• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Sumber Pembiayaan bagi Kegiatan Sektor Perikanan dan

Beberapa ahli perikanan menyatakan bahwa pembiayaan kegiatan pada sektor perikanan dan kelautan seyogyanya dilakukan oleh lembaga

khusus keuangan yang bukan bank, seperti koperasi simpan pinjam. Sebab jika hanya mengandalkan perbankan, akan sulit bagi perikanan rakyat untuk mendapatkan akses pembiayaan karena semua persyaratan perbankan harus dipenuhi.

Perbankan dewasa ini belum banyak yang tertarik untuk bergerak di pembiayaan sektor perikanan. Hal ini semata-mata karena kurangnya daya tarik sektor perikanan, antara lain karena tidak cepat menghasilkan, risiko tinggi oleh faktor alam, produknya cepat rusak/busuk, dan memerlukan peralatan yang banyak dan mahal. Untuk mengatasi masalah, prinsip ada gula ada semut dapat diterapkan. Pemerintah harus membuat sektor perikanan menarik bagi lembaga keuangan, pelaku, maupun investor. Malaysia dan Thailand berhasil melakukan itu, dengan cara mengendalikan risiko-risiko yang ada melalui penerapan teknologi. Pemerintah dapat membantu menciptakan daya tarik perikanan dengan mengembangkan infrastruktur perikanan, memberikan insentif bagi investor yang masuk ke sektor perikanan, dan memberikan kepastian usaha. Oleh karena itu, Pemerintah harus merevitalisasi Departemen Kelautan dan Perikanan karena lembaga tersebut yang bertanggung jawab dalam urusan sumber daya manusia, teknologi perikanan, data stok sumberdaya perikanan, dan perizinan. Pemerintah harus menunjukkan keberpihakan pada sektor perikanan, bahwa sektor perikanan akan mempengaruhi kebijakan makroekonomi negara ini (Pearce dan Moran 1994).

Adapun program-program yang telah dilaksanakan pemerintah pada sektor perikanan dan kelautan melalui Departemen Kelautan dan Perikanan untuk membantu pembiayaan usaha perikanan kecil dan menengah bergerak dalam bidang penangkapan ikan, budidaya perikanan, pengolahan hasil perikanan tangkap dan budidaya secara tradisional (DKP 2004 dan Depkominfo 2007) antara lain:

(1)Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) yang bertujuan untuk membantu kelompok usaha mikro, kecil dan menengah pada sektor perikanan di wilayah pesisir. Program ini untuk

memberikan stimulasi dalam aspek pemodalan, namun dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Lembaga Keuangan Mikro. Esensi program ini adalah membangun lembaga keuangan mikro untuk menopang usaha dan berbisnis secara lebih maju dan profesional. Pada tahun 2006 DKP mengucurkan dana sebesar Rp 132,4 miliar untuk program ini. Dana tersebut digunakan untuk 3 (tiga) program utama, yaitu; 1) Penguatan modal di 111 kabupaten/kota, 2) Pembangunan fasilitas kedai pesisir di 53 kabupaten/kota dan 3) Pembangunan Solar Packed Dealer untuk Nelayan (SPDN) di 51 kabupaten/kota.

(2)Program Optimalisasi Penangkapan Ikan, Pengolahan dan Pemasaran (OPTIKAPI) yang memiliki sasaran nelayan yang memiliki usaha mikro dan kecil. Program ini diarahkan untuk memberikan bantuan sosial hibah atau grant dalam bentuk natura (sarana produksi) sehingga nelayan mampu mengembangkan usahanya lebih mandiri dan tidak hanya berusaha untuk usaha yang bersifat persisten.

(3)Program Skim Modal Kerja diberikan kepada pelaku usaha mikro (skala rumah tangga) dalam bidang pengolahan hasil perikanan, pemasaran dan pembudidayaan. Esensi program ini adalah untuk mempersiapkan UMK dalam berhubungan dengan sumber modal, baik perbankan maupun nonperbankan dalam upaya mengembangkan usahanya.

(4)Program Konsultan Keuangan Mitra Bank (KKMB) Perikanan yang dibentuk berdasarkan kerjasama antara DKP dengan Bank Indonesia pada tahun 2003, yang memiliki tujuan mencetak konsultan keuangan yang mandiri dan profesional dalam membantu UMKM yang kesulitan dalam mengakses dana perbankan. Hingga saat ini DKP telah menghasilkan sebanyak 549 kader yang menyebar di 23 propinsi. Dari hasil pemantauan di 11 propinsi yang melaksanakan program ini, telah mampu membuat dan memfasilitasi sebanyak 257 proposal dan disetujui sebanyak 187 dengan nilai Rp. 10,1 milyar. Selama periode 2004, investasi baru di sektor kelautan dan perikanan yang bersumber dari Penanaman Modal Asing (PMA) hanya sebesar US $ 132,6 juta

atau setara dengan Rp. 1,326 trilyun. Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sebesar Rp. 3 milyar, sedang investasi yang bersumber dari perbankan diperkirakan sebesar Rp. 6,41 trilyun.

