• Tidak ada hasil yang ditemukan

SUMBer Dan DaLIL HUKUM ISLaM

Dalam dokumen Dr. H.A. Khisni, SH. MH. (Halaman 41-91)

Sumber hukum Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Dua sumber tersebut disebut juga dalil-dalil pokok hukum Islam, karena keduanya merupakan petunjuk (dalil) utama kepada hukum Allah. Ada juga dalil-dall lain selain al-Qur’an dan Sunnah seperti qiyas, Istihsan dan istislah, tetapi dalil-daliil tersebut hanya sebagai dalil pendukung yang hanya merupakan alat bantu untuk sampai kepada hukum-hukum yang dikandung oleh al-Qur’an dan Sunnah Rasululah. Oleh karena sebagai alat bantu untuk memahami al-Qur’an dan Sunnah, sebagian ulama menyebutnya sebagai metode

istimbat. Imam al-Gazali misalnya menyebut qiyas sebagai metode istimbat.

Dalam tulisan ini, istilah sumber sekaligus dalil kita gunakan untuk al-Qur’an dan Sunnah, sedangkan untuk lalil selain al-Qur’an dan Sunnah sepetti ijma’, qiyas, istihsan, maslahah mursalah,

istishab, ‘urf, dan sadd al-Zari’ah , kita hanya menggunakan istilah

dalil . Oleh karena yang disebut sebaggai “dalil-dalil pendukung” di atas pada sisi lain disebut juga sebagai metode istimbat, maka ketika menjelaskan pembahasan mengenai metode istimbat lewat maqashid

al-Syari’ah akan kita jelaskan sepintas kaitan dalil-dalil tersebut

dengan metode istimbat. Dalam kajan usul fikih tedapat dalil-dalil yang disepakati dan dalil-dalil yang tidak disepakati dijelaskan dalam pembahasan berikut ini.

Sumber-sumber dan Dalil-dalil Hukum yang Disepakati.

Sumber-sumber atau dalil-dalil fikih yang disepakati seperti dikemukakan oleh Dr. Abd. Al-Majid Muhammad al-Khafawi ahli hukum Islam berkebangsaan Mesir, ada 4 (empat) yaitu: Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah, ijma’ dan Qiyas. Mengenai keharusan berpegang kepada empat sumber tersebut dapat dipahami dari ayat 59 Surat

an-Nisa’ yang artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil ‘amri di antara kamu, kemudian jika kamu berdeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan hal itu kepada Allah dan Rasul-Nya, sekiranya kamu benar-benar mengimani Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.

Perintah mentaati Allah dan Rasul-Nya artinya perintah untuk mengikuti al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, sedangkan perintah untk mentaati ulil-‘amri menurut Abdul Wahhab Khallaf ialah perintah mengikuti ijma’, yaitu hukum-hukum yang disepakati oleh para mujtahidin, karena mereka itulah ulil-amri (pemimpin) kaum muslimin dalam hal pembentkan hukum-hukum Islam. Adapun perintah untuk mengembalikan kejadian-kejadian yang diperselisihkan antara umat Islam kepada Allah dan Rasul-Nya, artinya ialah perintah untuk melakukan qiyas, karena dengan qyas itulah terlaksana perintah untuk mengembalikan sesuatu masalah kepada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.

Berikut ini secara ringkas akan dijelaskan masing-masing dari 4 (empat) dalil tersebut:

Al-Qur’an.

utama dalam kegiatan penelitian untuk memecahkan suatu hukum. Al-Qur’an menurut bahasa berarti bacaan dan menurut istilah usul

fikih , al-Qur’an berarti kalam (perkataan) Allah yang diturunkan-Nya

dengan perantaraan Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW dengan bahasa Arab serta dianggap beribadah membacanya.

