• Tidak ada hasil yang ditemukan

Suku Bugis Makassar terkenal sebagai pelaut yang ulung degan menggunakan perhu-perhu layar phinisi dan lambo mengarungi perairan Nusantara. Mereka berlayar sejak abad XV ke Jawa, Sumatra, Kalimantan, Malaka, bahkan sampai ke Manila. Perkampungan suku Bugis Makassar terdapat di daerah yang pernah dikunjungi. Ada juga yang menetap sementara sambil menunggu angin musim barat maupun angi musim timur yang berhembus membawa perahu layar ketempat tujuan. (Mattulada, 1982:6-8).

Pelayaran suku Bugis Makassar yang sampai ke pantai utara Australia, diperkirakan telah berlangsung sebelum orang Belanda menetap di Somba Opu, sekitar abad XVII. (Cense, A.A.,dan Heeren, H.J, 1972:14). Mereka berlayar untuk mencari tripang yang sangat laku dalam perdagangan dengan orang Cina. Rute pelayaran yang dilalui, yaitu dari bandar Somba Opu menyusuri pilau Selayar, Wetar, Leti, Moa dan selanjutnya ke selatan tenggara pelabuhan Darwin.

Menurut Stapel dalam bukunya Het Bongaaisch Verdragh mengatakan bahwa: Dit wetboek is door Mahmoed Syah, die van 1424 tot 1445 of 1450 als soeverein over Malaka heersto, op geschreven uit de mond vand oude Makassarse zeelieden, welke toen de havens van zijn rijk bezochten. Uit enkele bepaligen en de bijgevodgde lijst van tarieven o.m. geregeld voeren op Java (Semarang), Soembawa (Bima), Timor, Bengkoelan, Atjeh, Perak, Malaka, Djohor, Palembang, Bandjarmasin en Manila. (Stafel, F.W., 1922:1).

(Sultan Mahmud Syah yang bertahta di Malaka dari tahun 1424 sampai 1445 atau 1450, telah mencatat dari mulut nachoda tua orang Makassar yang mengunjungi bandar-bandar dalam kerajaanyanya, sebuah undang-undang pelaut Kerajaan Makassar dan Bugis. Bahwa dari beberapa ketentuan dan dari tarip tambang yang terlampir ternyata, bahwa dikala itu orang-orang Makassar dan Bugis antara lain telahh tetap berlayar ke Djawa (Semarang), Soembawa (Bima), Timor, Bengkulu, Atjeh, Perak, malaka,Johor, Palembang, Banjarmasin dan Manila.

Dalam catatan I Lagaligo juga disebutkan ekspedisi Sawerigading seorang tokoh legendaris dari Luwu, menaklukan daerah timur laut Sulawesi dan menaklukan pelayaran sampai ke negri Cina. Kontak dengan semenanjung Melayu juga dilakukan, dikatakan bahwa Mangkubumi Raja Gowa, Karaeng Tunipasuru (1500-1547) ke

Malaka dan Johor, untuk membayar piutangnya. (Abdul Rahman Al-Ahmadi, 1987:1).

Peranan pedagang Bugis wajo yang tinggal di Somba Opu, berhasil mengembangkan sistem perdagangan dan pelayaran abad XVII. (Mattulada, 1982:8). Sorang pemimpin Wajo bernama Amnna Gappa diangkat untuk memimpin pedagang Bugis. Ketika itu ada tiga jenis masyarakat pedagang, yaitu:

1. Saudagar atau pedagang besar

2. Pedagang yang menetap di toko dan kedai

3. Pedagang yang berjalan yang menunjukkan dagangnya secara berkeliling

Sudagarlah yang menandatangani barang-barang dagangan dari luar seperti Eropa, Cina, pedagang yang menetap menerima barang-barang itu dan menyalurkan ke pedagang kelontong.

