• Tidak ada hasil yang ditemukan

49 sumber daya agraria dan sumber daya alam.’ 77

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak Azasi Manusia menetapkan bahwa ‘dalam rangka untuk menegakkan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah' dan bahwa 'identitas budaya masyarakat adat, termasuk hak atas tanah adat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.’78 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan bahwa 'masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak: a) melakukan pengumpulan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat adat bersangkutan; b) melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan c) mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan mereka.’79

Sejumlah undang-undang khusus untuk Papua juga memberikan landasan bagi perlindungan hak-hak masyarakat adat atas tanah dan atas konsultasi dalam proses pembebasan tanah dan proses-proses lainnya. Khususnya, UU Otsus Papua menyatakan bahwa hak ulayat atas tanah adalah 'hak persekutuan yang diatur oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan ruang hidup para warganya, yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan dan air dan semua isinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.’80 UU Otsus ini juga mewajibkan pemerintah Papua untuk ‘mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat' dan bahwa 'tanah ulayat dan tanah individu anggota masyarakat hukum adat untuk tujuan apa pun harus diberikan melalui musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan anggota-anggota masyarakat bersangkutan untuk mendapatkan persetujuan atas penyerahan lahan yang diperlukan serta kompensasi.’81

Selanjutnya, Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 22 Tahun 2008 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Masyarakat Adat Papua berisi hak-hak masyarakat adat, termasuk hak untuk mendapatkan keuntungan dari sumber daya alam di wilayah adat mereka, untuk mendapatkan informasi tentang rencana alokasi dan pemanfaatan sumber daya alam dan, untuk mendapatkan kompensasi atau ganti rugi atas penggunaan dan pengalihan hak properti kepada pihak lain sesuai dengan perjanjian tertulis yang dituangkan dalam akta otentik.82 Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 23 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah menetapkan bahwa masyarakat dan/atau perorangan warga masyarakat hukum adat memiliki wewenang untuk mengelola tanah secara kolektif di bawah hak tanah adat sesuai dengan hukum adat yang secara aktif digunakan oleh masyarakat yang bersangkutan dan, melakukan konsultasi dengan pihak ketiga di luar masyarakat hukum adat yang membutuhkan lahan untuk berbagai keperluan.83

Mendefinisikan 'masyarakat adat': Namun, celah hukum dan inkonsistensi dalam

pelaksanaan terus menghadirkan hambatan-hambatan besar untuk perwujudan hak-hak masyarakat adat seperti tercantum dalam hukum daerah, nasional dan internasional. Landasan paling dasar dari mendefinisikan 'masyarakat adat’ menurut hukum Indonesia bertentangan dengan hak untuk menentukan nasib sendiri dari semua orang di bawah hukum internasional, mengingat bahwa pengakuan terhadap kelangsungan keberadaan masyarakat adat adalah hak prerogatif dari pemerintah (daerah). Dalam konteks Papua, misalnya, pengakuan keberadaan masyarakat adat didasarkan pada Keputusan Bupati, walikota dan/atau Gubernur.84 Selain itu, di Indonesia, semua hak yang terkait dengan masyarakat adat berlaku selama tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan kepentingan Negara.85

50

Hak ulayat atas tanah dan alokasi izin: Wakil jajaran atas dari Badan Koordinasi

Penanaman Modal (BKPM) 86 dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Merauke87 di Merauke yang diwawancarai menyatakan kekhasan Papua dalam hal hak tanah, mengingat bahwa hak ulayat atas tanah diakui dan dilindungi oleh berbagai regulasi, dan di bawah UU Otsus. Dinas Kehutanan dan Perkebunan menegaskan bahwa 'semua tanah di Papua berada di bawah hak ulayat', 'semua tanah di Papua dimiliki oleh orang Papua' dan bahwa 'tidak ada tanah negara di Papua'.