Al-Qur’an mulai diturunkan di Makah, tepatnya di Gua

Hira’ pada Tahun 611 M, dan berakhir di Madinah pada tahun 633

M, dalam jarak waktu lebih kurang 22 tahun beberapa bulan. Ayat pertama diturunkan adalah ayat 1 sampai dengan ayat 5 Surat Al-‘alaq yang artinya: “Bacalah dengan ((menyebut ) nama Tuhanmu yang

menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dengan segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”.

Sedangkan tentang ayat yang terakhir diturunkan ulama berbeda pendapat, dari sekian pendapat ulama, pendapat yang dipiliih oleh Jalal al-Dien Al-Suyuti (w. 911 H) seorang ahli ilmu al-Qur’an, dalam kitabnya Al-Itqan yang dinukilnya dari Ibnu Abbbas adalah ayat 281 Surat Al-Baqarah yang artinya: “Dan peliharalah dirimu dari

(azab yang terjjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semuanya dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan)”. Menurut Jalal

al-Dien Al-Suyuti, setelah ayat ini diturunkan, Rasulullah masih hdup sembilan malam kemudian Ia wafat pada hari Senin, tanggal 3 bulan

Rabi’l Awwal. Dengan turunnya ayat tersebut, berarti berakhirlah

turunnya wahyu.

Al-Qur’an turun dalam dua periode, yaitu pertama periode Makah sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah dan ayat yang diturunkan pada periode ini dikenal dengan ayat-aya Makiyah, dan periode kedua setellah Rasulullah hijrah ke Madinah yang dikenal dengan ayat-ayat Madaniyah. Ayat-ayat yang diturunkan di Makah pada umumnya

yang menjadi inti pembicaraannya adalah tentang masalah-masalah keyakinan (akidah), dalam rangka meluruskan keyakinan umat di masa jahiliyah dan menanamkan ajaran tauhid.

Mengapa masalah akidah yang harus lebih dulu ditanamkan, karena tanpa itu syari’at Islam belum akan diterima oleh umat. Misalnya firman Allah: “ Dan Kami tidak mengutus seseorang

rasulpun sebelum kamu, melainkan kami wahyukan kepadanya, bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”. (Q.S al-Anbiya’: 25). Untuk

sampai kepada akidah yang benar ayat-ayat Makiyah mendorong umat manusia untuk menggunakan akal yang sehat untuk memikirkan alam nyata sekitarnya sebagai bukti atas wujud dan kekuasaan-Nya. Misalnya firman Allah: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan

onta bagaimana ia diciptakan, dan langit bagaimana ia ditinggikan, dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan, dan bumi bagaimana ia dihamparkan” (Q.S. al-Ghaasyiyah: 17 – 20).

Di samping itu ayat-ayat Makiyah juga berbicara tentanng kisah umat masa lampau sebagai pelajaran bagi umat Nabi Muhammad SAW. Dalam masalah hukum belum banyak ayat-ayat hukum diturunkan di Makah kecuali beberapa hal, antara lain kewajiban menjaga kehormatan (faraj) kecuali terhadap pasangan suami istri (Q.S. alMukminun: 5-7), diharamkan memakan harta anak yatim (Q.S. an-Nisa’: 10), larangan mubazzir (Q.S. al-Isra’: 26), larangan mengurangi timbangan atau mengurangi takaran (Q.S. al-A’raf: 56), larangan membuat kerusakan di muka bumi (Q.S al-Araf: 56), dan diwajibkan salat (Q.S. Hud: 144).

Rahasia mengapa di Makah belum banyak ayat-ayat hukum diturunkan, karena waktu sebelum hijrah, di Makah belum terbentuk suatu masyarakat atau komunitas Islam seperti halnya di Madinah setelah Rasulullah Hijrah ke Madinah adalah garis pemisah antara dua periode tersebut di mana dengan itu masalah iman telah tertanam te dalam hati segenap pribadi yang ikut berhijrah bersama Rasulullah

dan dalam hati beberapa orang yyang melakukan janji setia dengan Rasululllah sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah. Mereka ini adalah bibit pertama komunias Islam di Madinah.