Adapun karya Amanna Gappa yang sampai saat ini masih dipergunakan pelaut dan pedagang Bugis Makassar adalah Hukum pelaut dan Perdagangan yang berisikan 21 pasal. Merupakan hasil rumusan dari perantauannya di Nusantara dan pengaruh dari pedagang Melayu, sesuai ajaran Islam yang berlandaskan persaudaraan dan kejujuran.Dalam karya Amanna Gappa dikenal pula sistem pembagian kerja untuk kelancaran bagi pedagang, yang melakukan pelayaran dan perdagangan, seperti tercantum dalam pasal 6 dimana para pemilik modal akan memberikan kepercayaan kepada nahkoda, jika memenuhi lima belas syarat, yaitu:

1. Bila ada senjatanya berat dan rincian dengan peluru, dengan kata kata lain perahu dilengkapi senjata.

2. Bila perahunya kuat, berarti mutu perahunya baik.

3. Bila ada modalnya untuk berdagang, jadi para nahkoda disamping cakap mengemudi kapal, juga dilengkapi fasilitas perdagangan serta modal.

4. Bila rajin dan teliti dalam pelayaran.

5. Dapat mengawasi kelasinya, yaitu anak buah kapal. 6. Dapat membela kelasinya didalam kebenaran. 7. Bila ia sudi menerima nsihat nasihat orang lain .

8. Bila ia jujur terhadap kelasinya dan juga kepada orang lain dan terhadap tuhan. 9. Bahwa ia harus memandang kelasinya sebagai anak sendiri.

10.Ia tidak jemu memberi pelajaran mengenai alat-alat pelayaran . 11.Ia harus penuh kesabaran.

13.Bila ia rela bersusah payah mengurus dagangan kelasinya. 14.Bila ia rela mengongkosi perahunya.

15.Bila ia mengetahui benar-benar jalan pelayaran, jikalau ia tidak mengetahui jalan pelayaran, dicarinyalah seorang penunjuk jalan, yang mengetahui benar-benar jalan pelayaran itu, Diupayakanlah ia (sipenunjuk jalan), atau menolongkah ia secara percuma, tergantung dari persetujuan mereka. Apa-apa saja yang mereka sukai, itulah yang menjadikan (supaya terlaksana). (Tobing, P.O.L., 1977:85). Jadi jelas tugas seorang nakhoda yang mengepalai semua urusan yang berhubungan dengan barang dan muatan. Untuk kelancaran dalam pelayaran dan perdagangan, maka setiap kapal mempunyai awak kapal yang bertugas tergantung kaehliannya. Terdapat pula awak kapal yang tidak punya keahlian, terdiri dari orang merdeka dan budak. Masyarakat Bugis Makassar mengenal pula pola organisasi usaha, baik dalam bidang pertanian pallaonruma, perdagangan dan pelayaran pasompe atau nelayan pakkaja. Menurut Mattulada, pola kerja yang ada tercermin dalam hubungan kerja punggawa-sawi, tata kerja punggawa sawi telah diterapkan sejak abad XV, dimana suku Bugis Makassar telah melakukan pelayaran dan perdagangan. Sisitem tersebut menguraikan hubungan tata kerja antara penggawa sebagai pemimpin dan sawi sebagai anak buah.

Punggawa berarti pemimpin atas sejumlah orang yang disebut sawi, untuk sesuatu kerja tertentu, baik yang berlangsung lama maupun dalam waktu singkat untuk terselenggaranya sesuatu kegiatan kerja. Dalam hubungan kegiatan kerja, punggawalah yang memiliki modal untuk membiayai kegiatan kerja. Punggawa terdiri dari punggawa lompo (punggawa besar) sebagai pengawas dan punggawa caddi (punggawa kecil) sebagai tehnis yang memiliki keahlian.(Mattulada, 1986:3). Tata kerja punggawa-sawi dalam usaha nelayan, yaitu punggawa pakkaja (pemimpin nelayan) sebagai pemilik modal mempercayakan kepada pemimpin tekhnis atau punggaw kecil dan para sawi sebagai anak buah yang bekerja sesuai kemampuannya. Ada yang mengatur layar, mendayung, mengatur tali-temali. Demikian halnyadalm perdagangan, punggawa besar besar sebagai pemilik modal serta memiliki fasilitas berupa gudang untuk menyimpan komoditi perdagangan. Para sawi yang bekerja mengumpulkan dan membeli langsung hasil pertanian ke pedalaman utamanya beras, kemudian ditampung di gudang beras untuk selajutnya disalurkan ke pasar atau kedai.

