• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sumberdaya Lahan dan Masalah Konversi Lahan Pertanian Lahan merupakan bagian dari bentang alam (landscape ) yang mencakup

pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, hidrologi termasuk keadaan vegetasi alami yang semuanya secara potensi akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan (FAO, 1976). Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001) mendefinisikan lahan sebagai suatu wilayah di permukaan bumi, mencakup semua komponen biosfer yang dapat bersifat siklik yang berbeda di atas dan di bawah wilayah tersebut termasuk atmosfir serta segala akibat yang ditimbulkan oleh manusia di masa lalu dan sekarang yang semuanya berpengaruh terhadap penggunaan lahan oleh manusia pada saat sekarang dan di masa yang akan datang. Pemanfatan lahan merupakan proses yang dinamis dari pola dan aktivitas manusia. Manusia memerlukan bahan pangan, air, energi dan minyak serta infrastruktur perumahan dan fasilitas publik. Kegiatan pemenuhan kebutuhan tersebut menuntut tersedianya lahan. Namun karena ketersediaan tanah relatif tetap, kela ngkaan lahan akan terjadi seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan tingkat konsumsinya. Dalam kaitan ini, respon terhadap lahan dapat berupa (a) ekstensifikasi, bila masih mungkin ketersediaan lahan yang bersifat elastis, (b) intensifikasi, dengan ketersediaan lahan yang tidak elastis dan digantikan perannya oleh tekonologi dan (c) Kombinasi kedua hal tersebut. Terhadap keseimbangan antara permintaan dan penawaran lahan, sistem umpan balik pengunaan lahan dapat mengalir dalam dua arah, yaitu menghasilkan perbaikan kesejahteraan atau justru menurunkan produktivitas dan mengganggu

keberlanjutan produksi (Nasoetion, 1995). Dalam keadaan demikian lahan adalah asset yang memberikan nilai guna (use value) bagi manusia seperti yang ditampilkan oleh ciri-cirinya. Nilai guna lahan dapat berupa langsung dan tidak langsung. Nilai guna langsung diperlihatkan misalnya sebagai dasar hunian atau pendukung kegiatan-kegiatan ekonomi. Nilai guna tidak langsung dapat diduga dari unsur hara, mikroorganisme, keanekaragaman hayati, nilai- nilai sosial; atau nilai lahan yang dapat diwariskan (Nugroho dan Dahuri, 2004).

Masalah lahan yang saat ini sering dibicarakan adalah alih fungsi lahan terutama lahan pertanian untuk penggunaan non pertanian. Fenomena alih fungsi lahan adalah bagian dari transformasi struktur ekonomi nasional. Pertumbuhan ekonomi dan penduduk yang memusat di wilayah perkotaan membutuhkan ruang yang lebih luas ke arah luar kota untuk berbagai aktivitas ekonomi dan permukiman. Sebagai akibatnya wilayah pinggir yang sebagian besar adalah lahan pertanian sawah beralih fungsi menjadi lahan non-pertanian dengan tingkat peralihan yang beragam antar periode dan wilayah. Lahan pertanian yang berpeluang untuk terkonversi lebih besar adalah lahan sawah diband ingkan lahan kering. Sawah secara spasial memiliki alasan yang kuat untuk dikonversi menjadi kegiatan non-pertanian karena ; (1) kebutuhan lahan untuk kegiatan non-pertanian lebih menguntungkan di lahan yang datar dimana sawah pada umumnya ada, (2) infrastruktur seperti jalan lebih tersedia di daerah persawahan, (3) daerah persawahan pada umumnya lebih mendekati wilayah konsumen yang relatif padat penduduk dibandingkan lahan kering yang sebagian besar terdapat di daerah bergelombang, perbukitan dan pegunungan.

Konversi lahan pertanian menurut Nasoetion dan Winoto (1996) terkait pada beberapa faktor antara lain disebabkan oleh : (1) nature atau instritic sumberdaya lahan, sesuai prinsip hukum ekonomi supply-demad yang mengalami struktur kelangkaan sebagai akibat meningkatnya permintaan lahan sawah irigási ke non pertanian, sementara secara kuantitas sumberdaya lahan yang tersedia tetap, (2) berkaitan dengan market failure pergeseran struktural dalam perekonomian, dan dinamika pembangunan yang cenderung mendorong petani untuk alih profesi dengan menjual aset lahan sawah yang dimilikinya, (3) goverment failure yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang memberikan peluang investasi yang

lebar kepada sektor industri namun laju investasi di sektor tersebut belum diikuti dengan laju penetapan peraturan dan perundang-undangan yang bisa dipakai sebagai rujukan dalam mengendalikan konversi lahan. Banyak pendapat yang dikemukakan mengenai faktor determinan konversi lahan. Menurut Irawan (2005) konversi lahan pertanian pada dasarnya terjadi akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan antar sektor pertanian dan sektor non-pertanian. Sedangkan persaingan dalam pemanfaatan lahan tersebut muncul akibat adanya tiga fenomena ekonomi dan sosial yaitu : (a) keterbatasan sumberdaya lahan, (b) pertumbuhan penduduk, dan (c) pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi cenderung mendorong permintaan lahan untuk kegiatan non-pertanian pada tingkat yang lebih tinggi di bandingkan permintaan lahan untuk kegiatan pertanian. Hal ini disebabkan karena permintaan produk non-pertanian lebih elastis terhadap pendapatan. Meningkatnya kelangkaan lahan (akibat pertumbuhan penduduk), yang dibarengi dengan meningkatnya permintaan lahan untuk kegiatan non-pertanian (akibat pertumbuhan Penduduk) mendorong terjadinya konversi lahan pertanian. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pakpahan dan Anwar (1989) di Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa konversi lahan pertanian dipengaruhi oleh pertumbuhan PDRB dan kepadatan penduduk. Hakim (1989) dan Ilham (2004) dalam Irawan (2005) juga mengungkap hal senada, dimana konversi lahan pertanian dipengaruhi oleh PDRB sektor Pertanian, PDRB per kapita dan kepadatan penduduk. Sedangkan Sumaryanto dan Sudaryanto2) menyebutkan bahwa jika di suatu lokasi terjadi konversi lahan pertanian, segera lahan- lahan disekitarnya akan terkonversi dan sifatnya cenderung progresif. Seiring dengan pembangunan kawasan perindustrian dan perumahan, akses ke lokasi tersebut akan semakin baik, maka hal ini akan mendorong naiknya permintaan lahan oleh investor lain, atau spekulan tanah, sehingga harganya semakin tinggi, membuat petani pemilik lahan lain menjual lahannya. Pendapat ini juga didukung oleh hasil kajian mikro yang dilakukan oleh Irawan et al. (2000) bahwa pembangunan perumahan di kawasan pantura umumnya mendekati daerah pusat-pusat pertumbuhan ekonomi.

Kesimpulan ini menunjukkan bahwa konversi lahan tersebut dapat dirangsang oleh berkembangnya kegiatan ekonomi di suatu daerah.

Konversi lahan pertanian terutama sawah produktif, berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan (terutama di Pulau Jawa) selain telah menimbulkan dampak terhadap berkurangnya kapasitas produksi beras yang mengancam ketahanan pangan secara nasional, juga menimbulkan masalah ketenagakerjaan bidang pertanian, hilangnya asset pertanian yang telah dibangun dengan biaya yang mahal dan menimbulkan masalah lingkungan serta hilangnya sistem kelembagaan sosial yang telah terbentuk di wilayah itu. Berkurangnya luas baku sawah akibat konversi, merupakan salah satu penyebab rendahnya peningkatan produksi padi sejak pertengahan tahun 1990-an dan juga merupakan salah satu penyebab utama berlanjutnya proses marginalisasi usaha pertanian rakyat, yang berarti juga merupakan faktor penghambat dalam upaya menghapus kemiskinan absolut yang masíh dominan di wilayah pedesaan. Masalah konversi lahan sawah merupakan ancaman serius terhadap pembangunan nasional, khususnya dalam pemantapan ketahanan pangan, meningkatkan kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan (Rustiadi dan Wafda, 2005).

Selain itu dalam kaitannya dengan proses sedimentasi dan erosi, Tala’ohu

et al. (2001) menyebutkan bahwa pembangunan sawah menjadi pemukiman dan

industri di DAS Kaligarang bagian hulu menyebabkan peningkatan debit dan sedimentasi, banjir serta menurunkan luas areal panen dan produksi pertanian di bagian hilir. Sutono et al. (2001) menyatakan pula bahwa lahan sawah sebagai lahan pertanian lebih mampu mengendalikan erosi dibandingkan dengan lahan kering dimana erosi lahan sawah 0.3 – 1.5 ton/ha/thn sedangkan lahan kering 5.7 – 16.5 ton/ha/thn.

Selanjutnya menurut Sumaryanto dan Sudaryanto dari Pusat Studi Sosial Ekonomi Pertanian3) investasi yang diakibatkan oleh alih fungsi lahan sawah ádalah hilangnya investasi untuk membangun irigasi dan prasarana lainnya. Nilai investasi per hektar sawah tahun 2002 lebih dari Rp 25 juta dan tahun 2004 mencapai Rp 42 juta per hektar dan jika biaya pemeliharaan sistem irigasi dan pengembangan kelembagaan pendukung juga diperhitungkan, investasi untuk

mengembangkan ekosistem sawah akan mencapai lima kali lipat angka tersebut. Kerugian itu masíh bertambah dengan hilangnya kesempatan kerja dan pendapatan bagi petani penggarap, buruh tani, penggilingan padi dan sektor-sektor ekonomi pedesaan lainnya. Penyebab hal ini terjadi karena sektor-sektor pertanian, terutama padi merupakan sektor yang paling banyak menyediakan lapangan kerja. Ditambahkan bahwa pendapatan kotor usahatani padi sekitar Rp 5.2 juta perhektar per musim. Sementara biaya produksi per hektar per musim Rp 2.3 juta, sekitar empat puluh lima persen untuk ongkos tenaga kerja. Akibat alih fungsi lahan sawah, maka petani akan kehilangan peluang pendapatan ± Rp 2.9 juta per hektar per musim dan buruh tani kehilangan Rp 1.05 juta per musim. Akibat lebih jauh dari alih fungsi adalah masalah pengangguran karena terjadinya alih fungsi lahan, buruh tani tidak serta- merta bisa beralih pekerjaan karena terbatasnya keahlian dan lapangan pekerjaan.

Menurut Irawan (2005), konversi lahan sawah di luar Jawa (132 ribu hektar pertahun) ternyata lebih jauh lebih tinggi dibandingkan yang terjadi di Pulau Jawa (50 ribu hektar pertahun). Padahal keberadaan lahan sawah ternyata memberikan manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan yang bernilai tinggi. Sebagian besar manfaat sawah tersebut adalah bersifat komunal. Jika terjadi konversi sawah maka kerugian yang ditimbulkan lebih dirasakan oleh masyarakat luas dari pada sebagian kecil masyarakat pemilik lahan. Bagi ketahanan pangan, konversi lahan sawah juga dapat menimbulkan dampak yang lebih merugikan dibandingkan faktor lain yang dapat menyebabkan turunnya produksi pangan seperti kekeringan, serangan hama dan harga pangan yang rendah. Hal ini karena berkurangnya produksi pangan yang disebabkan oleh konversi lahan tidak mudah dipulihkan mengingat konversi lahan sawah umumnya bersifat irreversible sementara upaya lain untuk menetralisir penurunan produksi pangan tersebut terkendala oleh masalah anggaran pembangunan, ketersediaan sumberdaya lahan dan inovasi teknologi. Selanjutnya Irawan (2005) mengatakan bahwa kebijakan pengendalian konversi lahan sawah ke depan pada intinya diarahkan untuk mencapai tiga sasaran yaitu ; (1) menekan intensitas faktor ekonomi dan sosial yang dapat merangsang konversi lahan sawah, (2) mengendalikan luas, lokasi dan jenis lahan sawah yang dikonversi dalam rangka menekan potensi dampak negatif

yang ditimbulkan, dan (3) menetralisir dampak negatif konversi lahan sawah melalui kegiatan investasi yang melibatkan dana masyarakat terutama kalangan swasta pelaku konversi lahan.

Upaya pencegahan konversi lahan pertanian akan menimbulkan biaya sosial, seperti terhambatnya kegiatan pembangunan non-pertanian. Oleh karena itu upaya tersebut harus dilakukan secara selektif menurut lokasi atau daerah yang tepat agar biaya sosial yang ditimbulkan dapat ditekan. Daerah yang memiliki produktivitas usahatani padi sawah dan penyerapan tenaga kerja pertanian yang tinggi seharusnya mendapat prioritas untuk dilindungi dari konversi karena berkurangnya lahan pertanian akibat konversi lahan di daerah tersebut akan memberikan dampak yang serius terhadap pengadaan pangan dan penyerapan tenaga kerja pertanian. Untuk mengurangi dampak yang merugikan tersebut terutama dalam hal pengadaan beras untuk pangan, upaya yang dapat dilakukan adalah dengan penambahan luas baku lahan sawah melalui pencetakan sawah baru. Namun pencetakan sawah baru mengalami kendala baik dalam hal kondisi biofisik lahan (kualitas maupun kuantitas), kendala teknis maupun masalah anggaran pembangunan.

Secara umum wilayah yang memiliki produktivitas tinggi terdapat di Pulau Jawa. Sementara upaya pencetakan sawah baru saat ini hanya mungkin dilakukan di luar Jawa yang memiliki kondisi biofisik lahan kurang produktif. Kendala biaya dalam pencetakan sawah baru adalah terbatasnya anggaran pemerintah untuk membangun infrastruktur pertanian yang membutuhkan biaya besar di samping membutuhkan waktu yang lama untuk pemantapan ekosistem sawah baru tersebut. Menurut Asyik (1996) dibutuhkan waktu 10 tahun untuk pemantapan ekosistem pada sawah baru. Berbagai masalah dampak yang ditimbulkan, maka konversi lahan sawah harus dapat dikendalikan dan melindungi sawah yang memiliki produktivitas tinggi dengan upaya pencadangan sebagai kawasan produksi beras.

Tinjauan Permasalahan Beras Nasional

Secara nasional masalah beras masih merupakan faktor yang perlu mendapat perhatian serius, karena beberapa alasan : (a) beras merupakan bahan konsumsi pokok masyarakat Indonesia, (b) beras (padi) memiliki peranan yang

sangat besar dalam perekonomian Indonesia, baik sumber pedapatan maupun penyerapan tenaga kerja masyarakat di pedesaan, (c) investasi pemerintah di bidang ini sudah begitu besar dan (d) kekuatan sumberdaya yang terbentuk sudah tampak dan memiliki nilai cukup mahal, baik berupa akumulasi pengetahuan dan pengalaman dalam mengelola usahatani padi, maupun terbentuknya kelembagaan (organisasi dan fisik), serta prasarana lainnya (Irawan et al., 2000).

Konversi sawah untuk penggunaan non-pertanian merupakan masalah yang tidak dapat dihindari dan kecenderungannya terus meningkat. Pemerintah punya kewenangan untuk mengendalikan konversi sawah dengan adanya peraturan dan perundangan-undangan yang melarang konversi sawah. Namun peraturan tersebut tidak berjalan efektif, terbukti dengan terus berlangsungnya proses konversi sawah. Hal ini akan menjadi ancaman bagi ketahanan pangan nasional. Walaupun penyediaan beras untuk ketahanan pangan nasional dapat dilakukan melalui impor, tetapi bagi Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar dan beras merupakan bahan makanan pokok sebagian besar penduduk, akan sangat riskan dan berisiko tinggi kalau hanya mengandalkan supply pangan (beras) dari impor. Selain itu kebijakan impor akan menguras cadangan devisa negara. Oleh karena itu, perlu perencanaan kebijakan penyediaan pangan dari produksi domestik

Di sisi lain, pembangunan pertanian khususnya tanaman pangan akhir-akhir ini mengalami stagnan dimana kecenderungannya pertumbuhannya mengalami perlambatan akibat kejenuhan teknologi. Penggunaan sarana produksi padi juga sudah pada tingkat yang optimal sehingga peluang untuk peningkatan produksi padi semakin kecil. Di sisi lain pertambahan penduduk yang terus meningkat dan pendapatan masyarakat yang semakin membaik yang berakibat daya beli yang semakin tinggi berimplikasi terhadap meningkatnya permintaan terhadap beras.

Simatupang (2000) memaparkan bahwa pada periode 1969-1984, berkat dukungan yang besar dari pemerintah, kerja keras petani dan adanya terobosan teknologi (revolusi hijau), maka produksi beras nasional meningkat dengan pertumbuhan sekitar 5.01% pertahun. Namun pada periode 1985-1998 laju pertumbuhan padi anjlok sehingga hanya 1.71% pertahun dan praktis sama

dengan laju pertumbuhan penduduk (1.7 % pertahun). Sehingga produksi beras pada periode ini hanya mampu untuk menyediakan konsumsi penduduk karena pertumbuhan penduduk itu sendiri, tidak mampu mengakomodasi peningkatan permintaan beras akibat peningkatan pendapatan.

Menurut Simatupang (2000) ada beberapa masalah perberasan Indonesia saat ini yang menyengakibatkan bergesernya status Indonesia dari negara yang berswasembada menjadi negara importir beras. Akar permasalahan tersebut adalah : (a) Stagnasi inovasi dan degradasi teknologi revolusi hijau, (b) Perlambatan peningkatan kapasitas produksi lahan, (c) Serangan hama dan penyakit, (d) Iklim abnormal, seperti El-Nino dan La-Nina, (e) Penurunan insentif usahatani, serta (f) Penurunan profitabilitas usahatani. Disamping itu, walaupun informasi data yang belum begitu akurat, diyakini bahwa susutnya luas baku lahan sawah akibat konversi juga sebagai penyebab turunnya produksi beras di Indonesia, terutama di Jawa.

Evaluasi Kesesuaian Lahan

Kesesuaian lahan ádalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini atau setelah diadakan perbaikan (improvement). Lebih spesifik lagi kesesuaian lahan tersebut ditinjau dari sifat-sifat fisik lingkungannya, yang terdiri dari iklim, tanah, topografi, hidrologi dan/atau drainase sesuai untuk status usahatani atau komoditas tertentu yang produktif (Djaenudin et al., 2003)

Pengertian kesesuaian lahan (land suitability) berbeda dengan kemampuan lahan (land capability). Kemampuan lahan lebih menekankan kepada kapasitas berbagai penggunaan secara umum yang dapat diusahakan di suatu wilayah. Jadi semakin banyak jenis tanaman yang dapat dikembangkan atau diusahakan di suatu wilayah maka kemampuan lahan tersebut semakin tinggi. Sedangkan kesesuaian lahan adalah kecocokan dari sebidang lahan untuk tipe penggunaan tertentu (land

utilization type) sehingga harus mempertimbangkan aspek manajemennya.

Evaluasi kesesuaian lahan merupakan bagian dari proses perencanaan tata guna tanah yang membandingkan persyaratan yang diminta untuk pengunaan lahan yang akan diterapkan dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki

oleh lahan yang digunakan. Inti prosedur evaluasi lahan adalah mula- mula menentukan jenis penggunaan (jenis tanaman) yang akan ditetapkan, kemudian menentukan persyaratan dan pembatas pertumbuhannya dan akhirnya membandingkan persyaratan penggunaan lahan (pertumbuhan tanaman) tersebut dengan kualitas lahan secara fisik. Klasifikasi kelas kesesuaian lahan yang biasa digunakan adalah klasifikasi menurut Metode FAO (1976). Metode ini digunakan untuk mengklasifikasikan kelas kesesuaian lahan berdasarkan data kuantitatif dan kualitatif, tergantung data yang tersedia (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001)

Dalam menilai kesesuaian lahan ada beberapa cara, antara lain dengan perkalian parameter, penjumlahan, atau menggunakan hukum minimum, yaitu ; mencocokkan (matching) antara kualitas lahan dan karakteristik lahan sebagai parameter dengan kriteria kelas kesesuaian lahan yang telah disusun berdasarkan persyaratan penggunaan atau persyaratan tumbuh tanaman atau komoditas lain yang dievaluasi. Struktur klasifikasi kesesuaian lahan menurut kerangka FAO (1976) dapat dibedakan menurut tingkatannya sebagai berikut : Ordo, keadaan kesesuaian lahan secara global. Pada tingkat ordo kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang tergolong sesuai (S) dan lahan yang tergolong tidak sesuai (N).

Kelas, adalah keadaan tingkat kesesuaian dalam tingkat ordo, dimana pada

tingkat kelas lahan yang tergolong ordo sesuai (S) dibedakan ke dalam tiga kelas, yaitu ; sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), dan sesuai marginal (S3). Sedangkan lahan yang tergolong ordo tidak sesuai (N) tidak dibedakan ke dalam kelas-kelas. Sub-kelas, adalah tingkat dalam kelas kesesuaian lahan. Kelas kesesuaian lahan dibedakan menjadi sub-kelas berdasarkan kualitas dan karakteristik lahan yang menjadi faktor pembatas terberat. Faktor pembatas ini sebaiknya dibatasi jumlahnya, maksimum dua pembatas. Tergantung peranan faktor pembatas pada masing- masing sub-kelas, kemungkinan kelas kesesuaian lahan yang dihasilkan ini bisa diperbaiki dan ditingkatkan kelasnya sesuai masukan yang diperlukan. Unit, adalah tingkat dalam sub-kelas kesesuaian lahan yang didasarkan pada sifat tambahan yang berpengaruh dalam pengelolannya. Semua unit yang berada dalam satu sub-kelas mempunyai tingkatan yang sama dalam kelas Unit yang satu berbeda dari unit yang lainnya dalam sifat-sifat atau aspek tambahan dari pengelolaan yang diperlukan dan sering merupakan

pembedaan tingkat detil dari faktor pematasnya. Dengan diketahuinya pembatas tingkat unit tersebut memudahkan penafsiran secara detil dalam perencanaan usahatani.

Ada dua pendekatan yang dapat ditempuh dalam melakukan evaluasi lahan, yaitu pendekatan dua tahapan (two stage approach) dan pendekatan paralel

(parallel approach). Pendekatan dua tahap adalah proses evaluasi dilakukan

secara bertahap, pertama evaluasi secara fisik dan kedua evaluasi secara ekonomi. Pendekatan ini biasanya untuk inventarisasi sumberdaya lahan secara makro dan studi potensi produksi (FAO, 1976). Dalam pendekatan paralel kegiatan evaluasi lahan secara fisik dan ekonomi dilakukan bersamaan (paralel) atau dengan kata lain analisis ekonomi sosial dari jenis penggunaan lahan dilakukan secara serempak bersamaan dengan pengujian faktor- faktor fisik. Pendekatan ini umumnya menguntungkan untuk suatu acuan yang spesifik dalam kaitannya dengan proyek pengembangan lahan pada tingkat semi detil dan detil dan diharapkan hasil yang lebih pasti dalam waktu singkat.

Analisis Land Rent Usahatani Padi Sawah

Lahan yang dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian merupakan interaksi yang komplek antara iklim, tanah dan topografi sehingga ketiga hal tersebut berpengaruh terhadap pola spasial produksi pertanian. Ketersedian sumberdaya pertanian dibatasi oleh toleransi iklim yang berbeda-beda dalam satuan ruang. Menurut McCarty dan Linberg (1966) dalam Rustiadi et al. (2004) ada dua kendala sistem pertanian, yaitu pembatas fisik dan pembatas profitabilitas (keuntungan usaha). Kedua hal tersebut membentuk skema batas optimal sistem pertanian.

Pendekatan sistem pertanian menurut skema batas optimal ditinjau dari aspek ekonomi adalah bertujuan untuk memaksimumkan profit dengan memilih kombinasi tanaman yang sesuai dengan kondisi alam. Barlowe (1978) menyatakan bahwa manfaat/nilai suatu lahan adalah nilai sekarang sebagai nilai diskonto dari total rente lahan yang diharapkan akan diperoleh dimasa yang akan datang. Artinya nilai ekonomi suatu lahan berkaitan erat dengan akumulasi rente lahan dalam suatu periode tertentu. Hal ini senada dengan pendapat Gittingger (1986) dalam menganalisis suatu aktivitas/kegiatan aspek finansial. Analisis

finansial merupakan analisis yang dilakukan untuk mengetahui secara komprehensif tentang kinerja atau aktivitas dari suatu usaha/kegiatan dari aspek finansial. Pada dasarnya perhitungan yang dilakukan dengan membandingkan antara harga umum yang ditetapkan yang diperoleh, dengan menggunakan nilai sekarang (present value) yang telah didiskontokan.

Perencanaan wilayah dan pengalokasian sumberdaya lahan dimulai dari evaluasi lahan. Evaluasi lahan seharusnya mempertimbangkan minimal tiga jenis rent atau manfaat, yaitu ; (a) Ricardiant Rent, (b) Locational Rent dan (c)

Enviromental Rent. Ricardiant Rent adalah rent yang timbul sebagai akibat dari

kualitas lahan untuk penggunaan tertentu. Locational Rent berkaitan dengan lokasi/jarak suatu lahan relatif terhadap suatu kegiatan tertentu. Sedangkan

Environmental Rent adalah rent yang timbul karena fungsi ekologinya. Pada

kenyataannya ketiga rent tersebut sering tidak berkorelasi positif, sehingga terjadi

trade off (Rustiadi et al., 2004). Perencanaan yang baik seyogyanya

mengoptimalkan ketiga jenis rent tersebut, karena dalam mekanisme pasar hanya melihat ricardiant rent dan locational rent saja dan tidak mempertimbangkan

environmental rent. Pemanfaatan suatu lahan yang hanya mempertimbangkan

ricardiant rent dan locational rent saja disebut Economic Land Rent atau Land

Rent.

Land rent merupakan pendapatan bersih yang diterima dari sebidang

tanah/lahan tiap meter persegi tiap tahun akibat dilakukannya suatu kegiatan pada bidang lahan tersebut (Barlowe, 1978). Pada usahatani padi sawah, pendapatan bersih petani berasal dari pendapatan kotor petani dikurangi biaya. Penghitungan biaya tergantung pada ; (1) finacial analysis, yaitu penghitungan biaya dilihat dari segi pengelola usaha, dan (2) economic analysis yaitu bila biaya ditinjau dari sudut pandang masyarakat secara keseluruhan (publik). Biaya dalam usahatani padi sawah yang dihitung terdiri dari biaya tenaga kerja (tenaga kerja keluarga dan tenaga kerja di luar keluarga), pupuk, pestisida, pajak, benih dan alat-alat pertanian dan sewa tanah walaupun petani tidak menyewa tanah (Rustiadi et al., 2004).

Kegiatan yang menghasilkan land rent tinggi pada umumnya akan mampu menggeser kegiatan yang mempunyai land rent yang lebih rendah. Hal ini