DAFTAR LAMPIRAN
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.5 Sumberdaya Ikan Karang
Daerah habitat karang mempunyai produktivitas dan keanekaragaman jenis fauna yang tinggi. Disamping itu ekosistem terumbu karang juga merupakan tempat hidup, tempat mencari makan (feeding ground), daerah asuhan (nursery ground) dan tempat memijah (spawning ground) untuk biota laut yang antara lain adalah ikan karang. Ikan karang banyak dimanfaatkan sebagai makanan maupun dijadikan ikan hias laut. Diperkirakan 12.000 jenis ikan laut sebanyak 7000 spesies hidup di daerah terumbu karang atau di sekitarnya, di perairan dekat pantai. Karakteristik yang paling mengemuka dari ikan-ikan yang hidup di habitat karang adalah keanekaragamannya dalam hal jumlah spesies dan perbedaan morfologi (Murdiyanto, 2003 mengacu pada Nugraha, 2008).
Menurut Hutomo (1995), kelompok ikan karang yang erat kaitannya dengan lingkungan terumbu karang adalah:
1) Tiga famili dalam sub ordo Labridei, yaitu famili Labridae (cina-cina), Scaridae (kakatua) dan Pomacentridae (betok laut). Ketiganya bersifat diurnal;
ϭϳ
2) Tiga famili dari sub ordo Acanthuridae, yaitu famili Acanthuridae (butana), Siganidae (baronang) dan Zanclidae (bendera atau moorish idol). Ketiganya bersifat herbivora;
3) Dua famili dari sub ordo Chaetodontidae yang mempunyai warna yang cerah; 4) Famili Blennidae dan Gobiidae yang bersifat demersal dan menetap;
5) Famili Apogonidae (beseng) nokturnal, memangsa avertebrata terumbu dan ikan kecil;
6) Famili Ostraciidae, Tetraodontidae dan Balestidae (pakol) yang menyolok dalam bentuk dan warnanya;
7) Pemangsa dan pemakan ikan (piscivorous) yang besar jumlahnya dan bernilai ekonomis tinggi, meliputi famili Serranidae (kerapu), Lutjanidae (kakap), Lethrinidae (lecam), Holocentridae (swanggi).
Menurut Dahuri (2003), beberapa sumberdaya ikan yang hidup di karang mempunyai nilai ekonomis sebagai berikut :
1) Suku Chaetodontidae (butterflyfish). Ikan yang termasuk suku ini mempunyai bentuk tubuh yang pipih serta lebar, sehingga gerakannya meliuk-liuk mirip karpet. Sampai sekarang diperkirakan terdapat sekitar 114 jenis ikan kepe-kepe yang tersebar di seluruh dunia, antara lain di Australia (50 jenis), Philippines (45 jenis), Indonesia (44 jenis), Taiwan (33 jenis) dan Papua Nugini (42 jenis) (Kvalvagnes, 1980). Ikan jenis ini hidup di perairan laut tropis pada kedalaman perairan sampai 20 meter.
2) Suku Pomancanthidae (angelfishes). Bentuk ikan ini menarik dan dikenal sebagai ikan bidadari atau angel. Suku ini hidup di terumbu karang di perairan tropis. Diperkirakan ada 74 jenis yang termasuk dalam suku pomacanthidae. Ikan ini hidup pada kedalaman 1-50 meter, seperti marga Centropype dan Genicanthus. Daerah penyebaran dan jumlah jenis ikan angel di perairan Indo- pasifik adalah sebagai berikut, Australia (23 jenis), Papua New Guinea (22 jenis), Indonesia (21 jenis), Taiwan (20 jenis) dan Filipina (19 jenis). Jenis ikan ini memiliki corak warna yang indah dan menarik.
ϭϴ
3) Suku Balistidae (triggerfish). Ikan pelatuk atau ikan trigger banyak ditemukan di perairan Indonesia. Di Perairan Kepulauan Seribu, jenis ikan ini dikenal sebagai ikan pakol. Ikan pelatuk biasanya hidup soliter atau menyendiri di habitat terumbu karang.