Untuk mengisi kas Kerajaan Gowa, para bangsawan banyak yang terlibat dalam perdagangan. Ketika bandar Somba Opu mulai ramai dikunjungi oleh para pedagang, mereka ikut aktif dalam perdagangan beras dan rempah-rempah. Menurut Admiral van der Hagen tahun 1607, Mangkubumi Raja Gowa, Karaeng Matoaya (1573-1637), telah melakukan usaha perdagangan rempah-rempah dengan mendirikan perwakilan dagang di Banda yang setiap tahunnya dikirimi beras dan pakaian. (Van Leur, J.C., 1960:110), (Schrieke, B.J.O:1960:68).

b) Sistem Perdagangan

Transaksi dagang pada waktu itu umunya dilakukan secara barter. Beras dan barang lainnya yang dibeli di pelabuhan bagian barat oleh pedagang Bugis Makassar, kemudian dijual secara barter dengan rempah-rempah. Penukaran secara barter didasarkan pada perbandingan kesatuan yang telah ditetapkan oleh kedua belah pihak. Sistem penukaran seperti ini berlaku juga untuk barang dagangan yang berasal dari negara asing, misalnya pertukaran antara kain buatan India dalam kesatuan potong dengan rempah-rempah dalam kesatuan bahar. Bahar digunakan sebagai kesatuan berat dan sering berbeda ukurannya disetiap tempat, seperti bahar Maluku= 600 pond, sedangkan bahar Malaka= 550 pond.(Van Leur, J.C,1974:111).

Di Bandar Somba Opu orang Portugis sering membawa tunai berupa mata uang timah Cina untuk diserahkan kepada pedagang Bugis Makassar yang akan pergi ke Maluku untuk membeli rempah-rempah. Para pedagang Bugis Makassar yang menerima semacam uang memberikan jaminan secara tertulis. Surat tanda terima ini ditulis dalam bahasa Melayu. (Schrieke,1960: 20-21).

Sistem barter yang digunakan para pedagang antara pedagang asing dan lokal, berupa tukar menukar barang dagangan yang diperlukan. Seperti pakaian, senjata, dan porselen dibawa oleh para pedagang dari Cina, Gujarat dan Portugis. Kemudian ditukar ke pedagang Bugis Makassar untuk selanjutnya barang tersebut dibawa ke pelosok Sulawesi, Kalimantan, Maluku, dan Nusatenggara untuk ditukar dengan rempah-rempah, kayu cendana dan kayu sapan, kemudian dijual lagi ke pedagang asing. (La Side,1970:14).

Adapun alat tukar uang di Bandar Somba Opu sekitar abad XVII, yaitu telah dibuat mata uang dari emas atau timah disebut dinara yang berbentuk kecil, semua menggunakan tulisan Arab. Mata uang dari timah disebut banggala. Pada masa Karaeng Matoaya telah didirikan percetakan uang yang sangat menunjang bagi kelancaran perdagangan di Bandar Somba Opu. Atas anjurannya mata uang emas dan

perak dicetak, walaupun pada akhir tahun 1850 terjadi devaluasi emas yang semua masih bertahan nilainya sebesar 4 shilling Inggris atau 0,8 real Spanyol. (Anthony Reid,1981:12).

Salah satu penghasilan terpenting bagi Kerajaan yaitu hasil perdagangan dan pemberian dalam bentuk barang maupun uang. Para bangsawan bertindak pula sebagai pedagang dan memberikan saham kepada pedagang yang dimodalinya atau menjadi calo dengan hak komisi, jual total penjualan kemudian dibagi tiga, sepertiga pertama dan sepertiga kedua masing-masing untuk pemilik modal, sisanya digunakan untuk mengembalikan pengongkosan peralatan dan awak kapal.

