• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokas

SUPLEMENTASI ZAT GIZI PADA BALITA DAN IBU HAMIL/NIFAS

Pemberian tablet besi pada ibu hamil 74 93,7 3 3,8 2 2,5 79 100 Konsumsi tablet besi pada masa kehamilan 65 82,3 12 15,2 2 2,5 79 100 Pemberian kapsul vitamin A pada ibu nifas 49 62 7 8,9 23 29,1 79 100 Konsumsi vitamin A pada ibu nifas 49 62 7 8,9 23 29,1 79 100 Pemberian vitamin A pada balita 77 97,5 2 2,5 - - 79 100 Konsumsi vitamin A pada balita 77 97,5 2 2,5 - - 79 100

Secara umum, indikator KADARZI yang paling rendah pelaksanaannya adalah konsumsi makanan beragam. Rendahnya skor tersebut dikarenakan

masih rendahnya konsumsi sayuran dan buah. Indikator pemberian ASI ekslusif juga perlu diperhatikan karena masih terdapat balita yang tidak mendapatkan ASI ekslusif sebesar 24,1%. Gambar 7 menunjukkan persentase berdasarkan jawaban pertanyaan perilaku KADARZI ibu.

Gambar 7 persentase contoh berdasarkan jawaban perilaku KADARZI Konsumsi Pangan Balita

Tabel 16 menunjukkan frekuensi konsumsi balita perminggu dan perhari berdasarkan kelompok pangan. Kelompok pangan yang sering dikonsumsi adalah pangan hewani (4,9 kali/hr), serealia (3,5 kali/hr), pangan nabati (1,4 kali/hr), buah-buhan (1,4 kali/hr) dan sayur-sayuaran 1,3 kali/hr). Sedangkan frekuensi konsumsi kelompok pangan umbi-umbian dan kacang-kacangan < 1 kali/hr.

Tabel 16 Frekuensi konsumsi balita perminggu dan perhari berdasarkan kelompok pangan

Kelompok pangan Frekuensi

Kali/mg ± SD Kali/hr ± SD Serealia 26 ± 8,4 3,5 ± 1,1 Umbi-umbian 4,2 ± 0,8 0,6 ± 0,1 Pangan hewani 36,9 ± 7,2 4,9 ± 1,0 Pangan nabati 10,7 ± 2,9 1,4 ± 0,4 Kacang-kacangan 4,2 ± 1,2 0,6 ± 0,2 Sayur-sayuran 9,6 ± 0,6 1,3 ± 0,1 Buah buahan 10,5 ± 1,3 1,4 ± 0,2 Lain lain 4,1 ± 3,5 0,5 ± 0,5 39,9 60,1 63,9 82,5 94,9 25,7 25,9 32,6 7,0 2,1 34,4 13,9 3,5 10,5 3,0 0 20 40 60 80 100

Konsumsi makanan beragam Air susu ibu (ASI) Penimbangan berat badan teratur Suplementasi zat gizi pada balita dan

ibu hamil/nifas

Konsumsi garam beryodium

Rendah Sedang Baik

Jenis pangan hewani yang dikonsumsi adalah susu, telur, ikan segar, ayam, ikan asin, dan daging. Hasil penelitian menunjukkan jenis pangan hewani yang sering dikonsumsi adalah susu sebanyak 2,7 kali/hr. Hal tersebut terjadi karena sebagian besar contoh dalam penelitian ini adalah balita yang berusia < 2 tahun dan masih mengkonsumsi susu Jenis pangan hewani lain yang sering dikonsumsi adalah telur sebanyak 1 kali/hr dan ikan segar sebanyak 4 kali/mg. Seringnya konsumsi telur dan ikan disebabkan karena harga yang tidak terlalu mahal dan mudah didapat. Tabel 17 menjelaskan frekuensi konsumsi balita perminggu dan perhari pada kelompok pangan hewani.

Tabel 17 Frekuensi konsumsi balita perminggu dan perhari pada kelompok pangan hewani.

