• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA 1 Bakteri Asam Laktat sebagai Probiotik 1 Bakteri Asam Laktat sebagai Probiotik

2.8 Susu Formula Bayi dan Proses Produksinya

Susu formula bayi adalah susu yang dihasilkan secara fabrikasi untuk memenuhi keperluan asupan gizi bayi. Produk susu formula diformulasikan menyerupai nilai gizi ASI (Breeuwer et al. 2003).

Proses pembuatan susu formula (Gambar 2) dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu pencampuran kering (dry mixing), pencampuran basah (wet mixing) atau kombinasi keduanya. Proses pencampuran kering adalah proses pengolahan dimana seluruh bahan yang berbentuk kering (bahan baku dan bahan tambahan) dicampurkan dengan pencampur kering untuk mendapatkan produk akhir dengan tingkat homogenitas yang diinginkan. Kelebihan dari pencampuran kering adalah tidak adanya air yang terlibat dalam proses pengolahan sehingga lini proses dapat dijaga tetap kering dalam jangka waktu lama (BPOM 2011). Metode pencampuran kering memiliki kekurangan dari segi kualitas dan keamanannya karena semua bahan baku yang digunakan tidak memiliki ukuran partikel yang sama sehingga akan sangat sulit untuk menghasilkan pencampuran yang homogen (Heredia et al. 2009). Hal ini akan mempengaruhi kualitas nutrisi susu yang dihasilkan. Proses produksi susu formula dengan tipe pencampuran basah dilakukan dengan mencampurkan seluruh bahan dalam kondisi basah (pencampuran bahan baku dalam wujud cair, proses pasteurisasi, penambahan

ingredient yang sensitif terhadap perlakuan termal serta spray drying) (BPOM 2011). Secara teoritis proses panas yang dilakukan dalam proses pembuatan susu dapat membunuh semua sel vegetatif bakteri yang ada sebelum proses spray drying, namun kontaminasi setelah perlakuan panas (post heat treatment contamination) seperti kontaminasi dari lingkungan pabrik juga harus dipertimbangkan.

Kontaminasi bakteri C. sakazakii (Gambar 2) pada proses produksi susu dapat berasal dari faktor instrinsik dan ekstrinsik. Kontaminasi intrinsik terjadi ketika susu formula terpapar C. sakazakii pada tahapan pemrosesan susu formula, misalnya ketika penambahan bahan baku yang sensitif terhadap perlakuan panas seperti, vitamin, mineral, dan lesitin setelah proses spray drying. Kontaminasi ekstrinsikterjadi melalui peralatan, misalnya blender, sendok pada saat penyiapan susu formula.

Gambar 2 Proses pengolahan susu formula dengan tipe pengolahan pencampuran basah yang berasal dari bahan basah dan kering (CAC 2004)

Bahan baku basah (susu segar)

Bahan baku kering (premix vitamin atau BTP

Penerimaan di pabrik SOP Penyimpanan di gudang

Penimbangan bahan baku & BTP SOP Pencampuran SOP Homogenisasi SOP

Pasteurisasi

Evaporasi SOP

Penampungan sementara Pemindahan ke jalur pengeringan

Pengeringan dengan pengeringan semprot SOP Pendinginan

Aglomerasi SOP Pengayakan

Pengisian ke dalam pengemas SOP Kemasan

Penghembusan dengan gas inert SOP N2 atau CO2

Penutupan kemasan Pemberian label atau kode Pengepakan ke dalam kemasan sekunder Penyimpanan sementara untuk konfirmasi hasil uji Susu formula

Selama proses produksi dan penyiapan susu formula bubuk ada kemungkinan terjadinya kontaminasi oleh bakteri-bakteri patogen seperti

Bacillus spp., Cronobacter spp., Salmonella spp., L. monocytogenes, Staphylococcus spp. dan Enterobacter spp. Sehingga diperlukan regulasi batas cemaran mikroba yang boleh terdapat dalam produk akhir. Indonesia mengatur batas cemaran mikroba produk susu formula bayi dan formula untuk keperluan medis khusus bagi bayi Peraturan Kepala Badan POM RI (2009) (Tabel 2). Tabel 2 Batas maksimum cemaran mikroba untuk produk susu formula bayi dan

formula untuk keperluan medis khusus bagi bayi

No. Jenis mikroba Batas cemaran

1 ALT (30 °C, 72 jam) 1 x 104 koloni/mL

2 Enterobacteriaceae negatif/10 g*

3 Enterobacter sakazakii negatif/10 g**

4 Salmonella sp. negatif/25 g

5 Staphylococcus aureus 1 x 101 koloni/mL

6 Bacillus cereus 1 x 102 koloni/mL

Sumber: BPOM (2009)

2.9 Rekonstitusi Susu Formula Bayi

Rekonstitusi adalah proses persiapan susu formula atau makanan bayi yang berbentuk bubuk dengan cara mencampurkannya dengan air sehingga susu bubuk atau makanan bayi tersebut siap dikonsumsi. Pada saat melakukan praktek rekonstitusi ada beberapa faktor penting yang perlu diperhatikan, salah satunnya adalaha suhu rekonstitusi. Suhu rekonstitusi menjadi sangat penting bilamana pada produk pangan yang akan direkonstitusi ada kemungkinan terkontaminasi oleh mikroba patogen yang dapat memberikan dampak serius terhadap kesehatan konsumen.