Namun, hukum ini sangat tidak jelas dan amat tergantung pada interpretasinya. Misalnya, sesuai dengan Peraturan Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah, Hak Guna Usaha (HGU) hanya dapat diberikan di atas tanah negara, 88 yang statusnya tetap sama setelah berakhirnya HGU.89 UUPA jelas mendefinisikan HGU sebagai 'hak untuk menggunakan lahan yang dimiliki secara langsung oleh Negara [...]'.90 Ini artinya bahwa status sebelumnya sebagai tanah adat harus kalah dan diubah menjadi tanah negara agar HGU dapat terbit. Tidak ada anggota masyarakat yang diwawancarai menyadari perbedaan ini, dan perwakilan pemerintah yang diwawancarai tidak merinci hal ini ketika ditanyakan oleh tim peneliti.

Perwakilan yang diwawancarai juga bersikeras bahwa tanah adat akan dikembalikan kepada pemilik tanah asli setelah berakhirnya HGU. Namun, sama sekali tidak dinyatakan dalam UU bahwa tanah adat akan dikembalikan kepada pemilik tanah asli setelah berakhirnya HGU, melainkan bahwa penggunaan berikutnya didasarkan pada perjanjian baru dari masyarakat adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat masyarakat hukum adat tersebut 'masih ada. 91 Tetapi, mengingat bahwa pengakuan hukum dan hak-hak adat adalah hak prerogatif pemerintah, bahwa setiap tanah yang menjadi HGU harus menjadi tanah Negara sebelum penerbitan HGU, dan bahwa status tanah HGU ini tidak berubah setelah HGU berakhir, hak ulayat tidak mungkin diakui atas tanah-tanah ini.

Lebih lanjut, keraguan besar muncul apakah hak ulayat akan terus ada (apalagi diakui ada) setelah periode yang lama dan atas bidang tanah yang diizinkan untuk HGU di Indonesia, dan dengan jenis konversi dan penggunaan lahan yang radikal untuk perkebunan monokultur yang menyertainya. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 357 Tahun 2002 tentang Pedoman Izin Usaha Perkebunan (357/KPTS/HK.350/5/2002), yang menetapkan maksimal 20.000 ha per perusahaan per HGU per provinsi, digantikan tahun 2007 oleh Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 tentang Pedoman Izin Usaha Perkebunan, yang meningkatkan luasan maksimum penguasaaan HGU per perusahaan per provinsi menjadi 100.000 ha. Namun, di Papua, diizinkan luasan maksimal dua kali lipat (Pasal 12 ayat 3). Dalam hal durasi HGU, Peraturan Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah menetapkan durasi maksimum HGU adalah 35 tahun dan dapat diperpanjang selama 25 tahun lagi. Dengan demikian, HGU dapat diperpanjang di atas tanah yang sama selama 35 tahun lagi, juga bisa diperpanjang sampai 25 tahun lagi (Pasal 8). Perpanjangan atau pembaharuan HGU tidak perlu menunggu berakhirnya durasi awal, tetapi dapat diterapkan dan diberikan bersamaan dengan permohonan HGU pertama. Dengan kata lain, di Papua, sebuah HGU dapat diberikan di atas tanah seluas lebih dari 200.000 ha per perusahaan untuk total 120 tahun. Sekali lagi, tidak ada anggota masyarakat yang diwawancarai yang mendapat informasi tentang kemungkinan hukum yang digambarkan di atas.

Tim peneliti juga diberitahu oleh kedua lembaga yang diwawancarai bahwa konversi lahan menjadi perkebunan tidak berarti penjualan tanah oleh masyarakat, melainkan sewa atau

51

pinjam pakai kepada perusahaan untuk penggunaan lahan selama periode tertentu, yang dapat diperpanjang.92 Namun, jika pengalihan lahan memang hanya sewa, maka HGU tidak akan diperlukan pada awalnya, dan Izin Usaha Perkebunan (IUP) saja sudah mencukupi.93 Namun, fakta bahwa HGU lebih mudah untuk diperpanjang dan diperbaharui, mengingat bahwa tanah bersangkutan kini dianggap sebagai tanah negara, mendorong perusahaan untuk lebih mencari HGU daripada IUP, dan ini menimbulkan keraguan besar apakah pembebasan lahan oleh masyarakat itu secara hukum adalah penyewaan atau penyerahan lahan untuk selama-lamanya menjadi tanah negara.