Jenis pangan Frekuensi

Kali/mg ± SD Kali/hr ± SD Susu 20,2 ± 4,1 2,7± 0,8 Telur 7,3 ± 2,7 1 ± 0,2 Ikan segar 4 ± 1,3 0,5 ± 0,5 Ayam 2,7 ± 0,8 0,4 ± 0,2 Ikan asin 1,7 ± 0,4 0,2 ± 0,1 Daging 1 ± 0,2 0,1 ± 0,2

Pada kelompok pangan serealia jenis pangan yang dikonsumsi adalah nasi, jagung, roti, dan mie instan. Rata-rata konsumsi kelompok pangan serealia terbanyak terdapat pada nasi sebesar 2,5 kali/hr. Sedangkan frekuensi konsumsi jagung, roti, dan mie instan < 1 kali/hr. Tabel 18 menunjukkan Frekuensi konsumsi balita perminggu dan perhari pada kelompok pangan serealia.

Tabel 18 Frekuensi konsumsi balita perminggu dan perhari pada kelompok pangan serealia.

Jenis pangan Frekuensi

Kali/mg ± SD Kali/hr ± SD Nasi 18,7 ± 3,2 2,5 ± 1,3 Jagung 0,8 ± 0,2 0,1 ± 0,0 Roti 5,2 ± 1,7 0,7 ± 0,3 Mie instan 1,2 ± 0,9 0,2 ± 0,1

Pada kelompok pangan nabati jenis pangan yang dikonsumsi adalah tahu, tempe, oncom, dan susu kedelai. Jenis pangan yang sering dikosnumsi adalah tahu dan tempe dengan frekuensi 5,4 kali/mg dan 4,9 kali/mg. Sedangkan frekuensi konsumsi oncom dan susu kedelai tidak mencapai 1

kali/mg, hal tersebut disebabkan karena oncom dan susu kedelai sulit untuk didapat karena tidak setiap hari ada dipasar. Tabel 19 menjelaskan frekuensi konsumsi balita perminggu dan perhari pada kelompok pangan nabati.

Tabel 19 Frekuensi konsumsi balita perminggu pada kelompok pangan nabati. Jenis pangan Frekuensi

Kali/mg ± SD Tahu 5,4 ± 1,8 Tempe 4,9 ± 1,2 Oncom 0,1 ± 0,0 Susu Kedelai 0,1 ± 0,0

Tabel 20 menjelaskan frekuensi konsumsi balita perminggu dan perhari pada kelompok pangan pangan sayur-sayuran. Berdasarkan Tabel 20 diketahui bahwa jenis sayuran yang sering dikonsumsi adalah bayam sebanyak 2,1 kali/mg, wortel sebanyak 1,8 kali/mg, dan daun katuk sebanyak 1,2 kali/mg. Frekuensi konsumsi sayuran masih tergolong rendah karena hanya mengkonsumsi 1 kali perhari.

Tabel 20 Frekuensi konsumsi balita perminggu pada kelompok pangan pangan sayur-sayuran.

Jenis pangan Frekuensi Kali/mg ± SD Bayam 2,1 ± 1,7 Wortel 1,8 ± 1,1 Katuk 1,2 ± 0,9 Kangkung 1,1 ± 0,7 Kol 0,9 ± 0,5 Buncis 0,7 ± 0,3 Kacang panjang 0,6 ± 0,3 Sawi 0,5 ± 0,2 Toge 0,5 ± 0,2 Daun singkong 0,3 ± 0,1

Kelompok pangan buah-buahan yang dikonsumsi oleh contoh adalah jeruk, pisang, papaya, mangga, kelengkeng, jambu biji, jambu air, rambutan, dan nanas. Jenis buah yang sering dikonsumsi adalah jeruk dan pisang dengan frekuensi 3,7 kali/mg dan 3,1 kali/mg. Frekuensi konsumsi buah-buahan contoh masih tergolong rendah karenakan contoh tidak mengkonsumsi buah setiap hari. Tabel 21 menunjukkan frekuensi konsumsi balita perminggu dan perhari pada kelompok pangan buah-buahan.

Tabel 21 Frekuensi konsumsi balita perminggu pada kelompok pangan buah- buahan.

