• Tidak ada hasil yang ditemukan

SUMPAH PALAPA Dicetak dan diterbitkan oleh:

Dalam dokumen SumpahPalapa-DewiKZ-TMT.pdf (Halaman 82-200)

Penerbit :Margajaya Surakarta

Karya : SD DJATILAKSANA Hiasan gambar : Oengki.S

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Pembuat Ebook :

Scan DJVU : Koleksi Ismoyo http://cersilindonesia.wordpress.com/

PDF Ebook : Dewi KZ

http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/ http://kang-zusi.info http://cerita-silat.co.cc/

Tersentuh kalbu digetar samar ketika sunyi berbisik namamu membias relung-relung renung menyayup bahana sumpahmu lamun buwus kalah nusantara isun amukti palapa...

Hasrat membubung, suksma menderu menuju gunduk dataran ria Gurun, Seran, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda,

Palembang, Tumasik untaian ratna harapan tempat citamu bersemi satu Duhai, ksatrya wira-bhayangkara

Kini kita telah menemuinya ketika sunyi berbisik namamu entah di arah belah penjuru mana tetapi kita tahu

bahwa bisik itu sebuah amanatmu inilah

daerah Nusantara yang bersatu dialas Pulau Yang Delapan. Penulis

I

Ketika kedua sosok tubuh manusia itu makin dekat dan hanya terpisah lima langkah maka cepatlah mereka disambut oleh tatap pandang mata mpu Aditya dan tumenggung Nala yang sudah mengadakan persiapan kewaspadaan lebih dulu.

"Engkau, Arya Damar" mpu Aditya menghambur teriak dalam nada ketegangan yang terurai.

Kedua orang yang menegangkan perasaan mpu Aditya dan tumenggung Nala itu, tak lain adalah Arya Damar dan Arya Lembang. Kedua arya itupun gegas mengunjuk hormat.

"Benar, paman" Arya Damar berdatang ujar "hamba berdua Kembar dan Lembang"

Sebagai seorang wrddha mentri atau mentri prau-dhatara, mpu Aditya mempunyai kedudukan yang amat tinggi didalam pemerintahan kerajaan Majapahit. Pangkat itu menyerupai kedudukan seorang maha mentri, lebih tinggi dari mahapatih atau perdana mentri. Pangkat wreddha mentri biasanya hanya dijabat oleh tokoh yang bijaksana dan berdarah keturunan tinggi.

Dalam hal itu mpu Aditya memenuhi persyaratan dengan tepat. Dia seorang yang setya dalam pengabdian kepada kerajaan Majapahit, pandai, bijaksana dan berdarah luhur, masih tergolong tad-bansyah atau mempunyai hubungan darah dengan raja Majapahit.

"Apa kerjamu pada malam sesunyi ini berjalan-jalan disekeliling luar tembok keraton?" tegur sang wredha menteri pula.

"Hamba sedang melakukan ronda keamanan, gusti" jawab Arya Damar.

Aditya beringsut pandang kearah tumenggung Nala yang berada disampingnya. Melalui pandang mata masing2, mereka menyatakan keheranan atas ucapan Arya Damar.

"Meronda ?" ulang mpu Aditya "kurasa, tugas ronda keamanan telah dipegang oleh kidemung Samaya dan tumenggung Nala ini. Adakah tiap malam engkau juga melakukan ronda keamanan begini ?"

"Tidak, paman" sahut Arya Damar "walaupun hamba merasa bahwa sejak mangkatnya seri baginda Jayanagara, soal keamanan terutama keamanan keraton Tikta-Sripala harus lebih ditingkatkan dan sekalipun hamba menyadari bahwa soal keamanan itu bukan semata menjadi tanggung jawab prajurit2 bawahan ki de-mung Samaya dan tumenggung Nala melainkan juga tanggung jawab seluruh kawula Majapahit, namun hamba tetap menjaga garis2 tugas dan menghormati hak kewajiban ki demung Samaya dan tumenggung Nala"

"Tetapi mengapa engkau saat ini mengatakan sedang melakukan ronda keamanan?"

