• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 23. Pak Suliman dengan barang-barang dagangannya

Tidak seperti halnya lokasi PKL di Sampangan dan Basudewo yang cenderung agak rapi, lokasi PKL liar di Kokrosono lebih semrawut. Lokasi PKL yang terletak di seberang jembatan Banjir Kanal Barat tersebut, memang terbilang strategis. Sebelah barat menuju jalan Siliwangi yang sehari-hari ramai lalu lintasnya, ke arah timur menuju Tugumuda juga ramai, dan demikian pula ke arah utara agak ke timur menuju jalan Indraprasta juga padat lalu lintas. Lokasi PKL Kokrosono menuju utara hingga ke perumahan padat penduduk, seperti Surtikanti, Erowati, Tanggul Mas, Tanah

Mas, dan lain-lain. Lokasi PKL Kokrosono tiap harinya tidak pernah sepi apalagi pada hari Sabtu dan Minggu.

Para PKL yang berdagang dan menjual jasa yang menjalankan aktivitas ekonomi jumlahnya tidak kurang dari 100 orang (sebelum proyek normalisasi sungai Banjir Kanal Barat dimulai). Kini, setelah proyek tersebut berjalan, jumlah PKL berkurang, karena tepi jalan yang berbatasan dengan sungai sudah dipagari seng, sehingga banyak di antara mereka yang tidak beroperasi lagi.

Sumber:Dokumen Pribadi Gambar 24. Suasana PKL Kokrosono sebelum proyek

Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 25. Suasana PKL Kokrosono setelah proyek

normalisasi sungai dimulai

Meskipun telah dimulai proyek normalisasi sungai Banjir Kanal Barat, para PKL Kokrosono masih berdagang seperti biasa. Mereka yang berjualan barang-barang bekas, seperti kaset tape recorder bekas, kipas angin bekas, handphone bekas, dan barang-barang elektronik lainnya masih berjualan meskipun harus berbagi dengan proyek. Gambar di atas menunjukkan, di pinggir jalan berdekatan bantaran sungai yang sudah dipagari seng para pedagang tetap berjualan demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Pak Haji Mustaqim Abdul Rasyid (60 tahun) merupakan salah seorang dari pedagang kaki lima yang masih bertahan di Kokrosono. Pak Haji yang sehari-hari berjualan ditemani sang istri, bekerja dengan menjual alat-alat pertukangan, rumah tangga dan pertanian, seperti arit, bendo, gergaji, kunci pagar, gembok, drei, amplas, dan lain-lain. Dalam berdagang pak Haji menggunakan sepeda motor roda tiga merk Tossa buatan China.

Pak Haji yang sudah berjualan kurang lebih 20 tahun lamanya telah menikmati hasil yang luar biasa, yang tidak diduga oleh orang kebanyakan. Meskipun hanya berdagang di pinggir jalan, pak Haji bersama istri sudah 2 kali berangkat ke tanah suci Mekah. Selain memiliki sebuah rumah, beliau juga mempunyai harta benda lainnya, seperti 2 sepeda motor, televisi, perhiasan emas, dan yang lain.

Dari bekerja sebagai PKL, pak Haji memperoleh penghasilan kotor per hari tidak kurang dari Rp500.000,00 di mana Rp100.000,00 ditabung, Rp35.000,00 untuk “sangu” (uang jajan) 2 orang cucunya, dan sebagian lagi digunakan untuk makan dan kulakan. Pak Haji juga menyisihkan sebagian penghasilannya, yakni 10% untuk sedekah atau amal sholeh. Berkaitan dengan amal sholeh ini, pak Haji menuturkan:

“Kerja memang sulit mas, dahulu kalau saya mau, saya bisa jadi tentara…mungkin jika berjalan lancar, pangkat saya sekarang sudah Letnan Kolonel. Karena saya lebih suka berdagang, ya akhirnya seperti ini mas…jualan di pinggir jalan, tetapi alhamdullilah bisa mencukupi kebutuhan istri, anak, dan cucu dan meskipun sedikit-sedikit saya bisa menabung, beli sepeda motor, membelikan perhiasan untuk istri, dan yang penting pula bisa menunaikan ibadah haji bersama istri ke tanah suci Mekkah. Rezeki saya lancar karena saya punya resepnya mas, yaitu harus berani bersedekah…”amal shodaqohe kudu lancar mas nek kepingin rezekine lancar”. Sampai hari ini pun saya masih bisa berjualan dan bisa memenuhi kebutuhan keluarga” (wawancara dengan pak Haji Mustaqim AR, 3 Agustus 2010).