Dari kelompok kecil inilah kemudian berkembang menjadi sebuah komunitas besar masyarakat Islam, yang dikenal dengan umat. Maka mulailah turun ayat-ayat hukum dari berbagai aspeknya. Misalnya perintah membayar zakat (Q.S. al-Baqarah: 43), puasa (Q.S.

al-Baqarah: 183), dan haji (Q.S. al-Baqarah: 196), pengharaman riba

(Q.S. al-Baqarah: 275), larangan memakan harta orang lain secara tidak sah (Q.S. al-Baqarah: 188), wanita-wanita yang haram dinikahi (Q.S. an-Nisa’: 23), masalah talak (Q.S. al-Talaq: 1), warisan (Q.S. an-

Nisa’: 11-12), cara pembagian harta rampasan perang (Q.S. al-Anfal:

1), ayat-ayat tentang ‘uqubat (sanksi-sanksi hukum) bagi berbagai jenis tindak kejahatan yang dipandang menggoncangkan masyarakat, seperti qishash (Q.S. al-Baqarah: 178) dan larangan merampok dan mengacau keamanan (Q.S. al-Maidah: 33). Di samping itu, diturunkan pula ayat-ayat yang berhubungan dengan peradilan antara lain kewajiban memutus hukum secara adil (Q.S. an-Nisa’: 58), dan kewajiban untuk berhukum dengan hukum Allah (Q.S. al-Maidah: 44).

Macam-macam Ajaran dalam al-Qur’an.

Al-Qur’an sebagai petunjuk sebagai petunjuk hidup mengandung tiga hal pokok, yaitu:

Ajaran-ajaran yang berhubungan dengan akidah (keimanan) yang membicarakan tentang hal-hal yang wajib diyakini, seperti masalah tauhid, masalah kenabian,, mengenai kitab-Nya, Malaikat, hari kemudian dan sebagainya yang berhubungan dengan doktrin akidah.

Ajarann-ajaran yang berhubunggan dengan akhlak, yaitu hal-hal yang harus dijadikan perhiasan diri oleh setiap mukallaf berupa sifat-sifat keutamaan dan menghindari diri dari hal-hal yang membawa

kepada kehinaan (doktrin akhlak)

Hukum-hukum amaliyah, yaitu ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan amal perbuatan mukallaf (doktrin syari’ah). Dari hukum-hukum amaliyah inilah timbul dan berkembangnya ilmu fikih. Hukum amaliyah dalam al-Qur’an terdiri dari dua cabang, yaitu hukum-hukum ibadah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, dan hukum-hukum mu’amalat yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya.

Abdul Wahhab Khallaf merinci macam-macam hukum bidang

mu’amalat dan jumlah ayatnya sebagai berikut, yaitu:

Hukum keluarga, mulai dari terbentuknya pernikahan sampai ke masalah talak, rujuk, ‘iddah, dan sampai kemasalah wariisan. Ayat-ayat yang mengatur masalah ini tercatat sekitar 70 Ayat-ayat;

Hukum mu’amalat (perdata), yaitu hukum-hukum yang mengatur hubungan seseorang dengan yang sejenisnya, seperti jual-beli, sewa-menyewa, gadai. Syirkah, utang-piutang, dan hukum perjanjian. Hukum-hukum jenis ini mengatur hubungan perang, masyarakat, hal-hal yang berhubungan dengan harta kekayaan, dan pemeliharaan hak dan kewajiban masing-masing. Ayat yang mengatur hal ini terdiri dari 70 ayat;

Hukum jinayat (pidana), yaitu hukum-hukum yang menyangkut dengan tindakan kejahatan, hukum-hukum seperti ini bermaksud memelihara stabilitas masyarakat, seperti larangan membunuh serta sanksi hukumnya. Larangan menganiaya orang lain, larangan berzina, larangan mencuri, larangan merampok, serta ancaman hukuman atas pelakunya. Ayat-ayat yang mengatur hal ini sekitar 30 ayat.

