• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBAHASAN PENELITIAN

5.2 Sumber Informas

Sumber informasi informan merupakan asal informan mendapatkan atau mencari sebuah informasi dimana informasi tersebut bisa diterima secara baik maupun tidak, tergantung dari sumber dan dari persepsi seseorang mengartikannya yang diliputi atau dibekali dengan pengetahuan-pengetahuan dari berbagai sumber. Informan mendapat dan mencari informasi tentang seksualitas dan pencegahan HIV/AIDS dari teman sebaya, orang tua, petugas kesehatan dan media. Memang keseluruhan informan mendapatkan dari semua sumber tetapi tidak begitu rinci dan rutin. Seperti halnya informasi seks dan HIV/AIDS dari teman yang hanya menjelaskan cara mencegah kehamilan dan HIV tanpa tahu makna sebenarnya, dampak, penularan dan lain-lain.

Informasi seks dan HIV/AIDS serta Narkoba dari petugas kesehatan yang memberikan penyuluhan dan promosi tentang kesehatan saat di sekolah SMA mereka

terdahulu. Sedangkan orang tua mereka tidak memberikan informasi seks dan HIV/AIDS, mereka hanya menyampaikan kalau pacaran harus ingat batas agar tidak kelewatan tanpa adanya pendidikan seks. Tetapi budaya setempat yaitu para orang tua membolehkan anak remajanya pacaran apalagi pada remaja laki-laki, walaupun masih adanya kontradiksi dalam pemberian informasi seksualitas antara ibu dan anak remaja laki-lakinya. Serta media yang sering mereka gunakan adalah internet dan DVD. Internet di akses dari handphone ataupun pergi ke warnet sambil kumpul dengan teman lainnya. Memang dari semua sumber informasi, informan memperolehnya tapi tidak secara mendalam dan tidak menggali lebih lanjut info yang telah didapat .

Sumber informasi yang diperoleh remaja terkait perilaku seksual sangat bebas dan seringkali tidak tepat sehingga tidak jarang membuat remaja melakukan percobaan. Adanya pengaruh informasi yang tidak tepat dari sumber yang tidak dapat dipertanggungjawabkan akan membuat remaja terpengaruh untuk meniru kebiasaan- kebiasaan yang tidak sehat seperti melakukan hubungan seksual dengan banyak pasangan atau melakukan hubungan (Santrock, 2007).

Sumber informasi yang digunakan remaja menunjukkan bahwa internet merupakan sumber informasi yang paling sering digunakan serta dinilai remaja paling berpengaruh terhadap perilaku seksual. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 69 remaja (62,7%) menyatakan internet sebagai sumber informasi yang paling sering digunakan, sedangkan remaja yang memilih internet sebagai sumber informasi yang paling berpengaruh sebanyak 97 remaja (88,2%). Alasan utama sebanyak 76 remaja

(69,1%) memilih sumber informasi tersebut karena informasi dapat dengan cepat diperoleh oleh remaja (Alfarista dkk, 2013).

Keaktifan remaja dalam mengakses sumber informasi terkait perilaku seksual maupun kesehatan reproduksi menjadi asumsi dasar bahwa semakin aktif responden dalam mengakses sumber informasi, semakin rendah perilaku seksual berisiko yang akan terjadi pada remaja. Informasi yang diterima remaja akan memengaruhi pengetahuan remaja. Hal tersebut dikarenakan pengetahuan merupakan representasi yang dipercayai seorang individu terhadap suatu objek, sehingga dapat disimpulkan bahwa kepercayaan merupakan struktur dasar pengetahuan seseorang. Adanya pengetahuan akan memengaruhi sikap seseorang sehingga pada akhirnya sikap tersebut akan turut memengaruhi perilaku individu. Perilaku seseorang sangat ditentukan oleh pengetahuan, kepercayaan dan sikap individu terhadap suatu stimulus atau objek tertentu (Astuti, 2009). keterpaparan sumber informasi berpengaruh terhadap perilaku pencegahan HIV/AIDS hal ini membuktikan bahwa keterpaparan sumber informasi sangat berperan dalam perubahan perilaku pencegahan HIV/AIDS (Rahman dan Yuandari, 2014).