Sosok pak haji Mustaqim dengan jiwa kedermawanannya menunjukkan bahwa ia memiliki apa yang disebut dengan modal spiritual, meskipun sifatnya individual. Modal spiritual ini adalah kompetensi spiritual yang mengalirkan nilai-nilai, seperti pelayanan, mementingkan orang lain, bijaksana, berbudi, dan berbagai nilai yang dibangun secara implisit oleh religi (Tjondro Sugianto 2011). Nilai spiritual seperti pelayanan

dan mementingkan orang lain, dengan menyisihkan 10% dari penghasilan yang diperoleh pak Haji merupakan realisasi dari penghayatannya sebagai pemeluk agama Islam.

Modal spiritual sesungguhnya tidak mesti berkaitan atau bersumberkan dari religi atau agama tertentu. Banyak juga orang yang tidak menganut salah satu agama besar di dunia, tetapi memiliki modal spiritual yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Sebagaimana diyakini Jauhari (2007), modal spiritual bukanlah masalah agama atau sistem kepercayaan tertentu, melainkan merupakan suatu kecerdasan hati nurani yang diawali dengan pemenuhan kebutuhan akan aktualisasi diri. Sebagaimana modal sosial yang dikaji dalam penelitian ini, modal spiritual juga memiliki peran dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat, sebagaimana diperlihatkan pak haji Mustaqim.

Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 26. Pak Haji Mustaqim dengan barang dagangannya

Dalam menjalankan usahanya, pak Haji Mustaqim tidak mengalami kesulitan dalam mencari barang dagangan. Relasi sudah dibangun sejak ia berdagang. Arit dan bendo misalnya, bisa diperoleh hanya dengan menelepon pemasok ketika barang habis terjual. Arit dan bendo ini biasanya dipesan dari Cepiring Kendal dan Muntilan Magelang. Kunci, gembok, drei, gergaji, dan barang-barang sejenisnya, ia beli dari seorang pemasok yang berdomisili di Semarang. Pemasok barang mengantar pesanan, setelah ditelepon pak Haji dan seketika itu pula barang-barang dibayar lunas.

Kata pak haji,”hubungan saling percaya saja mas, begitu barang habis, saya telepon dan datang kiriman barang yang saya minta”.

Rantai permintaan (demand) dan penawaran (supply) berlangsung dengan baik, tidak hanya ketika terjadi jual beli di lokasi PKL, tetapi juga berlangsung pada saat pak haji kehabisan barang dagangan. Tidak seperti halnya PKL yang lain, pak haji Mustaqim dalam membeli barang dagangan tidak pernah berhutang, semuanya dibayar dengan uang kontan.

Ketika ditanya, mengapa tidak berhutang saja, pak haji memberi jawaban lugas: “orang hutang itu membuat kita tidak bisa tidur mas, apalagi jika pada saat ditagih kita belum ada uang…wah bisa pusing dan stress kita”.

Pak Haji tergolong seorang PKL dengan jiwa wirausaha yang tinggi. Berkali-kali ia pindah tempat berjualan. Sebelum digusur, pak haji pernah punya tempat usaha permanen di tepi sungai Banjir Kanal Barat. Namun sejak bangunan tersebut diratakan, barang-barang dagangan pak haji ditempatkan di kios atas (sentra PKL Kokrosono) dan disimpan di rumah. Modal usaha yang digunakan untuk berjualan awalnya tidak banyak, sedikit demi sedikit berkembang hingga akhirnya ia memiliki sarana untuk berjualan. Misalnya, yang semula tidak memiliki sarana motor roda tiga untuk berdagang, sejak tahun 2007 sudah bisa membelinya dengan harga Rp24 juta dan

berkat keuletan dan sifat hematnya, pak haji juga memiliki stok barang dagangan yang disimpan di rumah dan lokasi PKL Kokrosono sebanyak 3 kios.

Selain pak haji Mustaqim, sosok lain yang juga cukup berhasil dalam menjalankan aktivitas ekonomi di Kokrosono adalah pak Mulyono (47 tahun). Pak Mul mempunyai seorang istri dan dikaruniai 4 orang anak. Seorang anak telah berkeluarga, seorang lagi masih kuliah di Undip, dan lainnya masih sekolah di SMA dan SD. Pak Mul sudah bekerja cukup lama di Kokrosono. Dua mobil bekas ia gunakan untuk tempat berdagang. Bersama istrinya, ia menjual aneka peralatan rumah tangga, pertanian dan pertukangan.

