• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Usaha Perikanan Tangkap

Sebagai negara maritim terbesar di Asia Tenggara dengan panjang pantai lebih dari 80.000 kilometer, Indonesia memiliki peluang besar menjadi negara produsen unggulan di bidang perikanan. Apalagi, perikanan merupakan urat nadi penghasilan bagi mayoritas penduduk di kawasan pesisir. Indonesia menempati peringkat kelima dunia pada tahun 2004 sebagai produsen perikanan tangkap dan budidaya. Peringkat pertama adalah China, disusul Peru, Amerika Serikat, dan Cile. Produksi perikanan tangkap Indonesia pada 2007 berkisar 4,94 juta ton dan perikanan budidaya sekitar 3,08 juta ton yang menyumbang produk domestik bruto sekitar 3 %. Meski demikian, kiprah Indonesia masih tertinggal ketimbang negara tetangga dalam perdagangan internasional (FAO 2007).

Di Asia, Indonesia hanya menduduki peringkat keempat sebagai eksportir perikanan sesudah China, Thailand, dan Vietnam. Ekspor perikanan Vietnam kini sudah menembus 3 miliar dollar AS, sedangkan nilai ekspor perikanan Indonesia selama 2007 hanya 2,3 miliar dollar AS dengan pasar ekspor terbesar adalah AS, Jepang, dan Uni Eropa (UE). Pemerintah menargetkan nilai ekspor perikanan mencapai 3 miliar dollar AS pada tahun 2009. Namun, belum lagi mencapai target ekspor itu, Indonesia dihadang persoalan serius dalam stok perikanan nasional. Stok perikanan pada 2007 berkisar 6,4 juta ton dengan pemanfaatan mencapai 5,8 juta ton (90,6%) atau melampaui batas pemanfaatan sebesar 80% dari total stok. (Imron 2008). Menurut WALHI (2006) Indonesia memasuki krisis ikan pada 2015 jika ekosistem tidak diselamatkan. Persoalan ancaman stok perikanan itu merupakan akumulasi dampak dari penangkapan ikan yang berlebihan (overfishing), maraknya penangkapan ikan secara ilegal, dan perusakan ekosistem laut.

Usaha perikanan tangkap di Indonesia, hingga saat ini masih didominasi oleh usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), baik oleh nelayan penangkap maupun nelayan pengolah hasil tangkapan. Karakteristik tersebut dapat dilihat dari statistik perikanan pada tahun 2006 yang menunjukkan bahwa dari 412.497 unit armada perikanan yang digunakan oleh seluruh nelayan di Indonesia, sekitar

90,9% merupakan perahu tanpa motor, perahu motor tempel dan kapal motor yang berukuran di bawah 5 GT. Keadaan ini merupakan salah satu penyebab lambatnya pertumbuhan ekonomi sektor kelautan dan perikanan karena produktivitas usaha yang dijalankan relatif rendah. (DKP 2004a)

Akan tetapi pada tahun 2005, peran UKM terhadap penciptaan PDB nasional menurut harga berlaku tercatat sebesar Rp. 1.491,06 triliun atau 53,54 persen, kontribusi usaha kecil (UK) tercatat sebesar Rp. 1.053,34 triliun atau 37,82 persen dan usaha menengah (UM) sebesar Rp. 437,72 triliun atau 15,72 persen dari total PDB nasional, selebihnya adalah usaha besar (UB) yaitu Rp. 1.293,90 triliun atau 46,46 persen (Hermawan 2006).

Gambar 2 Proporsi kontribusi UKM dan usaha besar terhadap PDB Nasional tahun 2005 – 2006 (menurut harga berlaku).

Pada tahun 2006, peran UKM terhadap penciptaan PDB nasional menurut harga berlaku tercatat sebesar Rp. 1.778,75 triliun atau 53,28 persen dari total PDB nasional, mengalami perkembangan sebesar Rp. 287,68 triliun atau 19,29 persen dibanding tahun 2005. Kontribusi UK tercatat sebesar Rp. 1.257,65 triliun atau 37,67 persen dan UM sebesar Rp. 521,09 triliun atau 15,61 persen, selebihnya sebesar Rp. 1.559,45 triliun atau 46,72 persen merupakan kontribusi UB. Dalam hal penyerapan tenaga kerja, peran UKM pada tahun 2005 tercatat sebesar 83.233.793 orang atau 96,28 persen dari total penyerapan tenaga kerja yang ada, kontribusi UK tercatat sebanyak 78.994.872 orang atau 91,38 persen dan UM sebanyak 4.238.921 orang atau 4,90 persen (Depkominfo 2007).