A. Teman Sebaya

Diterima oleh teman sebaya adalah sesuatu yang sangat penting bagi remaja, sehingga bisa diterima oleh satu kelompok. Misalnya menyesuaikan selera, cara berpakaian, berbicara dan berperilaku sosial lainnya adalah penting. Remaja lebih terbuka masalah seksualitas dan HIV/AIDS dengan teman sebayanya, karena teman sebaya informan sama-sama seluruhnya sudah melakukan hubungan seksual pada

gaya pacarannya. Mereka juga suka saling bertukar pendapat satu sama lainnya mengenai seks dan HIV/AIDS, maka remaja lebih cepat mendapat informasi seksualitas dan HIV/AIDS dari temannya karena seringnya berinteraksi dan membahasnya di sela-sela obrolan tongkrongan mereka baik dibahas secara serius maupun sebagai lawakan dan lelucon. Seperti pernyataan informan E:

“kami tuh cerita seks atau HIV gituan palingan pas lagi kumpul-kumpul bareng ,,,kayak misalnya nongkrong dimana,,, gitu yah pas teringat cerita seks cemana setiap kawannya sama pasangan sekalian berbagi infolah kalau ada yang belum tau,,kami cerita lah,,,,nanti di situ kan sedikit--sedikit tahu,,,,misalnya yang

tentang “kencingkan” perempuan lompat-lompat supaya spermanya turun atau

keluar, kadang kami ceritanya tuh serius atau kadang sambil lucu-lucuan aja

hahaha,,”

Sedangkan masalah penanganan dampak dari perilaku pacaran yang berisiko, seperti hamil dan penyakit kelamin informan mengetahui dari teman ke teman dimana untuk menangani dan mengobatinya. Dibuktikan pernyataan informan P:

“kalau tentang kemana berobat kalau ada keluhan penyakit kelamin ke situ ja

dik yang depan gang tuh hari tuh ada juga kawan kami, kakak tuh mau kok dia orang kesehatan juga, tapi kalau masalah gugur mengguguri kakak tuh gak terima maksudnya gak mau bantu, ada klinik yang nerima untuk gugurin tapi bukan di gang

nih.”

Pernyataan informan sesuai dengan pernyataan petugas kesehatan (M) di Kampung Banten tersebut yang menyatakan pernah salah satu remaja yang berobat karena keluhan penyakit GO kemudian diberinya obat dan mengedukasinya. Berbeda halnya pada kasus pasien yang datang berobat dengan alasan tidak mendapatkan menstruasi selama 2 bulan yang ternyata sudah hamil jalan 12 minggu. Seperti pernyataan M selaku petugas kesehatan:

“kalau ada pasien yang keluhan sakit kelamin kakak mau bantunya

gonta ganti pasangan, trus jangan sampai terulang kedua kalinya dengan penyakit kelamin. ,,,,,,mmm kalau masalah gugur gugurin tu dek kakak gak maulah, kayak pernah hari tuh anak cewek datang dibilangnya 2 bulan gak dapat halangan bisa pula pura-pura gak tau dia, kakak bilang lah dia hamil trus dia mohon-mohon jangan ceritain ke orang tuanya, kan gak mungkin gak kakak bilang,,,,,yah tetaplah

kakak bilang trus di nikahin orang tuh sekarang dah lahir anaknya”

Di lingkungan tersebut dominan masyarakatnya bersuku jawa, budaya pacaran bagi remaja laki-laki adalah hal yang lumrah di lokasi tersebut, dibuktikan dengan dibolehkannya pacaran oleh orang tua mereka. Seperti pernyataan informan orang tua yaitu ibu I:

“kalau di sini rata-rata pacaran anak remajanya apalagi yang laki-laki dah pada pacarannya semua, yang penting pandai-pandai jaga dirilah tau batasannya masing-masing”

Semua informan adalah teman dekat satu sama lain sehingga saling berhubungan dan saling berinteraksi. Perilaku pacaran teman sangat berperan terhadap informan karena informan sangat dekat dengan teman-temannya sehingga perilaku temannya adalah hal yang biasa. Satu sama lain tidak malu menceritakan hubungan seksnya dan masalah seksualitas serta pencegahan HIV/AIDS dengan teman-temannya sambil berbagi informasi, malah dijadikan sebuah lelucon. Seluruh informan menyatakan bahwa penerimaan informasi seksualitas yaitu tentang cara pencegahan kehamilan dengan atau tanpa menggunakan kondom, serta pencegahan HIV/AIDS dengan menggunakan kondom walaupun mereka tidak menggunakan kondom dan hanya menggunakan super magic. Seperti pernyataan informan P dan A:

“kalau aku pernah sih dapat informasi seks dari kawanku kalau melakukan

hubungan seks tuh harus hati-hati jangan sampai anak orang hamil yah tu lah dik

“dikencingkan” biar keluar spermanya yah jadi gak jadi anaklah,,,,trus kalau anak

orang nanti hamil bisa jadi nanti aborsi katanya kalau aborsikan sakit, belum lagi

Kalau untuk cegah HIV yah aku dapat info dari kawan pakai kondom lah,,,,tapi aku kan memang gak pakai dik,,orang si A bersih kok,,,aku yakin aja ma

dia walaupun dia pas sama aku dah gak perawan sih” Pernyataan informan A:

“aku tau tentang tuh yah cara supaya anak orang gak hamil dik sama pakai

super magic supaya gak nular HIV kan dah di bersihin tuh pakai 2 tisu tuh dik jadi gak pakai-pakai kondom lagi lah,”

Informan mendapat informasi dari temannya bahwa seks boleh saja dilakukan dengan orang yang kita sayangi, seks boleh dilakukan di saat kita lagi ingin melakukannya agar tidak pening atau sakit kepala oleh karena sperma yang tidak disalurkan serta seks merupakan simbolis bentuk rasa cinta dan sayang pada pasangan. Seperti pernyataan P:

“ aku pernahlah cerita-cerita sama kawan-kawan pas nongkrong dik,,,kalau sayang, suka, cinta, yah bolehlah kita ngelakuin minimal ciuman karenakan bentuk rasa

sayang kita sama dia,,,lagian dik kalau kita dah biasa “gitu-gitu”, kalau gak

dikeluarin bisa peninglah aku gitu pulalah dik”

Pergaulan informan dengan teman sebayanya tentang pacaran merupakan hal yang biasa di lingkungan tersebut apalagi pada remaja laki-laki. Rata-rata budaya di sana membolehkan anak remaja laki-lakinya berpacaran. Dibuktikan dengan perbolehan dan pembebasan orang tua kepada anak untuk pacaran pada usia anak- anak. Seperti penyataan informan N:

“ aku sama orang tuaku boleh pacaran dik yang penting tau bataslah ,,karenakan aku pacaran aja umur,,,mmm,,,(informan berfikir),,,,11 tahun trus aku ngelakuin gitu-gituan 16 tahun “

Informasi masalah pencegahan HIV/AIDS yang didapat informan dari teman sebayanya juga didapat ketika melihat iklan HIV/AIDS di TV saat mereka berkumpul-kumpul dan tidak sengaja terbahas pada pencegahan HIV/AIDS serta

saling adanya tanya jawab antar teman apa yang digunakan agar tidak tertular HIV/AIDS dan tetap enak digunakan dan tidak repot, yaitu dengan “super magic

dimana bahan tersebut sangat mudah digunakan dan lebih mudah dibeli karena bahan tersebut ada di swalayan, toko indomaret dan di jual bebas tanpa adanya syarat pembelian.

Jika informasi dan pergaulan yang hanya setengah-setengah dan tidak dengan orang yang tepat akan menjadi di salahartikan oleh informan. Informan remaja sangat memaklumi perilaku pacarannya dan temannya yang luar batas, dimana sesama teman sudah tahu sama tahu dan menjadi hal yang biasa. Apalagi jika diajak teman, mereka langsung bergabung baik itu untuk sekedar berpergian biasa sampai menggunakan narkotika shabu yang kemudian berdampak perilaku seksual dengan menawar dan berhubungan dengan waria.