Dari usaha perniagaan tersebut, pak Mul memperoleh penghasilan per harinya sekitar Rp300.000,00. Dari pendapatan tersebut, Rp50.000,00 disisihkan untuk uang jajan anak- anaknya. Selain memiliki mobil untuk berdagang, pak Mul juga mempunyai 6 sepeda motor. Sepeda motor tersebut kini digadaikan untuk pengembangan usaha. Dahulu pak Mul punya sebuah rumah, tetapi karena usahanya hampir bangkrut, rumah tersebut dijual dan kini ia bersama keluarganya mengontrak rumah di Taru Polo Raya Kelurahan Drono Semarang.

Meskipun acapkali disepelekan keberadaannya dan tidak jarang diusir ketika mereka menempati wilayah terlarang, kontribusi ekonomi PKL tidak diragukan lagi. Contoh lain dari kontribusi ekonomi pedagang kaki lima (PKL) adalah peran ekonomi yang dimainkan oleh pedagang nasi pecel di lokasi PKL jalan Menteri Soepeno (sejak tahun 2012 pindah ke tepi Bundaran Simpang Lima). Salah satunya adalah warung pecel mbok Sador.

Meskipun di tengah-tengah warung lain yang menjajakan nasi yang mungkin banyak diminati para pembeli, seperti nasi sop kaki kambing, nasi soto Makasar, nasi seafood, nasi ayam dan bebek goreng, tetapi nasi pecel yang dijual mbok Sador

tidak kalah disukai oleh para pembeli. Warung pecel mbok Sador ini semula berlokasi di jalan Pahlawan dekat dengan bundaran Simpang Lima. Program SETARA yang digulirkan Walikota Semarang, membuat mbok Sador harus pindah berdagang di lokasi baru, yaitu sentra PKL jalan Menteri Soepeno dan pindah lagi ke sentra PKL bundaran Simpang Lima. Foto berikut memperlihatkan bagaimana anak mbok Sador berdagang.

Sumber: dokumen pribadi Gambar 27. Anak Mbok Sador dan pembantunya sedang

melayani Pembeli

Kebijakan SETARA atau Semarang Sejahtera dari walikota yang baru (Soemarmo), yang salah satu programnya adalah memperindah dan mempercantik kota dengan menata ruang publik kota agar bisa berperan sebagai city walk, maka jalan- jalan dan trotoir, utamanya di sekitar bundaran Simpang Lima, jalan Pahlawan, jalan Ahmad Yani, jalan Pandanaran, jalan Gajahmada, jalan Pemuda hingga wilayah Tugu Muda, harus dibenahi dan ditata supaya menjadi tempat yang nyaman bagi

tepi jalan protokol tersebut harus dipindah. Salah satu PKL yang terkena dampak dari kebijakan tersebut adalah mbok Sador.

Ketika masih berdagang di jalan Pahlawan, pelanggan mbok Sador tidak kurang dari 100 orang per hari, padahal mbok Sador buka dasar baru dimulai jam 17.30 dan berakhir jam 22.00 atau 23.00. Rata-rata pada jam tersebut, makanan yang dijual telah habis. Dalam berdagang, mbok Sador dibantu seorang anak perempuan, menantu, cucu, dan 3 orang pelayan (seorang pria yang biasa melayani membuatkan minuman dan 2 perempuan yang biasa melayani menyampaikan nasi pecel). Mbok Sador sudah berdagang nasi pecel sejak tahun 1993. Sekarang usahanya dilanjutkan oleh anak perempuannya.

Nasi yang dijual sesungguhnya tidak terlalu istimewa, yakni nasi pecel ditambah beberapa lauk (daging sapi, paru-paru, limpa, babat, telor, tahu, tempe, ikan asing (gereh), sate telur puyuh, dan sate keong), serta krupuk dan bantal (sebutan bagi martabak kecil buatan mbok Sador), namun karena rasanya lumayan enak atau “pas di lidah” menurut penuturan beberapa pelanggan dan harga yang dipatok relatif murah, maka pembelinya banyak berdatangan ke warung pecel mbok Sador.