Para bangsawan dan orang kaya bukanlah saudagar dalam arti yang sebenarnya. Mereka “berdagang” dalam bentuk Commenda, yakni menyerahkan barang dagangan kepada orang lain untuk diperdagangkan, ataupun hanya memberi uang sebagai modal. (VanLeur,1960:229-328). Misalnya hartawan yang menyerahkan dagangannya berupa rempah-rempah dan kain tenunan kepada saudagar dalam perjanjian bagi laba menurut ketentuan yang berlaku (persentasi laba dibagikan bisa berbeda) juga dalam pelayaran, apabila pemilik kapal adalah raja sistem laba juga dipakai menurut ketentuan yang berlaku.

Adapun aturan yang berlaku dalam Kerajaan Gowa tentang cara berdagang maupun berlayar, sesuai hukum Amana Gappa, seperti dalam pasal 1 ditetapkan dafta sewa bagi yang berlayar, antara lain:

Apabila orang naik diperahu di daerah Makassar, di daerah Bugis, di Paser, di Sumbawa, di Kaili, pergi ke Aceh, ke Kedah, ke Kamboja, sewanya tujuh rial dari tiap-tiap seratus. Apabila orang naik di perahu di Makassar ke Selayar, sewanya dua setengah dari tiap-tiap seratus. (Tobing,1977:49).

Sedangkan aturan tentang cara berjualan, diungkapkan dalam pasal 7, bahwa ada 5 jenis cara berjualan:

1. Berkongsi sama banyak 2. Samatula

3. Hutang tanpa bunga 4. Hutang kembali 5. Kalula

Adapun berkongsi sama banyak yaitu cara berdagang dengan menanggung resiko sama-sama, memikul bersama keuntungan dan kerugian. Tetapi kerugian yang dipikul

bersama hanya terbatas pada tiga hal, yaitu apabila barangnya rusak dilautan, dimakan api atau kecurian.

Sedangkan yang tidak dipikul besama (ditanggungoleh pelaksana perdagangan), yaitu:

1. Dijudikan 2. Dipelacurkan

3. Digunakan untuk beristri 4. Diboroskan

5. Dipinjamkan 6. Dimadatkan

7. Diberikan untuk makan kepada (yang menjadi) tanggungannya

Adapun yang disebut samatula adalah empunya barang yang dualan yang memikul segala kerusakannya. Jika bukan cara berjualan yang dilakukannya sehingga rusak, maka penjualah yang menanggungnya. Labanya dibagi tiga, dua bagian diambil oleh empunya dagangan dan sebagian diambil oleh si pembawa.(Tobing,1977:58).

Mengenai utang tanpa bunga, si pemberi utang hanya menagih saja jika sudah sampai janjinya. Perjanjian dengan utang yang bisa kembali, terlebih dahulu ditetapkan sesuai harga barang. Kalau laku atau rusak, maka membayarlah yang berhutang. Kalau tidak laku atau tidak beganti rupa, maka barang boleh dikembalikan. Perihal utang disamakan dengan perihal jual beli, yakni harus bercermin adat, segala hal telah ditetapkan menurut peraturan-peraturan tertentu.

Dalam pasal 9, disebutkan bahwa sesama penjual tidak tunggu menungg kekeliruan, misalnya dalam hal bayar membayar. Setelah diterima, barulah diketahui tidak cukup pembayarannya atau atau ada robek bagi barang yang berlembar. Sebab tidak boleh mengembalikan barang yang telah diputuskan harganya, kalau ternyata sama dengan pedagang. (Tobing,1977:58-65).

Kalula atau disebut juga anak guru, merupakan orang yang dipercayakan menjual barang dagangan. Kalula tidak mungkin bercerai dari pemilik barang yang sudah dianggap sebagai atasannya. Sehingga dalam membuat perjanjian tidak memberatkan keluarganya, jika barang rusak karena kesalahan sendiri, kalula sendiri yang menanggung, keluarganya tidak ikut menanggung resiko. (pasal 18)

Mengenai bayar membayar utang piutang termasuk membayar laba, dinyatakan dalam pasal 17, jika dipinjamkan barang jualan, maka haruslah dibayar dalam bentuk barang jualan juga. Jika barang jualan dipinjam dan dibayar dengan uang, maka tergantung pada persetujuan mereka.(Tobing,1977:84).