"Benar paman"j awab Arya Damar "sebab hamba ingin ikut membantu menjaga keamanan pura kerajaan"

"Hm" mpu Aditya mendesuh dalam hati "agak sukar untuk menyelami dua macam perkataanmu. Pertama, engkau mengatakan bahwa engkau tetap menghormat hak kewajiban pasukan penjaga keamanan keraton yang dibawahi demung Samaya dan tumenggung Nala. Artinya, engkau tak ingin ikut campur dalam tugas2 ronda keamanan. Tetapi kemudian dalam kcteranganmu lebih lanjut engkau menyatakan ingin membantu menjaga keamanan pura kerajaan"

"Benar, paman" sahut Arya Damar "sesungguhnya tiada yang berselisih dalam kedua pernyataan hamba itu"

”Kesadaran bahwa keamanan negara itu menjadi tanggung jawab seluruh kawula, itulah pendirian hamba. Bahwa hamba tetap menghormati garis2 hak kewajiban ki demung dan ki tumenggung yang diserahi tugas menjaga keamanan pura, itulah sikap hamba terhadap peraturan tata-praja. Jika terjadi pembauran dian-tara pendirian dan sikap hamba terhadap soal keamanan, hanyalah terletak pada waktu dan kebutuhan belaka, paman"

"O" mpu Aditya kerutkan dahi "bilakah terjadinya hal2 yang menurut anggapan, engkau dituntut oleh waktu dan kebutuhan dalam soal keamanan itu?"

"Sejak baginda wafat, paman. Hamba anggap keamanan pura harus lebih ditingkatkan penjagaannya. Hamba sebagai pimpinan pasukan Sriwijaya yang dititahkan datang ke Majapahit, walaupun peristiwa Bedulu-Bali sudah selesai, namun kami masih terikat akan tugas yang kami terima, agar membantu menjaga keamanan Kerajaan Majapahit"

"O" mpu Aditya mendesuh dalam nada yang sukar ditanggapi arahnya, adakah menyetujui langkah kedua arya itu atau menolak.

"Raden" tiba2 tumenggung Nala membuka suara "pendirian raden tentang hubungan dan wajib kawula terhadap negara, memang tepat. Setiap kawula Majapahit, setiap p u t e r a Majapahit memang mempunyai wajib untuk membela keamanan negara" ia berhenti sejenak untuk menyeliinpatkan pandang ke wajah Arya Damar. Bagaimana tanggap cahaya wajah arya itu terhadap kata2 kawula dan putera Majapahit yang sengaja ia tekankan nadanya itu. Memang dahi Arya Damar agak mengeriput sedikit. Rupanya dia merenungkan kata2 itu.

"Maka betapapun halnya" kata tumenggung Nala pula "sebagai petugas yang mewakili ki demung Samaya untuk mengepalai pasukan keamanan pura Majapahit, aku menghaturkan terima kasih atas bantuan raden"

Keriput pada dahi Arya Damar mendatar kembali.

"Sesungguhnya" tumenggung Nala melanjut pula "arti daripada pernyataan raden bahwa keamanan negara itu menjadi tanggung jawab seluruh kawula, tak lain merupakan suatu penjagaan secara menyeluruh dan menurut pembagian tugas masing2. Prajurit bertugas di medan laga untuk menghalau musuh yang hendak mengganggu negara, pasukan keamanan baik di pura kerajaan maupun di daerah2, menjaga wilayah kekuasaan masing2. Sedang para kawulapun wajib menjaga desa, perkampungan dan rumah masing2. Dengan demikian tercapai kebulatan wajib yang sesuai dengan tanggung jawab masing2 terhadap negara. Bukankah jika setiap kesatuan ataupun perorangan, tahu akan kewajiban menjaga keamanan daerah dan halaman sendiri, keamanan negara secara menyeluruh akan dapat terlaksana?"

