• Tidak ada hasil yang ditemukan

Syarat batas terbuka

Dalam dokumen Pemodelan Pasut di Teluk Bone (Halaman 76-107)

DAFTAR LAMPIRAN

3.3. Desain Model Hidrodinamika

3.3.1. Syarat batas terbuka

Batas terbuka dari model simulasi ini adalah perairan terbuka yang memiliki perubahan velositas terhadap arah aliran diasumsikan sangat kecil untuk arah sumbu x dan y, sehingga berlaku open_cell pada model ELCOM. Perintah ini digunakan apabila pada batas terbuka nilai arus dan elevasi yang terbentuk akan diteruskan dan bukan menjadi menumpuk pada daerah ini.

Syarat batas ini baik digunakan bila kedalaman perairan di daerah batas terbuka cukup dalam, sehingga nilai gradien kecepatannya cukup kecil. Syarat batas terbuka diberlakukan di bagian Selatan Perairan Teluk Bone yang

Gambar 8. Sketsa stasiun penelitian pasang surut di Teluk Bone Nilai dari batas terbuka didapat dari model NAO Tide, dengan memasukkan total nilai elevasi komponen pasang surut yang terdapat pada daerah batas terbuka. Bagian Selatan batas terbuka dibagi menjadi lima daerah yang mempunyai nilai elevasi tertentu berdasarkan posisi bujur (Gambar 8).

3.3.2. Syarat batas tertutup

Batas tertutup yang digunakan pada model simulasi program ini adalah garis pantai yang tidak memungkinkan air laut melewatinya. Bila batas tertutup

sejajar sumbu x maka nilai komponen kecepatan pada sumbu y sama dengan nol (V=0) dan bila batas tertutup sejajar sumbu y maka nilai komponen kecepata pada sumbu x sama dengan nol (U=0). Nilai dari elevasi dari muka air laut dilakukan sesuai dengan persamaan numeriknya.

3.4. Analisis Komponen Pasut (Least Square Methods)

Analisis komponen pasang surut dilakukan untuk mendapatkan nilai fase dan amplitudo di setiap grid dari komponen pasut M2 dan K1 yang berasal dari nilai elevasi permukaan laut. Analisis harmonik dibentuk dari demodulasi sinyal yang memiliki frekuensi spesifik yang telah diperiksa dan diaplikasikan dengan metode least-square untuk mencari nilai konstituennya. Analisis harmonik pada awalnya didisain untuk menganalisis variabilitas pasut tetapi justru dapat diaplikasikan untuk menganalisis periode tahunan dan tengah tahunan atau osilasi tertutup yang dikenal lainnya (Emery dan Thomson, 1998).

Nilai dari variabel diperoleh melalui beberapa tahap dengan menggunakan persamaan Emery dan Thomson (1997) :

dengan .

Penghitungan di atas menghasilkan matriks . Elemen matriks diperoleh melalui persamaan :

Elemen matriks dan dihitung menggunakan metode Ghausian, sehingga diperoleh matriks . Hasil matriks dimasukkan dalam tabel koefisien amplitude dan fase K1 dan M2, sehingga diperoleh nilai dan dengan = 0, 1, 2. Setelah itu, nilai fitting data dihitung dengan persamaan :

dengan adalah residu time series. Hasil divisualisasikan dalam bentuk grafik bersama dengan nilai . Dimana :

adalah rata-rata dari nilai data dan adalah koefisien fourier

24

4.1. Perbandingan Hasil Model dengan DISHIDROS

Komponen gelombang pasang surut M2 dan K1 yang dipilih untuk dianalisis lebih lanjut, disebabkan kedua komponen ini yang paling dominan di antara komponen pasang surut lainnya. Komponen pasut M2 mewakili

komponen pasang surut ganda dan begitu juga dengan komponen pasut K1 yang mewakili komponen pasang surut tunggal yang mempengaruhi di perairan. Komponen M2 dan K1 disebut demikian karena nilai dari periode harian

komponen pasut M2 sebesar 12,42 jam sedangkan untuk komponen pasut K1 sebesar 23,93 jam.