Hukum al-Murrafa’at (acara) , yaitu hukum yang menyangkut dengan peradilan, kesaksian dan sumpah. Hukum seperti ini dimaksudkan agar putuusan hakim dapat seobyektif mungkin, dan

untuk itu diatur hal-hal yang memungkinkan untuk menyingkap mana pihak yang benar dan mana yang salah. Ayat-ayat yang mengatur hal ini sekitar 13 ayat.

Hukum Ketatanegaraan, yaitu ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan pemerintahan. Hukum-hukum saeperti ini dimaksudkan untuk mengatur hubungan penguasa dengan rakyat, dan mengatur hak-hak pribadi dan masyarakat. Ayat-ayat yang berhubungan dengan masalah ini sekitar 10 ayat.

Hukum Antara Bangsa (Internasional), yaitu hukum-hukum yang mengatur hubungan antara negara Islam dengan non Islam, dan tata cara pergaulan dengan non muslim yang berada di negara Islam. Ayat-ayat yang mengatur hal ini sekitar 25 ayat.

Hukum Ekonomi dan Keuangan, yaitu hukum-hukum yang mengatur hak-hak fakir miskin dari harta orang-orang kaya. Hukum-hukum semacam ini dimaksudkan untuk mengatur hubungan keuangan antara orang-orang yang kaya dan orang-orang yang miskin, dan antara negara dengan perorangan. Ayat-ayat yang mengatur bidang ini sekitar 10 ayat.

ayat-ayat Hukum Ditinjau dari Segi rinci dan tidak rinci.

Dari segi rinci atau tidak rinci ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an, Muhammad Abu Zahrah menjelaskan sebagai berikut, yaitu:

Ibadah. Ayat-ayat hukum mengenai ibadah dikemukakan dalam al-Qur’an dalam bentuk mujmal (global) tanpa merinci

kaifiyahnya. Demikian halnya tentang perintah salat, zakat, haji,

puasa. Kewajiban salat ditegaskan, namun syarat dan rukunnya tidak disinggung sama sekali. Demkian pula halnya dengan haji, zakat dan puasa. Dalam hal ini untuk menjelaskannya dilimpahkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW. dengan Sunnahnya.

Kaffarat (denda). Kaffarat adalah semacam denda yang

Ada tiga bentuk kaffarat yang disinggung dalam al-Qur’an, yaitu: Pertama, kaffarat zihar. Zihar adalah seorang suami mengatakan kepada istrinya: “Engkau bagiku bagaikan punggung ibuku”. Istri yang sudah di zihar tidak boleh digauli oleh suami itu kecuali setelah membayar kaffarat, yaitu memerdekakan seorang hamba sahaya dan jika tidak didapati , maka wajib puasa dua bulan berturut-turut, dan jika tidak mampu, maka dengan memberi makan 60 (enam puluh) orang miskin (Q.S. al-Mujadalah: 3-4).

Kedua, kifarat karena melanggar sumpah, yaitu memberi makan sepuluh orang fakir miskin atau pakaian mereka, atau memerdekakan seorang hambba sahaya, dan jika tidak didapati maka puasa tiga hari (Q.S. al-Maidah: 89). Ketiga, Kaffarat karena membunuh orang mukmin secara sengaja,, yang disamping kewajiban membayar diyat (denda) juga membayar kaffarat dengan memerdekakan seorang hamba sahaya, dan jika tidak didapat, maka puasa dua bulan berturut-turut (Q.S. an-Nisa’: 92). Tiga bentuk

kaffarat itu secara rinci dijelaskan dalam al-Qur’an, dan kemungkinan

adanya ijtihad hanya pada segi-segi yang belum dijelaskan dan belum dirnci dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.