Dengan kata2 itu tumenggung Nala hendak menegaskan bahwa keamanan pura Majapahit sudah diserahkan pada pasukan keamananan yang dipimpinnya. Sedang Arya Damar dan Arya Lembang cukup menjaga kesatuannya sendiri2

Muka Arya Damar bertebar merah. Ia tahu bahwa secara halus tumenggung Nala telah menegurnya dan memperingatkan bahwa keamanan pura sudah ada bagian kesatuan pasukan yang menjaga.

"Ah, sama sekali kami tak meremehkan kemampuan ki tumenggung dalam menjaga keamanan pura" katanya "namun mengingat bahwa sejak baginda mangkat, suasana pura perlu mendapat perhatian, maka kami berdua pun dengan cara kami sendiri, ingin membantu memelihara keamanan pura. Kami harap janganlah ki tumenggung mempunyai prasangka apa2 terhadap kami"

"Jauh dari itu, raden" jawab tumenggung Nala. Ia tahu bahwa kata-katanya telah dapat dimengerti Arya Damar. Itu sudah

cukup. Maka iapun tertawa untuk menyegarkan suasana pembicaraan "bahkan kami harus berterima kasih kepada raden"

Arya Damar hanya tertawa. Ia tahu apa sesungguhnya dibalik ucapan terima kasih dari tumenggung itu. Jelas dalam hati tumenggung itu membertik rasa kurang senang terhadap dirinya. Namun untuk mencairkan suasana saat itu ia tak dapat berbuat apa2 kecuali menerima kenyataan dan diam2 mencatat dalam hati s iapakah tumenggung Nala itu.

"Apakah selama engkau berkeliling meronda tadi, melihat sesuatu yang tak wajar?" tiba2 pula mpu Aditya menegur.

"Tidak paman" sahut Arya Damar "lorong2 disekeliling tembok luar keraton sunyi senyap ditelan kegelapan malam"

Mpu Aditya mengangguk "Damar, adakah hanya engkau berdua yang mengadakan ronda keamanan ini?"

”Benar paman"

"Dimana anakbuahmu?"

"Masih berada di bandar Canggu, paman" "Bilakah engkau kembali ke Swarnadwipa lagi?”

"Sampai saat ini hamba belum menerima titah. Kemungkinan nanti apabila seusai pengangkatan seri baginda yang baru. Adakah paman hendak memberi pesan apa2 kepada hamba ?"

Mpu Aditya gelengkan kepala "T idak. Aku masih sibuk dengan urusan keraton Tikta-Sripala"

"Adakah .... paman berkenan hendak menjenguk ke kerajaan paman di Kanaka?"

Mpu Aditya merenung sejenak lalu menjawab "Telah kukatakan dewasa ini aku masih sibuk dengan urusan dalam keraton Tikta-Sripala. Belum sempat memikirkan hal2 yang lain"

"Hamba dengar kini kerajaan Kanaka, berkat pimpinan yang bijaksana dari ayahanda paduka, baginda Adwayawarmma, makin bertambah makmur dan sejahtera. Hamba rasa, baginda Adwayawarmma tentu sangat merindukan kepulangan paman"

Mpu Aditya terkejut dalam hati. ”Bukankah Arya Damar tahu akan kegawatan suasana dalam pura Majapahit dewasa itu? Mengapa dia mengingatkan dan secara halus menganjurkan agar ia kembali menjenguk kedua ayahanda dan ibunda di tanah Malayu?"

"Telah kukatakan" katanya dengan menahan perasaan "saat ini aku belum sempat memikirkan hal itu. Tepatkah aku meninggalkan Majapahit di kala kerajaan itu sedang menghadapi peristiwa sebesar ini?"