Penelitian ini sejalan dengan teori kesehatan reproduksi remaja dan wanita, yaitu pada usia remaja, seseorang menghabiskan lebih banyak waktu bersama teman sebayanya dibandingkan bersama dengan orang tuanya, sehingga wajar saja jika tingkah laku dan norma/aturan-aturan yang dipegang banyak dipengaruhi oleh kelompok sebayanya. Namun, meskipun tampaknya remaja sangat bergantung pada teman sebayanya, pada remaja sendiri terdapat sikap ambivalen. Di satu sisi ingin membuktikan kemandiriannya dengan melepaskan diri dari orangtuanya, tetapi di sisi lain mereka masih tergantung pada orang tuanya (Kusmiran, 2011).

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Maiyusrita (2011) bahwa teman sejawat mempunyai hubungan yang bermakna dengan perilaku

pencegahan terhadap HIV/AIDS. Teman Sebaya merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap perilaku pencegahan HIV/AIDS pada remaja (Rahman dan Yuandari, 2014). Begitu juga dengan hasil penelitian Yulianti (2015) menunjukkan bahwa perilaku seksual buruk lebih banyak terjadi pada responden yang memiliki pergaulan teman sebaya yang negatif.

Begitu juga penelitian ini sejalan dengan penelitian Manafe dkk (2014), Terdapat hubungan antara peran teman sebaya dengan tindakan pencegahan infeksi HIV/AIDS dilihat dari nilai signifikan sebesar 0.000 dengan demikian probabilitas (signifikansi) lebih kecil dari 0.05. Teman Sebaya pada penelitian ini pada umumnya berperan positif, namun ada beberapa teman sebaya yang mempunyai peran negatif terhadap diri responden. Pada hasil uji statistik, teman Sebaya berpengaruh sangat signifikan terhadap perilaku pencegahan HIV/AIDS (Rahman dan Yuandari, 2014).

B. Orang tua

Pandangan bahwa seks adalah tabu membuat remaja enggan berdiskusi tentang kesehatan reproduksinya dengan orang lain. Yang lebih memprihatinkan, remaja justru merasa paling tidak nyaman bila harus membahas seksualitas dengan anggota keluarganya sendiri. Kurangnya informasi tentang seks membuat remaja berusaha mencari akses dan melakukan eksplorasi sendiri. Informasi yang salah tentang seks dapat mengakibatkan pengetahuan dan persepsi seseorang mengenai seluk-beluk seks itu sendiri menjadi salah. Hal ini menjadi salah satu indikator meningkatnya kecenderungan perilaku seks bebas di kalangan remaja saat ini. Pengetahuan yang setengah-setengah justru lebih berbahaya dibandingkan tidak tahu

sama sekali, kendati dalam hal ini ketidaktahuan bukan berarti tidak berbahaya (Evlyn, 2007).

Faktor orang tua sangat penting bagi remaja, baik dalam mengenal dunia yang lebih luas dalam pembentukan perilaku dan kepribadiannya. Ibu adalah individu yang pertama yang mempunyai hubungan dengan remaja. Sikap dan hubungan yang dibentuk oleh ibu terhadap anaknya akan memengaruhi perilaku anaknya. Karena itu, ibu mempunyai peranan penting dalam pembentukan tingkah laku remaja.

Ibu informan sangat dekat dengan pacar anaknya yakni mengurus masalah anaknya jika sedang ada perselisihan dan pertengkaran seperti kasus informan E dan R yang sedang mengalami keributan hubungan, E menceritakan apa yang sedang terjadi pada ibunya (L) untuk meminta bantuan pada ibunya dalam menyelesaikan permasalahannya, sampai-sampai ibu L mendatangi rumah R untuk menyelesaikan masalah tersebut. Tetapi kalau masalah hubungan seksual informan dengan pasangannya masih tertutup dan takut dimarahi jika ketahuan oleh orang tuanya sehingga, informan hanya bercerita dengan teman-temannya. Seperti pernyataan informan E:

“Aku dekat kali ma mamak,,,, sampai pernah kalau ada masalahku sama R pasti aku curhat sama mamak, kayak kemaren tuh kami berantam mamakku ikut nyelesaiin tapi gak mungkinlah dia tau dah sampek mana hubungan kami.,,matilah

aku dik malu kali aku kalau mamakku tahu”