Hukum Mu’amalat. Dalam bidang ini al-Qur’an hanya memberikan prinsip-prinsip dasar, seperti larangan memakan harta orang lain secara tidak sah dan keharusan adanya rela-sama rela (Q.S.

an-Nisa’: 29), larangan untuk bertindak secara zalim (Q.S. al-Baqarah:

279), dan larangan memakan riba (Q.S. al-Baqarah: 275). Al-Qur’an tidak merinci tentang hal-hal ini, dan untuk itu Sunnah Rasulullah berpean merincinya dan dalam hal-hal yang tidak dirinci oleh Sunnah Rasulullah, ijtihad ulama-ulama mujtahid berperan mengembangkan dan merincinya dengan menggunakan metode istimbat dalam ilmu

usul fikih.

Hukum keluarga. Hukum bidang ini mencakp bidang-bidang rumah tangga dan mawaris. Dalam bidang ini al-Qur’an berbicara relatif lebih rinci dibandingkan dengan bidang-bidang yang lain.

Secara rinci al-Qur’an menjelaskan hukum pernikahan, dari masalah wanita-wanita yang haram dinikahi (Q.S. an-Nisa’ : 23) sampai ke masalah talak (Q.S.ath-Thalaq: 1), rujuk (Q.S. al-Baqarah: 234), atau

iddah karena terjadi perceraian (Q.S. al-Baqarah: 228). Demikian pula

dalam masalah warisan, dirinci sedemikian rupa pembagian masing-masing pihak yang menjadi ahli waris (Q.S. an-Nisa’: 11-12). Masalah nikah, talak, rujuk, dan mawaris menjadi perhatian khusus dalam al-Qur’an, karena masalah ini sering menimbulkan pertikaian dalam rumah tangga/keluarga, sehingga bisa mengguncangkan bangunan masyarakat luas. Namun bukan berarti sama sekali tidak ada peluang dimasuki ijtihad. Selain yang telah dijelaskan dan dirnci dalam Sunnah Rasulullah, ijtihad para ahlinya berperan dalam menjelaskannya.

Hukum pidana. Di samping ada larangan melakukan kejahatan secara umum, bidang ini juga secara khusus menjelaskan hukum berbagai tindakan kejahatan yang biisa mengguncang bangunan masyarakat. Misalnya, larangan membunuh (Q.S. al-‘an’am: 151), larangan nimum Khamr (Q.S. al-Maidah: 90), larangan berzina (Q.S.

an-Nur: 2), dan larangan mencuri ((Q.S. al-Maidah: 28).

Dalam al-Qur’an diadakan antisipasi agar tindakan-tindakan kejahatan jangan sampai terjadi, misalnya hukum membunuh (qishash) atas pelaku pembunuhan, pembalasan setimpal (qishash) atas tindakan merusak anggota tubuh manusia (Q..S. al-Maidah: 45). Ancaman hukuman atas pelaku qazaf, yaitu menuduh orang lain berzina tanpa saksi (Q.S. an-Nur: 4), dan perampokan (Q.S. al-Maidah: 33). Selain itu ada pula yang dijelaskan oleh Sunnah mengebai sanksi hukumnya, meskipun asal larangannya telah ditegaskan dalam al-Qur’an, seperti riddah, yaitu seorang muslim keluar dari agama Islam yang dilarang dalam al-Qur’an (Q.S. al-Maidah: 54), sedangkan sanksi hukuman membunuh atas pelakunya disebutkan Hadits riwayat Daud dan Tirmizi, dan minuman yang merusak akal dilarang dalam al-Qur’an (Q.S. al-Maidah: 90), sedangkan sanksi hukumannya dera empat puluh kali atas pelakunya disebutkan dalam Hadits riwayat Bukhari dan Muslim.

Hukum yang mmengatur hubungan penguarsa dengan rakyat. Seperti kewajiban untuk menegakkan keadilan (Q.S. an-Nahl: 90), bermusyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama (Q.S. Ali ‘Imran: 159), larangan melakukan kerusakan (Q.S.

Baqarah: 205), bersama-sama dalam melakukan kebaikan (Q.S. al-Maidah: 2), dan lain-lain.