Berkaitan dengan kompensasi, dan bertentangan dengan pernyataan dari karyawan PT ARN kepada masyarakat setempat berkaitan dengan jumlah kompensasi, kedua lembaga diwawancarai menegaskan bahwa tidak ada peraturan atau ketentuan hukum berkaitan dengan persyaratan dan biaya sewa lahan, dan bahwa ini akan diputuskan bersama oleh perusahaan dan masyarakat. Kedua lembaga dilaporkan tidak memegang salinan dari perjanjian-perjanjian ini.

Pemetaan tanah adat: Pemetaan tanah ulayat belum komprehensif dilakukan oleh

pemerintah, dan dilaporkan karena kurangnya dana dan sumber daya untuk melaksanakannya. Juga tidak ada persyaratan hukum bagi perusahaan untuk melakukan pemetaan seperti itu, meskipun dilaporkan oleh perwakilan pemerintah yang diwawancarai bahwa pemetaan harus dipandang sebagai bagian dari proses AMDAL, dan bahwa pemerintah mendorong perusahaan untuk melakukan pemetaan secara partisipatif, dengan melibatkan instansi pemerintah terkait di tingkat desa dan kecamatan. Peta juga salah satu unsur yang menjadi dasar Kementerian Kehutanan untuk memberikan atau tidak memberikan izin pembebasan kawasan hutan, yang dibutuhkan perusahaan untuk beroperasi. Pemetaan partisipatif oleh pemerintah yang independen dari perusahaan dilaporkan direncanakan oleh Badan Pertanahan Nasional Papua untuk seluruh provinsi, tetapi perwakilan pemerintah yang diwawancarai tidak menyebutkan informasi tentang waktu pelaksanaannya.

Sebagian dari mereka yang diwawancarai setuju bahwa pemetaan batas-batas wilayah adat sangat penting, terutama jika itu bisa menyelesaikan dan mencegah tumpang tindih klaim lahan dan sengketa tentang kompensasi, tetapi di saat yang sama, mereka menyatakan bahwa 'kami tidak bisa menunggu sampai pemetaan dilakukan untuk memulai operasi di MIFEE’ dan bahwa 'moratorium penerbitan izin dan operasi menanti pelaksanaan pemetaan adalah tidak mungkin.’ Perlu dicatat bahwa tim peneliti beberapa kali meminta kesempatan untuk melihat peta partisipatif yang dihasilkan kepada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Merauke, tapi tidak dikabulkan. Ini juga terjadi untuk dokumen-dokumen lainnya yang diminta, termasuk salinan perjanjian pelepasan lahan antara perusahaan, pemerintah dan masyarakat, dan daftar terbaru izin-izin yang dicari dan sudah diterbitkan di Kabupaten.

Proses konsultasi: Tidak satupun wakil pemerintah yang diwawancarai pernah mendengar

tentang istilah Persetujuan Bebas, Didahulukan dan Diinformasikan atau tentang instrumen hak asasi manusia internasional yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat adat. Perwakilan BKPM menjelaskan proses konsultasi sebagai 'menginformasikan masyarakat tentang manfaat dari proyek'. Semuanya menyebut proses ini sebagai sosialisasi, yang notabene bukanlah sebuah istilah hukum, tidak seperti istilah musyawarah dan konsultasi. Kedua lembaga menyatakan bahwa sosialisasi diadakan di desa-desa, di hadapan berbagai badan pemerintah terkait, termasuk Kementerian Kehutanan, BKPM dan BPN, dan merupakan bagian sentral dalam proses AMDAL.

52

Perwakilan pemerintah mengatakan bahwa keputusan di pihak masyarakat berkaitan dengan proyek ini adalah pilihan mereka sendiri: 'jika mereka tidak menginginkannya, tidak jadi masalah.’ Klarifikasi tentang pernyataan terakhir ini tidak diperoleh, yaitu apakah itu berarti proyek tidak akan dilaksanakan, atau apakah itu berarti bahwa tidak peduli apakah masyarakat menginginkannya atau tidak – proyek akan terus dilaksanakan. Kedua lembaga yang diwawancarai tidak menjawab pertanyaan yang diajukan tim peneliti tentang apakah pernah ada preseden di mana masyarakat tidak memberikan persetujuan mereka atas penyerahan tanah dan kompensasi, dan keputusan itu dihormati oleh perusahaan yang bersangkutan. Salah seorang yang diwawancarai menjelaskan hal ini sebagai 'kebodohan' dan 'kurangnya pendidikan' di pihak masyarakat setempat.