Perairan Teluk Bone memiliki tipe pasut campuran dominan ganda. Hal ini didapat dari perhitungan nilai bilangan Formzahl yang didapat dari pembagian jumlah amplitudo dari komponen tunggal dibagi komponen ganda pasut (Lampiran 2). Data ampitudo pasang surut didapat dari data peramalan

gelombang pasut DISHIDROS. Tabel 1 di bawah ini menunjukkan perbandingan data hasil olahan model ELCOM dengan data lapang. Data lapang diperoleh dari Buku Peramalan Pasang Surut Tahun 2010 yang dilakukan oleh DISHIDROS. Tabel 1. Perbandingan antara data hasil model dengan data lapang

(DISHIDROS)

Stasiun Pasut Komponen

Pasut DISHIDROS Model Δ

Tanjung Mangkasa K1 Elevasi (cm) 33 32,9 0,1 Pha-Ø ( 0 ) 180,67 195,29 -14,62 M2 Elevasi (cm) 60 68 -8 Pha-Ø ( 0 ) 108,75 90 18,75 Kolaka K1 Elevasi (cm) 34 31,8 2,2 Pha-Ø ( 0 ) 182,67 195,34 -12,67 M2 Elevasi (cm) 55 59,2 -4,2 Pha-Ø ( 0 ) 108,75 89,86 18,89

Kedua stasiun pasut yang dimiliki DISHIDROS dianggap sebagai data pembanding dari lapang. Hal ini dilakukan karena pada penelitian tidak dilakukan pengukuran pasut secara langsung dan peramalan data pasut yang dilakukan oleh DISHIDROS memiliki keakuratan yang cukup tinggi. DISHIDROS melakukan pengukuran data lapang pada sepanjang tahun. Data hasil

pengukuran ini akan digunakan untuk memverifikasi hasil peramalan sebelumnya dan digunakan untuk meramalkan data pasut untuk tahun berikutnya.

Stasiun Pasut Tanjung Mangkasa terletak pada posisi 2°44'17,59" LS 121°04'06,22" BT atau secara umum terletak di kepala Teluk Bone (Gambar 9). Nilai amplitudo komponen pasut K1 yang didapat dari stasiun pengukuran sebesar 33 cm dan dari model pada area yang sama sebesar 32,9 cm. Model memiliki nilai amplitudo yang lebih kecil dibandingkan dengan nilai amplitudo dari stasiun pengamatan. Selisih antara kedua nilai amplitudo sebesar 0,1 cm, nilai ini menunjukkan bahwa hasil amplitudo dari model dengan amplitudo dari data lapang nilainya amat sangat dekat.

Nilai fase (phase) K1 di stasiun pengamatan Tanjung Mangkasa sebesar 180,670 dan dari model sebesar 195,290. Nilai fase dari model jauh lebih besar dari nilai fase stasiun pengamatan dan memiliki selisih sebesar -14,620. Nilai fase komponen pasut menunjukkan bahwa waktu yang ditempuh gelombang pasut untuk merambat ke daerah perairan tersebut. Selisih waktu yang

ditunjukkan dari komponen K1 antara model dan stasiun pengamatan sebesar 58 menit 19,21 detik. Gelombang pasut K1 dari model memiliki waktu yang lebih besar sekitar dibanding gelombang pasut dari stasiun pengamatan DISHIDROS.

Nilai amplitudo dari komponen pasut M2 di stasiun pengamatan Tanjung Mangkasa DISHIDROS sebesar 60 cm dan dari model di area yang sama

sebesar 68 cm. Model memiliki nilai amplitudo yang lebih besar 8 cm

dibandingkan dengan nilai amplitudo dari stasiun pengamatan. Selisih nilai yang cukup kecil ini (< 10 cm) menunjukkan bahwa model cukup baik untuk digunakan pada perambatan amplitudo M2 di area penelitian.

