• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II SYARAT HIBAH MENURUT HUKUM ISLAM

B. Syarat Hibah Menurut Hukum Islam

Hibah baru dikatakan sah apabila disertai oleh ijab dan kabul65, atau dengan kata lain yang mengandung isi pemberian harta kepada seseorang tanpa disertai imbalan. Sedangkan menurut mazhab hanafi sudah cukup dengan ijab saja sudah sah. Kalau menurut mazhab Hambali bahwa cukup dengan perbuatan yang menunjukkan kepada pemberian saja sudah dianggap sah, sebab Nabi shallallahu a’laihi wasallam dan sahabat diberi hadiah dan memberi hadiah melakukan hal yang demikian itu.66

Hibah tidak terkait dengan syarat apapun, apabila hibah dikaitkan dengan penggantian sesuatu maka dikatakan jual beli, Namur jika syarat diserahkan setelah pemberi hibah meninggal dunia maka dikatakan wasiat. Maka Akad hibah itu semata

64

M. Idris Ramulyo. Op.Cit Hal. 116

65Ijab berarti pernyataan orang yang memberi harta, Kabul merupakan pernyataan orang yang

menerima harta.

mata bersifat penyerahan harta kepada orang lain secara sukarela tanpa imbalan apapun.

Walaupun hibah merupakan akad yang sifatnya menjalin silaturahmi, Namun tindakan tersebut mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi, jika salah satu rukun atau syarat itu tidak dipenuhi baik oleh pemberi atau penerima hibah maka bisa menjadi tidak sah.

Dalam buku Fiqh Muamalah67disebutkan dalam Ilmu Fiqh diterangkan rukun hibah itu ada 4 yaitu: shigat hibah, penghibah, penerima hibah dan barang hibah.

Kemudian jika di dalam buku Fiqh ‘ala Mazhabil Arbaan diterangkan bahwa rukun hibah itu ada tiga yaitu orang yang melakukan akad (orang yang menghibahkan dan yang menerima hibah), harta yang dihibahkan dan shigat hibah.68

Sedangkan jumhur ulama mengemukan bahwa rukun hibah itu ada empat:69 1. orang yang menghibahkan (al Wahib)

2. harta yang dihibahkan ( al-mauhub) 3. lafal hibah

4. orang yang menerima hibah (Mauhub lahu)

Dalam buku Fikh Muamalatdisebutkansebagaimana amalan-amalan yang lain, maka tidaklah sah suatu amal perbuatan tanpa terpenuhinya rukun hibah, adapun uraian tentang syarat hibah adalah70:

a. Kedua Belah Pihak yang Berakad (Aqidain)

Kedua pihak itu biasa disebut pemberi hibah dan penerima hibah.

67Helmi Karim Op.cit hal 76. 68

Abdur Rahman Al Jazari, Kitabul Fiqh alal Majhabil Arba’ah. JUZ III Darul Kutubil Ilmiyah. Beirut Lebanon. 1990 hal 257.

69Abdul Rahman Ghazaly, Op.Cit., hal 160. 70Abdul Aziz Muhammad Azzam,Op.cit. hal 442

Pertama, pihak pemberi hibah: Ada beberapa syarat orang yang memberi hibah, yakni:

1. Harus memiliki hak atas barang hibah dan mempunyai kebebasan mutlak untuk berbuat terhadap hartanya71. Ini juga dikatakan dalam kompilasi hukum Islam pasal 210 (2).

Hak berasal dari bahasa Arab al haqq, yang secara etimologi mempunyai beberapa pengertian berbeda, diantaranya : milik, ketetapan dan kepastian, bagian dari kewajiban daan kebenaran.

Dalam terminoloi fiqh terdapat beberapa pengertian al haqq yang dikemukakan oleh para ulama fiqh, diantaranya:

Menurut Wahbah al-Zuhaily72:”suatu hukum yang telah ditetapkan secara syara”. Menurut Syeikh Ali al Kalif73: ”kemaslahatan yang diperoleh secara syara”.