Jenis pangan Frekuensi Kali/mg ± SD Jeruk 3,7 ± 2,1 Pisang 3,1 ± 2,0 Pepaya 0,9 ± 0,8 Mangga 0,8 ± 0,8 Kelengkeng 0,8 ± 0,8 Jambu biji 0,5 ± 0,3 Jambu air 0,4 ± 0,3 Rambutan 0,1 ± 0,0 Nanas 0,1 ± 0,0 Sarana Fisik

Dalam suatu keluarga sarana fisik yang baik dapat menunjang kehidupan yang lebih baik. Menurut Riskesdas 2010, di Jawa Barat proporsi penduduk atau rumah tangga yang akses terhadap sanitasi fisik yang layak sebesar 54,2% dan tidak layak 45,8%. Gambar 8 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan sarana fisik.

Gambar 8 Sebaran contoh berdasarkan sarana fisik

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketersediaan sarana fisik sebagian besar sudah baik Ventilasi udara berupa jendela yang dilengkapi dengan lubang angin. Fungsi ventilasi udara adalah untuk pertukaran udara agar di dalam rumah tetap bersih dan segar. Rumah harus memiliki jendela yang cukup. Sebaiknya setiap ruangan mempunyai sedikitnya satu buah jendela yang bisa dibuka dan ditutup sehingga udara dapat mengalir dengan lancar (Latifah et al

2002). Sebagian besar tempat tinggal contoh sudah memiliki ventilasi yang baik (97,5%), sehingga pertukaran udara di dalam rumah dapat berjalan dengan baik.

0 20 40 60 80 100

Ventilasi SPAL Jamban

Sehat (WC) Tempat sampah Sumber air bersih Lantai bukan dari tanah 97,5 55,7 82,3 83,5 91,1 94,9 Sarana Fisik %

Sarana pembuangan air limbah (SPAL) merupakan salah satu saranan penunjang hidup bersih dan sehat yang sangat penting. Setiap rumah harus memiliki sarana pembuangan air limbah, agar air bekas dari dapur, kamar mandi dan tempat cuci pakaian tidak menggenang. Air limbah yang menggenang dapat menimbulkan bau dan menjadi sumber penyakit. Menurut Sukandar (2007) pembuangan limbah manusia harus dapat dibuat dengan baik agar tidak mencemari lingkungan sekitar karena di dalam kotoran manusia banyak sekali terdapat bibit penyakit yang mampu dan menularkan berbagai penyakit. Selain itu juga dapat bersifat mengganggu karena dapat menimbulkan bau tidak sedap. Sarana pembuangan air limbah sebaiknya berupa tangki septik yang dilengkapi dengan saluran pembuangan. Lebih lanjut Latifah et al (2002) menjelaskan saluran pembuangan dari tangki septik harus memiliki saringan sehingga limbah yang dialirkan ke sungai atau selokan menjadi lebih bersih. Berdasarkan hasil penelitian sarana pembuangan air limbah pada umumnya masih rendah, karena hanya sebagian contoh yang telah memiliki saluran pembuangan air limbah (55,7%). Sisanya menggunakan selokan, kali, sungai, dan kolam untuk membuang limbah. Sebagian besar contoh (82,3%) sudah memiliki jamban sehat atau WC yang layak, namun masih terdapat keluarga contoh yang buang air besar di kali, sungai, dan kolam.

Ketersediaan tempat sampah di rumah tidak kalah pentingnya dengan sarana fisik lainnya. Setiap rumah hendaknya memiliki tempat sampah yang memadai untuk sampah rumah tangga sebelum dibuang ke bak sampah penampungan, atau dibakar. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 83,5% contoh sudah memiliki tempat sampah di rumahnya. Rumah tangga yang tidak menyediakan tempat sampah biasanya memasukkan sampah ke dalam kantong plastik, kardus, atau menggunakan baskom lalu kemudian dibuang.

