• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Surimi

Surimi adalah istilah dari Jepang. Surimi didefinisikan sebagai lumatan daging ikan yang telah mengalami proses penghilangan tulang, dan penghilangan sebagian komponen larut air dan lemak melalui pencucian dengan air, sehingga disebut sebagai konsentrat basah protein miofibril dari daging ikan (Okada 1992).

Menurut BPPMHP (2001b), beberapa keuntungan dari penggunaan surimi adalah sebagai berikut :

1. Memungkinkan tersedianya bahan baku untuk pengolahan produk-produk fish jelly, terutama pada saat tidak musim ikan.

2. Pengolah tidak perlu menyiapkan daging ikan setiap hari sehingga menghemat waktu dan biaya.

3. Meningkatkan efisiensi produksi karena pengolah dapat mengkhususkan diri pada produksi surimi atau produk-produk fish jelly.

4. Lebih efektif menyimpan ikan dalam bentuk surimi beku daripada ikan utuh jika dilihat dari ruangan penyimpanan, distribusi dan transportasi.

5. Pada musim produksi ikan melimpah, pengolahan surimi merupakan alternatif yang menguntungkan karena memungkinkan dilakukannya persediaan (stock) bahan baku.

Ada dua tipe surimi berdasarkan kandungan garamnya, yaitu muen surimi dan

kaen surimi. Muen surimi atau surimi tanpa garam dibuat dengan cara menggiling hancuran daging ikan yang telah dicuci dan dicampur dengan gula dan polifosfat tanpa penambahan garam dan telah mengalami proses pembekuan. Kaen surimi atau surimi dengan garam dibuat dengan cara menggiling hancuran daging ikan yang telah dicuci dan dicampur dengan gula dan garam tanpa penambahan polifosfat serta telah mengalami proses pembekuan. Selain surimi beku terdapat tipe surimi lain yaitu, raw

surimi atau nama surimi, yaitu surimi yang tidak dibekukan dan dibuat dari daging ikan basah segar. Surimi jenis ini digunakan langsung sebagai bahan baku pada pengolahan produk lanjutannya segera setelah dibuat, dan memiliki kelebihan dari surimi beku yaitu kemampuan mengikat air yang lebih besar sehingga meningkatkan rendemen (Suzuki 1981).

2.4.1 Proses pengolahan surimi

Proses pengolahan surimi yang telah umum dilakukan terdiri dari beberapa tahapan yaitu (Tan et al. 1987; Shimizu et al. 1992 ; BPPMHP 2001b):

1. Persiapan bahan baku yang terdiri dari penyiangan dan pencucian ikan dengan air mengalir yang dingin.

2. Penghilangan tulang dan pelumatan daging dengan menggunakan meat bone separator.

3. Pencucian (leaching) daging lumat menggunakan air dingin bersuhu 5-10 oC dengan perbandingan daging ikan dan air 1 : 4 ditambah garam 0,2 - 0,3% dari volume air. Pencucian dilakukan sebanyak 2-3 kali selama 15 menit. Untuk jenis ikan berdaging merah seperti sardine dan mackerel yang mempunyai pH 5,6 - 5,8 setelah mati perlu diatur pHnya dengan melakukan pencucian dengan alkali.

4. Penyaringan daging lumat dengan kasa nilon.

5. Pengepresan daging lumat dengan menggunakan alat pengepres hidrolik yang bertujuan untuk mengurangi kadar air dalam surimi, agar diperoleh kadar air optimal dalam surimi antara 80 – 82%.

6. Penapisan (straining) yang bertujuan untuk menghilangkan sisa-sisa sisik, jaringan ikat, membran dan duri-duri halus yang tertinggal agar diperoleh surimi bermutu baik.

7. Penambahan bahan tambahan, pengepakan, pembekuan dan penyimpanan.

Pada dasarnya semua jenis ikan dapat diolah menjadi produk surimi. Jenis ikan yang ideal untuk produk surimi beku adalah yang mempunyai kemampuan pembentukan gel yang baik, sebab kemampuan pembentukan gel akan mempengaruhi elastisitas produk. Untuk mendapatkan surimi yang baik harus menggunakan ikan yang masih segar, karena elastisitas yang terbaik hanya didapatkan dari ikan yang segar (BBPMHP 1987).

2.4.2 Pengaruh pencucian terhadap mutu surimi

Pencucian merupakan tahap yang penting dalam proses pengolahan surimi. Pencucian bertujuan untuk menghilangkan materi larut air, seperti darah, protein sarkoplasma, enzim pencernaan (terutama protease), lemak, garam-garam inorganik (Ca2+dan Mg2+), dan senyawa organik berberat molekul rendah seperti trimetilamin oksida (TMAO). Protein sarkoplasma perlu dihilangkan selama proses pencucian karena dapat menghambat pembentukan gel surimi. Pencucian selain dapat meningkatkan kekuatan gel surimi juga dapat meningkatkan kualitas warna dan aroma surimi (Matsumoto dan Noguchi 1992; Suzuki, 1981).