Seluruh informan mengatakan kalau komunikasi dengan orang tua sangatlah dekat beda halnya dengan informasi tentang seksualitas masih sangat tertutup dengan orang tua karena hal itu merupakan hal yang tabu dan tidak layak dibicarakan antara orang tua dan anak apalagi seorang ibu yang lebih dekat dengan anak dari pada ayah,

sehingga lebih tabu jika dibicarakan dari seorang ibu pada anak laki-lakinya. Seperti pernyataan informan A:

“,,,,,Pendidikan seksual dari orangtua yah gak ada lah karenakan gak etislah cerita seks sama ortu kita dik tuh kan tabuh untuk diceritain,,,,,mamakku palingan ngingatin jangan lewat batas kalau pacaran udah gitu aja,,,palingan waktu belajar biologi sekilas taulah dikit-dikit”

Tiga informan mengatakan sangat dekat dengan orang tuanya karena mereka sering menceritakan masalah mereka baik hubungan pacarannya maupun kesehariannya. Sedangkan satu orang informan merasa kurang dekat dengan orang tuanya oleh karena kesibukan orang tuanya. Seluruh informan juga menyatakan kalau pengawasan orang tuanya hanya tahu pergi kemana si anak dan si anak baik-baik saja tanpa mencari tahu dengan siapa, mau ngapain, pulang dan pergi jam berapa sesuka hatinya. Seperti ungkapan informan N:

“Orang tuaku tuh sibuk kerja,,,yang penting orang tuh tau kalau anaknya baek-baek aja gak pernah ada masalah.,,,,”,

Pernyataan informan A:

“Mmm,,,kayak orang tua sama anak biasalah,,,kalau aku mau keluar ya aku bilang sekalian minta duit,,,tapi dianya gak nanyak sama siapa karena bagi dia aku kan dah gede,,,,yang penting pande jaga diri aja,,,,,,,”

Kurang pengawasan orang tua kepada anaknya, menyebabkan anak rentan terhadap perilaku seksual. Seluruh informan mengatakan kalau bahwa mereka diizinkan pacaran oleh orang tua apalagi P dan E mereka dibolehkan membawa pasangan mereka datang ke rumah bahkan menginap di rumah. Semua informan juga mengatakan kalau orang tua mereka tidak mengetahui perilaku gaya pacaran mereka, karena perilaku tersebut bisa membuat orang tua mereka marah. Setidaknya hanya

juga sangat berperan dalam pembentukan karakter dan perkembangan kepribadian anak. Orang tua adalah dua insan yang terdekat oleh informan dibanding dengan anggota keluarga lainnya baik itu saudara kandung maupun tidak.

Orang tua merupakan role model bagi anaknya, dari segi pola asuh di rumah yang dapat diserap dan diterapkan anak dari orang tuanya. Dibutuhkan kedekatan, komunikasi dan pendidikan dari orang tua yang mana akan menjadi bekal dan benteng anak kelak di masa depannya. Dominan informan dekat dengan orang tuanya dalam arti kata komunikasi dengan orang tua terbuka dan dekat bahkan tentang gaya pacaran anaknya walaupun tidak tahu sejauh mana gaya pacaran anaknya, tetapi pengawasan orang tuanya hanya sampai pengawasan apakah anaknya baik-baik saja atau tidak. Tidak sampai pada gaya pacaran anaknya dimana terlalu membebaskan tanpa adanya peraturan dan pendidikan seks di rumah seperti halnya aturan kapan pulang, pergi, dengan siapa, kemana, bagaimana gaya pacaran yang berisiko bahkan dampak pacaran yang berisiko yaitu HIV/AIDS.

Pendidikan seks yang masih kurang diterapkan orang tua informan kepada anaknya menyebabkan tidak adanya penjelasan yang tepat sehingga anak mencari tahu dari sumber yang lainnya tentang seksualitas dan HIV/AIDS, semua itu dikarenakan masih tabunya penjelasan seks secara dini dari usia anak sebelum dianya remaja. Orang tua masih berpendapat kalau anaknya nanti dengan sendirinya akan tahu dan paham tentang bagaimana seks dan bagaimana HIV/AIDS. Karena orang tua dari orang tua informan juga tidak pernah menjelaskan pendidikan seks secara dini maupun sekarang. Itu sebagai hal yang pantang, dilarang dan tabuh untuk diceritakan

antara orang tua dan anak apalagi dari seorang ibu dengan anak laki-lakinya, karena informan lebih dekat dengan ibu dari pada ayahnya.