37,82% 37,67% 15,72% 15,61% 46,46% 46,72% 0% 20% 40% 60% 80% 100% 2005 2006 Tahun P e rs e n tase UK UM UB

Untuk UK sektor Pertanian, Peternakan, Perhutanan dan Perikanan tercatat memiliki peran terbesar dalam penyerapan tenaga kerja yaitu sebanyak 38.039.281 orang atau 48,15 persen dari total tenaga kerja yang diserap. Sedangkan sektor ekonomi yang memiliki penyerapan tenaga kerja terbesar pada UM adalah sektor Industri Pengolahan yaitu sebanyak 1.727.038 orang atau 40,74 persen (Kompas 2003).

Gambar 3 Jumlah tenaga kerja usaha kecil tahun 2005 – 2006.

Pada tahun 2006, UKM mampu menyerap tenaga kerja sebesar 85.416.493 orang atau 96,18 persen dari total penyerapan tenaga kerja yang ada, jumlah ini meningkat sebesar 2,62 persen atau 2.182.700 orang dibandingkan tahun 2005. Kontribusi usaha kecil (UK) tercatat sebanyak 80.933.384 orang atau 91,14 persen dan usaha menengah (UM) sebanyak 4.483.109 orang atau 5,05 persen. Rincian penyerapan tenaga kerja pada UK dan UM di berbagai sektor disajikan pada Gambar 3 dan Gambar 4. Untuk UK sektor Pertanian, Peternakan, Perhutanan dan Perikanan tercatat memiliki peran terbesar dalam penyerapan tenaga kerja yaitu sebanyak 37.965.878 orang atau 46,91 persen dari total tenaga kerja yang diserap. Jumlah tersebut mengalami penurunan sebesar 73.403 orang atau 0,19 persen dari tahun sebelumnya. Sedangkan sektor ekonomi yang memiliki penyerapan tenaga kerja terbesar pada UM adalah sektor Industri

20

05

200

6

Listrik, Gas dan Air Bersih

Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Pertambangan dan Penggalian

Bangunan

Pengangkutan dan Komunikasi Industri Pengolahan

Jasa - Jasa

Perdagangan, Hotel dan Restoran

Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan

- 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000 30.000 35.000 40.000 R ibu Or a ng

Pengolahan yaitu sebanyak 1.827.073 orang atau 40,75 persen (Depkominfo 2007).

Gambar 4 Jumlah tenaga kerja usaha menengah tahun 2005 – 2006.

Gambaran mengenai perkembangan penyerapan tenaga kerja UK, UM dan UB tahun 2005 - 2006 disajikan pada gambar berikut.

91,14% 91,38% 5,05% 4,90% 3,82% 0,04% 0% 20% 40% 60% 80% 100% 2005 2006 Tahun Pe rs e n ta se UK UM UB 2005 2006

Pertambangan dan Penggalian Listrik, Gas dan Air Bersih

Bangunan

Pengangkutan dan Komunikasi

Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa - Jasa

Perdagangan, Hotel dan Restoran

Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan Industri Pengolahan - 200 400 600 800 1.000 1.200 1.400 1.600 1.800 2.000 Ri b u O ra n g

78.995 Ribu Orang 80.933 Ribu Orang 4.239 Ribu Orang 4.483 Ribu Orang 3.212 Ribu Orang 3.388 Ribu Orang 74.000 76.000 78.000 80.000 82.000 84.000 86.000 88.000 90.000 2005 2006 Tahun Ri bu O ra n g UK UM UB

Gambar 6 Jumlah tenaga kerja UKM dan usaha besar tahun 2005 – 2006.

Permintaan pasar dunia untuk konsumsi ikan akan terus menguat. Beberapa negara maju diperkirakan menjadi importir bersih produk perikanan pada tahun 2030 dengan volume impor mencapai 21 juta ton. Pasar ekspor China juga dinilai potensial dengan konsumsi diprediksi naik dari 33 juta ton pada tahun 1997 menjadi 53 juta ton pada tahun 2020. Untuk mengimbangi peningkatan permintaan tersebut, pemerintah berupaya meningkatkan produksi perikanannya. Memang produksi perikanan tangkap meningkat dari tahun ke tahun kendati tidak terlalu besar. Pada tahun 2005 total produksi perikanan tangkap mencapai 4,705 juta ton, pada tahun 2006 naik menjadi 4,769 juta ton, dan pada tahun 2007 menjadi 4,942 juta ton atau naik 3% dibanding tahun 2006. Rendahnya kenaikan produksi tersebut karena perikanan tangkap saat ini sifatnya pengendalian yang sudah ada, sebab hasil penangkapan selama ini sudah hampir mendekati batas penangkapan yang diperbolehkan (Citrasari 2004).