Kata milik berasal dari bahasa Arab al-milk, yang secara etimologi berarti penguasaan terhadap sesuatu. Al-Milk juga berarti sesuatu yang dimiliki(harta). Secara terminologi al milk didefinisikan oleh Muhammad Abu Zahrah74adalah:

71Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Medan Bpk Drs.H.Mohd Hidayat Nassery,

Agustus 2011

72

Wahbah al Zuhaily,Al Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh(damaskus Dar Fikr,2005)juz 4 hal 8

73

Ali al Khalif,AlHaqq wa Zimmah(Mesir; Dar al-Fikr al-Arabi, 1976) hal 36.

74 Muhammad Abu Zahrah, Al-Milkiyah wa Nazhariyah al-aqd fi al-syari’ah al-islamiyah.

”pengkhususan seseorang terhadap pemilik sesuatu benda menurut syara’ untuk bertindak secara bebas dan bertujuan mengambil manfaatnya selama tidak ada penghalang yang bersifat syara”

Artinya benda yang dikhusukan kepada seseorang itu sepenuhnya berada dalam penguasaannya, sehingga orang lain tidak boleh bertindak dan memanfaatkannya. Pemilik harta bebas untuk bertindak hukum terhadap hartanya, seperti jual beli, wakaf dan meminjamkannya kepada orang lain, selama tidak ada halangan dari syara’. Contoh halangan syara’ antara lain orang itu belum cakap bertindak hukum, misalnya anak kecil, orang gila, atau kecakapan hukumnya hilang, seperti orang yang jatuh pailit, sehingga dalam hal hal tertentu mereka tidak dapat bertindak hukum terhadap miliknya sendiri75

Dengan kata lain apabila seseorang telah memiliki suatu benda yang sah menurut syara’, orang tersebut bebas bertindak terhadap benda tersebut, baik akan dijual maupun akan digadaikan, baik dia sendiri yang melakukannya maupun perantaraan orang lain.

Para fuqaha berpendapat bahwa hak merupakan imbangan dari benda(a’yan), sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat hak bukanlah harta76.

Untuk itu, disyaratkan bahwa yang diserahkan itu benar-benar milik penghibah secara sempurna. Namun kenyataannya inilah yang terjadi di

75Mustafa Ahmad al-Zarqa’. Op.cit jilid I hal 241

Pengadilan Agama Medan dalam kasus putusan no. 887/pdt.g/2009/PN Medan, bahwa Tergugat I terbukti bukan pemilik penuh harta yang dihibahkannya kepada Tergugat lainnya.

2. Penghibah juga harus orang yang cakap untuk bertindak menurut hukum. Dalam kompilasi hukum Islam dikatakan minimal umur 21 tahun (pasal 210 ayat 1)

Penghibah itu adalah orang yang telah mempunyai kesanggupan melakukan tabarru, maksudnya ia telah mursyid¸ telah dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya, jika terjadi sesuatu persoalan atau perkara dikemudian hari..

3. Lalu tidak disyaratkan penghibah itu harus muslim

4. Pemberi hibah ini harus dalam keadaan sehat dan memiliki kemampuan. Kemudian para fuqaha berselisih paham dalam hal si pemberi hibah dalam keadaan sakit, bodoh dan bangkrut77. Di dalam kompilasi hukum Islam dikatakan Pasal 213 dikatakan Hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya.

Para jumhur ulama berpendapat bahwa mengenai orang sakit boleh berhibah 1/3 hartanya, karena dipersamakan dengan wasiat. Sebagian ulama salaf dan sebagian fuqaha zhahiri berpendapat bahwa hibahnya itu dikeluarkan dari pokok hartanya bila ia meninggal dunia. Dan trtidak

diperselisihkan lagi bila seseorang telah sehat lagi maka hukum hibahnya dihukumkan sah.78

Jumhur ulama berpendapat bahwa sakit yang menghalangi hibah ialah sakit yang mengkhawatirkan. Bahkan imam Malik mengatakan hal yang mengkhawatirkan itu seperti menjelang persalinan hamil, serta penumpang laut yang tinggi gelombangnya, tapi dalam hal ini masih banyak perselisihan. Adapun penyakit yang lama tidak menjadi penghalang melakukan hibah. 5. Syarat lain yang penting bagi penghibah adalah bahwa tindakan hukum itu

dilakukan atas kesadaran sendiri, bukan karena ada paksaan dari pihak luar, selama ada bukti yang kuat yang didapat selama pembuktian di pengadilan.79 Sesuai juga dengan isi Kompilasi Hukum Islam pasal 210 (1).