Hukum yang mengatur hubungan orang-orang Islam dengan non Islam. Seperti hormat-menghormati baik dalam perang atau dalam suasana damai sebaagai sesama manusia (Q.S. al-Hujurat: 13), tidak boleh memerangi mereka kecuali jika mereka menyerang orang-orang Islam (Q.S. al-Maidah: 8) dan lain-lain.

Nukilan di atas menggambarkan kondisi ayat-ayat al-Qur’an yang sebagaian besar disampaikan dalam bentuk prinsip-prinsip dasar, prinsip-prinsip umum dan bersifat global, kecuali dalam beberapa hal, seperti hukum keluarga, dan beberapa hal dalam hukum pidana.

Sunnah rasulullah.

Kata Sunnah secara bahasa berarti prilaku seseorang tertentu,

baik prilaku yang baik atau prilaku yang buruuk. Dalam pengertian inilah dipahami kata Sunnah dalam sebuah Hadits Rasulullah yang artinya: “Barang siapa yang melakukan prilaku (sunnah) yang

baik, maka ia akan mendapat pahalanya dan pahala orang yang menirunya dan sedikitpun tidak dikurangi, dan barang siapa yang melakukan prilaku (sunnah) yang jahat, maka ia akan mendapat dosanya dan dosa orang yang menirunya dan sedikitpun tidak dikurangi” (H.R. Muslim).

Menurut istilah usul fikih Sunnah Rasulullah, seperti dikemukakan oleh Muhammad “Ajjaj al-Khatib (guru besar Hadits Universitas Damaskus), Sunnah Rasulullah berartii segala prilaku Rasulullah yang berhubungan dengan hukum pengakuan (Sunnah

Taqririyah). Contoh Sunnah qawliyah (ucapan) sabda Rasulullah

membalas kemadaratan” (H.R. Ibnu Majah).Contoh Sunnah fi’liyah

ialah rincian kaifiyah salat (H.R. Bukhari), dan rincian haji (H.R. Muslim), di mana dalam al-Qur’an hanya disebutkan kewajiban melakukan salat dan kewajiban melakukan haji tanpa ada rinciannya. Adapun contoh Sunnah taqririyah (pengakuan) ialah pengakuan Rasulullah atas prilaku para sahabat. Contohnya, di masa Rasulullah dua oang sahabat dalam waktu perjalanan, ketika akan salat tidak mendapatkan air, lalu mereka bertayamum dan mengerjakan salat. Kemudian mereka menemukan air sedangkan waktu salat masih berlanjut. Lalu salah seorang mengulangi salatnya dan yang lain tidak. Ketika mereka melaporkan hal itu Kepada Rasulullah, Beliau membenarkan kedua praktek tersebut. Kepada yang mengulangi salatnya Beliau berkata: “Engkau telah melakukan sunnah, dan telah cukup bagimu salatmu itu”. Dan kepada yang mengulangi salatnya beliau berkata pula: “Bagimu pahala dua kali lipat ganda”. (H.R. Adu Daud dan Nasa’i). Sunnah dalam pengertian tersebut di atas, seperti ditegaskan Dr. Shubhi Saleh, ahli Hadits berkebangsaan Lebanon, identik dengan istilah Hadits.

Dalil Keabsahan Sunnah atau Hadits sebagai Sumber Hukum.

Al-Qur’an memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati Rasulullah (Q.S. an-nisa’: 59), dan menjelaskan bahwa pada diri Rasulullah terdapat ketauladanan yang baik (Q.S.al-Ahzab: 21), dan akhlak yang agung (Q.S. al-Qalam: 4). Allah menilai bahwa mentaati Rasul adalah mentaati Allah (Q.S. al-Nisa’: 80), dan Allah meniadakan iman seseorang yang tidak menyerah kepada keputusan Rasulullah (Q.S. an-Nisa’: 65). Meskipun otorita pokok bagi legislasi hukum Islam adalah al-Qur’an, namun al-Qur’an menyatakan bahwa Rasulullah adalah sebagai penafsir dari ayat-ayat al-Qur’an (Q.S. an-Nal: 44). Ayat-ayat di atas secara tegas menunjukkan kewajibannya mengikti Rasulullah yang tidak lain adalah mengikuti Sunnah-Nya. Berdasarkan itu di atas, para sahabat semasa hidup Nabi dan setelah wafat-Nya telah sepakat atas keharusan menjadikan Sunnah Rasulullah sebagai

sumber hukum.