Nilai fase dari dari komponen M2 di stasiun pengamatan Tanjung Mangkasa DISHIDROS sebesar 108,750 dan dari model sebesar 900. Model memiliki nilai fase yang yang lebih kecil sekitar 18,750 dibandingkan dengan DISHIDROS. Gelombang pasut M2 DISHIDROS memiliki fase yang lebih besar sekitar dibandingkan gelombang pasut M2 model di stasiun pasut Tanjung Mangkasa.

Stasiun Pasut Kolaka terletak pada posisi 4°3'6.65" LS 121°34'54.5" BT atau secara umum stasiun pasut ini terletak lebih ke arah luar/selatan Perairan Teluk Bone (Gambar 9). Nilai amplitudo komponen pasut K1 yang didapat dari stasiun pengukuran sebesar 34 cm dan dari model pada area yang sama sebesar 31,8 cm. Model memiliki nilai amplitudo yang lebih kecil dibandingkan dengan nilai amplitudo dari stasiun pengamatan. Selisih antara nilai amplitudo DISHIDROS dengan model sebesar 2,2 cm. Selisih kedua nilai amplitudo

komponen pasut yang kurang dari 10 cm ini, menunjukkan bahwa model memiliki perbedaan nilai ampllitudo yang cukup kecil dengan data lapang.

Nilai fase dari dari komponen K1 di stasiun pengamatan Kolaka

DISHIDROS sebesar 182,670 dan dari model sebesar 195,340. Model memiliki nilai fase K1 yang yang lebih besar dibandingkan dengan DISHIDROS sekitar 12,670. Gelombang pasut K1 model memiliki fase yang lebih besar sekitar dibandingkan gelombang pasut K1 DISHIDROS.

Komponen pasut M2 di stasiun pasut ini, nilai amplitudo yang terbentuk antara DISHIDROS dengan model hanya memiliki selisih yang kecil yakni sekitar 4,2 cm. Nilai amplitudo dari model sebesar 59,2 cm dan dari data lapang sebesar 55 cm. Untuk nilai fase dari komponen M2 di stasiun ini, perbedaan dari model dan data lapang juga cukup kecil yakni sekitar 18,860 atau sekitar 39 menit 2,53 detik. Model memiliki fase yang lebih kecil, sebesar 89,860, dibandingkan dengan nilai fase dari data lapang, sebesar 108,750.

Perambatan gelombang pasut K1 terwakili secara cukup baik dari hasil elevasi amplitudo yang kurang dari 10 cm, dan perbedaan nilai fase yang mencapai 58 menit, bila dibandingkan dengan komponen pasut K1 di kedua stasiun lapang milik DISHIDROS. Pada perambatan gelombang pasut M2 juga terwakili secara cukup dari hasil elevasi amplitudo yang kurang dari 10 cm. Meski demikian perbedaan nilai fase yang ditunjukkan masih kurang optimal karena perbedaannya untuk kedua komponen mencapai 39 menit, bila dibandingkan dengan komponen pasut M2 di kedua stasiun lapang milik DISHIDROS. Perbedaan nilai fase dan amplitudo yang terbentuk diduga disebabkan oleh nilai batimetri yang digunakan dan koefisien gesek dasar perairan, sebesar 0,025, yang menjadi masukkan pada model.

Secara keseluruhan dari tabel 1 dan uraian di atas, hasil perambatan gelombang pasang surut dari model yang dianalisis lebih lanjut dengan

mengeluarkan kedua nilai komponennya, M2 dan K1. Setiap nilai amplitudo dan fase dari komponen pasutnya, menunjukkan bahwa perambatan gelombang pasut komponen M2 dan K1 mewakili dengan kondisi yang sebenarnya, ditinjau dari elevasi amplitudo dan nilai fase yang dihasilkan dan dibandingkan dengan data DISHIDROS. Perbedaan amplitudo kurang dari 10 cm dan perbedaan nilai

fase yang mencapai: 58 menit untuk komponen K1 dan 39 menit untuk komponen M2.

