does not create either obligations or rights for a third

State without its consent.” Dan juga perlu diingat, bahwa perjanjian internasional

merupakan “res inter alios acta” oleh karena itu pada prinsipnya perjanjian

internasional hanya mengikat pihak-pihak yang berjanji saja.112 Namun, negara

ketiga dapat menerima kewajiban dalam bentuk pernyataan tertulis bahwa ia

setuju mengenai kewajiban yang tertulis dalam traktat tersebut.113

F. Suksesi Negara (State Succession)

Istilah suksesi negara digunakan untuk menggambarkan cabang dari hukum

internasional yang berhubungan dengan konsekuensi legal dari pergantian

kedaulatan atas wilayah.114 Menurut Merriam-Webster Online, yang dimaksudkan

dengan suksesi negara adalah “one of a number of states that succeed a former

state in sovereignty over a certain territory.” Dalam suksesi negara, menurut

hukum internasional, sebenarnya tidak terjadi penggantian negara lama, yang

telah berubah identitasnya, oleh negara lain, yang terjadi adalah hilangnya seluruh

atau sebagian kedaulatan wilayah dari negara lama dan sekaligus perolehan

kedaulatan wilayah atas wilayah itu oleh negara lain.115

Pengertian suksesi negara, secara jelas dicantumkan dalam Vienna

Convention of 1978 on Succession of States in Respect of Treaties (selanjutnya

disebut Kovensi Wina 1978) dan 1983 Vienna Convention on Succession in

Respect of State Property, Archives, and Debts (selanjutnya disebut Konvensi

Wina 1983), yang menyatakan bahwa ‘succession of States means the

112

Sugeng Istanto, Op.Cit., h. 91.

113

United Nations Conventions on the Law of Treaties, Article 35.

114

Peter Malanczuk, Op. Cit., h. 161.

115

(33)

replacement of one state by another in the responsibility for the international

relations of a territory’(suksesi negara berarti pergantian satu negara kepada

lainnya dalam tanggungjawabnya untuk hubungan internasional terhadap sebuah

wilayah).116

Ada beberapa macam bentuk suksesi, antara lain annexation, cession,

dismemberment, seccession, union, merger, atau yang sejenisnya, yang mana

bentuk bentuk suksesi negara ini memiliki kegunaan dan kategori deskriptif,

bahwa kata-kata ini merefleksikan teori suksesi yang khusus, semisal antara cessi

dan union; dan conquest dan seccession117. Adapun menurut O’Brien suksesi

dapat terjadi sebagai berikut:

a. Bagian dari negara A bergabung dengan negara B atau menjadi

tergabung ke dalam beberapa negara X, Y, dan Z;

b. Bagian dari negara A menjadi satu negara baru;

c. Seluruh wilayah dari negara X menjadi bagian dari negara Y;

d. Seluruh wilayah negara A terbagi menjadi beberapa negara

baru Y, X dan Z;

e. Keseluruhan bagian dari negara X membentuk dasar bagi

beberapa negara baru yang berdaulat.118

Sebagai bahan perbandingan, ada dua sudut pandang mengenai suksesi

negara, yaitu dari Eropa Kontinental dan Amerika Serikat. Dalam sudut pandang

Eropa Kontinental, suksesi negara dibedakan dalam hukum internasional publik

dan hukum internasional privat, yang mana hukum internasional publik

116

Article 2 (b) Konvensi Wina 1978; dan Article 2 (a) Konvensi Wina 1983.

117

Matthew C.R. Craven, “The Problem of State Succession and the Identity of States under International Law,” European Journal of International Law 9, 1998, h. 146.

118

(34)

mendefinisikan suksesi negara sebagaimana tercantum dalam Konvensi Wina

1978 dan Konvensi Wina 1983.119 Ada beberapa unsur penting yang menyangkut

mengenai suksesi negara dalam pandangan Eropa Kontinental, antara lain

wilayah, negara, dan hubungan antara negara yang melakukan suksesi dan

wilayah negara tersebut120; dan dalam hal pengakuan tidak diperlukan (hanya

bersifat deklaratif).121

Dalam sudut pandang Amerika Serikat, yang menjadi titik tolok dalam

suksesi negara adalah pengakuan (bersifat konstitutif)122, yang mana hal ini salah

satunya merupakan prasyarat untuk masuk ke dalam pengadilan Amerika

Serikat.123 Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam hal pengakuan ini,

menyatakan bahwa "[i]n order to take advantage of diversity jurisdiction [in U.S.