"Demikian paman" kata Arya Damar "hamba percaya penuh akan kebijaksanaan paman"

"Damar" tegur mpu Aditya "hendak kemana-kah engkau menuju?"

"Hamba akan melanjutkan langkah hamba menyelesaikan perondaan, kemudian terus pulang"

"Baiklah, akupun hendak me lanjutkan perjalananku" kata mpu Aditya menyatakan isyarat agar Damar melanjutkan perjalanannya. Demikian Arya Damar dan Arya Lembangpun segera menghaturkan hormat dan mohon diri.

"Gusti" di tengah perjalanan, tumenggung Nala mulai membuka pembicaraan "ada sesuatu yang hamba rasakan kurang wajar pada diri kedua arya itu"

"O" sahut mpu Aditya tenang2 "apakah hal itu, ki tumenggung"

"Sebelumnya hamba mohon maaf untuk mengajukan pertanyaan kepada gusti"

"Tak apa, silakan bicara"

"Adakah setiap malam gusti keluar melakukan perondaan?" Mpu Aditya kerutkan kening "Tidak setiap ma lam. Hanya dua tiga malam sekali"

"Terima kasih, gusti" kata tumenggung Nala "adakah pada waktu gusti melakukan perjalanan berkeliling pura itu, pernah berjumpa dengan para arya terutama Arya Damar dan Arya Lembang?"

"Tidak" mpu Aditya gelengkan kepala.

"Demikian pula hamba, gusti" kata tumenggung Nala "hampir dikata tiap malam, sejak ki demung Samaya gering, hamba keluar berkeliling pura. Tetapi selama itu tak pernah hamba berjumpa dengan para arya itu"

"Hm" desuh mpu Aditya "engkau anggap hal itu kurang wajar?"

"Benar" sahut tumenggung Nala.

Diam sejenak, mpu Aditya berkata "Dalam hal ini, mungkin saja timbul hal2 yang disebut tersisip. Misalnya, pada waktu engkau keluar, mereka kebetulan tidak. Dan justeru apabila engkau malam itu tak keluar, mereka kebetulan keluar. Ataupun mengenai waktunya, mungkin berselisih sehingga tak pernah berjumpa dengan mereka"

"Mudah-mudahan begitu" kata tumenggung Nala "tetapi kesan yang hamba peroleh malam ini, memang menimbulkan pemikiran. Adakah sedemikian kebetulan sekali bahwa setelah gusti mengalami sergapan dari gerombolan pengacau, lalu kita berjumpa dengan kedua arya Damar dan Lembang?"

"Ki Nala!" mpu Aditya berseru seperti seseorang yang teringat sesuatu "engkau maksudkan.. . ."

"Hamba tidak menuduh" cepat tumenggung Nala berkata "namun demi tugas hamba, hambapun dituntut untuk merenung dan menafsirkan hal itu"

"Tetapi tidakkah janggal kedengarannya apabila kawanan pengacau itu engkau hubungkan dengan kedua arya itu ? Bukankah kedua arya itu berada difihak yang berlainan arah. Kawanan penjahat itu hendak mengacau keamanan, sedang kedua arya itu meronda untuk untuk menjaga keamanan"

Tumenggung Nala mengangguk "Benar gusti, Memang hal itu janggal kedengarannya namun tidak menutup kemungkinan akan kenyataannya"

"Bagaimana maksudmu, ki Nala ?"

"Dalam pengalaman hamba selama bertahun-tahun menjadi narapraja, mulai dari bawah sehingga mencapai tingkat sebagai tumenggung, banyaklah ragam peristiwa yang hamba peroleh. Karena tugas hamba itu sebagian besar dalam kalangan keprajuritan dan keamanan, maka hambapun memperoleh pengalaman tentang cara1 yang dilakukan kaum penjahat.