4.2. Komponen Pasut M2

4.2.1. Perilaku rambatan gelombang pasutM2

Pola perambatan amplitudo komponen M2 yang digambarkan pada

Gambar 9, halaman berikutnya, menunjukkan pola yang teratur, yakni dari mulut teluk, bagian selatan, amplitudo gelombang pasut masuk dan menyebar secara merata dari bagian timur lalu ke bagian barat Teluk Bone. Nilai amplitudo masuk dari nilai yang lebih rendah di bagian bawah dan meningkat semakin besar di bagian utara/dalam Teluk Bone. Nilai amplitudo terendah berada pada bagian selatan teluk yakni sebesar 0,56 m dan nilai yang tertinggi berada pada bagian dalam/utara sebesar 0,68 m.

Pola perambatan amplitudo gelombang M2, menunjukkan penumpukan amplitudo gelombang di bagian kepala teluk diakibatkan nilai kedalaman perairan yang semakin dangkal di bagian kepala dan juga bentukan dari Teluk Bone yang semakin menyempit apabila semakin ke arah kepala teluk. Faktor lainnya yang menyebabkan nilai amplitudo semakin tinggi di kepala teluk adalah gelombang M2 yang menabrak daratan dipantulkan balik ke perairan. Pantulan dari

gelombang yang menabrak daratan Pulau Sulawesi dilihat dari kontur amplitudo yang terbentuk semakin rapat di kepala teluk dibandingkan di bagian

pertengahan dan selatan Teluk Bone.

Nilai amplitudo M2 ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hatamaya (1996) yang menunjukkan bahwa nilai amplitudo M2 yang berada di bagian paling selatan Teluk Bone sekitar 50 cm. Gelombang pasut yang

merambat masuk ke dalam Teluk Bone diduga berasal dari propagasi dari Samudera Hindia yang masuk ke dalam Perairan Indonesia melalui Celah Timor lalu kemudian belok ke arah barat masuk Laut Banda, Laut Flores dan masuk ke Laut Jawa (Hatamaya, 1996).

Pola perambatan fase M2 di Teluk Bone pada bagian selatan sampai dengan pertengahan menunjukkan bahwa gelombang pasut M2 dimulai dari sebelah timur (Gambar 10). Di bagian pertengahan, perambatan gelombang pasut M2 tidak lagi dari bagian timur tetapi berpindah ke bagian barat perairan hingga dibagian utara/kepala perairan. Gelombang pasut M2 berpropagasi mengelilingi bagian utara perairan searah dengan arah jarum jam dan keluar dari bagian timur perairan masuk ke bagian tengah Teluk Bone dan keluar menuju mulut teluk melalui bagian barat perairan Teluk Bone. Perambatan gelombang pasut M2 masuk dari mulut teluk sampai ke kepala teluk membutuhkan waktu sekitar 2 menit 4,2 detik. Gelombang pasut M2 merambat masuk ke dalam teluk dengan waktu yang cukup singkat, dari mulut teluk hingga kepala teluk.

Bagian tengah perairan kontur co-tidal terlihat lebih renggang kemungkinan disebabkan nilai kedalaman perairan di bagian tersebut masih tergolong perairan dalam, kurang lebih sekitar 1000-2000 meter. Semakin mendekati daerah dengan kedalaman perairan yang cukup dangkal, kontur co-tidal terlihat semakin rapat, dapat dilihat pada bagian utara dari Perairan Teluk Bone. Hal ini juga dipengaruhi dari gradien dasar perairan yang berubah-ubah, semakin besar nilai gradien dasar perairan maka kontur co-tidal yang terbentuk akan semakin rapat. Nilai fase M2 di stasiun pasut Kolaka lebih besar dibandingkan dengan stasiun pasut Tanjung Mangkasa. Hal ini menjelaskan bahwa gelombang pasut M2 merambat di bagian sebelah Timur terlebih dahulu.