federal courts], a foreign state and the government representing it must be

'recognized' by the United States”.124

G.1. Suksesi Negara dan Suksesi Pemerintahan

Suksesi negara dan suksesi pemerintahan memiliki pengertian yang berbeda,

baik pada fakta atau kenyataan ketika telah terjadi suksesi (factual succession),

maupun pada akibat hukumnya (legal succession).125 Suksesi pemerintahan,

menurut Hackworth dalam Digest of International Law adalah:

(35)

A government, the instrumentally trough which a State

functions, may change from time to time both as to form – as a

form a monarchy to a republic – and as to the head of the

government without affecting the continuity or identity of the

State as an international person.126

Maksud dari pendapat tersebut adalah pemerintahan suatu negara dapat

berubah, baik pada bentuknya seperti, misalnya, dari kerajaan menjadi republik

atau sebaliknya, maupun pada orang-orang atau personalia yang menjadi kepala

pemerintahan, yaitu misalnya kabinet yang satu diganti kabinet yang lain, atau

juga kepala negara yang satu diganti kepala negara lainnya, misalnya melalui

suatu pemilihan umum. Perubahan pemerintahan dimaksud tidak mempengaruhi

kontinuitas atau identitas negara yang bersangkutan sebagai subyek hukum

internasional.127

Mengenai akibat hukum dari suksesi pemerintahan negara, berlaku asas

kontinuitas. Ini berarti bahwa setiap pemerintah baru bertaggungjawab atas

tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah lama yang digantikannya.128

Hal ini terlihat dalam kasus Orient Marine Corp. v. Star Trading & Marine, Inc.,

di mana penggugat menuntut Sudan atas wanprestasi oleh Sudan atas kontrak

yang dibuat kedua belah pihak tersebut.129 Sudan membela diri bahwa negara

tersebut telah berubah pemerintahannya, dari Sudan menjadi Republic of Sudan,

karena terjadinya pergantian pemerintahan dari rezim militer yang digantikan oleh

126

G.H. Hackworth, Digest of International Law, Vol. I, U.S. Goverment Printing Office, Washington, 1940, h. 127, dalam Ibid., h. 21.

127

Ibid.

128

Ibid., h. 22.

129

Carsten Thomas Ebenroth dan Matthew James Kemner, “The Enduring Political Nature of Questions of State Succession and Secession and The Quest for Objective Standards,”

(36)

pemerintahan sipil.130 Namun, pengadilan memutuskan bahwa Sudan hanya

berganti pemerintahan saja dan bukan negara (karena masih dalam satu negara)131,

yang berarti bahwa pergantian pemerintahan bukan merupakan suksesi negara,

sehingga Sudan tetap bertanggungjawab terhadap wanprestasi atas kontrak

tersebut. Begitu pula dengan kasus lain, seperti Revolusi Bolshevik 1917 (Uni

Soviet) dan revolusi komunis Tiongkok (dari pemerintahan kekaisaran Tiongkok

menjadi Republik Rakyat Tiongkok/People’s Republic of Tiongkok), yang mana

dari kedua kasus ini negara tetap bertanggung jawab atas hutang-hutang yang

dibuat pada negara pendahulunya.132

G.2.Suksesi Negara dan Traktat

Dalam praktek negara terungkap bahwa negara-negara baru terikat padanya

oleh sekurang-kurangnya lima puluh persen traktat, yang secara aslinya

ditandatangani oleh kekaisaran atau parent State.133 Ini menunjukkan bahwa dapat

dikatakan negara baru yang dimulai dengan clean slate (lembaran baru) tidak

tepat.134 Traktat sendiri digolongkan menjadi beberapa kategori, diantaranya

traktat multilateral termasuk traktat kategori khusus mengenai hak asasi manusia

internasional; traktat mengenai ketentuan teritorial dan rezim; traktat bilateral; dan

traktat yang berbicara tentang keadaan politik.135 Namun, kaitannya dengan

suksesi sendiri, seperti yang tertuang dalam Konvensi Wina 1978, secara umum

traktat dibagi menjadi tiga macam, antara lain traktat mengenai teritori, politik,

130

Ibid., h. 757.