Skema plasma: Anggota masyarakat yang diwawancarai dan PT ARN memberitahu tim

peneliti bahwa skema inti-plasma telah direncanakan, di mana 80% lahan akan dikelola oleh perusahaan dan 20% oleh masyarakat.94 Namun, frase persisnya dalam hukum terkait dalam kaitannya dengan hal ini mengungkapkan bahwa 'setidaknya 20%' dari lahan HGU harus diinvestasikan untuk keuntungan perusahaan dalam bentuk plasma.95 Anggota masyarakat yang telah menerima tawaran 20% ini tidak menyadari akan hal ini, dan dengan demikian telah memberikan persetujuan atas dasar informasi yang tidak lengkap. Selain itu, hukum sendiri tidak lengkap dalam arti bahwa hukum tidak menyatakan dengan jelas apakah lahan plasma harus berada di dalam atau di luar HGU. Preseden yang dibuat oleh perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di daerah-daerah Indonesia lainnya menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus, perusahaan telah mendapatkan persetujuan masyarakat berdasarkan janji-janji akan plasma (tanpa memberitahu mereka tentang lokasinya), tetapi kemudian enggan untuk menyisihkan sebagian dari HGU mereka untuk kebun plasma. Dengan demikian, perusahaan-perusahaan ini telah gagal mewujudkan janji-janji mereka dan berdalih bahwa mereka masih dalam proses membebaskan lahan untuk plasma di luar HGU mereka. Hal ini dapat berlangsung lama dan menimbulkan rasa frustrasi yang besar bagi masyarakat setempat, dan juga bisa dimanfaatkan oleh perusahaan untuk membenarkan perlunya perluasan lebih lanjut dari konsesi mereka.

Tanggung jawab sosial perusahaan: Perwakilan pemerintah yang diwawancarai

mengatakan bahwa perusahaan yang beroperasi di Papua dan di tempat lainnya di Indonesia wajib mematuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Peraturan No 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas. Namun, tak satu pun dari UU ini menyebutkan tentang perlunya konsultasi dengan masyarakat setempat, dan hanya mensyaratkan 'keadilan dan kewajaran' dalam pelaksanaan CSR.96 Di atas ini semua, perwakilan dari kedua instansi yang diwawancarai menyatakan keraguan yang besar apakah perusahaan yang beroperasi di Papua sungguh-sungguh menerapkan kebijakan CSR manapun yang mereka rencanakan di lapangan, dan mengutip sejumlah contoh di mana hal ini terjadi.

Tumpang tindih yurisdiksi: Faktor lain yang menyulitkan dalam sertifikasi tanah dan proses

alokasi adalah tumpang tindihnya kewenangan berbagai instansi pemerintah di Indonesia. Salah satu contoh yang mencolok adalah tentang kewenangan Kementerian Kehutanan dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Sementara BPN memiliki yurisdiksi atas tanah negara maupun bukan tanah negara, instansi ini tidak memiliki yurisdiksi atas kawasan hutan. Di sisi lain, yurisdiksi Kementerian Kehutanan hanya berlaku atas lahan hutan. Namun, pengukuhan untuk menentukan batas-batas tanah negara dan bukan tanah negara masih terus berlangsung dan dengan demikian tumpang tindih dan kurangnya kejelasan akan wewenang kedua

53

instansi tersebut tetap ada, yang diperparah oleh kenyataan bahwa semua hutan dianggap tanah negara.

Ikhtisar: Singkatnya, hak-hak masyarakat adat di Indonesia seperti masyarakat Malind di