Asama Gappa juga menyatakan dalam pasal 21, mengenai utang bagi laba, yaitu: Jangan mengambil uang bagi laba pada orang yang lebih berpengaruh daripada engkau dan juga jangan beri dia berutang bagi laba. Adapun keburukannyasering dia tidak mau mengikuti peraturan bea perdagangan. Jika berutang bagi laba, sesuaikanlah dengan harga miliknya beserta (harta) golongan keluarga yang dekat.

Disarankan bahwa yang meminjamkan barang itu berkeras kepala menuntut bayaran, hendaklah ditaati peraturan yang sudah ditetapkan itu. (Tobing,1977:67).

Jika berutang yang membayar dan masih belum mencukupi pembayarannya, maka ditaksirkan harga segala barang miliknya sendiri. Juka telah habis harga miliknya dibayarkan dan belum mencukupi pembayarannya, maka lunaslah utangnya. Tidak boleh lagi dibayarkan atau ditagih, meskipun ada rezeki dikaruniakan oleh Allah Ta’ala sesudah dibayarkan harta miliknya. Tidak boleh (pula) ditagih lagi, oleh karena dia sebagai orang yang merdeka seperti kita, tidak boleh dari lingkungannya.

Berarti orang yang berutang dianggap telah melunasi utangnya (meskipun masih kurang daripada utang sebenarnya). Dianjurkan para majikan memberi pekerjaan, yaitu berdagang kembali. Jika kelak memperoleh rezeki, dapat melunasi segala utangnya.

c) Komoditi Perdagangan

Para pedagang datang ke Bandar Somba Opudari berbagai suku dan masing-masing membawa komoditi perdagangan. Pedagang Asia seperti dari Melayu, Cina, India, dan Arab membawa kain tenun, kain sutra, porselen, barang pecah belah dan perhiasan, sedangkan Portugis membawa pakaian. Menurut memorandum Belanda tentang perdagangan di kepulauan Indonesia tahun 1603, bahwa tiap-tiap tahun kapal Portugis ke Somba Opu membeli pala, bunga pala dan budak. Semua pembelian tersebut ditukarkan dengan pakaian. (M.A.P, Melink Roelofs,1962: 163).

Selain itu orang-orang Portugis yang berdagang di Somba Opu mendapatkan suplai beras sebagai produksi dalam negeri, juga terdapat kulit penyu dalam jumlah besar. Orang-orang Jawa membeli kulit penyu dalam jumlah besar untuk selanjutnya

dijual ke Malaka. Jika pasaran rempah-rempah sedang sepi di Bandar Somba Opu, maka pedagang Portugis mengganti muatannya dengan memuat beras untuk dibawa ke Malaka. (Melink,1962:163-164).

Berbagai macam komoditi perdagangan didatangkan ke Bnadar Somba Opu, seperti rempah-rempah dari Maluku, kayu garahu dan lilin dari Timor dan Solor, intan dan batu bezoar dari Kalimantan. Pakaian dalam jumlah besar dibawa oleh pedagang Melayu, kemudian dijual ke pedagang Bugis Makassar, untuk selanjutnya di perdagangkan ke pelosok daerah Sulawesi Selatan, Kalimantan, Mindanau, Maluku, Ambon, Seram, Kei, Tanimbar, Solor, Ende, Bima, Bali, dan Jawa. (Schrieke, :68).Sekembalinya dari daerah-daerah tersebut pedagang Bugis Makassar akan memuat kapalnya dengan komoditi perdagangan dari daerah yang dikunjungi.

Komoditi budak ternyata dibutuhkan oleh pedagang asing untuk dipekerjakan sebagai tenaga kasar dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan. Diberitahukan bahwa pernah kapal Belanda menangkap kapal Portugis yang berlayar dari Somba Opu, dengan muatan 150 bahar pala, cengkeh, serta sejumlah budak laki-laki dan budak perempuan. (Melink Roelofsz,1962:163).