Sebagian besar contoh (91,1%) sudah menggunakan sumber air yang bersih untuk dipergunakan sehari-hari. Sumber air yang digunakan adalah PAM, air sumur, dan air gunung. Terdapat beberapa orang tua contoh yang menggunakan air gunung untuk kebutuhan sehari-hari tanpa melalui proses penyaringan sebelumnya. Air gunung yang digunakan sudah melewati sawah dan sungai sebelumnya. Selain itu, air sumur yang tidak jernih juga digunakan oleh orang tua contoh untuk kebutuhan sehari-hari.

Rumah contoh pada umumnya sudah memiliki lantai yang layak, sudah di keramik, di semen atau tegel, dan bukan berlantaikan tanah (94,9%). Sebagain

kecil masih menggunakan memiliki lantai dari tanah yang diberi alas tikar. Latifah et al (2002) mengatakan bahwa lantai rumah harus mudah dibersihkan misalnya lantai yang terbuat dari keramik, teraso, tegel atau semen, dan kayu atau bambu. Lantai yang terbuat dari tanah sulit dibersihkan dan tidak memenuhi syarat kesehatan karena dapat menjadi sumber penyakit seperti cacing dan bakteri penyebab sakit perut.

Status Gizi Balita

Menurut Sediaoetama (2008) status gizi seseorang merupakan keadaan kesehatan yang dipengaruhi oleh keseimbangan antara pemasukan zat gizi dan pengeluaran akibat penggunaannya oleh tubuh. Jika tubuh mendapatkan asupan makanan dalam kualitas dan kuantitas yang terpenuhi, maka orang tersebut akan mendapatkan status gizi yang optimal. Pada penelitian ini pengukuran status gizi anak menggunakan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB. Pemantauan status gizi balita menggunakan standar baku WHO-NCHS 2005 dan dihitung berdasarkan skor simpangan baku (Z-skor).

Berat Badan Menurut Umur

Sebagian besar contoh (86,6%) memiliki status gizi yang nomal berdasarkan berat badan menurut umur, dan sebanyak 11,4% contoh mengalami gizi kurang (Tabel 22). Hasil ini mendekati hasil Riskesdas (2010) yang menunjukkan prevalensi balita gizi kurang di Jawa Barat berdasarkan berat badan menurut umur sebesar 13% dan data dari sepuluh Posyandu di Kabupaten Sukabumi menunjukkan prevalensi gizi kurang sebesar 12,8%.

Tabel 22 Sebaran contoh berdasarkan status gizi BB/U Status gizi N %

Kurang (underweight) 9 11,4

Normal 70 88,6

Total 79 100

Rata-rata ± SD -0,9 ± 0,9 Tinggi Badan Menurut Umur

Tinggi badan dapat menggambarkan keadaan pertumbuhan rangka (skeletal). Dalam keadaan normal tinggi badan bertambah seiring dengan bertambahnya umur. Pertumbuhan tinggi badan kurang sensitif terhadap masalah gizi dalam jangka waktu yang pendek. Defisiensi zat gizi dalam jangka waktu yang lama dapat mempengaruhi tinggi badan sehingga dapat memberikan gambaran status gizi masa lampau dan dapat dikaitkan dengan keadaan status

sosial ekonomi (Supariasa et al 2002 ). Tabel 23 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan staus gizi tinggi badan menurut umur.

Tabel 23 Sebaran contoh berdasarkan status gizi TB/U

Status gizi n %

Pendek (stunting) 37 46,8

Normal 42 53,2

Total 79 100

Rata-rata ± SD -1,8 ± 2,3

Sebanyak 53,2% contoh memiliki status gizi normal berdasarkan tinggi badan menurut umur, akan tetapi prevalesi stunting masih tinggi yaitu sebesar 46,8%. Data Riskesdas (2010) menunjukkan prevalensi balita pendek di Jawa Barat berdasarkan tinggi badan menurut umur sebesar 33,6% dan data dari delapan Posyandu di kabupaten Sukabumi menunjukkan prevalensi balita pendek sebesar 33,3%. Kondisi stunting menurut Riyadi (2001) menunjukkan bahwa telah terjadi ketidakcukupan gizi dan kesehatan secara kumulatif dan jangka panjang. Hal ini ditunjukkan oleh tingkat konsumsi contoh yang tergolong kurang sehingga menggambarkan ketidakcukupan pangan contoh, dan pada akhirnya menyebabkan pertumbuhan tinggi badan yang tidak optimal untuk anak seusianya.