Merauke terkandung dalam instrumen HAM internasional dimana Indonesia adalah pihak penandatangannya, dan peraturan perundangan nasional dan provinsi sampai batas tertentu memberikan pengakuan dan perlindungan atas hak-hak ini. Namun, hukum nasional tanpa kecuali selalu lebih diutamakan daripada standar-standar internasional, mengingat bahwa standar-standar internasional ini tidak otomatis dimasukkan ke dalam kerangka hukum nasional, dan menjadi jelas dari wawancara dengan perwakilan tingkat tinggi pemerintah di Merauke bahwa pemahaman akan hukum hak asasi manusia internasional dan hak-hak yang terkandung di dalamnya secara umum masih minim. Seluruh wacana tentang kepentingan nasional yang menyebar ke seluruh nusantara, khususnya dalam konteks proyek MIFEE dan tujuan-tujuannya, berada di atas penghormatan terhadap hak perorangan dan hak kolektif masyarakat Papua, yang bertentangan dengan Deklarasi Wina dan Program Kerja 1993, yang menyatakan bahwa 'meskipun pembangunan memfasilitasi pemenuhan hak-hak asasi manusia, kurangnya pembangunan tidak boleh digunakan untuk membenarkan perampingan hak-ahk asasi manusia yang diakui secara internasional.’97 Dan bahkan apabila undang-undang nasional dan provinsi mengakui hak adat, ini tidak dilaksanakan di lapangan, dan juga tidak ada mekanisme yang dibentuk untuk memantau dan memverifikasi pelaksanaannya.

Selain itu, ada kontradiksi dan inkonsistensi yang signifikan baik di dalam maupun antara hukum nasional dan provinsi yang mengurangi sejauh mana hak-hak masyarakat adat diakui dan dihormati dalam prakteknya. Selain itu, UU Otsus tidak cukup didukung oleh undang-undang tingkat lokal atau mekanisme untuk memastikan pelaksanaannya yang efektif. Di tingkat kelembagaan, berbagai instansi pemerintah memiliki yurisdiksi yang tumpang tindih atas masalah lahan, yang menyebabkan kurangnya kejelasan mengenai sejauh mana kewenangannya atas penentuan status tanah dan sertifikasi kepemilikan. Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat, yang diadopsi oleh DPR Indonesia pada tanggal 16 Desember 2011, dan yang akan memberikan dasar untuk pengakuan dan perlindungan yang lebih baik terhadap hak-hak masyarakat adat di Indonesia, masih belum diberlakukan atau diimplementasikan. Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Mei 2013 yang menjadi tonggak penting baru-baru ini yang menetapkan bahwa hutan adat masyarakat adat tidak harus digolongkan sebagai 'Kawasan Hutan Negara', merupakan secercah harapan bagi masyarakat adat Malind dan masyarakat adat lainnya di seluruh nusantara, tapi masih harus dilihat seberapa cepat dan efektif peraturan perundangan tindak lanjutnya akan disusun sehingga keputusan ini dapat diimplementasikan, dan masih belum jelas apa yang akan terjadi dengan hutan masyarakat adat sementara ini. Secara khusus, kekhawatiran telah dikemukakan mengenai apakah perusahaan mungkin sebenarnya mempercepat eksploitasi hutan adat sebelum peraturan perundangan disusun untuk mengimplementasikan Keputusan tersebut, dan apakah sewa yang ada akan tetap dianggap sah meskipun terjadi perubahan dalam status hukum hutan di mana mereka beroperasi.98

Perspektif perusahaan tentang proses perolehan persetujuan

Tanggung jawab korporasi untuk menghormati hak asasi manusia di mana pun mereka beroperasi telah ditegaskan dalam Prinpsip Pemandu PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia, yang menyatakan bahwa tanggung jawab ini 'tidak tergantung pada keinginan

54

dan/atau kemampuan negara untuk memenuhi kewajiban mereka sendiri ... dan berada di atas hukum dan peraturan nasional yang memberi perindungan terhadap hak asasi manusia'.99 Di tingkat regional, dan menindaklanjuti prinsip-prinsip ini, Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia di Asia Tenggara telah mengumumkan Deklarasi Bali tentang Hak Asasi Manusia dan Agribisnis,100 yang menjelaskan bagaimana hak harus ditegakkan baik oleh sektor swasta maupun pemerintah di Asia Tenggara,101 dan mereka telah menyerukan kepada Komisi Antarpemerintah ASEAN tentang Hak Asasi Manusia untuk menegakkan norma-norma ini di tingkat regional.102

Sebagai pihak penandatangan United Nations Global Compact sejak tahun 2008, yang mendorong perusahaan berkomitmen kepada publik untuk menegakkan prinsip-prinsip inti hak asasi manusia dan membuat laporan tahunan tentang perkembangan implementasinya, Wilmar telah berkomitmen untuk