4) Suku Labridae (wrasses). Kelompok ikan ini di Indonesia disebut ikan keling. Suku ini merupakan ikan diurnal yang aktif mencari makan di siang hari dan sebagian besar merupakan ikan karnivor. Mangsanya berupa moluska, cacing, krustase dan ikan kecil.
Widodo et al. (1998) menjelaskan bahwa ada sepuluh famili utama dari perairan Indonesia yang menyumbang produksi ikan karang konsumsi, yaitu Caesionidae; Holocentridae; Serranidae; Siganidae; Scaridae; Lethrinidae; Priacanthidae; Labridae; Lutjanidae dan Haemulidae. Beberapa jenis ikan karang konsumsi yang banyak terdapat di pasaran, yaitu kerapu (Serranidae), lencam (Lethrinidae), ekor kuning dan pisang-pisang (Caesionidae), baronang (Siganidae), kakap merah (Lutjanidae), kakak tua (Scaridae), serta napoleon atau marning atau siomay (Labridae). Ekor kuning atau pisang-pisang merupakan kelompok ikan karang yang dapat dieksploitasi secara besar-besaran. Ikan ini pemakan plankton dan membentuk kelompok (school) yang relatif besar. Penyebaran ikan karang konsumsi terdapat di seluruh terumbu yang tersebar sepanjang Kepulauan Indonesia.
Menurut Adrim (1993), kelompok ikan karang dibagi menjadi tiga kategori, yaitu:
1) Kelompok ikan target, yaitu ikan karang yang mempunyai manfaat sebagai ikan konsumsi, seperti kelompok ikan famili Serranidae, Lutjanidae, Haemulidae dan Lethrinidae;
2) Kelompok ikan indikator, yaitu kelompok ikan karang yang dinyatakan sebagai indikator kelangsungan hidup terumbu karang. Hanya satu famili yang termasuk jenis kelompok ikan indikator, yaitu ikan dari famili Chaetodontidae;
3) Kelompok ikan utama atau mayor, yaitu ikan yang berperan dalam rantai makanan, seperti ikan dari famili Pomacentridae, Scaridae, Achanturidae, Caesionidae, Labridae, Mullidae dan Apogonidae.
ϭϵ
2.5.1 Biologi ikan betok susu (Dischitodus perspicillatus) Klasifikasi betok susu (Cuvier, 1830) :
Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Pisces Ordo : Perciformes Famili : Pomacentridae Genus : Dischitodus
Spesies : Dischistodus perspicillatus
Gambar 3 Betok susu (Dischitodus perspicillatus)
Ikan betok susu atau mempunyai nama internasional white damsel, termasuk ikan famili Pomacentridae. Ikan betok susu mempunyai ciri-ciri panjang maksimal (TL) 18 cm, putih krem dengan 2-3 spot hitam agak memanjang. Bagian depan kepala kehijaun, garis pangkal dengan batas biru di antara mata dan mulut, mempunyai jumlah duri dorsal keras maksimal 13 buah; duri dorsal lunak sekitar 13- 15 buah ; sedangkan anal keras 2 buah ; anal lunak sekitar 14-15 buah. Ikan ini termasuk mudah diidentifikasi karena warnanya yang kebanyakan putih dan terdapat bercak hitam kecil ditubuhnya.
Ikan betok susu biasa tinggal atau hidup di daerah patch reef, laguna dangkal, pasir di daerah karang, dan padang lamun. Range kedalaman 1–10, akan tetapi hal tersebut dapat juga disesuaikan dengan keadaan dasar atau daerah. Ikan betok susu merupakan ikan pemakan alga bentik dan detritus.
ϮϬ
Distribusi ikan ini banyak di Indo Pasifik. Di Indonesia daerah penyebarannya banyak di daerah yang mempunyai karang seperti Kepulauan Karimun Jawa, Kepulauan Seribu, Laut Banda dan sebagainya.
Sumber : Metadata fishbase (Aqua maps GBIF OBIS, 2012)
Keterangan : titik merah = penyebaran ikan betok susu
Gambar 4 Peta penyebaran ikan betok susu (Dischitodus perspicillatus) 2.5.2 Biologi ikan triger (Balistapus undulatus)
Klasifikasi ikan triger (Park, 1797) : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Pisces Ordo : Perciformes Famili : Balistidae Genus : Balistapus Spesies : Balistapus undulates
Ϯϭ
Ciri-ciri ikan triger adalah panjang maksimal (TL) 30 cm, badan hijau gelap kecokelatan dengan garis kuning diagonal di badan dan muka. Sirip berwarna oranye. Memiliki spot hitam dipangkal ekor.