131

Ibid., “The court found that the "only changes in the Sudan...have been in the government...But there has been only one state."”

132

Ibid., h. 758.

133

R.C. Hingorani., Op.Cit., h. 103.

134

Ibid.

135

(37)

dan traktat lainnya.136 Ketika bagian wilayah suatu negara, atau ketika beberapa

bagian wilayah dalam hubungan internasional, yang mana suatu negara

bertanggungjawab terhadap wilayah tersebut, yang tidak merupakan wilayah dari

negara tersebut, maka wilayah tersebut menjadi bagian dari wilayah negara lain,

dengan catatan bahwa traktat negara pendahulu masih berlaku sejak tanggal

suksesi negara tersebut.137

Mengenai deklarasi unilateral dijelaskan bahwa negara penerima tidak

terikat atas hak dan kewajiban atas traktat yang berlaku terkecuali negara

penerima tersebut menyatakan dengan deklarasi unilateral dalam rangka

perlanjutan dari traktat atas wilayah tersebut.138 Pengaturan khusus mengenai

rezim wilayah terdapat dalam Article 11, di mana suksesi negara tidak berakibat

pada batas yang telah ditetapkan dalam traktat; dan hak dan kewajiban yang

ditetapkan dalam traktat dan hubungannya dengan rezim batas (wilayah).

Kemudian, pengaturan rezim wilayah yang lainnya, terdapat dalam Article

12, yaitu dalam ayat (1) suksesi negara tidak berakibat pada hak dan kewajiban

yang telah ditetapkan dalam traktat terhadap penggunaan beberapa wilayah, atau

pembatasan penggunaan wilayah atas negara asing; dan aturan ini berlaku pula

pada sekelompok negara (ayat (2)). Provisi terhadap Article 12, menurut ayat (3),

tidak berlaku pada kewajiban negara pendahulu atas pendirian basis militer negara

asing terhadap wilayah negara tersebut yang mana berhubungan dengan suksesi

negara.

136

Ibid.

137

Konvensi Wina 1978, Article 15.

138

(38)

Untuk negara yang baru merdeka (newly independent state/clean slate),

maka traktat yang dibuat oleh negara pendahulu tidak terikat kepadanya.139

Konvensi Wina 1978 ini juga membagi traktat menjadi dua, yaitu traktat

multilateral dan bilateral. Dalam hal traktat multilateral, khususnya dalam hal

negara yang baru merdeka, sesuai dengan ketentuan dalam Article 17 dan 18,

keterikatan antara traktat dan suksesi harus dibuat notification of succession,

antara lain dalam hal status sebagai pihak peserta traktat;contracting State, baik

jika traktat tersebut belum berlaku (not into force) atau sudah berlaku (enter into

force).

139

Referensi

Dokumen terkait

PROGRAM STUDI D3 MARKETING FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS SULTAN

Disemprotkan ( Jet Application of Fluid ), pada proses pendinginan dengan cara ini cairan pendingin disemprotkan langsung ke daerah pemotongan (pertemuan antara

Adapun realisasi penanaman yang telah dilaksanakan berdasarkan hasil pencatatan dinas lingkungan hidup dan kehutanan provinsi riau pada tahun 2017 adalah seluas 224 ha ,

Peraturan Daerah Kabupaten Pringsewu Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pringsewu Tahun 2011 – 2031 mengatur mengenai Arahan Pengendalian Pemanfaatan

Sumatra melakukan unjuk rasa agar ada tanggapan dari pihak BRI. Perundingan bipatrit baru terjadi karna adanya unjuk rasa para Pensiunan yang di lakukan pada

Limited evidence for white spot syndrome virus susceptibility associated with expression of Pm VRP15 in local population of giant tiger shrimp.. ( Penaeus

Judul Skripsi : PELAYANAN ADMINISTRATIF KESEHATAN MELALUI BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN DI KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR PROVINSI SUMATERA SELATAN..

Suatu perbuatan pidana atau tindak pidana bilamana dilakukan dapat dikenakan ketentuan pidana sebagaimana terdapat dalam Pasal 109 ayat (5) dan (6), pidana pokok yang