Gelombang pasut M2 merambat masuk ke dalam mulut Teluk Bone, kemudian mengalami perubahan fase di posisi 4,4 LS dan nilainya sama sampai posisi 3,7 LS. Perubahan fase ini terjadi di bagian barat terlebih dahulu lalu diikuti di bagian timur teluk. Perubahan nilai fase menjadi lebih besar di posisi ini , dari yang sebelumnya bernilai 900 menjadi 90,20. Amplitudo gelombang pasut M2 baru mengalami perubahan di posisi 4,2 LS sampai 3,8 LS. Nilai amplitudo berubah secara bertahap dari 57- 60 cm, di fase yang sama. Perubahan nilai amplitudo, sama seperti fase, terjadi pada bagian timur terlebih dahulu kemudian disusul di bagian sebelah barat. Hal ini disebabkan daerah di bagian timur terluk jauh lebih dangkal dibanding daerah di sebelah barat, sehingga penjalaran amplitudo dan fase lebih dahulu berubah di bagian timur dibanding di sebelah barat.

Bagian leher teluk, nilai amplitudo berubah secara bertahap namun tidak terlalu banyak dari 61-62 cm. Pada bagian leher teluk pun nilai fase berkurang menjadi 900. Kepala teluk memiliki nilai fase yang berbeda-beda di bagian timur, tengah dan barat. Nilai fase di bagian timur lebih besar dibanding di sebelah barat, dan di bagian pertengahan memiliki nilai fase yang paling kecil di antara ketiganya. Untuk nilai amplitudo, semakin ke arah kepala teluk nilainya semakin besar. Saat memasuki daerah kepala teluk nilai amplitudo sebesar 63 cm dan semakin meningkat menuju ke arah utara bagian kepala teluk, yakni sebesar 68 cm.

4.2.2. Pola Arus Residu M2

Selama satu siklus komponen M2 pola arus residu yang terbentuk (Gambar 11) di Perairan Teluk Bone memiliki kisaran kecepatan 0,001 – 0,05 m/s.

Kecepatan arus residu M2 cukup lambat di dekat dengan daratan, diakibatkan gesekan dengan dasar perairan yang terlalu besar dan perairan dengan

Gambar 11. Pola perambatan arus residu di Teluk Bone pada satu siklus pasut komponen pasut M2

perubahan kedalaman yang bertahap. Nilai kecepatan arus residu M2 yang cukup besar terjadi apabila gradien dasar perairan berkurang secara signifikan, terlihat pada bagian kepala teluk bahwa arus residu berputar searah jarum jam dan memiliki kecepatan yang cukup besar dibandingkan pada area lainnya. Pada bagian kepala teluk, terlihat bahwa arus membentuk pusaran di daerah pertengahan. Hal ini disebabkan perubahan nilai kedalaman yang cukup signifikan, dimulai dari kedalaman ratusan meter hingga mencapai kedalaman maksimum di bagian pertengahan kepala teluk yang mencapai 2000 meter.

Secara umum, pola arus residu M2 masuk dari bagian timur perairan, kemudian bergerak ke atas hingga di bagian tengah. Arus sebagian ada yang bergerak ke arah kanan, masuk menuju teluk dekat stasiun pengamatan Kolaka dan berputar berbalik arah keluar dari teluk kecil di sebelah kanan. Sebagian arus, kemudian bergerak ke arah atas lagi menuju kepala teluk namun arus berpindah dari sebelah timur bergerak ke arah barat, bersamaan dengan bergerak menuju ke arah kepala teluk. Arus residu M2 bergerak mengelilingi kepala teluk searah jarum jam, dengan kecepatan terbesar di daerah dengan kedalaman sekitar 200 meter, namun arus paling lemah di daerah dengan kedalaman sampai 1000 meter di bagian kepala teluk. Arus residu keluar dari bagian timur kepala teluk menuju bagian pertengahan dan bergerak ke arah barat perairan teluk, bersamaan dengan bergerak menuju ke arah mulut teluk. Bagian barat mulut Teluk Bone menjadi tempat keluaran arus residu M2.