Habitat ikan triger di daerah kaya karang di laguna dan terumbu karang. Jenis yang territorial, biasa meletakkan telur dalam lubang di daerah pasir atau rubble di daerah karang. Kisaran kedalaman 1-50 m.
Distribusi ikan di area Indo-Pasifik seperti Laut merah, Afrika Selatan, Kep. Line, Marquesan dan Tuamoto, Jepang-GBR dan New Caledonia. Ikan triger termasuk pemakan zoobenthos (echinodermata, moluska, tunikata, sponge dan hydrozoa), ikan kecil dan alga bentik.
Sumber : Metadatafishbase (Aqua maps GBIF OBIS, 2012) Keterangan : Titik merah : Penyebaran ikan triger
Gambar 6 Peta penyebaran ikan trigger (Balistapus undulates) 2.5.3 Biologi ikan marmut (Chaetodontoplus mesoleucus)
Klasifikasi ikan marmut (Bloch, 1787) :
Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Pisces Ordo : Perciformes Famili : Pomacanthidae Genus : Chaetodontplus
ϮϮ
Gambar 7 Ikan Marmut (Chaetodontoplus mesoleucus)
Ikan marmut atau Chaetodontoplus maesoleucus termasuk dalam famili Pomacantridae. Ikan ini mempunya ciri-ciri panjang maksimal (TL)18 cm, sekilas mirip Chaetodontidae namun dibedakan dari opercula tulang belakangnya yang kuat, badan 2/3 hitam abu-abu dan sisinya putih, garis hitam memanjang dari kepala hingga bawah, sebagian muka depan kuning dengan mulut biru, ekor kuning.
Habitat ikan marmut ini di daerah terumbu karang dan jarang di laut terbuka. Range kedalaman 1-20 meter. Ikan ini banyak ditemukan Indo-west pasifik (Indonesia-Jepang, Srilanka-timur PNG) dan termasuk pemakan sponge, tunikata dan alga berfilamen / zoobenthos.
Sumber : Metadatafishbase(Aqua maps GBIF OBIS, 2012)
Keterangan : titik merah = penyebaran ikan marmut
Gambar 8 Peta penyebaran ikan marmut (Chaetodontoplus mesoleucus) 2.5.4 Biologi ikan kenari merah (Cheilinus fasciatus)
Klasifikasi ikan kenari merah (Bloch, 1791) :
Kingdom : Animalia
Ϯϯ Kelas : Pisces Ordo : Perciformes Famili : Labridae Genus : Cheilinus
Spesies : Cheilinus fasciatus
Gambar 9 ikan kenari merah (Cheilinus fasciatus)
Ikan kenari merah termasuk dalam famili Labridae, dimana memiliki ciri-ciri: panjang maksimal (TL) 40 cm. Bentuknya sangat mudah dikenali dengan warna merah terang mulai dari depan dorsal sampai sirip perut dan belakang mata serta garis vertikal dibadan belakangnya.
Habitat tempat ikan ini banyak di temukan di area laguna, karang beralga dan di area campuran antara karang, pasir dan rubble. Kisaran kedalaman 4-40 m Distribusi Indo-pasifik dan termasuk tipe pemakan moluska, krustasea.
