• Tidak ada hasil yang ditemukan

Disertasi ini disusun dengan menggunakan metode sejarah dan memanfaatkan berbagai macam sumber yang mencakup sumber tertulis sezaman, sumber lisan, sumber visual, audio visual, historiografi, dan kajian seni pertunjukan.44 Penggunaan berbagai macam sumber itu didasari oleh dua pertimbangan. Pertama,

43Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta: PT Gramedia, 1984), hlm. 109.

44Tentang metode dan jenis-jenis sumber sejarah lihat Gilbert J. Garraghan, A Guide to Historical Method (New York: Fordham University Press, 1957), hlm. 103-123.

tidak semua realitas masa lampau terekam dalam sumber tertulis;

dan kedua, sifat topik yang dipilih tampaknya mengharuskan untuk menggunakan berbagai macam sumber, sehingga fakta-fakta yang diperoleh akan menjadi lebih lengkap.

Arsip-arsip yang digunakan dalam studi ini merupakan khazanah-khazanah sumber yang tersimpan di Reksa Pustaka dan Reksa Wilapa Istana Mangkunagaran, Kokar, PKJT/TBS, dan Lokananta di Surakarta, serta Arsip Nasional Republik Indonesia di Jakarta. Sumber-sumber itu digunakan untuk merekonstruksi aspek-aspek formal dari lembaga-lembaga kebudayaan yang berperan dalam pelestarian dan pengembangan kebudayaan Jawa Surakarta.

Sumber tertulis sezaman lain yang penting adalah koran, majalah, dan penerbitan resmi sebuah lembaga. Di dalam ketiga jenis sumber itu dapat diperoleh rekaman peristiwa (reportase), pandangan, pendapat, dan opini penulisnya, serta programa tentang hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan Jawa Surakarta. Penelusuran sumber koran, majalah, dan penerbitan resmi terutama dilakukan di Perpustakaan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Perpustakaan KITLV Leiden ketika penulis mendapatkan kesempatan untuk mengikuti Sandwich-like Program 2012 yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Sumber-sumber koran itu adalah Dharma Kanda,

Kedaulatan Rakyat, Parikesit, Solo Pos, dan Suara Merdeka.

Sumber majalah mencakup Budaja, Djaka Lodhang, Jaya Baya, Mahabharata Kawedar, Mekar Sari, Mimbar Indonesia, Mutiara, Pandjangmas, Parikesit, Pedalangan, Pengemban Amanat Allah dan Umat, dan Zenith. Sementara itu, penerbitan resmi meliputi Berita Radio, Mingguan Radio, dan Mekas (Media Karaton Surakarta).

Sumber lisan diperoleh dengan metode sejarah lisan melalui kegiatan wawancara dengan pelaku-pelaku dan saksi-saksi sejarah. Sejarah lisan mempunyai sumbangan yang besar dalam mengembangkan substansi penulisan sejarah.45 Dalam konteks sumber, sejarah lisan mampu memiliki keunggulan komparatif baik secara kuantitatif maupun kualitatif tentang hal yang telah tercakup dalam sumber tertulis sekalipun.46 Beberapa informan yang diwawancarai merupakan pelaku dan saksi sejarah dari lembaga-lembaga kebudayaan seperti Kokar, ASKI, Lokananta, dan RRI Surakarta.

Sumber visual yang digunakan berupa foto dan sampul piringan hitam/ kaset. Penggunaan foto dan sampul piringan hitam/kaset didasari oleh pertimbangan bahwa keduanya dapat

45Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hlm. 29-30.

46Bambang Purwanto, Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?! (Yogyakarta, Ombak, 2006), hlm. 72.

membantu sejarawan dalam memahami masa lampau dan merupakan sumber-sumber tambahan untuk menyusun sejarah.47 Sementara itu, satu jenis sumber yang tidak boleh diabaikan dalam penulisan sejarah yang mencakup periode akhir abad XX adalah sumber audiovisual. Walaupun menurut Nordholt dan Steijlen sumber audiovisual sangat penting untuk penulisan sejarah kehidupan sehari-hari di Indonesia pada abad XXI,48 namun menurut penulis, sumber audiovisual juga penting untuk penulisan tema-tema atau topik-topik tertentu sejarah Indonesia pada akhir abad XX, seperti sejarah seni pertunjukan dan politik kebudayaan Jawa Surakarta yang sedang menjadi perhatian penulis. Ada dua film dokumenter yang digunakan dalam studi ini, yaitu “Paku Buwana XII: Berjuang untuk Sebuah Eksistensi”

karya I.G.P. Wiranegara49 dan “Paku Buwana XII dan

47Jean Gelman Taylor, “Aceh: Narasi Foto, 1873-1930”, dalam Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari, ed., Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, KITLV Jakarta, Pustaka Larasan, 2008), hlm. 314 dan 321.

48Henk Schulte Nordholt dan Fridus Steijlen, “Don‟t Forget to Remember Me: Arsip Audiovisual Kehidupan Sehari-hari di Indonesia pada Abad XXI”, dalam Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari, ed., Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, KITLV Jakarta, Pustaka Larasan, 2008).