Berat Badan Menurut Tinggi Badan

Berat badan mempunyai hubungan linier dengan tinggi badan, pada keadaan normal, pertambahan berat badan akan searah diikuti dengan pertumbuhan tinggi badan. Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat sekarang, dan merupakan indeks yang independen terhadap umur (Supariasa et al 2002 ). Tabel 24 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan status gizi berta badan menurut tinggi badan.

Tabel 24 Sebaran contoh berdasarkan status gizi BB/TB Status gizi n % Kurus (wasted) 5 6,3 Normal 61 77,2 Gemuk (overweight) 13 16,5 Total 79 100 rata-rata ± SD 0,4 ± 2,4

Berdasarkan berat badan menurut tinggi badan sebagian besar contoh memiliki status gizi contoh normal (77,2%), namun masih terdapat beberapa contoh yang memiliki status gizi kurus (6,3%) dan gizi lebih (16,5%). Data Riskesdas (2010) menunjukkan prevalensi balita kurus dan sangat kurus di Jawa Barat berdasarkan berat badan menurut tinggi badan sebesar 11,0% dan

data dari delapan Posyandu di Kabupaten Sukabumi menunjukkan balita yang kurus sebesar 7,9%.

Status Kesehatan

Status kesehatan yang diteliti adalah tingkat morbiditas meliputi kejadian sakit, jenis penyakit, serta frekuensi dan lama sakit yang pernah diderita contoh selama dua minggu terakhir. Gambar 9 menunjukkan bahwa sebagian contoh dalam penelitian pernah mengalami sakit selama dua minggu terakhir (55,7%), sedangkan contoh yang tidak mengalami sakit selama dua minggu terakhir sebesar 44,3%.

Gambar 9 Sebaran contoh berdasarkan kejadian sakit

Skor status kesehatan diperoleh dari hasil perkalian antara frekuensi dengan lama sakit dalam hari pada setiap jenis penyakit. Berdasarkan perhitungan klasifikasi interval kelas Sugiyono (2009), skor status kesehatan dikategorikan menjadi tiga kelompok, yaitu tinggi <4), sedang (4-8), dan rendah (>8). Gambar 10 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan skor status kesehatan.

0 20 40 60

Sakit Tidak Sakit 55,7 44,3 Kejadian Sakit 0 20 40 60 80

tinggi sedang rendah 65,8

26,6

7,6 Skor Status Kesehatan %

%

Sebanyak 65,8% contoh mempunyai skor status kesehatan dengan kategori tinggi, 26,6% contoh mempunyai skor status kesehatan kategori sedang, dan 7,6% contoh mempunyai skor status kesehatan kategori rendah.

Penyakit yang pernah diderita contoh selama dua minggu terakhir beraneka ragam. Sebaran contoh berdasarkan jenis penyakit disajikan pada Gambar 11.

Gambar 11 Sebaran contoh berdasarkan jenis penyakit

Penyakit yang banyak ditemukan adalah penyakit infeksi. Penyakit pilek mempunyai prevalensi tertinggi diantara penyakit yang lain yaitu 54,6%. Pilek merupakan penyakit yang disebabkan oleh adenovirus. Gejala dari penyakit pilek adalah hidung tersumbat, bersin, batuk, dan sakit tenggorokan (Sulman et al 1994 dalam Herdhiati 2010). Banyak dari contoh yang mengalami pilek disertai dengan demam dan batuk. Prevalensi demam dan batuk berturut-turut 45,4% dan 40,9%. Menurut Shulman et al (1994) dalam Herdhiati (2010) demam termasuk tanda bahwa tubuh terkena infeksi yang ditunjukkan dengan naiknya suhu tubuh. Demam biasanya terjadi akibat tubuh terpapar mikroorganisme (virus, bakteri, dan parasit).