Sumber : Metadata fishbase (Aqua maps GBIF OBIS, 2012) Keterangan : Titik merah = penyebaran ikan kenari merah
Ϯϰ
2.5.5 Biologi ikan betok hitam (Dischistodua pseudochrysopoecilus) Klasifikasi betok hitam (Allen, 1974) :
Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Pisces Ordo : Perciformes Famili : Pomacentridae Genus : Dischitodus
Spesies : Dischistodus pseudochrysopoecilus
Gambar 11 Ikan betok hitam (Dischistodua pseudochrysopoecilus)
Ikan betok hitam (Neoglyphidodon melas) memiliki panjang maksimal 18 (TL) cm. Pada saat juvenil badan biru terang dengan garis kuning besar dari mulut hinggga sirip dorsal serta sirip perut dan anal ujungnya biru kehitaman. Pada saat dewasa berwarna hitam kebiruan. Perubahan warna terjadi pada ukuran 5-6 cm. Habitat ikan ini daerah karang dan karang berbatu, biasa juga di anemone, di sekitar bulu babi dan karang bercabang. Kisaran kedalaman 1-55 m
Distribusi ikan ini Indo-Pacific: Red Sea dan timur Afrika, Pulau Pitcairn, utara Jepang, selatan Sydney, Australia. Ikan ini tidak ditemukan di Hawai. Habitat ikan betok hitam ini akan berpindah atau berbeda ketika juvenil dan dewasa. Pada saat juvenil ikan ini hidup di karang bercabang namun, pada saat dewasa banyak ditemukan di area laguna-lereng karang. Ikan ini adalah pemakan bentik alga, zoobenthos, zooplankton (Setiawan, 2010).
Ϯϱ
Sumber : Metadata fishbase (Aqua maps GBIF OBIS, 2012) Keterangan : Titik merah= penyebaran ikan betok hitam
Gambar 12 Peta penyebaran ikan betok hitam (Dischistodus pseudochrysopoecilus)
2.6 Hubungan Panjang dan Berat Ikan
Panjang ikan dapat diukur dengan menggunakan sistem metrik (Effendie, 1979). Ada tiga macam pengukuran, yaitu:
1) Panjang total atau panjang mutlak, ialah panjang ikan yang diukur mulai dari ujung terdepan bagian kepala sampai ujung terakhir bagian ekornya.
2) Panjang cagak atau fork length, ialah panjang ikan yang diukur dari ujung terdepan sampai ujung bagian luar lekukan ekor.
3) Panjang standar atau panjang baku, ialah panjang ikan yang diukur mulai dari ujung terdepan dari kepala sampai ujung terakhir dari tulang punggungnya. Ujung itu letaknya sebelum pangkal jari-jari sirip ekor.
Menurut Effendie (1979), alat pengukur ikan yang baik digunakan untuk di lapangan adalah alat pengukur yang terbuat dari kayu. Bentuk yang perlu diperhatikan dari alat ini adalah bagian depannya, yaitu tempat menempel dari bagian depan ikan harus bertepatan dengan angka nol, sedangkan untuk penimbangan, diusahakan yang praktis dan tidak mudah rusak tetapi ketelitiannya cukup tinggi. Dari beberapa macam alat penimbang ikan, yang paling tepat adalah timbangan duduk atau gantung yang dapat langsung menunjuk berat ikan yang ditimbang.
Ϯϲ
Hasil studi hubungan panjang dan berat ikan memungkinkan nilai panjang ikan berubah ke harga berat ikan atau sebaliknya. Berat ikan dapat dianggap sebagai suatu fungsi dari panjangnya dan hubungan panjang-berat ini hampir mengikuti hukum kubik yang dinyatakan dengan rumus: W = aL3 (W adalah berat ikan, L adalah panjang ikan dan a adalah konstanta). Hal tersebut disertai dengan anggapan bahwa bentuk serta berat jenis ikan itu tetap selama hidupnya. Tetapi karena ikan itu tumbuh, dimana bentuk tubuh, panjang dan beratnya selalu berubah, maka menurut Effendie (1979), persamaan umumnya adalah W = aLb (a dan b adalah konstanta). Logaritma persamaan tersebut menjadi: log W = log a + b log L yang menunjukkan hubungan linier (Effendie, 1979).
2.7 Rumpon (Fish Aggregating Device)
Rumpon adalah suatu benda menyerupai pepohonan yang ditanam di suatu tempat di laut. Rumpon merupakan alat pemikat ikan yang digunakan untuk mengkonsentrasikan ikan sehingga operasi penangkapan ikan dapat dilakukan dengan mudah (Subani, 1972). Cara pengumpulan ikan dengan pikatan berupa benda terapung tersebut, menurut Bergstrom diacu dalam Sondita (1986) merupakan salah satu bentuk dari Fish Agregating Device, yaitu metode benda atau bangunan yang dipakai sebagai sarana untuk penangkapan ikan dengan cara memikat dan mengumpulkan ikan-ikan tersebut.