Kedua, pihak penerima hibah, Ada beberapa syarat orang yang memberi hibah, yakni:

Harus berada pada waktu diberi hibah80 maksudnya ketika keberadaannya masih dalam bentuk janin maka tidak sah hibah tersebut karena dikhawatirkan atau belum pasti hidup atau tidaknya anak tersebut. Demikian pula hibah kepada orang gila atau anak kecil. Mereka tidak lah sah hibah kepada mereka kecuali ada wali yang mewakili mereka, pemeliharanya atau orang yang mendidiknya walaupun ia orang asing.81

b. Sesuatu yang Dihibahkan (mauhub)

78

Ibid hal 245

79Wawancara, op.cit.

80Sayyid Sabiq,Fiqh Al Sunnah,(beirut; dar al fikr,2006),jilid III hal 985 81ibid

Sesuatu ataupun harta yang akan dihibahkan, dengan syarat harta itu milik penghibah secara sempurna (tidak bercampur dengan milik orang lain) dan merupakan harta yang bermanfaat serta diakui agama. Dengan demikian, jika harta yang akan dihibahkan tidak ada, harta tersebut masih dalam khayalan atau harta yang dihibahkan itu adalah benda-benda yang materinya diharamkan agama, maka hibah tersebut tidak sah82.

Sama halnya seperti jual beli, maka benda yang semisal buah yang belum muncul di pohon atau seperti anak kambing yang masih di perut ibunyahukumnya batal. Juga diperbolehkannya memberi anjing piaraan karena ia bermanfaat. Serta tidak diperbolehkan menghibahkan minuman keras.

Syarat yang lain adalah benda tersebut dapat dimiliki zatnya, dapat pula berpindah tangan, maka menghibahkan air di sungai adalah hibah yang tidak sah, begitu pula tidak sah hibah ikan di laut, juga hibah sebuah mesjid.83

Jika dilihat dari jumlah harta yang akan dihibahkan maka para jumhur ulama berbeda pendapat. Jumhur ulama berpendapat bahwa seseorang boleh menghibahkan semua harta yang dimilikinya. Adapun menurut Muhammad Ibnu al-Hasan dan sebagian pengikut mazhab Hanafi berpendapat bahwa tidak sah menghibahkan semua harta, meskipun dalam kebaikan karena mereka menganggap yang berbuat seperti itu orang yang dungu yang wajib dibatasi tindakannya84.bahkan di kompilasi hukum Islam yang berlaku di Indonesia tidak boleh lebih dari 1/3 harta penghibah.

82Syafiie HassanbasriEnsiklopedia Islam, Hibah, Kompas, Jakarta, 3 Oktober 2001 83Abdul Rahman Ghazaly, Op.Cit.,hal 161

Tidak sahnya atau batalnya harta yang dihibahkan terpisah dengan yang lainnya85 seperti contoh seseorang menghibahkan sebidang tanah namun masih ada tanaman milik orang yang menghibahkan, atau menghibahkan sapi yang hamil sedangkan yang dihibahkan hanya induknya tetapi anaknya tidak.

Kepemilikan benda bergerak dengan kepemilikan benda tidak bergerak tentu berbeda, Ada kriteria tertentu untuk sesuatu benda yang boleh dihibahkan yaitu setiap benda yang boleh diperjual belikan, karena dia adalah akad yang bertujuan mendapatkan hak milik terhadap suatu barang, maka dia bisa memiliki sesuatu yang bisa dimilikinya dengan cara jual beli, sehingga setiap yang boleh dijual boleh dihibahkan sebagiannya walaupun barang tersebut banyak.