Diare, gatal-gatal, dan sakit gigi juga dialami contoh salama dua minggu terakhir, dengan prevalensi 11,3%, 9,1%, dan 2,3%. Penyakit diare adalah pengeluaran tinja dengan frekuensi tidak normal dengan konsistensi yang lebih cair. Penyakit diare dapat disebabkan oleh lingkungan yang tidak bersih, seperti air yang kotor, tidak menjaga kebersihan diri, sehingga kuman penyakit dapat dengan mudah masuk ke tubuh.

0 10 20 30 40 50 60

batuk pilek demam diare gatal sakit gigi

40,9 54,6 45,4 11,3 9,1 2,2 Jenis Penyakit %

Hubungan Antar Variabel

Hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi ibu Hasil uji Rank Spearman Correlation menunjukkan hubungan yang negatif dan tidak signifikan (p=0,422, r=-0,092) antara tingkat pendidikan ibu dan pengetahuan gizi dan kesehatan ibu. Hal ini menunjukkan bahwa ibu yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah belum tentu memiliki pengetahuan gizi yang rendah. Tabel 25 menunjukkan sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan ibu dan pengetahuan gizi dan kesehatan ibu.

Tablel 25 Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan ibu dan pengetahuan gizi dan kesehatan ibu

Tingkat pendidikan Ibu

Pengetahuan gizi dan kesehatan

Total Baik Sedang Rendah

N % n % n % n % tidak tamat SD 1 1,2 5 6,3 - - 6 7,5 SD 8 10,1 10 12,7 2 2,5 20 25,3 SMP 17 21,5 10 12,6 1 1,2 28 35,4 SMA 14 17,7 6 7,6 - - 20 25,3 Akademi - - 1 1,2 - - 1 1,2 Universitas 3 3,8 1 1,2 - - 4 5,1 Total 43 54,4 33 41,7 3 3,8 79 100

Tabel 25 menunjukkan bahwa sebagian besar ibu yang memiliki tingkat pendidikan rendah dan lanjutan memliki pengetauan gizi yang cukup baik. Pengetahuan tidak hanya didapat dari pendidikan formal saja, tetapi juga bisa didapat dari pengalaman berorganisasi, dan pendidikan informal (Hastuti 2008). Hubungan antara tingkat pengetahuan gizi ibu dengan perilaku KADARZI

Hasil uji Rank Spearman Correlation menunjukkan hubungan yang positif tetapi tidak signifikan (p=0,195, r=0,147) antara pengetahuan gizi ibu dengan perilaku KADARZI ibu. Hal ini menunjukkan ibu yang memiliki tingkat pengetahuan gizi yang baik belum tentu selalu memiliki perilaku KADARZI yang baik. Tabel 26 menunjukkan sebaran responden berdasarkan tingkat pengetahuan gizi ibu dengan perilaku KADARZI.

Tablel 26 Sebaran responden berdasarkan pengetahuan gizi ibu dan perilaku KADARZI ibu

Pengetahuan gizi dan kesehatan

Perilaku KADARZI

Total Baik Sedang Rendah

n % n % n % n % Baik 32 40,5 11 13,9 - - 43 54,4 Sedang 25 31,6 8 10.2 - - 33 41,8 Rendah - - - 0 3 3,8 3 3,8 Total 57 72,1 19 24,1 3 3,8 79 100

Hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan perilaku KADARZI

Hasil uji Rank Spearman Correlation menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan (p=0,656, r= -0,051) antara pendidikan ibu dengan perilaku KADARZI. Hal ini menunjukkan ibu yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah belum tentu memiliki perilaku KADARZI yang rendah. Tabel 27 menunjukkan sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan ibu dan perilaku KADARZI. Tabel 27 menunjukkan seluruh responden dengan tingkat pendidikan tidak tamat SD memiliki perilaku KADARZI yang baik. Sebagian besar responden dengan tingkat pendidikan rendah dan lanjutan juga memiliki perilaku KADARZI yang baik.