Rumpon atau lure merupakan alat bantu penangkapan ikan yang fungsinya sebagai pembantu untuk menarik perhatian ikan agar berkumpul di suatu tempat yang selanjutnya diadakan penangkapan. Prinsip lain penangkapan ikan dengan alat bantu rumpon disamping berfungsi sebagai pengumpul kawanan ikan, pada hakekatnya adalah agar kawanan ikan tersebut mudah ditangkap sesuai dengan alat tangkap yang dikehendaki. Selain itu dengan adanya rumpon, kapal penangkap ikan dapat menghemat waktu dan bahan bakar, karena tidak perlu lagi mencari dan mengejar gerombolan-gerombolan ikan (Subani, 1986).
Subani (1986) menerangkan bahwa biasanya kegiatan penangkapan di sekitar rumpon dilakukan setelah sepuluh hari rumpon tersebut dipasang. Beberapa hari
Ϯϳ
setelah rumpon ditanam dan bila diketahui bahwa di sekitar rumpon tersebut banyak kerumunan ikan kemudian diadakan penangkapan. Beberapa jenis ikan pelagis yang berkumpul di sekitar rumpon antara lain ikan terbang, layang, selar, kembung, bawal, lemuru, cakalang, tuna dan sebagainya. Alat tangkap yang dapat digunakan antara lain pancing, payang dan pukat cincin.
Rumpon selama ini lebih banyak dikenal nelayan Indonesia sebagai alat bantu untuk mengumpulkan ikan (fish aggregating device atau FAD), sehingga operasi penangkapan ikan menjadi lebih efektif dan efisien (Sondita 1986; Monintja 1993). Individu ikan yang tersebar atau kawanan ikan yang bergerak bebas, baik ketika melakukan ruaya (migrasi) maupun sedang berada di suatu tempat, dirangsang oleh nelayan agar berhenti, menetap atau berada tidak jauh dari lokasi yang diinginkan nelayan, yaitu tempat pemasangan rumpon atau lampu pemikat. Teknik manipulasi tingkah laku ikan ini telah lama diterapkan oleh nelayan-nelayan di tanah air dan kawasan Asia Tenggara ketika mereka menangkap ikan-ikan pelagis yang biasa membentuk gerombolan atau fish schools atau fish shoals. Hasil atau output dari penggunaan rumpon ini tentu saja ikan yang jumlahnya tergantung pada beberapa faktor, seperti di antaranya adalah jumlah ikan yang berkumpul di sekitar rumpon dan keefektivan alat penangkapan ikan yang digunakan nelayan.
Faktor pertama berkaitan dengan dimensi bagian atraktor, kesesuaian tempat pemasangan rumpon dengan jalur migrasi ikan, dan kelimpahan ikan yang ada di perairan tempat pemasangan rumpon. Faktor kedua tersebut ditentukan oleh dimensi alat tangkap dan cara atau metode penangkapan ikan yang diterapkan. Jika sejumlah ikan yang berkumpul di sekitar rumpon maka hasil tangkapan tidak akan melebihi jumlah tersebut. Jika alat tangkap sangat efektif maka semua ikan yang berkumpul pada atau sekitar rumpon akan berhasil ditangkap.