4.3. Komponen K1

4.3.1. Perilaku rambatan gelombang pasutK1

Pola perambatan amplitudo gelombang pasut K1, pada Gambar 12, menunjukkan bahwa nilai amplitudo yang paling kecil berada di paling selatan/mulut teluk dan nilainya meningkat seiring keberadaannya sampai di

posisi kepala teluk/di bagian utara. Pola perambatan yang ditunjukkan ini bergerak secara beraturan dari arah mulut teluk, masuk dari sebelah timur terlebih dahulu kemudian menyebar ke arah barat. Secara sekilas pola perambatan amplitudo K1 yang dibentuk mirip dengan pola perambatan

amplitudo M2. Nilai amplitudo terkecil sebesar 0,313 m dan nilai amplitudo yang paling besar sebesar 0,33 m. Pola perambatan amplitudo K1 ini memiliki

kemiripan dengan yang terbentuk di perambatan amplitudo M2. Faktor yang menyebabkan hal ini adalah perubahan nilai kedalaman secara signifikan di bagian kepala teluk dan juga bentukan dari Teluk Bone itu sendiri.

Menurut Hatamaya (1996), propagasi gelombang pasut K1 dengan nilai amplitudo yang tidak cukup besar ini, diduga berasal dari Samudera Pasifik masuk melalui daerah Timur Indonesia lalu bergerak ke arah Barat. Nilai amplitudo K1 yang bergerak di perairan Indonesia, memiliki kisaran nilai amplitudo yang tidak begitu besar antara 10–30 cm, serta perbedaan nilai amplitudonya tidak begitu besar. Perbedaan amplitudo yang terjadi di Teluk Bone hanya sebesar 0,017 m. Nilai perbedaan ini cukup jauh dengan perbedaan amplitudo M2 yang mencapai 0,12 m di perairan ini.

Pola perambatan fase K1 di Perairan Teluk Bone (Gambar 13), menunjukkan bahwa kontur co-tidal yang terbentuk pada perairan semakin merapat apabila gradien kedalaman berubah secara signifikan. Dekat stasiun pasut Kolaka, nilai yang terbentuk lebih rapat dibandingkan di daerah tengah tengah perairan.Di bagian ini juga dapat terlihat bahwa gelombang pasut berpropagasi masuk dari sebelah timur kepala teluk kemudian bergerak mengelilingi seluruh bagian kepala teluk dan keluar di bagian baratnya. Fase berubah secara cukup cepat dilihat dari semakin rapatnya kontur co-tidal yang terbentuk di area bagian utara/kepala teluk. Perambatan gelombang pasut K1

Gambar 12. Pola perambatan amplitudo komponen pasut K1 di Teluk Bone

masuk dari mulut teluk sampai ke kepala teluk membutuhkan waktu sekitar 1 menit 11,8 detik. Gelombang pasut K1 merambat masuk ke dalam teluk dengan waktu yang cukup singkat, dari mulut teluk hingga kepala teluk. Perambatan gelombang pasut K1 masuk ke dalam Teluk Bone lebih cepat dibandingkan dengan perambatan gelombang pasut M2.

Pola perambatan fase K1 yang dibentuk dari model memiliki selisih 12 detik antara stasiun pasut Kolaka dengan Tanjung Mangkasa. Pola perambatan pasut K1 bergerak dari stasiun Kolaka terlebih dahulu sekitar 12 detik lebih awal

daripada di stasiun Tanjung Mangkasa. Hal ini diduga akibat letak stasiun pasut Kolaka yang terletetak lebih dekat dengan mulut teluk dibanding stasiun pasut Tanjung Mangkasa.

