• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sekarang kita—baik orang Amerika maupun orang Indo-nesia—tahu bahwa kita bisa bertindak. Kita tidak perlu dirundung rasa putus asa, seakan-akan nasib kita dipegang erat di genggaman tangan elit oligarkis yang membelenggu dan menafikan demokrasi kita. Machiavelli, Neustadt, Burns, Kingdon, dan Samuels telah membekali kita dengan alat-alat yang bisa diterapkan untuk berbuat banyak.

Hal itu tidak berarti bahwa kita bisa bernafas lega. Ketidak-setaraan dalam distribusi sumber daya politik masih

meru-pakan ciri umum dua negeri kita, sesuai ramalan Dahl buat semua demokrasi modern yang menganut ekonomi kapital-isme pasar. Dilihat dari segi Indeks Gini, ukuran standar buat ketidaksetaraanekonomi, kesenjangan kaya-miskin lebih lebar di Amerika ketimbang Indonesia. Isu kesenjangan memang sedang hangat di Amerika, tempat pendapatan satu persen orang terkaya bertumbuh pesat, 275% setelah tahun 1979, jauh melebihi peningkatan pendapatan kelas menengah, 40% pada kurun waktu yang sama. Di Indonesia, tanpa angka statistik yang jelas pun, kita semua menyadari bahwa kesenjangan pendapatan dan kekayaan tetap merupakan tantangan berat, mungkin terberat, bagi perbaikan mutu demokrasi.

Kebijakan-kebijakan apa yang sebaiknya diambil untuk menambah jumlah sumber daya politik dan meratakan pe-nyebarannya? Usul saya: manfaatkan pendekatan capabilities, kemampuan, yang sedang dikembangkan sejumlah ekonom, terutama pemenang hadiah Nobel Amartya Sen (1999; 2009), dan filsuf, terutama Martha Nussbaum (2011). Pendekatan mereka sudah mulai berpengaruh di lembaga-lembaga kaliber dunia, termasuk World Bank dan UNDP (United Nations De-velopment Programme). Dampaknya juga kelihatan di laporan komisi pemerintah Prancis, Commission on the Measure-ment of Economic Performance and Social Progress [“Komisi Pengukuran Kinerja Ekonomi dan Kemajuan Sosial”], yang disingkatkan Komisi Sarkozy (Stiglitz dll 2009).

Sejak 2004 sejumlah peneliti pendekatan kemampuan bergabung di HDCA (Human Development and Capability Association [“Asosiasi Pembangunan dan Kemampuan Ma-nusia”]). Konferensi tahunan 2012 HDCA akan diadakan di Jakarta dengan tema “Revisiting Development: Do We Assess It Rightly? Websitenya: www.capabilityapproach.com

Rumusan pendekatan kemampuan paling terkenal dikemu-kakan Sen dalam bukunya Development as Freedom (1999). Dia

mendaftar lima jenis hak dan kesempatan yang ikut memperbaiki, langsung atau tidak langsung, kebebasan secara keseluruhan yang dimiliki orang-orang supaya mereka bisa hidup sebagaimana mereka ingin hidup.10 Dalam buku terbarunya, The Idea of Justice (2009), Sen mendefinisikan masyarakat adil selaku masyarakat tempat hak dan kesempatan itu dibagi serata mungkin.

Lima jenis hak dan kesempatan tersebut terdiri atas: • political freedoms, kebebasan politik, hak-hak untuk

menen-tukan siapa yang berkuasa, termasuk hak memilih, kebe-basan organisasi dan pers, hak untuk mengkritik kebijakan pemerintah, serta hak-hak politik dan sipil lainnya; • economic facilities, fasilitas ekonomi, termasuk kesempatan

menggunakan sumberdaya ekonomi demi keperluan kon-sumsi, produksi, dan pertukaran;

• social opportunities, kesempatan-kesempatan sosial, ter-masuk kesempatanmemperolehpendidikan dan perawatan kesehatan yang layak;

• transparency guarantees, jaminan transparansi atau keter-bukaan pemerintah, agar korupsi dan penyelewengan finansial pemerintah dicegah;

• protective security, jaminan perlindungan terhadap keaman-an pribadi, termasuk jaringkeaman-an keselamatkeaman-an sosial buat penganggur dan korban bencana alam.