Pembagian Hadits dari Segi Sanadnya.

Hadits bila dilihat dari segi periwayatannya dalam kajian usul

fikih dibagi kepada dua macam, yaitu Hadits Mutawatir, dan Hadits Ahad.

Hadits Mutawatir, ialah Hadits yang diiriwayatkan dari

Rasulullah oleh sekelompok perawi yang menurut kebiasaan individu-individunya jauh dari kemungkinan berbuat bohong, karena banyak jumlah mereka dan diketahui sifat masing-masing mereka yang jujur serta berjauhan tempat antara yang satu dengan yang lain. Dari kelompok in diriwayatkan pula selanjutnyya oleh kelompok berikutnya yang jumlahnya tidak kurang dari kelompok pertama,, dan begitulah selanjutnya sampai dibukukan oleh pentadwin (orang yang membukukan) Hadits dan pada masing-masing tingkatan itu sama sekali tida ada kecurigaan bahwa mereka akan berbuat bohong atas Rasulullah. Contohnya Sunnah fi’liyah (perbuatan) tentang rincian cara melakuukan salat (H.R. Bukhari), rincian haji (H.R. Muslim), dan lain-lainnya yang merupakan syi’ar agama Islam yang secara berturut-turut diwarisi dari satu generasi ke generasi berikutnya sehingga sampai kepada kita. Sunnah fi’liyah seperti ini telah diterima oleh sekelompok sahabat dari Rasulillah, kemudian diwarisi pula oleh generasi berikutnya sehingga sampai ke masa kita sekarang ini.

Pembagian Hadits Mutawatir.

Hadits Mutawatir terbagi dua macam, yaitu Hadits

mutawatir lafzy dan Hadits mutawatir ma’nawy.

Pertama, Hadis Mutawatir lafzy ialah Hadits yang

diriwayatkan oleh orang banyak yang bersamaan arti dan lafalnya. Contohnya Hadits riwayat Muslim: “ Berhati-hatilah menerima Hadits dari padaku, kecuali apa yang telah kamu ketahui datang dari padaku, barang siapa yang berbuat dosta atas diriku dengan sengaja

maka hendaklah ia mengambil tempatnya di neraka”. Menurut Imam Zakaria Mahyuddin ibn Syaraf al-Nawawi (W. 676) ahli Hadits dan ahli fkih dari kalangan Syafi’iyah, Hadits tersebut diriwayatkan oleh tidak kurang dari dua ratus orang sahabat;

Kedua, Hadits Ma’nawy ialah beberapa Hadits yang

beragam redaksinya tetapi maknanya sama. Misalnya Hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah mengangkat tanga-Nya dalam setiap berdo’a. Hadits tersebut diriwayatkan dari berbagai peristiwa dan dalam berbagai redaksi antara lain diriwayatkan oleh Tirmizi.

2.Hadits Ahad. Hadits Ahad ialah Hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi tidak sampai kebatas Hadits mutawatir.

Hadits Ahad terbagi kepada tiga macam, yaitu: (1) Hadits Masyhur, yaitu Hadits yang pada masa sahabat diriwayatkan oleh

tiga orang perawi, tetapi kemudian pada masa tabi’in dan setetusnya Hadits itu menjjadi mutawatir dilihat dari segi perawinya. Contoh Hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Umar ibn Khaththab: “

Dalam dokumen Dr. H.A. Khisni, SH. MH. (Halaman 41-91)

Dokumen terkait