• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.8 Uji Hipotesis

4.8.4 Sumbangan Prediktor

Sumbangan prediktor digunakan untuk mengetahui berapa besar sumbangan efektif masing-masing variabel independen. Sumbangan efektif semua variabel sama dengan koefisien determinasi (Budiono, 2004). Sumbangan efektif dapat dihitung dengan rumus:

SE (X)% = βx x rxy x 100%

Koefisien korelasi dari variabel religiusitas dan PAR dapat dilihat pada Tabel 4.23 di bawah ini:

Tabel 4.23 Korelasi Correlations PWB Religiusitas PAR Pearson Correlation PWB 1,000 ,558 ,511 Religiusitas ,558 1,000 ,494 PAR ,511 ,494 1,000 Sig. (1-tailed) PWB . ,000 ,000 Religiusitas ,000 . ,000 PAR ,000 ,000 . N PWB 144 144 144 Religiusitas 144 144 144 PAR 144 144 144

82 Proses perhitungan sumbangan efektif dari tiap variabel adalah:

SE X1 = Nilai β x koefisien Korelasi X1Y x 100% = 0,404 x 0,558 x 100%

= 22,5%

SE X2 = Nilai β x koefisien korelasi X2Y x 100%

= 0,311 x 0,511 x 100% = 16%

Tabel 4.24

Sumbangan Efektif tiap Variabel

Keterangan Sumbangan Efektif

Religiusitas (X1) 22,5%

PAR (X2) 16%

Total 38,5%

Sumber: Data primer yang diolah, 2015

Tabel 4.24 di atas memaparkan besarnya sumbangan yang diberikan oleh masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen, dimana religiusitas memberikan pengaruh yang signifikan sebesar 22,5% (β = 0,404) dan PAR memberikan pengaruh yang signifikan sebesar 16% (β = 0,311).

Jenis kelamin merupakan hal yang menarik untuk diteliti guna mengetahui seberapa besar pengaruhnya terhadap PWB. Peneliti menggunakan uji beda t-test untuk mengetahui perbedaan

83

PWB pada remaja laki-laki dan perempuan. Adapun analisisnya adalah sebagai berikut:

Tabel 4. 25

Hasil Uji t Untuk PWB Remaja Laki-laki dan Perempuan

Group Statistics

JK N Rata-rata Std. Deviation Std. Error Mean

PWB

Laki-laki 77 121,91 9,066 1,033

Perempuan 67 122,45 10,877 1,329

Independent Samples Test

Uji Levene untuk kesetaraan

varian

Uji t untuk kesetaraan rataan

F Sig. T df Sig. (2-tailed) Mean Diffe rence Std. Error Difference 95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper PWB Diasumsikan varian sama 2,164 ,143 -,324 142 ,746 -,539 1,662 -3,824 2,747 Diasumsikan varian berbeda -,320 128,979 ,749 -,539 1,683 -3,869 2,792

Sumber: SPSS for Windows versi 17.00

Dari Tabel 4.25 di atas dapat diketahui bahwa uji homogenitas dengan Levenes Test memperoleh Fhitung sebesar 2,164 dengan signifikansi 0,142 (p > 0,05), sehingga dapat disimpulkan

bahwa varian dari kedua kategori homogen. Hasil uji t yaitu t = -0,324 dengan nilai signifikansi 0,746 (p > 0,05) maka Ho

84 diterima. Hal ini bermakna tidak ada perbedaan PWB antara remaja laki-laki dan perempuan di SMP Negeri 1 Kupang.

4.9 Pembahasan

Hasil pengujian di atas membuktikan hipotesis yang menyatakan ada pengaruh positif dan signifikan antara religiusitas dan parent adolescent relationship terhadap psychological well being remaja di SMP Negeri 1 Kupang dinyatakan diterima. Hal ini dilihat dari nilai Fhitung sebesar 44,056 dengan tingkat signifikansi 0,000 (p < 0,05). Nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,385. Dengan demikian variabel religiusitas dan PAR memberikan pengaruh terhadap variabel PWB sebesar 38,5%. Hal ini berarti 38,5% dari variasi yang terjadi pada variabel PWB dapat dijelaskan oleh variabel religiusitas (22,5%) dan PAR (16%). Dengan kata lain, religiusitas dan PAR secara bersama-sama berpengaruh terhadap PWB, dengan kontribusi religiusitas lebih besar dari PAR.

Religiusitas merupakan salah satu faktor yang berpengaruh signifikan terhadap PWB remaja di SMP Negeri 1 Kupang. Hal ini terbukti dari hasil uji t pada Tabel 4.15 (β= 0,404) dan sumbangan efektif religiusitas terhadap PWB sebesar 22,5% Adanya pengaruh yang signifikan diduga disebabkan karena orangtua di rumah maupun sekolah membekali remaja dengan nilai-nilai religius sejak dini dengan ditunjang oleh lingkungan yang mendukung positif remaja dalam berinteraksi dan mengembangkan dirinya seperti adanya kegiatan-kegiatan bersifat agama yang diselenggarakan gereja untuk membina kerohanian remaja maupun kegiatan kerohanian yang