Para pelanggan mbok Sador tidak hanya dari kalangan kelas bawah dan menengah, banyak di antaranya yang berasal dari kelas atas (ekonomi). Pelanggan kelas atas ini dapat ditilik dari mobil yang mereka kendarai, yang rata-rata tergolong mewah, seperti Toyota Avanza, Honda CRV, dan mobil-mobil sedan versi baru. Mereka yang membeli juga tidak hanya orang Jawa, tetapi juga warga etnis Cina.

Penghasilan kotor mbok Sador per hari berkisar antara Rp 3.000.000,00 hingga Rp4.000.000,00. Salah seorang cucu mbok Sador yang membantu berjualan, digaji Rp1.200.000,00. Dari berdagang nasi pecel ini, mbok Sador bisa membeli 3 rumah, sebuah sepeda motor dan sebuah sepeda motor roda tiga merek

Tossa. Daya tarik warung nasi pecel mbok Sador tidak hanya bagi para pelanggannya, yang meskipun sudah pindah ke lokasi lain tetap datang membeli, tetapi juga menjadi magnet bagi tukang parkir, pengemis, pengamen, dan seorang penjual rokok dan minuman.

Semula mereka bersama-sama mbok Sador menjalankan aktivitas di jalan Pahlawan, namun setelah jalan Pahlawan dipercantik, mereka pindah bersama-sama di jalan Menteri Soepeno. Ketika mbok Sador pindah lagi ke Bundaran Simpang Lima, mereka juga ikut pindah menyertainya. Ini menunjukkan bahwa mbok Sador merupakan magnit pencari sekaligus pemberi rezeki bagi tukang parkir, pengemis, dan penjual rokok dan minuman.

Penghasilan tukang parkir dan pengemis yang menyertai mbok Sador pun tidak jauh berbeda ketika mereka menyertai mbok Sador di lokasi lama. Pendapatan tukang parkir per hari tidak kurang dari Rp 100.000,00, demikian pula penghasilan pengemis (seorang ibu tua) tidak kurang dari Rp 50.000,00 per hari; padahal jam kerja mereka juga sama dengan jam dagang mbok Sador. Kurang lebih 6 jam beraktivitas, tukang parkir bisa membawa pulang Rp 2.700.000,00 per bulan setelah dikurangi uang setoran ke pengelola parkir sebesar Rp10.000,00 per hari; sedangkan pengemis tersebut memperoleh penghasilan per bulan rata-rata Rp 1.500.000,00. Penghasilan tukang parkir tersebut melebihi gaji pegawai negeri golongan IIIa yang memiliki jam kerja 9 hingga 10 jam per harinya. Sementara itu, penghasilan seorang pengemis tersebut jauh melebihi upah para sales promotion girl (SPG) di pasar Swalayan dan Mall di Semarang yang hanya Rp 900.000,00 hingga Rp1.000.000,00 per bulan dengan jam kerja 9 hingga 10 jam per hari.

Keberadaan warung nasi pecel mbok Sador memang memberikan tuah bagi tukang parkir dan pengemis tua. Memang rasanya tidak adil, mbok Sador yang berjualan dengan

modal uang, seperangkat alat untuk jualan, serta membayar retribusi untuk Dinas Pasar dan Paguyuban PKL, memperoleh penghasilan harus dibagi dengan para karyawannya; sementara tukang parkir dan pengemis menikmati sendiri pendapatannya (yang mendompleng dari warung mbok Sador), tetapi itulah sisi kelebihan dari pedagang kaki lima, yang jika ramai dagangannya memberikan sumbangan ekonomi yang tidak kecil, tidak hanya bagi keluarganya, tetapi juga bagi orang lain, seperti tukang parkir dan pengemis.

Sumbangan pedagang nasi kepada pendapatan asli daerah (PAD) kota Semarang tidaklah terlalu signifikan, tetapi dengan melubernya rezeki ke tukang parkir dan pengemis, berarti turut menghidupkan kegiatan ekonomi orang kecil lainnya. Simpulannya adalah jika PKL sungguh-sungguh berusaha dalam mencari rezeki, ia akan dapat bertahan dan dampak ikutannya adalah turut membangun ekonomi orang-orang di sekitarnya. Perputaran uang di zona pedagang kaki lima bisa menjadi lebih besar lagi jika tempatnya ditata lebih rapi oleh pemerintah, pemasaran (marketing) dan iklan didukung oleh pemerintah, dan kepada para PKL diberi kemudahan dalam mengakses kredit untuk modal usaha.