Manfaat atau outcome dari penggunaan rumpon dalam operasi penangkapan ikan telah diketahui, seperti dijelaskan oleh Monintja dan Mathews (1999). Manfaat tersebut diantaranya adalah meningkatkan peluang keberhasilan operasi penangkapan ikan dan efisiensi dalam arti penghematan biaya operasi penangkapan ikan. Hal lain dari penggunaan rumpon adalah bukti adanya suatu pengelolaan pada kawasan atau
Ϯϴ
daerah penangkapan ikan, yang minimal dicerminkan oleh adanya pengakuan masyarakat terhadap hak pemilik rumpon pada ikan-ikan yang berkumpul di sekitar rumpon
Faktor penyebab berkumpulnya kawanan ikan di sekitar rumpon telah menjadi topik penelitian sejak lama (Monintja et al., 2003). Faktor pertama adalah ikan berkumpul karena mereka tertarik terhadap benda-benda terapung atau sifat yang disebut thigmotaxis. Benda-benda terapung tersebut akan terlihat signifikan oleh biota air yang mengandalkan panca indera penglihatan dibandingkan dengan kolom air yang homogen. Semakin besar ukuran dan semakin kontras benda-benda tersebut dalam lingkungan maka akan semakin mudah ikan mendeteksi atau mengetahuinya. Tentu saja, kemudahan terlihat benda-benda tersebut juga ditentukan oleh daya penglihatan ikan. Daya penglihatan ikan tersebut ditentukan oleh umur atau tingkat perkembangan tubuh ikan. Faktor kedua adalah ikan berkumpul untuk keperluan mencari makan. Ikan-ikan tersebut mencari makanan atau mangsa dan akhirnya mendapatkannya di pada atau di sekitar rumpon karena rumpon menjadi habitat berbagai jenis biota laut yang menjadi makanannya (Menard et al., 2000). Kedua faktor tersebut secara bersama-sama menyebabkan terjadinya akumulasi individu- individu ikan menjadi kawanan ikan yang didukung oleh sebuah jaringan makanan (foodweb) dan konstruksi rumpon, terutama bagian atraktor. Foodweb yang terbentuk karena adanya rumpon tersebut dapat dipelajari lebih jauh, sama seperti penelitian terhadap suatu ekosistem. Untuk mengembangkan usaha di bidang penangkapan ikan tidak terlepas dari pengetahuan yang cukup tentang tingkah laku ikan yang hendak ditangkap baik secara individu maupun berkelompok. Pengetahuan tentang tingkah laku ikan adalah merupakan dasar dari metoda-metoda penangkapan yang ada, dan juga merupakan kunci bagi perbaikan metoda penangkapan yang telah diketahui, serta penemuan-penemuan dari metoda yang baru (Gunarso, 1974).
Dalam hal pikat memikat ikan, Gunarso (1985) mengungkapkan hal tersebut dapat dilakukan melalui beberapa cara, antara lain : rangsangan kimia, rangsangan terhadap penglihatan, rangsangan terhadap pendengaran, rangsangan dengan menggunakan aliran listrik dan rangsangan dengan menyediakan tempat belindung.
Ϯϵ
Asikin (1985) mengemukakan bahwa keberadaan ikan di sekitar rumpon karena berbagai sebab, antara lain :
1. Ikan-ikan itu senang bersembunyi di bawah bayang-bayang daun rumpon; 2. Rumpon itu sebagai tempat berpijah bagi beberapa jenis ikan tertentu; 3. Rumpon sebagai tempat berteduh bagi beberapa jenis ikan tertentu;
4. Rumpon itu sebagai tempat berteduh bagi beberapa jenis ikan yang mempunyai sifat fototaksis negatif.
Hunter dan Mitchell diacu dalam Laevastu dan Hela (1970) menjelaskan bahwa ikan yang berukuran kecil pertama kali tertarik di sekitar rumpon, kemudian disusul ikan berukuan besar. Rumpon merupakan suatu arena makan dan dimakan yang terjadi sesuai dengan rantai makanan. Permulaan terjadinya arena ini dimulai dengan tumbuhnya bakteri dan mikroalga ketika rumpon pertama kali dipasang. Kemudian mahluk renik ini bersama dengan hewan-hewan kecil menarik perhatian ikan-ikan pelagis ukuran kecil. Ikan-ikan pelagis ini akan memikat ikan yang berukuran lebih besar untuk memakannya.
Menurut Subani (1972), tidak benar ikan-ikan di sekitar rumpon memakan daun kelapa. Pernyataan ini dikuatkan oleh Djatikusumo (1977) berdasarkan atas isi perut ikan di sekitar rumpon, yang hasilnya ternyata dari jenis-jenis plankton dan bukan daun-daun kelapa. Hal ini menunjukkan bahwa rumpon merupakan tempat ikan berlindung dari serangan predator. Pada umumnya ikan-ikan berenang menghadap arus dan berada di depan rumpon, bergerombol dalam ukuran yang sama, baik umur, panjang maupun berat. Keuntungan berenang dengan cara berkelompok akan lebih memudahkan dalam menangkap mangsa.