2.4.2 Sumber dari lembaga keuangan perbankan

Kegiatan usaha milik perorangan atau badan yang masuk dalam kategori layak dibiayai oleh pihak perbankan harus memenuhi syarat- syarat di bawah ini:

(1)Pelaku usaha tersebut harus memiliki watak (character) untuk mau melunasi kredit. Hal tersebut dapat dinilai dari kebiasaan hidup, kecenderungan berbisnis selama ini, reputasi keuangan, riwayat hidup, keterbukaan dalam memberikan informasi, dan legalitas usaha.

(2)Pelaku usaha tersebut harus memiliki kemampuan (capacity) untuk mampu melunasi kredit dari hasil usahanya. Hal tersebut dapat dinilai dari aspek manajemen usaha, aspek produksi, aspek pemasaran, aspek personalia, aspek keuangan, aspek pengalaman kerjasama dengan lembaga tertentu, dan lainnya. (3)Pelaku usaha tersebut harus memiliki modal (capital) untuk melihat seberapa

besal modal yang dimiliki dan yang dibutuhkan untuk mendukung pengembangan usaha yang bersangkutan. Hal tersebut dapat dinilai dari besarnya modal yang dimiliki, perkembangan modal dalam 2 periode terakhir, dan beban hutang dibandingkan modal yang dimiliki.

(4)Kegiatan usaha tersebut harus memiliki kondisi (condition) prospek yang baik sehingga layak untuk dibiayai. Hal tersebut dapat dinilai dari kapasitas dan kontinyuitas pemasok/suppliernya, jumlah pelanggannya, variasi dan jenis produk, kebijakan pemerintah, dan perkembangan pasar.

(5)Pelaku usaha tersebut harus memiliki agunan (collateral) untuk dijadikan jaminan atau sebagai jalan keluar terakhir. Hal tersebut dapat dinilai dari agunan pokok dan tambahan, agunan bergerak dan tidak bergerak, agunan berwujud dan tidak berwujud, serta agunan sementara dan tetap.

Dengan terpenuhinya kelima persyaratan tersebut, maka kegiatan usaha tersebut dapat memperoleh pinjaman atau kredit untuk modal dari bank umum atau bank komersial. Pemerintah melalui DKP juga

membangun kerjasama dengan beberapa bank nasional untuk membiayai kegiatan perikanan di Indonesia. Melalui kerjasama tersebut, tersedia sejumlah pinjaman atau kredit khusus yang dialokasikan bagi sektor kelautan dan perikanan, yang merupakan bagian dari kredit Pembinaan Kemitraan Bina Lingkungan, kredit umum untuk investasi, modal kerja, dan kredit ekspor dari masing-masing bank. Kerjasama yang pernah ada tersebut (DKP, 2004c dan Depkominfo, 2007) secara rinci dijelaskan adalah :

(1)Kerjasama dengan Bank Mandiri yang lebih dikenal dengan Kredit Mina Mandiri. Kerjasama dikembangkan pada tahun 2003, tepatnya melalui MOU kerjasama pada tanggal 27 Maret 2003 dengan alokasi dana yang disiapkan senilai Rp. 3 triliun dan dialokasikan untuk pengusaha perikanan tangkap terpadu di wilayah Indonesia Bagian Timur.

(2)Kerjasama dengan Bank BNI yang lebih dikenal dengan Kredit Bahari yang memberikan pelayanan kepada usaha pengolahan hasil perikanan tangkap, pemasaran dan industri wisata bahari. Realisasi kredit PT. Bank BNI ke sektor Kelautan dan perikanan sampai dengan periode 31 Desember 2004 sebesar Rp. 332,083 milyar dengan rincian, sebagai berikut:

1) Pembiayaan untuk usaha mikro dan kecil sebesar Rp. 120,790 milyar yang terdiri dari: (a) Usaha perikanan Rp. 87,938 milyar, (b) Sarana usaha perikanan Rp. 2,168 milyar, (c) Industri pakan ikan Rp. 27,418 milyar, (d) Lain-lain Rp. 3,266 milyar.