85

diselenggarakan oleh sekolah khususnya dalam mata pelajaran agama Kristen Protestan. Jalaludin (2009) mengatakan bahwa seseorang dengan religiusitas yang tinggi akan mampu menjadikan nilai-nilai ajaran agamanya untuk mengatur dan mengarahkan tingkah lakunya di lingkungan tempat tinggalnya sehari-hari. Hal ini berkaitan dengan aspek penguasaan lingkungan dalam PWB yang menyatakan bahwa individu yang memiliki penguasaan lingkungan yang baik, ia dapat mengatur dan mengendalikan situasi kehidupan sehari serta mampu menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai pribadinya. Selain itu, Larazon (dalam Saputri et al., 2013) menyatakan religiusitas juga dapat menumbuhkan sikap rela menerima dan ikhlas terhadap apa yang terjadi di dalam diri dan kehidupannya. Sikap rela menerima dan ikhlas berkaitan dengan salah satu aspek PWB yaitu penerimaan diri, yang berarti bahwa seseorang harus bisa menerima kenyataan yang terjadi dalam kehidupannya di masa lalu maupun masa sekarang. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Freidman et al. (dalam Taylor, 1995), yang melaporkan bahwa religiusitas sangat membantu mereka ketika mereka harus mengatasi peristiwa yang tidak menyenangkan. Hasil penelitian lain yang diungkapkan oleh Batasman (dalam Saputri et al., 2013) juga menyatakan bahwa individu yang memiliki tingkat religiusitas tinggi lebih mampu memaknai setiap kejadian hidupnya secara positif, sehingga hidupnya menjadi lebih bermakna dan terhindar dari stress maupun depresi.

Selain religiusitas, parent adolescent relationship (PAR) juga berpengaruh terhadap psychological well being remaja (PWB) di SMP Negeri 1 Kupang, Hal ini terlihat dari nilai sumbangan efektif sebesar

86 16% (β = 0,311). PAR menjadi salah satu bagian yang penting dalam masa perkembangan remaja dan dalam proses perkembangan remaja selanjutnya. Papilia (2002) menyatakan bahwa meskipun pada masa ini remaja banyak menghabiskan waktu dengan teman sebayanya, namun hubungan remaja dengan orangtuanya tetap dekat dan berpengaruh serta merupakan faktor esensial yang memengaruhi perilaku remaja. Pendapat ini secara langsung mendukung hasil penelitian Mansi et al. (2006) yang mengemukakan bahwa kedekatan keluarga berhubungan dengan tingginya PWB. Ikatan emosional yang kokoh dengan orangtua akan meningkatkan hubungan erat yang positif di luar keluarga. Remaja yang mempunyai kedekatan kuat dengan orangtuanya cenderung mempunyai kedekatan yang kuat juga dengan teman sebaya yang berperilaku positif dan positif (Santrock, 2013). Hasil penelitian dari Corsano et al. (2006) yang berkaitan dengan salah satu aspek PWB yaitu hubungan positif dengan orang lain, juga mengemukakan bahwa remaja yang memiliki hubungan positif dengan orangtua dan teman sebaya berpengaruh terhadap meningkatnya PWB dan berdampak pada penurunan rasa sakit. Werdyaningrum (2013) juga mengungkapkan adanya perhatian dan suasana yang harmonis antara orangtua dan remaja mengakibatkan remaja memiliki nilai PWB yang lebih baik. Hal ini terbukti dari hasil penelitiannya yang menunjukkan bahwa remaja yang orangtuanya tidak bercerai memiliki nilai PWB yang lebih tinggi dibanding remaja yang orangtuanya bercerai.

Analisa selanjutnya dengan menggunakan uji t menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan tingkat PWB yang signifikan antara remaja laki-laki dan perempuan di SMP Negeri 1 Kupang. Hasil

87

penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rafique et al. (2012), Saputri et al. (2013), dan Wedyaningrum (2013) menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam PWB. Faktor usia yang tidak terlalu berbeda pada kategori remaja di SMP Negeri 1 Kupang kemungkinan mengakibatkan remaja laki-laki dan perempuan memiliki tahap kognitif yang sama sehingga pola pikir dalam menghadapi permasalahan pun cenderung sama. Individu dalam tahapan ini juga dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai (Santrock, 2013). Tidak adanya masyarakat yang menuntut secara khusus pada remaja laki-laki untuk lebih tegar juga merupakan salah satu alasan nilai PWB yang sama, karena pada masa sekarang, laki-laki dan perempuan sama-sama dituntut untuk mandiri.

Tidak adanya perbedaan PWB dilihat dari jenis kelamin tidak sejalan dengan hasil penelitian Karasawa et al. (2011) menunjukkan terdapat perbedaan tingkat PWB jika ditinjau dari jenis kelamin yang dimiliki. Menurut Ryff (1989), satu-satunya aspek yang menunjukkan perbedaan signifikan antara laki-laki dan perempuan adalah aspek hubungan positif dengan orang lain. Sejak kecil, stereotype gender telah tertanam dalam diri individu. Anak laki-laki digambarkan sebagai sosok yang agresif dan mandiri, sementara itu perempuan digambarkan sebagai sosok yang pasif dan tergantung, serta sensitif terhadap perasaan orang lain (Papalia & Feldman, 2001). Inilah yang menyebabkan mengapa wanita memiliki skor yang lebih tinggi dalam aspek hubungan positif dan dapat mempertahankan hubungan yang baik dengan orang lain.

Dokumen terkait