Relasi tidak langsung antara pedagang kaki lima (mbok Sador), tukang parkir dan pengemis, dapat dicermati pada gambar berikut.

Gambar 28. Relasi segitiga antara PKL, tukang parkir, dan pengemis. Pedagang Kaki Lima

Kisah sukses PKL dialami pula oleh mbak Sri. Ia yang berjualan nasi kepala kakap di Jalan Kusumawardani Semarang juga tergolong PKL yang memiliki kontribusi ekonomi cukup penting bagi keluarganya. Kios yang pada tahun 1994 dibeli ayah mertuanya seharga Rp3.000.000,00 dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Setelah ayah mertuanya meninggal dunia, mbak Sri meneruskan usaha berdagang nasi kepala kakap hingga kini.

Awal modal usaha untuk berdagang nasi tersebut tidak kurang dari Rp10.000.000,00. Sekarang modal sehari-hari untuk kulakan bahan dagangan berkisar antara Rp400.000,00 hingga Rp500.000,00. Kios yang digunakan mbak Sri adalah kios warisan ayah mertua, sehingga dari hasil berjualan nasi kepala kakap tersebut ia harus membagi pendapatannya kepada ibu mertua dan 3 bersaudara lainnya.

“kios ini bukan milik saya pak…tapi milik bersama ibu mertua, dan 3 saudara lainnya… hasil dari penjualan nasi ini kita bagi bersama…ibu mertua saya beri Rp125.000,00 per hari, sedangkan 3 saudara lainnya mendapat bagian per harinya Rp25.000,00, untuk kulakan Rp400.000,00 dan sisanya untuk saya dan suami…kalau misalnya pas ramai, saya dapat pendapatan kotor Rp1.000.000,00 per hari, maka saya dan suami dapat Rp400.000,00…lumayan pak bisa untuk menyekolahkan dua anak saya. Itu pas ramai pembeli, kalau sepi paling dapat Rp600.000,00 hingga Rp700.000,00…ya tentu bagian saya makin kecil” (wawancara dengan mbak Sri, Minggu, 13 November 2011).

Mbak Sri tidak sendirian berjualan di Jalan Kusumawardani Semarang. Di wilayah tersebut tidak kurang dari 30 orang yang menjalankan usaha kuliner. Selain mbak Sri yang berdagang nasi kepala kakap, ada juga yang menjadi pedagang bakso, pedagang mi ayam, pedagang makanan dan minuman, dan lain- lain. Di lokasi PKL Kusumawardani ini juga terdapat fasilitas WC umum. Hanya untuk parkir memang tidak terlalu lebar.

Di lokasi PKL ini terdapat seorang tukang parkir, yang penghasilannya tidak terlalu signifikan jika dibandingkan tukang parkir yang menyertai warung nasi pecel mbok Sador. Pak Santoso, demikian panggilan tukang parkir tersebut, mengaku penghasilannya per hari tidak lebih dari Rp30.000,00. Dari penghasilan tersebut, Rp10.000,00 ia setorkan kepada pihak pengelola parkir dan Dinas Perhubungan.

Terlepas dari berapa penghasilan tukang parkir tersebut, tampak bahwa keberadaan pedagang nasi dan PKL lainnya di Kusumawardani ini selain memberi kontribusi bagi pemenuhan kebutuhan hidup keluarga mereka, juga memberi pendapatan kepada tukang parkir. Relasi ekonomi pedagang kaki lima di Kusumawardani dan tukang parkir ini hampir mirip dengan relasi pedagang nasi pecel dengan tukang parkir dan pengemis, hanya saja di wilayah Kusumawardani ini tidak ada pengemis yang berkeliaran, apalagi menetap bersama para pedagang seperti halnya yang terjadi pada pedagang nasi pecel di jalan Menteri Soepeno.

Tidak seperti halnya di sentra PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono yang tidak lagi memiliki kios permanen, kios di Jalan Kusumawardani memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Meskipun dahulu kios dibuatkan pemerintah, ternyata pemilik kios dapat menyewakan kepada pihak lain.

Menurut mbak Sri, harga kios bisa mencapai angka puluhan juta. “kios sebelah mau disewakan pak, harganya tidak tanggung-tanggung…Rp25.000.000,00 per tahun, dan pemiliknya minta 3 tahun sekalian, wah mahal ya pak”, cetus mbak Sri.