2) Pembiayaan untuk usaha menengah sebesar Rp. 211,293 milyar yang terdiri dari: (a) Usaha perikanan Rp. 64,680 milyar, (b) Industri pakan Rp. 12,579 milyar, dan (c) Lainnya Rp. 134,034 milyar

(3)Kerjasama dengan Bank BRI diprioritaskan pada pengembangan usaha perikanan skala mikro, kecil dan menengah, yang berada di daerah pedesaan untuk nelayan, pembudidaya, pengolah dan pemasaran.

Untuk sektor perikanan tangkap, pada tahun 2005 BRI telah menyalurkan kredit sebesar Rp. 5 milyar.

(4)Kerjasama dengan Bank Syariah Mandiri menjadi alternatif bagi para pelaku usaha yang tidak setuju dengan model kredit. Bank Syariah Mandiri menyediakan pembiayaan model syariah. Penyaluran pembiayaan ini lebih diarahkan di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang dialokasikan untuk kegiatan usaha mikro dan kecil, baik untuk budidaya, pengolahan, penangkapan dan pemasaran ikan. Sampai dengan periode Desember 2004 PT. Bank Syariah Mandiri (BSM) telah menyalurkan pembiayaan untuk pembangunan sektor Kelautan dan Perikanan sebesar Rp. 160,723 milyar, dengan rincian: (1) usaha prasarana perikanan dan lainnya sebesar Rp. 145,204 milyar, (2) industri perikanan sebesar Rp. 12,553 milyar, (3) usaha perikanan sebesar Rp. 2,904 milyar.

(5)Kerjasama dengan Bank Muamalat ditujukan untuk pelaku usaha mikro dan kecil, namun kebanyakan sumber pendanaannya adalah investasi dari Timur Tengah yang tertarik untuk berinvestasi di bidang kelautan dan perikanan.

(6)Kerjasama dengan Bank Danamon yang diarahkan untuk membantu kegiatan usaha perikanan tangkap, budidaya, dan pengolahan tradisional. Kerjasama ini melatih pembudidaya, pengolah tradisional, dan nelayan penangkap untuk bertransaksi melalui perbankan, disamping juga mendapatkan pinjaman atau kredit.

(7)Kerjasama dengan Bank Bukopin yang tertuang dalam Program Swamitra Mina yang merupakan sumber pembiayaan alternatif bagi masyarakat pesisir. Program ini membuka peluang bagi masyarakat pesisir dalam mengakses sumber pembiayaan yang selama ini sangat sulit diperoleh masyarakat pesisir dari Lembaga keuangan yang ada.

Disamping bank nasional, kerjasama juga pernah terjalin dengan lembaga keuangan lokal dan bank daerah. Cikal bakal pelaksanaan program Swamitra Mina bermula dari program PEMP. Pada tahun 2004 program PEMP mendapat kucuran dana sebesar Rp 140 milyar untuk

mengakomodir 160 kabupaten/kota. Adapun pagu untuk Dana Ekonomi Produktif (DEP) yang digunakan sebagai penguatan modal sebesar Rp 98.347.592,000 yang dikelola melalui LKM Swamitra Mina, BPR-Pesisir, dan USP. Adapun jumlah LKM Swamitra Mina yang ada saat ini sebanyak 139 buah yang kesemuanya adalah Koperasi LEPP-M3/Koperasi Perikanan yang telah berbadan hukum. Dengan status berbadan hukum, maka telah memenuhi persyaratan perundang-undangan yang mensyaratkan bahwa untuk menyerap dana masyarakat dan memberikan pinjaman kepada masyarakat hanyalah lembaga perbankan dan koperasi yang berbadan hukum.

Kerjasama dengan Bank Pembangunan Daerah (BPD) di seluruh Indonesia yang dilakukan sejak tahun 2001, yaitu melalui penyaluran kredit Ketahanan pangan (KKP) sektor kelautan dan perikanan senilai Rp. 44,529 milyar. Kredit ini merupakan kredit komersial biasa, hanya saja nelayan mendapat subsidi bunga dari pemerintah sebesar 4% - 4,5% per tahun. Kredit tersebut dialokasikan bagi usaha mikro dan kecil untuk nelayan penangkap, pembudidaya, pengolah tradisional dan pemasar hasil produksi perikanan.

2.5 Hasil Penelitian Terdahulu

Usaha perikanan tangkap di pesisir Propinsi Jawa Barat khususnya pesisir utara belum mendapat dukungan penuh dari lembaga keuangan meskipun aktivitas usaha perikanan tangkap di lokasi sangat padat. Pengelolaan usaha yang masih tradisional termasuk dalam hal evaluasi finansial, ketergantungan pada musim oleh nelayan kecil kebanyakan, serta kebijakan pengelolaan pesisir dan usaha perikanan tangkap yang tidak kuat akibatnya banyak kepentingannya menjadi penghambat berkembangnya usaha ini. Hasil penelitian Setiawan (2007) menyatakan kebijakan usaha perikanan tangkap yang dapat menjadi penghambat dapat berupa kebijakan publik (public policy) yang mengatur pengelolaan kawasan namun kurang terintegrasi dengan pemangku kepentingan (stakeholders) perikanan, kebijakan tentang potensi dan kondisi sumberdaya yang cenderung sentralistis dan terkadang kurang didukung dengan data yang akurat tentang

lokasi, dan peraturan atau turunan kebijakan publik dalam bentuk program yang secara konseptual bagus namun implementasinya belum menunjukkan hasil nyata.

Di sisi lain lemahnya dukungan lembaga keuangan terhadap usaha perikanan tangkap dapat dipahami karena lembaga keuangan merupakan usaha profit yang butuh kepastian dan jaminan termasuk dalam penggunaan dana yang diberikan. Menurut Setiawan (2007) ada enam hal yang perlu diperjelas dan didukung oleh kebijakan untuk membantu pembiayaan dan pengembangan usaha perikanan tangkap di pesisir utara Propinsi Jawa Barat, yaitu pengalihan status mata pencaharian utama menjadi mata pencaharian alternatif pada lokasi yang overfishing (nelayan tidak bergantung pada satu usaha), pengembangan teknologi penangkapan yang tepat guna dan berbasis SDM (nelayan lebih kreatif), pengembangan nelayan kecil menjadi nelayan besar yang lebih stabil usahanya, memperjelas pemasaran hasil produk perikanan (kestabilan harga dan kontinyuitas pasar), pengembangan sarana dan prasarana pendukung peningkatan kinerja perikanan tangkap, dan patroli pengelolaan yang menjamin kelestarian sumberdaya dari illegal fishing dan illegal fisher (jaminan kelangsungan usaha penangkapan).

Berbeda dengan di pesisir utara, usaha perikanan tangkap di pesisir selatan Jawa Barat lebih didukung oleh operasi kapal-kapal besar yang menjangkau lautan luas. Hal ini lebih menjanjikan bagi pengembangan usaha perikanan tangkap dan ketertarikan lembaga keuangan untuk membantu pembiayaan usaha. Menurut Dinas Perikanan Propinsi Jawa Barat (2003) bahwa produksi perikanan tangkap tahunan di pantai selatan untuk hasil tangkapan utama (tuna, cakalang, layang, selar) selalu mengalami peningkatan (rata-rata 6,59 – 16,40 %).

Menurut Sutisna (2007), usaha perikanan tangkap di pantai selatan memiliki prospek yang lebih baik karena aktivitas penangkapan lebih sedikit dan potensi SDI masih under fishing, sedangkan di pantai utara Propinsi Jawa Barat aktivitas penangkapan sangat padat dan potensi SDI sudah over fishing. Kekurangan pengembangan usaha perikanan tangkap di pantai selatan dibandingkan pantai utara adalah sarana dan prasarana dasar pendukung penangkapan lebih sedikit dan jaringan pemasaran lebih sulit. Usaha perikanan tangkap di laut selatan Propinsi Jawa Barat lebih dapat dikembangkan untuk ikan

konsumsi dan ikan hias karena potensinya lebih banyak, konflik pengelolaan lebih sedikit, dan sebaran nelayan kecil lebih sedikit. Kondisi ini tentu lebih menjanjikan bagi lembaga keuangan dalam memberikan bantuan pembiayaan kepada nelayan lokasi ini daripada di laut utara.

Menurut Kimker (1994), usaha perikanan untuk ikan potensial seperti tuna, cakalang, dan tenggiri dapat berkembang dengan baik dan pembiayaannya dapat bermanfaat secara maksimal bila didukung oleh partisipasi kolektif, kemitraan, dan kemandirian bersama pelaku usaha perikanan tersebut terutama kalangan nelayan, lembaga keuangan, dan pemerintah. Hasil penelitian Setiawan (2007) menyatakan bahwa partisipasi dapat ditunjukkan dalam bentuk : (1) pengelolaan suatu program dilakukan dengan melibatkan kelompok nelayan, koperasi/lembaga keuangan sebagai pelaku utama, dan Dinas Kelautan dan Perikanan atau dinas terkait sebagai pembinan dan fasilitator; (2) mengutamakan sikap saling menguntungkan dalam bermitra pada kegiatan ekonomi produktif; (3) berorientasi bisnis dengan mengedepankan sikap antipatif, kematangan, dan bertanggung jawab; (4) dikelola secara transparan dan accountable.