Diantara cara2 yang digunakan mereka, terdapat apa yang disebut 'membuang bekas'. Melenyapkan segala sesuatu jejak atau bekas2 perbuatannya agar jangan diketahui yang berwajib. Misalnya, seorang pencuri di-kala perbuatannya diketahui yang empunya rumah maka pencuri itupun ikut berteriak-teriak menyebut 'pencuri' dan ikut mengejar dengan rombongan penduduk. Selain itu agar tidak diketahui orang, maka penjahat itupun tak segan membunuh korbannya ...."

"Hai" tiba2 mpu Aditya hentikan langkah "jika demikian .... eh, ki Nala, adakah engkau juga pernah mendengar tentang kasak kusuk yang terdapat di sementara kalangan narapraja kerajaan ?"

Tumenggung Nalapun berhenti dan terkejut "Berita kasak kusuk apakah yang gusti maksudkan?"

Sejenak mpu Aditya memandang wajah tumenggung Nala seolah hendak meneliti kejujuran hatinya

"Apakah engkau benar2 tak mendengar?"

Tumenggung Nala terdiam, merenung sejenak lalu menjawab "Memang berita2 dan kasak kusuk dikalangan pemerintahan, tentu ada dan sudah lumrah. Tetapi apa yang gusti maksudkan, hamba benar2 kurang jelas"

”Tentang peristiwa ra Tanca" "Ya"

"Yang dibunuh patih Dipa itu"

"O, gusti maksudkan desas desus yang menafsirkan tindakan ki patih Dipa membunuh ra Tanca itu ?"

"Benar"

"Hambapun mendengar desas desus itu" kata tumenggung Nala.

"Lalu bagaimana tanggapanmu? Sementara orang mengatakan bahwa dalam peristiwa pembunuhan ra Tanca itu, patih Dipa tak terlepas dari tuduhan menggunakan cara seperti yang engkau katakan tadi"

"Membuang jejak ?" "Ya" sahut mpu Aditya.

Angin berhembus makin dingin. Malampun telah memuncak larut. Cahaya bulan bersalut awan putih, meremang di barat. Namun tumenggung Nala merasakan tubuhnya makin hangat dibakar bahan pembicaraan yang dilepaskan mpu Aditya.

"Setiap peristiwa" katanya setelah mengemasi diri "tentu dapat dinilai dari beberapa segi dan f ihak. Peristiwa ki patih Dipa membunuh ra Tanca, jika dipandang dari segi tugasnya sebagai andika-bhayangkara yang mendapat kepercayaan penuh dari

baginda, adalah tindakan yang tepat. Hukum kerajaan Majapahit yang termaktub fasal Tiga dari kitab Hukum Agama menyebutkan tentang perbuatan Astadusta. Yang disebut Astadusta nyi : Yang membunuh seorang yang tidak berdosa. Menyuruh bunuh orang yang tidak berdosa. Melukai orang yang tidak berdosa. Makan bersama dengan pembunuh. Mengikuti jejak pembunuh. Bersahabat dengan pembunuh. Memberi tempat kepada pembunuh dan yang kedelapan atau terakhir, memberi pertolongan kepada pembunuh.

"Diantara kedelapan tindak dusta itu maka yang kesatu, kedua dan ketiga, dikenakan hukuman mati. Dengan tegas undang2 kerajaan Majapahit menyatakan bahwa tidak ada orang yang dikecualikan dari undang2 tersebut. Meski mentripun jika ia melakukan tiga hal dari Astadusta itu, juga dikenakan pidana mati. Jika ada orang yang membunuh kepada orang yang melakukan ketiga hal Astadusta itu, maka orang yang membunuh si pembunuh itu takkan dituntut"tumenggung Nala melanjutkan pula.