Kiranyacukup jelas bahwa konsep kemampuan Sen tidak banyak berbeda dengan konsep sumber daya politik yang diutarakan Dahl seperti disebut di awal makalah ini. Lagi pula, tujuannya sama: demi masyarakat adil/demokratis, jumlah kemampuan/sumber daya perlu diperbanyak dan dibagikan serata mungkin. Alangkah baiknya kalau kerangka

10Aslinya: “... that contribute, directly or indirectly, to the overall freedom people

Sen diterima para politisi sebagai dasar kebijakan ekonomi di mana-mana, termasuk di Indonesia dan Amerika.

Sayangnya, pandangan Sen hanya mewakili aliran minoritas ilmuwan ekonomi pembangunan masa kini. Lagi pula, aliran itu perlu ditaruh dalam konteks perdebatan lama semenjak bangsa-bangsa Asia dan Afrika mencapai kemerdekaannya sesudah Perang Dunia Kedua. Selama itu pihak mayoritas, sebutlah para ekonom murni, selalu membatasi analisis mereka kepada variabel-variabel ekonomi saja. Klaim mereka: selaku science, ilmu ekonomi hanya mungkin maju kalau jumlah variabelnya dibatasi seketat mungkin. Buat kelompok ini, ukuran utama pembangunan ekonomi adalah laju pertumbuhan GDP/GNP (Gross Domestic/National Product, [Produk Domestik/Nasional Bruto]).

Pihak minoritas yang juga mengaku ekonom merasa perlu memasukkan variabel lain seperti struktur sosial, budaya, persepsi psikologis, atau politik dalam model-model me reka. Di dunia nyata banyak variabel, bukan hanya variabel ekonomi, berdampak pada outcome, hasil kebijakan, ekonomi. Salah satu ciptaan kelompok ini: ukuran HDI (Human Development Index, [Indeks Pembangunan Manusia]) yang menggabungkan unsur-unsur GDP, harapan hidup, melek huruf, dan tingkat pendidikan. Demi penggambaran realistis, mereka bersedia bergumul dengan variabel yang sulit diukur. Oleh pihak mayoritas, pihak minoritas diledek selaku political economists, ekonom politik, yang berarti kurang setia kepada ilmunya sendiri.

Kapan perdebatan ini selesai dan siapa pemenangnya? Terus terang saya tidak tahu apakah kita sebaiknya bersikap optimistis atau pesimistis. Selaku pemikir, Amartya Sen dan teman-teman-nya cemerlang, tetapi masih kurang berpe ngaruh di dunia praktis setelah puluhan tahun ketimbang lawan-lawan mereka. Mungkin yang diperlukan di Indonesia dan di forum-forum global, selain kegiatan intelektual, adalah penggalangan kekuatan politik. Kelompok-kelompok masyarakat yang berkepentingan atau yang sepaham dengan pendekat an kemampuan perlu berorganisasi

dan bertindak. James MacGregor Burns pasti benar ketika dia bertutur bahwa real, intended change, perubahan sejati dan tertuju, tak mungkin tanpa tuntutan, persaingan, dan perbenturan.

7. Kesimpulan

Tantangan terbesar terhadap demokrasi bermutu pada masyarakat modern terdiri atas pembagian sumber daya poli-tik yang tidak merata. Setidaknya kalau demokrasi dimaknai sebagai kesetaraan politik antara semua warganegara, definisi Robert Dahl, salah satu pencipta tersohor teori demokrasi abad ke-20. Sayangnya, cita-cita itu sulit diwujudkan di ekonomi-ekonomi kapitalis pasar, baik yang maju seperti Amerika mau-pun yang sedang berkembang seperti Indonesia. Masalahnya: secara ironis, kapitalisme pasar sekaligus merupakan dasar ekonomi mutlak buat negara demokratis modern sambil meng-gerogoti terus dasar politik negara tersebut.