Gelombang pasut K1 merambat masuk ke dalam mulut Teluk Bone,

kemudian mengalami perubahan fase di posisi 3,4 LS. Perubahan fase ini terjadi pada bagian leher teluk dan di bagian timur terlebih dahulu lalu diikuti di bagian barat teluk. Pada bagian pertengahan teluk dekat dengan stasiun kolaka terdapat kontur yang membentuk lingkaran yang cukup rapat, dengan nilai fase yang berubah menjadi semakin lebih besar dibanding daerah disekitarnya. Kontur lingkaran ini diduga merupakan pusaran arus residu K1 yang terbentuk didaerah teluk. Hal ini dapat disebabkan oleh perubahan nilai gradien

kedalaman yang terbentuk pada daerah tersebut. Amplitudo gelombang pasut M2 baru mengalami perubahan di posisi 4,2 LS sampai 3,7 LS. Nilai amplitudo berubah secara bertahap dari 31,55- 31,7 cm, difase yang sama. Perubahan nilai amplitudo terjadi pada bagian timur terlebih dahulu kemudian disusul di bagian sebelah barat. Hal ini disebabkan daerah di bagian timur terluk jauh lebih dangkal dibanding daerah di sebelah barat, sehingga penjalaran amplitudo lebih dahulu berubah di bagian timur dibanding di sebelah barat.

Bagian leher teluk, nilai amplitudo berubah secara bertahap namun tidak terlalu banyak dari 31,9-32,1 cm. Pada bagian leher teluk pun nilai fase

bertambah menjadi 195,30. Kepala teluk memiliki nilai fase yang berbeda-beda di bagian timur, tengah dan barat. Nilai fase di bagian barat lebih besar

dibanding di bagian tengah, dan di bagian timur memiliki nilai fase yang paling kecil diantara ketiganya. Untuk nilai amplitudo, semakin ke arah kepala teluk nilainya semakin besar. Saat memasuki daerah kepala teluk nilai amplitudo sebesar 32,3 cm dan semakin meningkat menuju ke arah utara bagian kepala teluk, yakni sebesar 33 cm.

4.3.2. Pemodelan Pola Arus Residu K1

Selama satu siklus komponen K1 pola arus residu yang terbentuk (Gambar 14) di Perairan Teluk Bone memiliki kisaran kecepatan 0,001 – 0,015 m/s. Kecepatan arus residu K1 cukup lambat di dekat dengan daratan, diakibatkan gesekan dengan dasar perairan yang terlalu besar dan perairan dengan perubahan kedalaman yang bertahap. Nilai kecepatan arus residu K1 yang cukup besar terjadi apabila gradien dasar perairan berkurang secara signifikan, terlihat pada bagian kepala teluk bahwa arus residu berputar searah jarum jam dan memiliki kecepatan yang cukup besar dibandingkan pada area lainnya. Pada bagian kepala teluk, terlihat bahwa arus membentuk pusaran setengah lingkaran di daerah pertengahan. Hal ini disebabkan perubahan nilai kedalaman yang cukup signifikan, dimulai dari kedalaman ratusan meter hingga mencapai kedalaman maksimum di bagian pertengahan kepala teluk yang mencapai 2000 meter.

Gambar 14. Pola perambatan arus residu di Teluk Bone pada satu siklus pasut komponen pasut K1

Secara umum, pola arus residu K1 masuk dari bagian timur perairan, kemudian bergerak ke atas hingga di bagian tengah. Arus sebagian ada yang bergerak ke arah kanan, masuk menuju teluk dekat stasiun pengamatan Kolaka

Dalam dokumen Pemodelan Pasut di Teluk Bone (Halaman 76-107)

Dokumen terkait