Menjadikan Global Compact dan prinsip-prinsipnya sebagai bagian strategi, budaya dan operasi harian perusahaan kami.103

Selanjutnya, kebijakan keberlanjutan Wilmar terkait pengembangan masyarakat mencakup komitmen untuk

memastikan kami membawa manfaat yang berarti dan berkelanjutan bagi masyarakat di daerah-daerah tempat operasi kami, sambil menjaga kelangsungan hidup terus-menerus dari bisnis kami. Kami merasa salah satu cara terbaik untuk mencapai ini adalah dengan

membangun hubungan yang terbuka, jujur dan saling menguntungkan yang dapat mendorong terwujudnya keharmonisan dengan mereka.104 (penekanan ditambahkan)

Pihak perusahaan menolak permintaan kami untuk merekam wawancara.

Dari perspektif perusahaan, rencana perkebunan tebu mereka adalah jalan untuk keluar dari kemiskinan bagi masyarakat Malind:

Masyarakat Malind tidak dapat terus bertahan hidup dengan berburu selamanya. Kami tidak bisa membiarkan mereka tetap tinggal di hutan berjuang untuk bertahan hidup, kami perlu membantu mereka.105

Sehubungan dengan apakah penguasaan tanah atau survei sosial telah dilakukan, pihak perusahaan menyatakan bahwa mereka telah melakukan beberapa observasi awal berkaitan dengan lokasi dan keberadaan masyarakat di daerah sasaran, tapi ini tidak tersedia dalam bentuk laporan tertulis. Tidak ada mekanisme atau Prosedur Operasional Standar yang telah dikembangkan berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam konsultasi, juga belum ada prosedur penyelesaian konflik yang telah diantisipasi atau dirancang. Sehubungan dengan bukti bahwa staf lapangan PT ARN tertentu menampilkan diri mereka sebagai pendeta kepada masyarakat dalam konsultasi, staf perusahaan yang diwawancarai menyatakan bahwa mereka tidak memiliki standar khusus tentang bagaimana interaksi antara perusahaan dan masyarakat harus berlanjut, dan bahwa mereka berharap bahwa interaksi seperti itu dilakukan secara profesional.106

Pihak perusahaan menyatakan bahwa konsultasi selalu diadakan secara kolektif dan bukan perundingan empat mata, dan bahwa peserta dalam konsultasi mencakup tetua suku, marga

55

dan sub-marga, perwakilan pemerintah desa, perwakilan pemerintah kabupaten, perwakilan pemerintah kecamatan, aparat keamanan dan staf perusahaan. Staf perusahaan mengklaim bahwa informasi yang disampaikan dalam konsultasi-konsultasi tersebut adalah mengenai pengembangan proyeksi, manfaat-manfaat ekonomi yang akan diperoleh oleh masyarakat, bagaimana lahan akan digunakan, daerah yang akan di-enclave, pengelolaan perkebunan tebu, bentuk keterlibatan masyarakat, program pendidikan yang direncanakan di Instiper, risiko lingkungan yang mungkin ditimbulkkan oleh pembangunan dan bagaimana risiko-risiko tersebut akan ditangani, dan proses AMDAL. Perusahaan menegaskan bahwa aparat militer dan polisi yang hadir saat konsultasi hanyalah untuk alasan keamanan saja, dan tidak untuk memberikan tekanan pada masyarakat.107

Ketika ditanya mengapa masyarakat tidak diberikan salinan agenda, catatan rapat atau daftar peserta selama konsultasi, staf PT ARN mengatakan bahwa karena belum ada perjanjian telah ditandatangani, tidak ada perlunya berbagi dokumen-dokumen tersebut. Namun, kesepakatan-kesepakatan telah dicapai tentang pembebasan lahan di Zanegi, tetapi kantor di Jakarta memberi tim peneliti bahwa mereka tidak memegang salinan kesepakatan-kesepakatan ini. Tim peneliti juga tidak dapat melihat salinan agenda, catatan rapat atau daftar peserta karena salinan-salinan dokumen tersebut juga dikatakan tidak disimpan di

Dokumen terkait