Pengawasan orang tua terhadap pergaulan informan baik dengan teman sepermainan maupun pasangan (pacar) dibolehkan oleh orang tua, orang tua membolehkan asalkan informan pandai menjaga diri agar tidak terlanjur pada pergaulan yang membahayakan informan.

Dari hasil penelitian tersebut peran orang tua sangatlah penting karena orang tua adalah tempat yang pertama kali oleh remaja untuk melaporkan masalah mereka. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori pola asuh orang tua, asuhan yang salah merupakan penyebab timbulnya kenakalan, mungkin merupakan penyebab yang terbanyak. Kesalahan dalam mengasuh anak disebabkan karena hal-hal berikut:

1. Orang tua tidak tahu bagaimana cara mengasuh anak sehingga mereka juga tidak menyadari betapa penting peranan mereka serta tugas mereka dalam perkembangan anak.

2. Orang tua tidak ada waktu untuk mengasuh anak dengan baik dan mereka mengesampingkan tugas mengasuh anak. (Notosoedirjo dan Latipun, 2006)

Sesuai dengan teori tentang keluarga terutama orang tua, yang memberikan kehangatan baik ikatan emosi yang tidak berlebihan, memberi dukungan positif dapat membantu anak mengembangkan ikatan di luar keluarga secara lebih baik. Ia mampu menentukan kapan ia harus mengikuti kelompoknya dan kapan harus menolak ajakan dari teman sebayanya sehingga remaja akan terbebas dari teman yang melakukan hal- hal negatif (Kusmiran, 2011). Keluarga mempunyai pengaruh yang cukup besar bagi

perkembangan remaja karena keluarga merupakan lingkungan sosial pertama, yang meletakkan dasar-dasar kepribadian remaja (Soetjiningsih, 2010).

Hampir bisa dipastikan bahwa tidak akan ada orang tua yang merasa nyaman ketika harus mengajarkan seks kepada anaknya. Malu, risih dan sungkan adalah kumpulan perasaan yang pasti menyergap orang tua jika harus mentransfer pengetahuan seks pada anak. Perasaan ini masih ditambah pula dengan kecemasan orang tua yang kerap khawatir kalau anak yang mendapat informasi seks banyak terlalu dini, akan terdorong untuk buru-buru melakukannya.

Pendidikan seks dan pendidikan pencegahan HIV/AIDS harus dimulai dari dalam keluarga sendiri. Masalah seks adalah masalah kepribadian manusia dan menuntut rasa hormat pula. Pendidikan seks juga merupakan salah satu cara untuk mengurangi atau mencegah penyalahgunaan seks. Maka, dibutuhkannya pengetahuan dan pola asuh orang tua sejak dini dengan memberikan pendidikan seks di usia anak- anak sebagai bekal di masa depannya yakni remaja.

Penelitian Strehl (2010) menyatakan bahwa lingkungan keluarga yang harmonis dan lingkungan yang positif berhubungan dalam menurunkan tingkat risiko perilaku berisiko penyakit menular seksual. Orang tua yang memonitor aktifitas dan lingkungan anak, selalu ikut terlibat dalam kegiatan dan meningkatkan komunikasinya dengan anaknya berhubungan dengan menurunkan risiko perilaku seksual berisiko pada anak jalanan dan lebih baik pada keluarga yang religius. Keterlibatan orang tua dan kedekatan keluarga dalam mendukung pencegahan perilaku berisiko berhubungan dengan penurunan kehamilan pada remaja. Perilaku

seksual berisiko disimpulkan dapat dicegah dengan dukungan lingkungan keluarga. Dukungan keluarga menjadi kekuatan dalam mencegah perilaku seksual berisiko pada remaja.

Menurut Fauzy dan Indrijati (2014) komunikasi orang tua dan anak tentang seksual disebabkan oleh beberapa faktor orang tua yaitu tipe orang tua dimana orang tua yang kuno cenderung tidak melakukan komunikasi seksual kepada anak, pengetahuan atau pendidikan orang tua, faktor gender dan kenyamanan karena teman

Dokumen terkait