Kemampuan pembentukan gel surimi dan aktivitas ATP-ase selama penyimpanan beku dipengaruhi oleh tingkat leaching atau pencucian. Kekuatan gel akan meningkat secara nyata dengan bertambahnya jumlah pencucian. Dengan pencucian berulang (maksimal tiga kali) akan meningkatkan kemampuan pembentukan gel surimi dan mencegah denaturasi protein miofibril surimi selama penyimpanan beku (Matsumoto dan Noguchi 1992).

Toyoda et al. (1992) melaporkan bahwa efisiensi proses pencucian dipengaruhi oleh faktor banyaknya pencucian dan waktu pencucian. Menurut Lee (1986) dalam

Toyoda et al. (1992), pencucian sebanyak dua kali dengan perbandingan air dan daging ikan 3 : 1 akan meningkatkan kekuatan gel, yang berarti meningkatkan kandungan protein miofibril dan menurunkan protein sarkoplasma. Waktu pencucian 9-12 menit dengan pengadukan merupakan waktu yang cukup untuk meningkatkan protein yang terekstrak pada semua rasio air dan daging ikan (3:1; 4:1; 5:1; dan 6:1), karena jika terlalu lama daging ikan akan menyerap air dalam jumlah yang besar dan akan menyulitkan pada saat pembuangan air/pengepresan.

Menurut Suzuki (1981) kisaran suhu air yang digunakan untuk pencucian adalah 5-10 oC. Santoso et al. (1997) menambahkan bahwa pencucian dengan menggunakan suhu dingin bertujuan untuk mempertahankan protein miofibril agar tidak mengalami denaturasi.

2.4.3 Pengaruh pH terhadap mutu surimi

Protein miofibril untuk berbagai jenis hewan lebih stabil pada pH netral. Pengaruh pH yang menyebabkan terjadinya denaturasi protein miofibril tidak hanya terjadi pada suhu tinggi tetapi juga selama penyimpanan beku. Protein miofibril pada pH 6,5 bersifat tidak stabil dan aktivitas ATP-asenya hilang secara cepat, dan ini dapat dijadikan sebagai indikator terhadap kemampuan pembentukan gel. Pada pH yang rendah dibawah pH netral akan menurunkan aktivitas ATP-ase dan protein miofibril menjadi tidak stabil, sehingga kemampuan pembentukan gel surimi akan berkurang (Matsumoto dan Noguchi 1992).

Untuk ikan-ikan berdaging putih, pHnya tidak mengalami perubahan yang cepat setelah post-mortem, dan lebih mudah dipertahankan pada pH netral selama pengolahan dan penyimpanan beku. Sebaliknya ikan-ikan berdaging gelap akan cepat mengalami glikolisis setelah post-mortem sehingga membentuk dan mengakumulasi asam laktat dan menyebabkan pH daging ikan akan turun secara cepat mencapai pH 5,6. Kemampuan pembentukan gel yang optimal ada pada daging ikan segar dengan pH netral dan akan menurun sejalan dengan menurunnya pH. Oleh karena itu perlu pengendalian pH selama pengolahan surimi untuk menjaga kemampuan pembentukan gel surimi (Matsumoto dan Noguchi 1992).

2.4.4 Bahan tambahan dalam pembuatan surimi

Bahan tambahan adalah bahan yang sengaja ditambahkan atau diberikan dengan maksud dan tujuan tertentu, misalnya untuk meningkatkan konsistensi nilai gizi, cita rasa, mengendalikan keasaman dan kebasaan serta bentuk, tekstur dan rupa. Bahan tambahan meliputi pewarna, penyedap rasa dan aroma, pemantap, antioksidan, pengawet, pengemulsi, pemucat, dan pengental (Winarno 1997).

Bahan tambahan yang digunakan dalam pengolahan surimi bertujuan untuk meningkatkan kualitas surimi, diantaranya garam dan cryoprotectant (bahan antidenaturan). Pada pembuatan surimi, garam biasanya ditambahkan saat proses pencucian dengan air dingin yaitu antara 0,2 - 0,3%. Penambahan garam bertujuan untuk memudahkan penghilangan protein larut air (protein sarkoplasma) dari daging

yang telah dilumatkan, serta untuk penghilangan lendir, darah dan kotoran lain dari daging lumat (Peranginangin et al. 1999).

Selama penyimpanan beku, protein miofibril akan mengalami denaturasi sehingga menurunkan sifat-sifat fungsional dari surimi (Shenaoda 1980 dalam Sultanbawa dan Chan 1998). Oleh karena itu, dalam pembuatan surimi yang tidak langsung diolah menjadi produk lanjutan, tetapi disimpan terlebih dahulu pada suhu beku (surimi beku) dalam waktu yang lama perlu ditambahkan cryoprotectant. Cryoprotectant berfungsi sebagai antidenaturan yaitu mencegah denaturasi protein selama masa pembekuan. Sukrosa 4%, sorbitol 4% dan polyphosphates 0,2% sering digunakan bersamaan sebagai cryoprotectant pada pengolahan surimi beku (Lee 1980 dalam Sultanbawa dan Chan 1998)

Dokumen terkait