Tabel 27 Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan ibu dan perilaku KADARZI ibu

Tingkat pendidikan Ibu

Perilaku KADARZI

Total Baik Sedang Rendah

n % n % n % n % tidak tamat SD 6 7,5 - - - - 6 7,5 SD 12 15,2 6 7,6 2 2,6 20 25,3 SMP 18 22,7 9 11,4 1 1,2 28 35,4 SMA 17 21,5 3 3,8 - - 20 25,3 Akademi 1 1,2 - - - - 1 1,2 Universitas 3 3,8 1 1,2 - - 4 5,1 Total 57 72,1 19 24,1 3 3,8 79 100 Hubungan antara pola asuh makan dengan perilaku KADARZI

Hasil uji Rank Spearman Correlation menunjukkan adanya hubungan yang positif dan signifikan (p<0,01, r=0,281) antara pola asuh makan dengan perilaku KADARZI. Hal ini menunjukkan bahwa semakin baik pola asuh makan ibu maka akan semakin perilaku KADARZI ibu tersebut. Sebanyak 34,1% ibu yang memiliki pola asuh makan yang baik memiliki perilaku KADARZI yang baik. Sebaran responden berdasarkan pola asuh makan dengan perilaku KADARZI dapat dilihat pada Tabel 28.

Tabel 28 Sebaran responden berdasarkan pola asuh makan dengan perilaku KADARZI.

Pola Asuh Makan

Perilaku KADARZI

Total Baik Sedang Rendah

n % n % n % n % Baik 27 34,2 4 5,1 - - 31 39,3 Sedang 21 26,6 12 15,1 - - 33 41,7 Rendah 9 11,5 3 3,8 3 3,8 15 18,9 Total 57 72,1 19 24,1 3 3,8 79 100

Hastuti (2008) menjelaskan, pemberian makan yang baik akan membentuk kebiasaan makan yang baik pula pada anak. Hal ini berkaitan dengan perilaku KADARZI yang salah satu indikatornya mengenai kebiasaan makan.

Hubungan antara pola asuh kesehatan dengan perilaku KADARZI

Hasil uji Rank Spearman Correlation tidak menunjukkan ada hubungan yang signifikan (p=0,120, r=0,176) antara pola asuh kesehatan dengan perilaku KADARZI. Hal ini menunjukkan bahwa dengan semakin baik pola asuh kesehatan yang dimiliki oleh ibu belum tentu memiliki perilaku KADARZI yang baik. Sebaran responden berdasarkan pola asuh kesehatan dengan perilaku KADAZRZI dapat dilihat pada Tabel 29. Lebih dari separuh ibu yang memiliki pola asuh kesehatan yang baik memliki perilaku KADARZI yang baik (54,5%). Namun masuh terdapat 2,5% ibu yang memiliki pola asuh kesehatan baik tetapi memilki perilaku KADARZI yang rendah.

Tabel 29 Sebaran responden berdasarkan pola asuh kesehatan dengan perilaku KADAZRZI.

Pola Asuh Kesehatan

Perilaku KADARZI

Total Baik Sedang Rendah

n % n % n % n % Baik 43 54,5 11 13,9 2 2,5 56 70,9 Sedang 14 17,7 6 7,5 1 1,2 21 26,6 Rendah - - 2 2,5 - - 2 2,5 Total 57 72.1 19 24 3 3,7 79 100 Hubungan antara pola asuh makan dengan pola asuh kesehatan

Hasil uji Rank Spearman Correlation menunjukkan terdapat hubungan yang positif dan signifikan (p<0,01, r=0,269) antara pola asuh makan dengan pola asuh kesehatan. Hal ini menunjukkan semakin baik pola asuh makan yang dimiliki oleh ibu akan semakin baik pola asuh kesehatannya. Sebaran responden berdasarkan pola asuh makan dengan pola asuh kesehatan dapat dilihat pada Tabel 30.