Hasil utama yang diperdagangkan di Bandar Somba Opu adalah produksi beras dari daerah pedalaman. Maros dan Takalar adalah daerah pedalaman yang subur sebagai produksi beras, sedangkan Bantaeng adalah lumbung beras kerajaan Gowa. (Mattulada, 81). Demikian pula dengan kerajaan Bugis seperti Bone, Wajo, Sengkang dan Soppeng merupakan kerajaan agraris yang menghasilkan beras. Menurut Anthony Reid, bahwa beras yang terdapat di bendar Somba Opu adalah kiriman dari daerah Maros. Sekitar tahun 1610 daerah Maros menghasilkan beras tidak kurang dari 1000 ton tiap tahun, cukup untuk memberi makan sejumlah 6000 orang. Namun surplus ini lenyap sejak tahun 1620, sehingga untuk kelangsungan perdagangan beras dan untuk memenuhi kebutuhan dalam negri, maka Kerajaan Gowa mendatangkan beras dari daerah takluknya seperti Bima. Diperkirakan tiap-tiap tahun sekitar 40 perahu Bugis Makassar mengambil muatan beras ke Bima. (Anthony Reid, 1626:90).

Di sekitar Kerajaan Gowa, juga diusahakan memproduksi beras, menurut catatan lontara menyebutkan bahwa rakyat dikerahkan untuk menanam padi di daerah karebosi (dekat benteng Ujung Pandang), pelaksananya mulai berlangsung pada tanggal 24 Desember 1636. (Lontara Bilang Gowa Tallo, 1985-1986:94). Sedangkan untuk menampung beras yang datang dari daerah pedalaman atau darah takluk

kerajaan Gowa dan Dri daerah lainnya, maka dibuat lumbung padi di depan Maccini daggang.

Lumbung padi atau gudang beras yang dibuat oleh kerajaan Gowa, maksudnya untuk menampung dan tidak diperjual belikan hingga panen, menjaga pada wkatu musim paceklik Kerajaan Gowa tidak kekurangan beras. Raja sebagai pembeli utama perdagangan beras, beras dalam jumlah besar hanya boleh dibeli oleh raja, terutama yang berhubungan dengan pedagang asing. (Burger, D.H., 1956:64). Dengan demikian pendapatan kerajaan Gowa banyak diperoleh dari perdagangan beras dengan pedagang asing, disamping rempah-rempah dan komoditi lainnya.

Walaupun bandar Somba Opu bukan daerah penghasil rempah-rempah, namun rempah-rempah dalam jumlah yang besar diperdagangkan di bandar Soma Opu. Pedagang asing lebih aman membeli rempah-rempah di bandar Somba Opu dari pada Maluku, apalagi sejak basis perdagangan direbut Belanda pada tahun 1607. (Anhony Reid, 1983:9). Somba Opu merupakan alternatif untuk membeli rempah-rempah. Keadaan tersebut dimanfaatkan oleh pedagang Bugis Makassar dengan melakukan perdagangan selundupan ke Maluku untuk membeli rempah-rempah. Bahkan pedagang Bugis Makassar mengatur sedemikian rupa sehingga harga rempah-rempah lebih murah di bandar Somba Opu dari pada Maluku. (Stapel, F.W., 1922:9).

Komoditi lainnya didatangkan dari daerah Selayar, yaitu pulau yang terletak diseberang arah selatan bandar Somba. Pulau ini menghasilkan produksi laut seperti tripang, agar-agar dan kulit penyu, komoditi ini sangat diminati pedagang Cina. Selain itu hasil hutan juga diperdagangkan, yaitu kayu hitam dari Palopo, pembuatan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah.

Mengenai perdagangan kayu hitam telah berlangsung sejak abad XVI, terbukti bahwa bangsa Portugis yang pertama kali ke Somba Opu tahun 1538, selain menyebarkan agama Nasrani juga berdagang. Kapal-kapal Portugis meninggalkan bandar Somba Opu dengan membawa muatan, terdiri dari kayu hitam, emas dan senjata api, kemudian melanjutkan perjalanan ke Maluku. Pada tahun 1543 Gubernur Portugis di Maluku mengirim kapal Portugis untuk berdagang kayu hitam di bandarSomba Opu. (Mattulada, 1986:27). Sejak saat itu pedagang-pedagang Portugis secara rutin melakukan perdagangan kayu hitam.