49I.G.P. Wiranegara, “Paku Buwana XII: Berjuang untuk Sebuah Eksistensi” (Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta, 2004).

Hardjonagoro” karya Rustopo.50 Kedua sumber itu sangat bermanfaat untuk memahami kondisi dan perjuangan Keraton Surakarta dalam menegakkan eksistensinya sebagai pusat kebudayaan Jawa.

Historiografi tentang Surakarta dan studi-studi yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya dari berbagai bidang yang relevan, terutama pengkajian seni pertunjukan merupakan sumber-sumber yang melengkapi studi ini. Kajian-kajian seni pertunjukan yang dilakukan oleh para dosen STSI/ISI Surakarta dan ISI Yogyakarta tentang kebudayaan Jawa yang sebagian menggunakan perspektif atau pendekatan historis sangat membantu dalam rekonstruksi sejarah.

G. Sistematika

Disertasi ini terdiri atas enam bab yang diawali dengan BAB I Pengantar yang berisi uraian tentang latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup kajian yang merupakan dasar untuk pembahasan dalam bab-bab selanjutnya. Selain itu, dalam bab ini disajikan kerangka pemikiran dan sumber-sumber yang digunakan untuk pembahasan permasalahan.

50Rustopo, “Paku Buwana XII dan Hardjonagoro” (Studio 19 Surakarta, 2005).

Dalam BAB II dengan judul “Warisan Sosiokultural dan Perubahan di Surakarta Pasca-Proklamasi Kemerdekaan” dibahas tentang masyarakat Surakarta dan kebudayaannya baik yang berkembang di dalam maupun di luar keraton. Pembahasan dalam bab ini diakhiri dengan pembahasan tentang keruntuhan kekuasaan tradisional yaitu Kasunanan dan Mangkunagaran yang menjadikan dua-duanya kehilangan kekuasaan politik dan ekonomi, sehingga hanya menjadi pusat kebudayaan Jawa saja.

Keterbatasan-keterbatasan Kasunanan dan Mangkunagaran dalam kedudukannya sebagai pusat kebudayaan Jawa pada awal kemerdekaan mendorong pemerintah untuk mengambil kebijakan untuk menyelamatkan warisan budaya kedua keraton tersebut.

Kebijakan dan upaya-upaya untuk melestarikan kebudayaan Jawa itu dimanifestasikan dengan pembentukan pusat-pusat kebudayaan di Surakarta yang meliputi Kokar, ASKI, dan PKJT di Surakarta. Uraian pembahasan tentang latar belakang dan proses pembentukan lembaga-lembaga kebudayaan itu, serta kebijakan-kebijakan dan kiprahnya dalam pelestarian dan pengembangan kebudayaan Jawa Surakarta disajikan dalam BAB III dengan judul

“Pembentukan Pusat-Pusat Kebudayaan Jawa di Surakarta”.

Upaya-upaya pelestarian dan pengembangan kebudayaan Jawa Surakarta tidak hanya dilakukan dengan pembentukan pusat-pusat kebudayaan Jawa di Surakarta saja.

Lembaga-lembaga kebudayaan yang telah ada pada awal kemerdekaan seperti RRI Surakarta dan pada periode berikutnya Lokananta juga dimanfaatkan untuk mendukung hal itu. Selain untuk kepentingan pelestarian dan pengembangan, kedua lembaga kebudayaan ini juga memiliki peran penting dalam penyebarluasan kebudayaan Jawa Surakarta, khususnya dalam bidang seni pertunjukan. Penyebarluasan kebudayaan Jawa Surakarta juga ditopang oleh adanya penerbitan berbahasa Jawa dan panggung pertunjukan wayang wong Sriwedari yang mampu memikat dan menarik perhatian masyarakat Jawa. Uraian pembahasan tentang hal tersebut disajikan dalam BAB IV dengan judul “Penyebarluasan Kebudayaan Jawa Surakarta”.

Kasunanan dan Mangkunagaran tentunya tidak tinggal diam ketika keduanya kehilangan kekuasaan politik dan ekonomi.

Dalam kedudukannya sebagai pusat kebudayaan Jawa sejak awal kemerdekaan dua lembaga itu terus berjuang untuk menegakkan eksistensinya sebagai pusat kebudayaan. Dengan caranya masing-masing keduanya telah melakukan upaya-upaya untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan Jawa yang tumbuh dan berkembang di kedua istana tersebut. Kiprah Kasunanan dan Mangkunagaran dalam pelestarian dan pengembangan kebudayaan Jawa berkontribusi dalam penegakan eksistensi Surakarta sebagai pusat kebudayaan. Uraian tentang

hal itu disajikan dalam BAB V dengan judul “Keraton dan Penegakan Eksistensi Surakarta sebagai Pusat Kebudayaan Jawa”.

Studi ini diakhiri dengan BAB VI Simpulan yang menyajikan jawaban permasalahan dan temuan penting dari penelitian yang dilakukan.

Dokumen terkait