"Ya, memang dalam hal patih Dipa bertindak membunuh Tanca itu takkan dituntut apa2 karena jelas Tanca telah melakukan tindak pertama dari Astacorah yaitu membunuh orang yang tak berdosa. Bahkan berani membunuh baginda" kata mpu Aditya "yang didesuskan orang2 itu bukanlah soal tindakan patih Dipa membunuh ra Tanca, melainkan latar belakang dari tindakan patih Dipa itu. Jelasnya, mereka menafsirkan bahwa tindakan patih Dipa itu mengandung percik2 noda hitam"

Tumenggung Nala mengangkat muka, memandang mpu Aditya "Telah hamba katakan, bahwa setiap peristiwa dapat ditafs irkan dari berbagai segi dan oleh beberapa fihak yang mempunyai kepentingan. Fihak yang mendukung langkah ki patih Dipa tentu membenarkan tindakannya. Tetapi yang tak menyukai, terlebih pula fihak yang menderita kerugian, tentu

akan mencela dan menaburkan tafsiran2 yang bersifat memfitnah"

Dalam pada berkata-kata itu, mpu Adityapun mulai ayunkan langkah lagi. Tumenggung Nala berjalan disisi sang wreddha mentri.

"Benar, ki tumenggung" sahut mpu Aditya "memang sebagai seorang narapraja kita harus mempunyai landasan yani berpijak pada kepentingan negara dan beralas pada hukum yang berlaku. Namun karena kuanggap desas desus itu akan membawa akibat luas apabila tidak kita tanggapi, maka mau tak mau akupun menaruh perhatian juga. Ingat timbulnya suatu gerakan, terutama yang membahayakan keamanan negara, kebanyakan bersumber pada desas desus. Inilah yang wajib kita amat-amati"

Tumenggung Nala mengiakan.

"Desas desus tentu mengandung sifat yang kurang baik. Karena jika untuk kebaikan dan kepentingan negara, tentulah tak perlu harus disebarkan melalui desas desus atau bisik-bisik secara tersembunyi, bukankah sesuatu yang takut diketahui itu tentu mengandung hal2 yang kurang baik?" kata tumenggung Nala ”jika kita menampung dasas desus itu, memang banyak sekali coraknya. Tetapi rupanya yang nendapat angin adalah aliran yang menuduh bahwa tindakan ki patih Dipa itu tak lain hanya sebagai langkah 'menghapus jejak' saja. Dengan lain kata, ki patih Dipa hendak melenyapkan ra Tanca karena kuatir ra Tanca akan membuka rahasia siapakah sesungguhnya yang menganjurkan dia agar membunuh baginda ...."

"Kiranya engkau sudah mendengar desas desus macam itu, ki Nala" mpu Aditya menyambut ”mereka menuduh ki patih mempunyai maksud tertentu mengapa terus langsung membunuh Tanca. Mereka menyayangkan mengapa patih Dipa tak menangkap hidup pembunuh itu untuk dihadapkan ke sidang pengadilan"

"Gusti" sahut tumenggung Nala "untuk menuduh memang mudah. Setiap gerak dan tindak, dapat dijadikan bahan tuduhan. Semudah itu pula untuk menuduh dan menyesalkan tindakan ki patih Dipa, mengapa terus membunuh dan tak menangkapnya agar dapat diadili. Tetapi apabila kita renungkan dan membayangkan saat2 peristiwa itu terjadi maka dapatlah kita menemukan gambaran yang sebenarnya. Saat itu patih Dipa bergegas masuk ke istana karena mendapat keterangan dari nyi Tanca bahwa ra Tanca sedang dipanggil baginda untuk mengobati sakit bisul yang diderita baginda. Tetapi pada saat patih Dipa melangkah ke ruang kediaman baginda, maka ra Tanca memberosot keluar dari ruang peraduan dengan wajah memberingas dan memegang cundrik yang berlumur darah. Dan ketika ditegur patih Dipa, Tanca terus melarikan diri. Dalam keadaan itu tiada lain jalan bagi ki patih kecuali harus menyerang Tanca. Kemungkinan memang terangan-angan dalam pikiran ki patih untuk menangkapnya. Tetapi kemungkinan pun juga tak terlintas angan2 itu dalam hati ki patih. Karena mengetahui baginda junjungannya tentu tertimpa malapetaka maka patih Dipa terus mencabut pedang dan menyerang Tanca"