Serangan paling terkenal terhadap kapitalisme selama ini diluncurkan pada pertengahan abad ke-19 oleh teoretisi sosial Karl Marx yang mengutamakan perbenturan kelas selaku kekuatan dinamis dalam sejarah. Namun, Marx dan pengikut-nya sampai abad ke-21 tidak bapengikut-nyak membantu kita mema-hami apa yang harus kita buat untuk memperbaiki demokrasi. Contoh di Indonesia: tulisan-tulisan Richard Robison dan Vedi Hadiz. Selain yakin berlebihan terhadap peran perbenturan kelas, mereka menyepelekan mandirinya lembaga-lembaga demokrasi yang dijuluki demokrasi borjuis, demokrasi yang hanya melayani kepentingan kelas kapitalis.

Niccolo Machiavelli, filsuf politik Italia abad ke-16, lebih tepat selaku pemandu global abad ke-21 ketimbang Marx. Pendekatan Machiavelli terfokus pada peran individu sebagai aktor mandiri yang memiliki, menciptakan, dan memanfaat-kan sumber daya politik. Ia menawarmemanfaat-kan kerangka berharga,

terdiri atas konsep-konsep virtu dan fortuna, yang bisa diman-faatkan untuk menciptakan teori tindakan baru pada zaman kita. Virtu, ketrampilan atau kejantanan, berarti luas semua sumber daya yang berguna bagi aktor politik untuk mencapai tujuannya. Fortuna berarti kans atau keberuntungan, tetapi dalam pengertian kondisi-kondisi alamiah dan sosial serta kejadian-kejadian yang dihadapi sang aktor, tanpa implikasi keharusan atau nasib. Kita juga diingatkan Machiavelli bahwa ada tensi, mungkin tak terhindarkan sepanjang masa, antara moralitas pribadi dan moralitas politik.

Teori tindakan Machiavelli diterapkan secara persuasif oleh sejumlah ilmuwan politik di Amerika pada paruhkedua abad ke-20 dan da-sawarsa pertama abad ke-21. Richard Neustadt mengamati dari dekat tiga presiden Amerika: Franklin Roosevelt, Harry Truman, dan Dwight Eisenhower. Bagi Neustadt, sumber daya politik terpenting seorang presiden yang mau berprestasi adalah the power to persuade, kekuatan untuk meyakinkan orang lain tentang kebijakan-kebijakannya. Neustadt menawarkan lima ukuran keberhasilan presidensial: keterlibatan pribadi sepenuh hati; pernyataan posisi yang tidak samar-samar; pesan yang disiarkan seluas-luasnya; persiapan pelaksanaan yang matang; serta pengakuan keabsahan presiden oleh kelompok-kelompok masyarakat yang terlibat atau berkepentingan.

James MacGregor Burns, intelektual dan aktivis kiri ternama, menulis tatkala Amerika sedang bergejolak akibat protes gerakan hak sipil minoritas Amerika-Afrika dan perlawanan luas terhadap perang Amerika di Vietnam. Dalam bukunya yang terbaik, Leader-ship, ia menciptakan konsep-konsep followerLeader-ship, kepengikutan, dan transforming leadership, kepemim pinan yang mengubah masyarakat secara mendasar. Perubahan yang mendasar ber-gantung pada pengejaran moralitas tinggi antara pemimpin dan pengikut secara intensif, bersama dan terus-menerus. Burns bersitegas bahwa kepemimpinan tak terpisahkan dari moralitas, lalu memuji Mao Zedong selaku transforming leader.

Machia-velli adalah John Kingdon, profesor ilmu politik kawakan di Uni-versitas Michigan. Kingdon menerjemahkan konsep-konsep pokok Machiavelli dalam bahasa studi kebijakan umum dan ilmu politik empiris, perhatian utama saya sendiri sejak masa mahasiswa. Kita diajak membayangkan proses pembuatan kebijakan umum yang terdiri atas tiga aliran penemuan masalah, penciptaan usul-usul ke-bijakan, dan kejadian-kejadian politik. Tiga aliran itu dipertemukan oleh wiraswastawan kebijakan yang peka terhadap terbuka dan ter-tutupnya jendela keputusan. Alangkah baiknya kalau buku Kingdon diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan dipakai ilmuwan politik Indonesia untuk memperbaiki pengertian kita semua tentang hal-hal yang menghambat peningkatan mutu demokrasi.