Rumpon yang dipasang pada suatu perairan akan dimanfaatkan oleh kelompok ikan lemah sebagai tempat berlindung dari serangan predator. Kelompok jenis ini akan berenang-renang dengan mengusahakan agar posisi tubuh selalu membelakangi bangunan rumpon. Selain sebagai tempat berlindung, rumpon diibaratkan sebagai pohon yang tumbuh di padang pasir yang merupakan wadah pemikat kelompok ikan (Subani, 1972).
ϯϬ
Ikan berkumpul di sekitar rumpon untuk mencari makan. Menurut Soemarto (1962) dalam area rumpon terdapat plankton yang merupakan makanan ikan yang lebih banyak dibandingkan di luar rumpon. Diterangkan juga oleh Soemarto (1962) bahwa perairan yang banyak planktonnya akan menarik ikan untuk mendekat dan memakannya.
Subani (1972) mengemukakan bahwa ikan-ikan yang berkumpul di sekitar rumpon menggunakan rumpon sebagai tempat berlindung juga untuk mencari makan dalam arti luas tetapi tidak memakan daun-daun rumpon tersebut.
Subani (1986) menerangkan bahwa ikan-ikan lemah yang berada di sekitar rumpon berenang pada sisi sebelah udik atau atas atraktor. Kadang-kadang mereka bergerak ke kiri dan ke kanan tetapi selalu kembali ke tempat semula demikian juga terhadap arus (sifat ikan umumnya berenang menentang arus). Sedangkan dari arah lapisan yang lebih dalam terdapat ikan pemangsa yang siap memangsa. Dengan adanya rumpon maka pemangsa akan mengalami kesulitan dalam menyambar mangsanya karena ikan yang lemah terlindungi oleh adanya atraktor.
Rumpon hingga sekarang masih sebagai andalan bagi nelayan penangkap kawanan ikan pelagis. Nelayan menggunakan rumpon dilengkapi dengan penggunaan lampu pemikat ikan. Secara simultan kedua alat tersebut tergolong sebagai fish aggregating device. Rumpon diperkirakan berperan besar dalam menghentikan perjalanan kawanan ikan, kejadian ini diperkirakan bermula pada saat siang hari dimana rumpon teridentifikasi ikan. Pada malam hari, rumpon tidak signifikan perannya, khususnya ketika lampu pemikat ikan dipakai dalam proses penangkapan ikan ini. Jumlah lampu akan menentukan volume kolom air yang tersinari (illuminated water column). Semakin besar intensitas cahaya semakin besar volume air; hal ini berarti semakin besar peluang ikan yang terpapar oleh cahaya.
ϯϭ
3 METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Lokasi penelitian mengambil tempat di Kawasan Pulau Pramuka Kepulauan Seribu teapatnya di kelurahan Pulau Pramuka. Kotamadya Jakarta Utara, Provinsi DKI Jakarta (Lampiran 1). Penelitian dilakukan pada bulan Maret - Mei 2012.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam pengumpulan data di lapangan antara lain:
1) GPS (Global Position System) alat bantu dalam mengetahui posisi artificial reef diletakkan;
2) Alat Dasar Selam (ADS) yang digunakan dalam membantu dalam observasi bawah laut;
3) Underwater camera yang membantu dalam dokumentasi keadaan terumbu buatan pada saat perendaman;
4) Data sheet pengumpulan informasi yang diperoleh; 5) Buku identifikasi ikan karang;
6) Measuring board untuk mengukur panjang ikan;
7) Alat tulis membantu dalam pencatatan data dan informasi; 8) Sabak bawah air;
9) Botol sampel (film); 10) Timbangan;
Bahan yang akan digunakan pada penelitian ini yaitu : 1) Terumbu buatan
Bahan yang digunakan untuk terumbu buatan adalah tempurung kelapa, dengan dasar beton berbentuk segi empat dengan ukuran 50 x 50 cm dengan ketebalan 10 cm, setiap unit terumbu karang buatan terdiri dari 45-50 buah tempurung kelapa (Gambar 13). Jumlah terumbu buatan yang digunakan adalah 3 unit sehingga terdapat 3 stasiun pengamatan.
ϯϮ
Gambar 13 Konstruksi terumbu buatan
2) Bubu
Jenis bubu yang digunakan adalah bubu tambun dengan tutupan yang