Berhenti sejenak, tumenggung Nala menyambung "Sekarang kita tinjau keadaan Tanca. Setelah membunuh baginda, dia tentu ketakutan lalu melarikan diri. Pencuri yang kepergok dan hendak ditangkap tentu nekad akan me lawan dan membunuh pengejarnya. Kecuali kalau dia sudah tak berdaya dikepung orang, barulah dia mau menyerah. Demikian pembunuh, demikian ra Tanca pula. Dia kepergok ki Dipa. Dia menyadari bahwa pidana dari perbuatannya itu adalah mati. Dia ditangkap dan diadilipun mati pidananya. Jadi dia sudah membe-kal tekad mati. Maka berusahalah dia dalam percobaan untung-untungan. Jika nasib mujur dapat membunuh ki Dipa, dia tentu akan melarikan diri dan lolos dari pura Majapahit. Dengan begitu, jelas dia tentu tak mau ditangkap hidup-hidupan. Menghadapi pembunuh yang sudah sekalap itu, apa daya ki patih kecuali

harus membunuhnya ? Demikian gusti, penilaian hamba akan keadaan pada waktu peristiwa itu terjadi. Lain2 hal, terutama yang menghambur dari desas desus itu, hamba tak dapat memberi tanggapan suatu apa" Wredha mentri Aditya mengangguk-angguk.

"Lain hal yang menyangsikan kebenaran dari desas-desus itu" kata tumenggung Nala melanjut "adalah suatu kenyataan yang telah berlangsung dalam peristiwa pemberontakan Dharmaputera ra Kuti dulu. Bukankah dengan penuh pengabdian, kesetyaan dan keberanian bekel bhayangkara Dipa telah mengiringkan baginda lolos dari pura dan bersembunyi di desa Bedander ? Kesetyaan patih Dipapun telah diakui seri baginda yang berkenan menganugerahkan pedang pusaka Adi-petaka milik rahyang" ramuhun ayahanda baginda yani sri Kertarajasa. Mungkinkah seorang yang dengan sepenuh pengabdian jiwa raga melindungi baginda, akan bertindak menyuruh orang untuk membunuh baginda?"

"Uraianmu cukup jelas, ki tumenggung” kata mpu Aditya "dan hal itu dapatlah menjadi pegangan bagi kita seluruh mentri dan narapraja pura kerajaan untuk memberi pertanggungan jawab atas tindakan patih Dipa membunuh Tanca, dalam usaha mengamankan suasana dari badai desas desus yang berbahaya itu”

Demikian percakapan kedua priagung ilu berhenti manakala mereka tiba di markas prajurit yang bertugas menjaga malam itu. Saat itu sudah menginjak waktu ayam berkokok. Sebelum berpisah, mpu Aditya berpesan betapapun, ”penyerangan gelap dari kawanan pengacau itu amat mencurigakan. Hal itu merupakan petanda bagi kita, bahwa pada waktu ini dalam pura Majapahit telah timbul suatu gerakan yang mempunyai tujuan tertentu"

"Benar, gusti" sambut tumenggung Nala "hamba akan mengerahkan segenap kekuatan untuk menyelidiki gerombolan

itu. Apa latar belakang tujuan mereka? Benar2 mengherankan mengapa mereka menyerang gusti ...." tumenggung Nala hentikan kata-katanya "soal itu memang menimbulkan pertanyaan. Adakah mereka memang hendak mengarah keselamatan jiwa gusti, ataukah .... ataukah ...."

Dalam dokumen SumpahPalapa-DewiKZ-TMT.pdf (Halaman 82-200)

Dokumen terkait