Komoditi yang memerlukan ruang yang luas seperti kayu hitam, rupanya menarik minat para pedagang. Tidak hanya barang yang tidak memerlukan ruang yang luas,

seperti sutra atau barang lux lainnya yang diperdagangkan. Hal ini ditegaskan Amanna Gappa dalam pasal 1, bahwa:

Disebutkan jenis dagangan yang membutuhkan ruangan luas yakni beras, garam, kapas, tembakau bakala (untuk dipakai makan sirih), gambir, agar -agar, dan kayu. Barang tersebut dikenakan bayaran sima biring, yakni 1/11 bagian dari jumlah modal. Barang yang tidak mengambil ruangan luas tetapi berharga tinggi seperti mata uang, emas, batu permata, kain sutra, kemenyan, bayarannya seperdua dari sewa balu reppi. (Tobing, P.O.L., 1977:49).

Diberitakan pula dalam catatan harian Belanda mengenai pelayaran dan perdagangan kapal-kapal dagang ke berbagai daerah penghasil komoditi perdagangan. Antara lain menyebutkan bahwa, pada tanggal 2 januari 1641, sebuah lamboe,(jenis perahu layar) berangkat ke Somba Opu dengan muatan pakaian, porselen, besi tua dan asam jawa dari Batavia. (Chijs, J.A. Van Der., 1640-1641). Sedangkan pedagang-pedagang dari kapal-kapal Bugis Makassar pada tahun 1641 membawa muatan berupa, cengkeh sejumlah 50 bahar seharga 100 ringgit, dan kulit penyu. Pada tanggal 3 Agustus, kapal Spanyol mengadakan pelyaran ke Bangkok, berangkat dari bandar Somba Opu dengan muatan 160 pikul kayu cendana, 90 pikul cengkeh, dan sejumlah serabut untuk tali, 800 ikat rotan.

Adapun kontak antara kerajaan –kerajaan yang ada di Nusantara, antara lain disebutkan bahwa Raja Gowa pernah mengutus seorang duta ke Aceh. Utusan tersebut berangkat dari Somba Opu pada tanggal 16 Nopember 1641 dengan membawa muatan berupa hadiah dari raja Gowa, terdiri dari 1 kantong kesumba (zat pewarna), 1 potong pakaian yang halus dengan 3 keris, beberapa burung cendrawasih. Duta tersebut disambut dengan barisan gajah, 10 pembawa bendera, 10 orang meniup suling dan pemukul tambur. Sedangkan pedagang Bugis Makassar dalam melakukuan memuat barang dagabgan ke Malaka, mereka memuat barang dagangan berupa sejumlah pakaian dari Gujarat, Bengal, dan Coromandel srta sejumlah besar kemenyan dan dupa. (Melink Roelofsz, 1962:86). Selain pakaian, kapal dagang tersebut tersebut mengisi muatan berupa sutra dari Macao, dan barang pecah belah dari Cina. (Schrieke, B.J.O.,1960:68).

Adapun daerah-daerah penghasil komoditi perdagangan, serta tujuan perdagangannya, disebutkan dalam catatan Cornelis Speelman, sebagai berikut: (Noorduyun,.J., 1670:119-120).

Barang Dagangan Dari Daerah Tujuan ke Agen

- Agurhout Sukadana Aceh

- Amber (batu) Timor,

Tanimbar,Solor Aceh - Bekkens (baskon) Macao Aceh - Besoarsteen (zimat)

Kamboja, Macao Aceh

- Buffels

(kerbau)

Banjarmasin, Brunai Aceh

- Bijiltijs

(kapak kecil)

Sukadana Timor, Manggarai, Tanimbar, Alor - Damar Pesisir, Kutai Siam

- Diamant (bebda dari intan) Sukadana Siam - Djatihout (kayu jati) Sulu Siam - Geld/Spaan (uang)

Sulu, Manila, cebu Macao, Jawa

- Gommelak (karet,

perekat)

Comboja Macao, Jawa

-Gongen (gong)

Macao Manggarai, Timor,

Dokumen terkait