Tabel 2 Produksi perikanan di perairan laut dan perairan umum tahun 2000 – 2006 (satuan : ton)

Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Kenaikan

Rata-rata

Perairan Laut 3.807.191 3.966.480 4.073.506 4.383.103 4.320.241 4.408.499 4.468.010 2,74 Perairan Umum 318.334 310.240 304.989 309.693 330.880 297.369 301.150 2,55

Pembatas terbesar pada peningkatan produksi adalah kurangnya peningkatan teknologi, perluasan pasar dan biaya operasional yang tinggi, terutama bahan bakar yang mencapai 60% biaya produksi. Untuk itu diperlukan bantuan dari berbagai pihak untuk menyediakan modal usaha atau modal operasional yang meringankan nelayan dalam penggunaan sebelum dan setelah produksi. Mengingat masih banyak lembaga keuangan yang membatasi kredit atau penyaluran modal bagi usaha bidang perikanan, terutama perikanan tangkap (Sparre dan Venema 1999).

Usaha perikanan tangkap skala kecil dan menengah memang menghadapi banyak permasalahan. Secara umum dapat diangkat 4 (empat) faktor yang sangat dominan mempengaruhi keberhasilan upaya pengembangan usaha perikanan tangkap skala kecil (tradisional) ini, yaitu: pemasaran, produksi, organisasi, keuangan dan permodalan.

Produk perikanan mudah rusak dan tidak tahan lama (high perishable), sehingga pelaku usaha perikanan tangkap skala kecil dan menengah selalu berada pada posisi sulit untuk berkembang akibat harga jual produk yang diterima sangat rendah dan cenderung tidak sebanding dengan resiko maupun biaya yang telah dikeluarkannya (Kotler 1997). .

Usaha perikanan tangkap yang bergantung dengan laut sangat berbeda dengan bidang-bidang lainnya. Usaha perikanan tangkap di laut relatif lebih sulit diprediksi keberhasilannya karena sangat peka terhadap faktor eksternal (musim dan iklim) serta faktor internal (teknologi, sarana dan prasarana penangkapan ikan dan modal). Kerentanan dalam proses produksi akan mengakibatkan adanya fluktuasi dalam perolehan hasil tangkapannya (Pearce dan Robinson 1997).

Kelembagaan dalam pengelolaan usaha perikanan tangkap skala kecil dan menengah masih berada dalam taraf mencari bentuk kelembagaan yang tepat di dalam mengelola sumberdaya, baik ditinjau dari aspek aturan main (property rights) maupun organisasi (Karyana 1993 dan Umarwanto 2006). Konsekuensi dari organisasi dan aturan main yang belum kuat tersebut memberikan dampak pada lemahnya posisi usaha skala kecil ini dalam melakukan negosiasi kepada pihak lain. Berbagai upaya telah dilakukan oleh berbagai pihak dalam rangka menguatkan aspek organisasi ini, sehingga timbul adanya pola-pola kemitraan

antara pelaku usaha skala kecil dengan mitranya. Namun kebanyakan program pengembangan tersebut berjalan relatif tidak lancar (terseok-seok) (Hou 1997).

Salah satu isu masalah pokok yang krusial dan selalu menjadi momok pada usaha perikanan tangkap skala kecil dan menengah adalah permasalahan keuangan dan permodalan. Keterbatasan sumber modal ini bukan disebabkan oleh karena tidak adanya lembaga keuangan dan kurangnya uang beredar, namun disebabkan oleh karena tidak beraninya lembaga keuangan berkecimpung pada kegiatan usaha ini. Kondisi tersebut memang beralasan (bila ditinjau dari sisi ekonomi) karena kegiatan usaha penangkapan ikan skala kecil (tradisional) ini diperparah oleh ketidakpastian dalam memperoleh hasil tangkapannya. Sangat wajar apabila lembaga keuangan menghindari rasa ketakutan yang besar terhadap resiko kredit macet. Dalam kasus seperti ini biasanya lembaga keuangan menetapkan syarat agunan (collateral) yang tinggi dan sulit untuk dapat dipenuhi oleh para pelaku usaha penangkapan ikan skala kecil (tradisional)( (Nurani dan Wisudo 2007).

Menurut Ihsan (2000), keterkaitan pengembangan usaha perikanan tangkap di Indonesia dengan lembaga keuangan dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Skema hubungan lembaga keuangan dengan usaha perikanan tangkap dan komponen-komponennya.

Sektor Usaha Perikanan Tangkap

Teknologi Sumberdaya Manusia Sarana dan Prasarana Komersial

Intervensi Lembaga Keuangan

2.2 Sumber-Sumber dan Model-Model Pendanaan Usaha bagi Usaha

Dokumen terkait