Suhu rekonstitusi merupakan salah satu faktor penting dalam mereduksi jumlah bakteri patogen berbahaya salah satu contonya adalah C. sakazakii yang dewasa ini banyak ditemukan pada makanan atau susu formula bubuk bayi. Efektivitas suhu rekonstitusi menjadi sangat penting dikaji untuk menentukan seberapa besar pengaruh suhu rekonstitusi untuk mereduksi bakteri-bakteri patogen yang mungkin mengontaminasi produk pangan.

Beberapa suhu rekonstitusi yang digunakan pada praktek di rumah tangga yakni 45, 50, 60, dan 70 oC. Beberapa penelitian telah menguji efektivitas beberapa suhu untuk merekonstitusi susu formula dan prroduk pangan lainnya diantaranya adalah suhu 50, 60, dan 70 oC. Pemilihan suhu rekonstitusi 50 oC didasarkan pada pertimbangan pola kebiasaan masyarakat Indonesia ketika menyeduh atau menyiapkan minuman hangat, termasuk susu formula dengan

Penggunaan suhu sekitar 50 oC ini dikenal dengan istilah suwam kuku. Suhu rekonstitusi 60 oC dipilih karena merupakan suhu rekonstitusi yang umum

digunakan pada praktek rekonstitusi di rumah tangga. Selain itu suhu rekonstitusi 60 oC sering digunakan pada beberapa penelitian uji inaktivasi patogen jenis

Cronobacter spp. Ogihara et al. (2009) pada penelitian uji ketahanan panas bakteri C. sakazakii menggunakan suhu 60 oC. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa suhu rekonstitusi 60 oC mampu menurunkan jumlah bakteri C. sakazakii

ATCC 29004 sebesar 0,37-1 siklus log. Selain itu penggunaan suhu rekonstitusi 60 oC ini dinilai lebih aman untuk menjaga kerusakan nutrien yang terkandung pada produk pangan, seperti yang dijelaskan oleh FAO/WHO (2004) bahwa penggunaan suhu yang tidak terlalu tinggi dapat mencegah terjadinya kehilangan dan kerusakan nutrien komponen pangan lainnya, salah satunya adalah vitamin C yang terdapat pada produk pangan termasuk susu formula bubuk . Sementara itu, pemilihan suhu 70 oC pada penelitian ini didasarkan atas rekomendasi FAO/WHO (2004) dan BPOM (2009) tentang prosedur persiapan susu formula rekonstitusi. Suhu rekonstitusi 70 oC juga dinilai efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri patogen berbahaya seperti laporan Meutia (2009) yang menyebutkan bahwa suhu rekonstitusi 70 oC dapat mengurangi jumlah sel C. sakazakii sebesar 2,74-6,72 log (CFU/mL).

3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Nopember 2011. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium General Microbiology, Fermentation Microbiology, dan Kimia South East Asia for Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari, bahan utama meliputi isolat BAL (isolat lokal asal ASI) koleksi SEAFAST Center IPB, merupakan isolat BAL yang memiliki kemampuan menghambat E. coli entero patogenik K.1.1 (EPEC K.1.1) (Hartanti 2010) yaitu; Lactobacillus rhamnosus

A22, A23, A24, A27, A29, R14, R21, R23, R25, R27, R32, dan B16, serta memiliki ketahanan terhadap suhu tinggi. Isolat Cronobacter sakazakii YRC3a asal susu formula (Meutia 2009).

Bahan uji yang digunakan adalah susu formula (Sufor) bayi dengan

komposisi nutrisi; karbohidrat (62 g/100g) protein (9,8 g/100g); lemak (22,5 g/100g), dan nutrisi lainnya (informasi komposisi diperoleh dari tabel pada

kemasan produk), akuades steril, air minum dalam kemasan steril. Media yang

digunakan yaitu de Mann Rogosa Sharpe Agar (MRSA) (Oxoid CM0361),

de Mann Rogosa Sharpe Broth (MRSB) (Oxoid CM0359), yeast extract, Laktosa (Oxoid), Buffer 4 dan 7, buffer kalium dihidro posfat (KH2PO4), Druggan-Forsythe-Iversen (DFI) Agar (Oxoid, CM1055), Brain Heart Infusion (BHI) (Oxoid CM0225), Buffered Peptone Saline (BPS) (Oxoid CM0509), Tryptose Soy Agar (TSA) (Oxoid CM0131), Tryptose Soy Broth (TSB) (Oxoid CM0129), TSAYE-SC (yeast extract- sodium chloride), dan MRSA-AA (acetic acid).

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah Freeze drier (Labconco Freezone6), pipet mikro (Finnpipette) berikut tip, vorteks (Vortex-Genie 2), Sentrifuse (Sorvall), inkubator (Incucell MMM-Group), termometer, Oven (Gallenhamp), Hot plate (Steroglass), pH Meter (Eutech pH meter 700), Autoklaf (ALP Model-40), dan alat analisis mikrobiologis standar lainnya.

Dokumen terkait