• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PEGADAIAN SYARIAH DI INDONESIA

O. Sumber Pendanaan

Pegadaian sebagai lembaga keuangan tidak diperkenankan menghimpun dana secara langsung dari masyarakat dalam bentuk simpanan, misalnya giro, deposito, dan tabungan. Untuk memenuhi kebutuhan dananya, perum pegadaian memiliki sumber-sumber dana sebagai berikut:

1. Modal sendiri

2. Penyertaan modal pemerintah

3. Pinjaman jangka pendek dari perbankan

4. Pinjaman jangka panjang yang berasal dari Kredit Lunak Bank Indonesia

5. Dari masyarakat melalui penerbitan obligasi.38

Aspek syariah tidak hanya terkait pada bagian operasionalnya saja, pembiayaan kegiatan dan pendanaan bagi nasabah, harus diperoleh dari sumber yang benar-benar terbebas dari unsur riba. Dalam hal ini, seluruh kegiatan pegadaian syariah termasuk dana yang kemudian disalurkan kepada nasabah, murni berasal dari modal sendiri ditambah dana pihak ketiga dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Pegadaian telah melakukan kerja sama dengan Bank Muamalat sebagai fundernya, ke depan pegadaian juga akan melakukan kerja sama dengan lembaga keuangan syariah lain untuk mem-back up modal kerja.39

38

Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah.., hlm. 398

39 Ibid.

BAB II

LANDASAN REGULASI

PEGADAIAN SYARIAH

DI INDONESIA

Hadirnya praktek gadai syari‟ah ini disebabkan karena koreksi system gadai yang berlaku sejak zaman Belanda. Pegadaian syariah menggunakan jenis akad utang piutang dengan menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara‟ sebagai jaminan, sehingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utang. Namun dengan syarat kemanfaatan tersebut pihak harus jelas dan ditentukan dengan masa (penggunaan dan pemanfaatan suatu barang) atau pekerjaan (kemanfaatan seseorang berupa tenaga dan keahlian melakukan suatu pekerjaan), juga dengan syarat kemanfaatan hukum dihitung tersebut al-Ain masuk ke dalam utang yang ada.40

Akad tersebut bertujuan meminta kepercayaan dan menjamin utang, bukan mencari keuntungan dan hasil. Selama dua itu demikian keadaannya, maka orang yang memegang gadaian (murtahin) memanfaatkan barang yang digadaikan sekalipun

40

Ade Sofyan Mulazid, Kedudukan Sistem Pegadaian Syariah, Jakarta: Kencana, 2016, hlm.1

diizinkan oleh dua orang yang menggadaikan (rahin). Tindakan memanfaatkan barang gadaian adalah tak ubahnya qiradh yang mengalirkan manfaat, dan setiap bentuk qiradh yang mengalirkan manfaat adalah riba.41

Soedewi menyatakan bahwa bentuk lembaga jaminan sebagian besar mempunyai ciri-ciri internasional, dikenal hampir di semua Negara dan perundang-undangan modern, bersifat menunjang dalam perkembangan ekonomi dan perkreditan, serta memenuhi kebutuhan masyarakat akan fasilitas modal.

Djoko Muljadi menerangkan bahwa peran serta lembaga jaminan di dalam pembangunan ekonomi suatu negara merupakan unsur yang sangat penting, maka hukum Jaminan tergolong bidang hukum yang akhir-akhir ini secara popular disebut Hukum Ekonomi (The Economic Law), Wiertshaftrecht atau Droit de Economique yang mempunyai fungsi untuk memajukan suatu ekonomi, sehingga bidang hukum demikian pengaturannya dalam undang-undang perlu diprioritaskan. Adapun bentuk-bentuk lembaga jaminan tersebut antara lain adalah Gadai, Fidusia, Hipotek, Borgtocht dan masih banyak lagi.

Subekti menyebutkan bahwa suatu lembaga jaminan

mempunyai tugas melancarkan dan mengamankan pemberian kredit, maka jaminan yang baik (ideal) antara lain:

1. yang dapat secara mudah membantu perolehan kredit itu oleh pihak yang memerlukannya;

2. yang tidak melemahkan potensi (kekuatan) si pencari kredit untuk melakukan (meneruskan) usahanya;

3. yang memberikan kepastian kepada si pemberi kredit, dalam arti bahwa barang jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi,

41

yaitu bila perlu dapat mudah diuangkan untuk melunasi utangnya si penerima kredit.

Munir Fuady menyebutkan bahwa dalam prinsipnya campur tangan sektor yuridis untuk mengatur masalah perkreditan adalah untuk memenuhi beberapa unsur yaitu safety, soundness, dan

without substantial risk; perlindungan yang seimbang antara nasabah

dan bank; dan, menjamin berjalannya kompetisi dan efisiensi.42 Landasan operasional sangat berperan dalam berdirinya pegadaian syariah di Indonesia, terlebih karena mayoritas masyarakat Indonesia itu sendiri menganut agama Islam sehingga mempermudah penerimaan pegadaian ini di mata masyarakat luas. Adanya sistem berbasis syariah yang menekankan prinsip-prinsip ajaran Islam yang tentunya menjadi salah satu poin yang menjadi perbedaan antara pegadaian syariah dengan pegadaian konvensional. Oleh karena itu pegadaian syariah memiliki prinsip tersendiri terutama dalam melaksanakan kegiatan usahanya, yang tidak mungkin bisa dikompromikan dengan sistem yang berlaku pada pegadaian konvensional.43

Adapun ijma, maka kaum Muslimin telah berijma tentang bolehnya akad ar-Rahn. Adapun al-Kafaalah dan pengukuhan kata utang dengan hanya berbentuk bukti tertulis atau dengan mempersaksikannya, maka jaminan kemashlahatan pihak yang berpiutang tetap tidak sekuat jaminan yang didapatkannya dari barang gadaian. Karena penggadaian adalah pengukuhan dan

42

Budiman Setyo Haryanto, Kedudukan Gadai Syariah (Rahn) dalam Dalam Sistem Hukum Jaminan Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 10 No. 1 Januari 2010, hlm. 23

43

Rachmad Saleh Nasution, Sistem Operasional Pegadaian Syariah, Al-Tijary, Vol. 01, No. 02, Juni 2016, hlm.170

penjaminan utang dengan barang itu langsung dipegang sendiri oleh pihak yang berpiutang (al-Murtahin), dan ia akan lebih mudah untuk mendapatkan pembayaran utang dengan menjual barang itu dengan izin hakim atau pemiliknya yang menggadaikannya. Akad gadai juga lebih memberikan kemaslahatan bagi pihak yang tidak menggadaikan karena dirinya bisa mendapatkan sesuatu (utang) yang dibutuhkannya secara tunai, atau dirinya bisa menangguhkan harga pembayaran barang yang dibelinya dengan menyerahkan suatu barang miliknya kepada pihak penjual sebagai barang gadaian. Oleh karena itu, akad gadai bisa menciptakan kemashlahatan kedua belah pihak. 44

Pelegalan merupakan salah satu aspek penting dalam upaya penerapan pegadaian yang berbasis syariah. Atas dasar itu lah terdapat beberapa landasan operasional pegadaian syariah di Indonesia, diantaranya diambil dari Kitab suci Al-Quran, Hadis, Regulasi, Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), dan Kaidah Fikih. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut: