• Brand Usage :
145
Jamsostek memegang kendali sebagai merek dengan tingkat penggunaan tertinggi di kategori asuransi sosial. Namun, empat dari sepuluh responden tidak menggunakan merek asuransi sosial tertentu. Di sisi lain, BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan menduduki posisi kedua dan ketiga dengan masing-masing penggunaan 28,4% dan 21,4%. Sementara ada 6,1% responden yang menggunakan BPJS.
Pola penggunaan diatas mencerminkan beberapa hal. Pertama, kekuatan merek Jamsostek secara konsisten telah terbukti dominan menjadi leader di kategori asuransi sosial. Artinya, dengan adanya proses rebranding ini, indeks penggunaan Jamsostek bisa lebih tinggi dari 39,9% karena tidak menghitung penggunaan BPJS Ketenagakerjaan. Kekuatan merek ini pula yang mendorong 11,9$ responden menyatakan masih menggunakan merek tersebut. Kedua, ada 6,1% responden yang pernah menggunakan BPJS dan mengerucut menjadi 4,3% sebagai merek yang masih aktif digunakan. Ini mengindikasikan responden masih belum secara paripurna mengindetifikasi secara akurat layanan BPJS yang sebenarnya digunakan. Ketiga, separuh dari responden 50% menyatakan saat ini sedang tidak menggunakan layanan asuransi apapun. Ini menjadi potensi pasar yang besar dan jika dapat dioptimalkan dengan baik dapat memberikan kontribusi finansial yang menjanjikan.
Responden sensitif terhadap transformasi Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan dan respon positif untuk memilih BPJS Ketenagakerjaan dari responden
Market development
yang sedang dilakukan oleh BPJS Ketenagkerjaan saat ini berupaya untuk memperluas pasar pengguna asuransi sosial sampai di luar area pekerja. Dengan besarnya pasar informal di Indonesia, memberikan peluang bisnis yang menarik.Key Summary Brand Evaluation
• Brand Association:
146
Top of Mind merek asuransi sosial sangat terasosiasi dengan manfaat fungsional yang ditawarkan. Asosiasi ini juga banyak dikontribusi oleh pemilihan nama merek yang mencantumkan manfaat fungsional tersebut. Hal konsisten juga ditemukan untuk brand meaning yang didominasi sisi utilitarian merek tersebut. Dengan
demikian, tidak ada temuan signifikan baik untuk asosiasi terhadap merek dan makna merek bagi konsumen.
Untuk penguatan asosiasi ke depan, pola komunikasi yang dibangun perlu lebih menekankan variasi layanan yang diberikan dan kekuatan utama layanan yang ditawarkan, mengingat secara umum responden sudah teredukasi dengan alamiah dengan mencantumkan spesifik nama layanan di belakangnya. Khusus untuk kekuatan layanan yang diberikan, persentase jawaban Top of Mind seluruhnya tidak terasosiasi secara utuh menukik ke satu
imageries
, mengingat setiap responden memiliki versi sendiri dalam mengartikulasi asosiasi dan makna merek asuransi sosial.Key Summary Brand Evaluation
• Corporate Brand Equity:
147
Secara umum, pola kepesertaan yang dibentuk saat ini banyak dipengaruhi oleh kebijakan eksternal dari kantor. Ini mengindikasikan bahwa BPJS Ketenagakerjaan dapat lebih mudah untuk memfokuskan pengembangan pasar di luar pasar pekerja, karena jumlah keanggotaan di segmen perusahaan akan tumbuh sejalan dengan siklus bisnis perusahaan terkait.
Share of commitment
terhadap merek asuransi sosial juga sangat positif. Seandainya kepesertaan bukan merupakan kewajiban sekalipun, responden akan tetap menggunakan layanan asuransi sosial. Dari sisi
future commitment
, sikap konsumen relatif lebih moderat. Setidaknya separuh dari responden yang menyatakan akan tetap menggunakan layanan asuransi sosial saat ini jika ada perusahaan yang menawarkan layanan yang sama, merupakan responden yang siap berpindah. Namun porsi responden yang sensitif terhadap harga relatif konsisten antara dua hingga tiga dari sepuluh responden. Dari sisi kredibilitas, secara umum Jamsostek lebih unggul dari BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. Hal ini tidak mengejutkan karena reputasi Jamsostek sebagai perusahaan penyedia layanan asuransi sosial sudah terbentuk selama bertahun-tahun. Di sisi lain, proses rebranding yang baru berlangsung enam bulan relatif cukup berhasil dalam membentuk kredibilitas BPJS Ketenagakerjaan. Proses
shadowing identity
dari Jamsostek sebagaiumbrella brand
memang perlu dilakukan di tahap awal rebranding guna mengkonstruksi kesadaran dan persepsi positif untuk merek baru. Meskipun demikian, fokus masih perlu dilakukan dalam memperkuat proses pembentukan citra positif sebagai perusahaan yang berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan sosial. Untuk bentuk kegiatan sosial yang ideal, layanan kesehatan dinilai lebih cocok dilakukan.
Key Summary Brand Evaluation
• Perceived Brand Equity:
148
Untuk perceived brand equity Jamsostek masih lebih unggul. Dari lima parameter pengukuran yang dievaluasi, yaitu kinerja, manfaat, kesesuaian, kehandalan dan kemampuan melayani, seluruhnya BPJS Ketenagakerjaan menunjukkan dominasi dari kedua merek asuransi sosial.
Khusus untuk BPJS Ketenagakerjaan, secara relatif sedikit lebih unggul dari BPJS Kesehatan. Karena responden yang mengetahui penggantian merek Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan, secara psikologis menggunakan Jamsostek sebagai referensi dalam mengevaluasi BPJS Ketenagakerjaan. Sehingga proses transformasi positif banyak terbantu.
Key Summary Brand Evaluation
• New Logo Exploration:
149
Impresi repsonden terhadap logo Jamsostek, BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan lebih normatif. Ini terindikasi dari kesan pertama responden terhadap ketiga merek diatas. Sehingga proses identifikasi keterwakilan citra dengan merek menjadi kurang optimal. Namun, temuan menarik muncul dari impresi terhadap logo BPJS Kesehatan yang dinilai rumit (9,5%) dan merepresentasikan kebersamaan (3,4%). Demikian pula untuk impresi responden terhadap warna BPJS Ketenagakerjaan yang dinilai menarik, warna
cerah/menarik, dan perpaduan yang ideal. Tidak ada jawaban spesifik dari responden secara detail menjabarkan filosofi dibalik perpaduan ketiga warna. Ini juga menguatkan indikasi masyarakat kurang artikulatif dalam melakukan interpretasi dan jarang menyentuh sisi substansinya.
Demikian pula proses asosiasi warna BPJS Ketenagakerjaan dengan perusahaan yang muncul di benak responden. Hanya 4,1% responden yang secara akurat menilai warna tersebut merupakan warna BPJS Ketenagakerjaan. Uniknya, responden secara dominan menilai warna BPJS dan Jamsostek. Ini mengindikasikan dua hal menarik. Pertama, proses mengingat responden terhadap nama BPJS Ketenagakerjaan masih belum utuh dan mengingat secara parsial. Ini beresiko karena ada institusi lain yang menggunakan terminologi BPJS. Ini juga dapat berdampak
hallo effect
, jika responden mengalami masalah dengan satu brand BPJS, maka BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan memiliki kans yang sama untuk terdampak negatif. Indikasi kedua, proses kesesuaian warna Jamsostek dan BPJS Ketenagakerjaan banyak membantu dalam proses mengingat. Ini merupakan strategi yang tepat dari BPJS Ketenagakerjaan untuk mempercepat proses kognitif dari proses rebranding ini.Key Summary Brand Evaluation
• Brand Personality Evaluation:
150
Untuk evaluasi brand personality, ada kemiripan diantara ketiga merek yang dievaluasi. Asosiasi tertinggi ketiganya adalah identitas merakyat. Proses evaluasi ini diduga oleh persepsi di level kategori layanan yang ditawarkan, yaitu asuransi sosial. Ini yang akhirnya mendorong kesan asuransi sosial sebagai asuransi yang melayani segala lapisan masyarakat.
Temuan menarik lainnya adalah penurunan kesan merakyat di BPJS Ketenagakerjaan (41,1% menjadi 21,9%). Ini mengindikasikan beberapa hal penting. Pertama, merek BPJS Ketenagakerjaan mulai mengusung format modern. Ini dilihat dari munculnya atribut “mengikuti zaman” di peringkat ketiga (7,7%). Kesan modern ini juga dibentuk oleh desain logo BPJS Ketenagakerjaan yang lebih muda dan segar, sehingga banyak menanggalkan kesan ortodoks. Kedua, peringkat ketiga dan keempat di BPJS Ketenagakerjaan adalah mengikuti zaman (7,7%) dan dapat diandalkan (6,0%) menjadi kekuatan penting karena modernitas tanpa diikuti oleh reliabilitas pada akhirnya tidak dapat memperkuat
brand engagement
. Ketiga, atribut kesejahteraan naik menjadi 10,5% (di Jamsostek hanya 6,0%). Ini juga menujukkan keyakinan (belief
) masyarakat terhadap BPJS Ketenagakerjaan mampu memenuhi janjinya.• Brand Loyalty:
Secara umum, pola
brand loyalty
diketiga merek berada di posisi moderat, yaitu Switching Cost Loyal Customer. Artinya, pada level ini konsumen merasa puas dnegan berbagai manfaat yang ditawarkan oleh perusahaan. Di sisi lain, struktur piramida loyalitas di BPJS Ketenagakerjaan mengindikasikan performa yang lebih positif. Pertama, mengalami kenaikan di segmen Comitted Buyer (42,3% di Jamsostek menjadi 79,8% di BPJS Ketenagakerjaan). Kedua, dua tingkatan loyalitas piramida terbawah mengalami reduksi : Non Loyal Customer (42,3% di Jamsostek menjadi 39,8% di BPJS Ketenagakerjaan) dan Habitual Customer (64,8% di Jamsostek menjadi 62,9% di BPJS Ketenagakerjaan). Kedua pola ini menunjukkan karakter konsumen lebih mengedepankan manfaat yang diberikan daripada faktor harga dan inisiatif kepesertaan tidak hanya terbatas dari regulasi pekerjaan.
Key Summary Brand Evaluation
• Rebranding Sensitivity Analysis:
151
Untuk proses rebranding, indeks sensitivitas menunjukkan indeks 194,86. Ini menunjukkan sensitivitas yang tinggi (diatas 1,0). Semakin tinggi indeks sensitivitas maka semakin sensitif responden terhadap perubahan yang dilakukan.
Tingginya sensitivitas ini diduga dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, proses rebranding ini masih banyak menggunakan berbagai atribut dan identitas merek lama, yaitu Jamsostek. Ini terlihat dari sisi pemilihan warna sehingga lebih memudahkan responden dalam mengidentifikasi merek BPJS Ketenagakerjaan. Semakin banyak menggunakan atribut lama, tentunya akan semakin membantu proses kognitif ini. Namun, jika merek lama memiliki sisi negatif tentu saja penyertaan atribut lama akan sangat beresiko.
Indikasi kedua, untuk kasus rebranding indeks sensitivitasnya akan lebih tinggi dibandingkan dengan perluasan merek (
brand extension
). Dalam proses perluasan merek, konsumen sebenarnya masih menggunakan merek lama dalam mengidentifikasi perluasan merek. Hipotesis ketiga, yang terpenting, pola komunikasi rebranding dan perluasan merek berbeda. Proses rebranding merupakan proses yang kompleks sehingga konten komunikasi (isi dan pola penyampaian pesan) lebih menekankan janji layanan baru. Sehingga secara psikologis, semakin tinggi eksposur iklan, maka akan meningkatkan
likeability
konsumen terhadap merek yang diiklankan. Pada akhirnya ini akan mendorong naiknya tingkat kesukaan, preferensi dan keyakinan terhadap merek.Key Summary Brand Evaluation
• Brand Equity Measurement:
152
Secara keseluruhan, ekuitas merek Jamsostek (85,9%) jauh lebih tinggi dibandingkan dengan BPJS Ketenagakerjaan (65,4%) dan BPJS Kesehatan (66,5%). Sebagai perusahaan asuransi sosial yang memiliki pengalaman yang signifikan di Indonesia sehingga mendorong
brand awareness
Jamsostek. Inilah yang menjadi komponen kesenjangan tertinggi dengan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Ketenagakerjaan sedikit dibawah BPJS Kesehatan. Salah satu faktor yang mendorong hal ini adalah masih rendahnya asosiasi positif BPJS Ketenagakerjaan (65,3% vs 85,5%). Di sisi lain, komponan ekuitas merek lainnya BPJS Ketenagakerjaan masih lebih unggul dibandingkan BPJS Kesehatan.
153