Persoalan sewa dan jual beli kios bukan hal baru di kalangan pedagang kaki lima. Di Sampangan, Basudewo, Kokrosono, dan beberapa tempat lainnya juga terjadi peristiwa serupa. PKL Basudewo yang pindah ke PKL Kokrosono pun banyak yang menjual kiosnya, padahal kios tersebut bukan miliknya. Harganya pun tidak mahal, ada yang dijual

Rp1.500.000,00 dan ada pula yang dijual dengan harga Rp3.000.000,00. Persoalan jual beli kios ini dituturkan oleh pak Achmad berikut ini.

“Salah satu anggota kita (pak Marlan) diusir oleh pedagang lainnya, karena yang bersangkutan berbuat ulah dengan menjual kios jatah anggota lainnya…tidak kurang dari 10 kios yang dijual kepada orang lain bukan anggota PKL Basudewo…karena ulahnya, ia sempat dipukuli orang yang kena tipu olehnya… sesungguhnya saya kasihan kepada pak Marlan, beliau juga sudah tua, usaha mebelnya bangkrut lagi…tapi ya bagaimana lagi pak…biar jadi pelajaran bagi dia” (wawancara dengan pak Achmad, Minggu, 3 September 2011).

Di jalan Menteri Soepeno terdapat dua orang pedagang rujak. Dua-duanya adalah laki-laki. Semuanya berasal dari Jawa Barat, namun sudah cukup lama berdagang di Semarang. Salah satunya adalah pak Ewok. Pak Ewok sudah berjualan rujak di Semarang selama 40 tahun. Ia mengontrak rumah bersama 10 orang pedagang seharga Rp6.000.000,00 per tahun.

Dalam berdagang rujak, pak Ewok menggunakan sarana gerobak dorong. Pak Ewok termasuk pedagang yang ulet dan memiliki etos kewirausahaan yang tinggi. Pak Ewok memiliki seorang istri dan 4 orang anak. Tiga anak sudah menikah dan seorang lagi yang masih berumur 22 tahun hidup bersama ibunya di Kuningan Jawa Barat. Dari pendapatannya berjualan rujak, pak Ewok bisa memodali istrinya membuka warung kecil di kampung, membeli tanah, dan 2 sepeda motor. Tiap bulan pak Ewok mengirimi istrinya uang Rp1.000.000,00.

“saya berjualan sudah cukup lama pak, kurang lebih 40 tahun…dari dahulu ya berdagang rujak tidak ada yang lain..lumayan bisa untuk hidup, mengirim uang untuk istri di kampung dan sedikit-sedikit bisa beli tanah dan sepeda motor”, ungkap pak Ewok (wawancara dengan pak Ewok, Minggu, 13 November 2011)

Jumlah pedagang kecil di Semarang yang memiliki keuletan, etos kewirausahaan, dan pendapatan yang cukup besar tentu masih banyak. Penelitian ini bukan penelitian kuantitatif, sehingga pedagang yang diambil sebagai responden tidak banyak. Dari beberapa pedagang (PKL) tersebut sudah dapat disimpulkan bahwa PKL memiliki kontribusi ekonomi yang cukup signifikan, setidaknya bagi keluarganya.

Pendapatan pedagang kaki lima (PKL) bervariasi, mulai dari Rp70.000,00 hingga Rp4.000.000,00 per hari dan banyak di antara mereka yang memiliki tabungan untuk kebutuhan mendesak dan keperluan hari tua. Data tentang pendapatan dan tabungan (investasi) PKL dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 12. Pendapatan dan Tabungan (Investasi) yang dimiliki PKL

No. Nama Pendapatan

per Hari (Rp) Tabungan (Investasi) Tempat Berjualan 1. Muriman 100.000,00 Rumah, tanah,

mobil, perhiasan

Sampangan 2. Bu Zuhri 700.000,00 Mobil, sepeda

motor, perhiasan

Sampangan

3. Achmad 100.000,00 Rumah, Sepeda

motor, Perhiasan Basudewo 4. Sulaiman (Leman) 70.000,00 Sepeda motor, perhiasan Basudewo 5. Haji Mustaqim 500.000,00 Rumah, motor roda tiga, sepeda motor, televisi, uang, perhiasan

Kokrosono

6. Mulyono 300.000,00 Mobil, sepeda motor, perhiasan

Dokumen terkait