Tokoh terakhir saya, Richard Samuels, pakar Jepang di Mas-sachusetts Institute of Technology, menawarkan kerangka baru yang berbobot sambil menelusuri proses modernisasi abad ke-19 dan ke-20 di Jepang dan Italia. Tiga unsur utamanya: alat-alat mobilisasi yang diberi label membeli, menggertak, dan mengilhami; peran warisan dalam proses pengambilan keputusan; serta pelonggaran kendala yang konon dilakukan semua pemimpin yang berhasil mengubah sejarah. Selaku negara-negara terlambat dalam proses modernisasi, boleh jadi Jepang dan Italia bermanfaat sebagai model buat Indonesia.

Akhirulkata, kita diingatkan Dahl bahwa penambahan dan pemerataan sumber daya politik demi tercapainya demokrasi bermutu merupakan masalah tersendiri. Baik di Indonesia mau-pun di Amerika, jurang pemisah tetap menganga antara yang mampu dan yang kurang mampu berpolitik. Penelitian yang paling menjanjikan tentang masalah ini, atas nama pendekatan kemampuan, sedang dilakukan oleh sejumlah kecil ekonom dan filsuf dibimbing Amartya Sen dan Martha Nussbaum. Namun, kegiatan intelektual saja tak cukup. Selain itu, pemerataan sejati memerlukan tindakan politik yang dilakukan oleh orang-orang yang mengidamkan demokrasi bermutu.***

BIBLIOGRAFI

Dahl, Robert. 1998. On Democracy. New Haven and London: Yale University Press.

Booth, Ann, editor. 1992. The Oil Boom and After: Indonesian Economic

Policy and Performance in the Soeharto Era. Singapore: Oxford University Press.

Burns, James MacGregor. 2010 [edisi pertama diterbitkan 1978].

Lead-ership. New York dll: HarperPerennial PoliticalClassics.

Carr, Edward Hallett. 1961. What is History? New York: Vintage. Hill, Hal. 1996. The Indonesian Economy Since 1966. Cambridge: Cam-bridge University Press.

Kingdon, John W. 1995 [edisi pertama diterbitkan 1984]. Agendas,

Alternatives, and Public Policies. New York dll: Longman.

Liddle, R. William. 1996. Leadership and Culture in Indonesian Politics. Sydney: Allen & Unwin.

Liddle, R. William. 2007. “Indonesia: A Muslim-Majority Democracy,” in W. Phillips Shively, Comparative Governance. New York: McGraw-Hill PRIMIS.

Mujani, Saiful and R. William Liddle. 2009. “Muslim Indonesia’s Secular Democracy,” Asian Survey, 49:4, pp. 575-590.

Neustadt, Richard E. 1990 [edisi pertama diterbitkan 1960]. Presidential

Power and the Modern Presidents: The Politics of Leadership from Roosevelt to Reagan. New York dll: The Free Press.

Nussbaum, Martha C. 2011. Creating Capabilities: The Human

Develop-ment Approach. Cambridge, Massachusetts and London, England: Harvard University Press.

Robison, Richard and Vedi Hadiz. 2004. Reorganising Power in

Indone-sia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. London and New York: RoutledgeCurzon.

Samuels, Richard J. 2003. Machiavelli’s Children: Leaders and their

Lega-cies in Italy and Japan. Ithaca: Cornell University Press.

Schuette, S. A. Akan diterbitkan 2012. “Against the Odds: Anti-corrup-tion Reform in Indonesia,” Public AdministraAnti-corrup-tion and Development 32:1.

Sen, Amartya. 1999. Development as Freedom. New York: Anchor. Sen, Amartya. 2009. The Idea of Justice. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press.

Stiglitz, Joseph, Amartya Sen, and Jean-Paul Fitoussi. 2009. Report

by the Commission on the Measurement of Economic Performance and Social Progress. www.stiglitz-sen-fitoussi.fr

Timmer, Peter. 2004. “The Road to Pro-Poor Growth: The Indonesian Experience in Regional Perspective.” Bulletin of Indonesian Economic

Dokumen terkait