Untuk meyakinkan lembaga keuangan atau pemberi modal dalam mendukung usaha perikanan tangkap khususnya usaha ikan demersal, Imron (2008) menyatakan ada dua strategi yang dapat diterapkan, yaitu (1) meningkatkan kualitas dan kuantitas sarana produksi sehingga jangkauan daerah penangkapan lebih luas, dan (2) mengoptimalkan fungsi pelabuhan perikanan yang ada. Peningkatan kualitas dan kuantitas sarana produksi penting untuk menjaga kontinyuitas hasil tangkapan baik pada musim puncak maupun musim paceklik sehingga kewajiban kredit selalu dapat dipenuhi. Optimalisasi fungsi pelabuhan perikanan penting untuk menjaga kestabilan pemasaran dan harga jual. Hasil penelitian Setiawan (2007), usaha perikanan tangkap skala kecil sangat rentan terhadap harga jual ikan dan pola musim di perairan utara Jawa. Musim puncak di perairan utara Jawa terjadi antara pertengahan Maret sampai pertengahan Juni. Pada musim puncak ini, banyak dijumpai berjenis ikan dan udang di lokasi yang dangkal.

Permasalahan yang cukup sulit untuk pengembangan usaha perikanan tangkap di pesisir utara propinsi Jawa Barat adalah wilayah perairan yang sudah

over fishing. Hasil penelitian Imron (2003) menunjukkan nelayan dari Indramayu dan Cirebon banyak menangkap ikan di luar perairannya, seperti di perairan Karimun Jawa, perairan Matasiri dan Masalembo, dan sampai ke perairan Kalimantan dan laut Cina Selatan. Hasil tangkap di wilayah perairan sendiri hanya tidak lebih dari 50 %. Untuk usaha perikanan tangkap skala kecil, hal ini tentu menjadi faktor lemah untuk mendapat dukungan pemodalan dari lembaga keuangan, terutama karena wilayah perairan yang bisa dijangkau sangat terbatas, sehingga kontinyuitas hasil tangkapan tidak ada. Di samping faktor skala, jenis alat tangkap juga mempengaruhi keberlanjutan usaha perikanan tangkap. Hasil penelitian Imron (2008) menunjukkan bahwa alat tangkap arad tidak bagus dikembangkan karena tidak memberikan keuntungan finansial baik dari segi NPV, IRR, maupun Net B/C ratio.

Hasil penelitian Bintoro (1995) terkait kebijakan perikanan tangkap menunjukkan bahwa keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya ikan perlu didukung oleh upaya terpadu berupa kegiatan pemanfaatan, pengawasan dari kerusakan, dan restocking period. Bila hal ini dilakukan, maka akan memberikan jaminan terhadap kelayakan dan keberlanjutan usaha perikanan tangkap yang banyak dilakukan oleh nelayan secara tradisional. Jaminan tersebut secara luas akan terlihat pada sumberdaya ikan potensial yang selalu ada, upaya pemanfaatan yang berlangsung terus, kesejahteraan dan kebutuhan hidup yang tercukupi bagi kehidupan sekarang tanpa mengabaikan kebutuhan generasi yang akan datang.

Hasil penelitian Suman et al. (1993) dan Nurani (2008) menyatakan bahwa pengembangan usaha perikanan tangkap untuk pesisir selatan Jawa termasuk Jawa Barat dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mengembangkan berbagai aktivitas bisnis pada usaha skala kecil atau skala menengah bidang perikanan tangkap. Pengembangan tersebut sebaiknya difokuskan pada komoditas unggulan daerah, pengembangan pelabuhan perikanan terutama yang berstatus PPP/PPI dalam bentuk penambahan fasilitas, pembinaan SDM, perbaikan pelayanan, peningkatan peran dari kebijakan dan kelembagaan di tingkat kabupaten. Pengembangan ini dapat djadikan acuan untuk pengembangan usaha perikanan tangkap di pesisir utara Propinsi Jawa Barat, dimana

pengembangan SDM dapat dijadikan prioritas. Hal ini sangat dibutuhkan untuk pengembangan kemitraan dengan lembaga keuangan.

Dokumen terkait