Tabel 30 Sebaran responden berdasarkan pola asuh makan dengan Pola asuh kesehatan

Pola Asuh Makan

Pola Asuh Kesehatan

Total Baik Sedang Rendah

n % n % n % n % Baik 25 31,7 5 6,3 1 1,2 31 39,3 Sedang 25 31,7 8 10,1 - - 33 41,8 Rendah 6 7,5 8 10,1 1 1,2 15 18,9 Total 56 70,9 21 26,5 2 2,4 79 100

Sebagian besar ibu yang memiliki pola asuh makan baik juga memiliki pola asuh kesehatan yang baik. Sedangkan sebagian besar ibu yang memiliki tingkat pola asuh makan rendah memliki pola asuh kesehatan yang sedang. Hasil penelitian Tussodiyah (2010) menjelaskan terdapat hubungan antara pola asuh kesehatan dengan kualitas asuh makan. Hal ini menunjukkan semakin baik pola asuh makan maka pola asuh kesehatan juga semakin baik.

Hubungan antara pola asuh kesehatan dengan status kesehatan

Hasil uji Rank Spearman Correlation menunjukkan hubungan yang positif dan siginifikan (p<0,01, r= 0,366) antara pola asuh kesehatan dengan status kesehatan. Semakin baik pola asuh kesehatan yang dimiliki oleh ibu maka akan semakin baik status kesehatan anak balitanya. Tabel 31 menunjukkan sebaran responden berdasarkan pola asuh kesehatan dan status kesehatan.

Tabel 31 Sebaran responden berdasarkan pola asuh kesehatan dan status kesehatan

Pola Asuh Kesehatan

Status Kesehatan

Total Tinggi Sedang Rendah

n % n % n % n % Baik 43 54,4 11 13,9 2 2,5 56 70,8 Sedang 8 10,1 9 11,5 4 5,1 21 26,5 Rendah - - 1 1,2 1 1,2 2 2,5 Total 51 64,5 21 26,5 7 8,6 79 100 Hubungan antara sarana fisik dengan pola asuh kesehatan

Hasil uji Rank Spearman Correlation menunjukkan adanya hubungan yang positif dan signifikan (p<0,01, r=0,438) antara sarana fisik dan pola asuh kesehatan. Hal ini menunjukkan semakin baik sarana fisik yang dimiliki oleh keluarga maka akan semakin baik juga pola asuh kesehatan ibu dalam keluarga. Sebaliknya jika semakin kurang saran fisik yang dimiliki oleh keluarga maka pola asuhnya akan semakin rendah. Sebaran responden berdasarkan sarana fisik dan pola asuh kesehatan dapat dilihat pada Tabel 32.

Tabel 32 Sebaran responden berdasarkan sarana fisik dan pola asuh kesehatan Sarana Fisik

Pola Asuh Kesehatan

Total Baik Sedang Rendah

n % n % n % n % Baik 48 60,8 10 12,7 - - 58 73,4 Sedang 4 5,1 7 8,9 1 1,3 12 15,2 Kurang 1 1,3 4 5,1 4 5,1 9 11,4 Total 53 67,1 21 26,6 5 6,3 79 100

Hubungan antara sarana fisik dengan status kesehatan

Hasil uji Rank Spearman Correlation menunjukkan hubungan yang positif tetapi tidak signifikan (p=0,140, r=0,231) antara sarana fisik dengan status kesehatan. Hal ini menunjukkan bahwa sarana fisik baik belum tentu membentuk status kesehatan anak balita yang baik juga. Sebaran responden berdasarkan sarana fisik dan status kesehatan dapat dilihat pada Tabel 33. Lebih dari separuh responden yang memiliki sarana fisik kurang memiliki balita dengan status kesehatan yang tinggi dan masih terdapat balita dengan status kesehatan rendah pada responden yang memiliki sarana fisik yang baik.

Tabel 33 Sebaran responden berdasarkan sarana fisik dan status kesehatan Sarana Fisik

Status Kesehatan

Total Tinggi Sedang Rendah

n % n % n % n % Baik 42 53,2 13 16,4 3 3,8 58 73,4 Sedang 6 7,6 5 6,3 1 1,2 12 15,1 Kurang 5 6,3 3 3,8 1 1,2 9 11,3 Total 53 67 21 26,5 5 6,2 79 100 Hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan status gizi balita

Hasil uji Rank Spearman Correlation menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan (p=0,403, r= -0,095) antara tingkat pendidikan ibu dengan status gizi balita indeks BB/U. Hal ini menunjukkan bahwa ibu yang memiliki tingkat

Dokumen terkait