Hadist yang diriwayatkan Umar Ibnu Salamah Adh-Dhumari dari seorang lelaki dari Buhuz bahwa dia pergi bersama Rasulullah menuju Mekkah sehingga ketika mereka berada dekat Lembah Rauha’ kemudian mereka menemukan seekor keledai liar sedang makan rumput lalu mereka menceritakannya kepada Nabi Muhammad, beliau bersabda: ”biarkan dia sampai pemiliknya datang” lalu datanglah Kabilah Buhuz dan berkata : ” ya Rasulullah ambillah oleh kalian keledai ini” lalu Nabi menyuruh Abu Bakar untuk membagikannya kepada para sahabat. Perawi berkata :” kemudan kami meneruskan perjalanan sehingga kami sampai di sebuah pedesaan kami melihat ada menjangan yang pincang di bawah sebuah pohon milik

yang ada tanda hak miliknya lalu Nabi menyuruh seorang shabat untuk menjaganya sehingga dia bisa memberi tahu orang lain tentang hewan itu”86.

Semua barang yang tidak diperjualkan, maka tidak boleh dihibahkan, seperti barang-barang yang haram dan najis juga barang yang belum diketahui asal-usulnya. Hibah dalam Hukum Islam dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan, bahkan telah ditetapkan dengan tegas bahwa dalam Hukum Islam, pemberian harta berupa harta tidak bergerak dapat dilakukan dengan lisan tanpa mempergunakan suatu dokumen tertulis.

Akan tetapi jika selanjutnya, bukti-bukti yang cukup tentang terjadinya peralihan hak milik, maka pemberian itu dapatlah dinyatakan dalam tulisan.87

Jika pemberian tersebut dilakukan dalam bentuk tertulis tersebut terdapat 2 (dua) macam, yaitu :

a. Bentuk tertulis yang tidak perlu didaftarkan, jika isinya hanya menyatakan telah terjadinya pemberian.

b. Bentuk tertulis yang perlu didaftarkan, jika surat itu merupakan alat dari penyerahan pemberian itu sendiri, artinya apabila pernyataan penyerahan benda yang bersangkutan kemudian disusul oleh dokumen resmi tentang pemberian, maka yang harus didaftarkan.88.

c. Shigat/ucapan89

86Ibid hal 445 87

Mu Al-Adab Al-Mufrud, Op.Cit., hlm.180.

88

Eman Suparman,Op.Cit, hlm. 74-75.

89Abd Ai-Rahman Al-Jazari, Kitab Al-Fiqih mazahib Al-Arba, Beirut: Dar Al-Kitab Al-

Adanya ijab dan kabul yang menunjukkan ada pemindahan hak milik seseorang (yang menghibahkan) kepada orang lain (yang menerima hibah). Bentuk ijab bisa dengan kata-kata hibah itu sendiri, dengan kata-kata hadiah, atau dengan kata-kata lain yang mengandung arti pemberian. Terhadap kabul (penerimaan dari pemberian hibah), para ulama berbeda pendapat. Imam Maliki dan Imam Syafi'i menyatakan bahwa harus ada pernyataan menerima (kabul) dari orang yang menerima hadiah, karena kabul itu termasuk rukun. Sedangkan bagi segolongan ulama Mazhab Hanafi, kabul bukan termasuk rukun hibah. Dengan demikian, sigat (bentuk) hibah itu cukup dengan ijab (pernyataan pemberian) saja.90

Imam Ahmad dan Abu Tsaur berpendapat bahwa hibah menjadi sah dengan terjadinya akad, sedangkan penerimaan tidak menjadi syarat sama sekali, baik secara syarat kelengkapan maupun syarat sahnya hibah.golongan Zhariri yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bahwa penerimaan menjadi syarat sahnya hibah pada barang yang dapat ditakar dan ditimbang.91 Walau penerimaan itu tidak dipersyaratkan, kecuali ada dalil yang menguatkan.

Shigat adalah ijab dan qabul. Adapun makna Akad ada hubungannya dengan shigat, bahwa akad secara syar’i yaitu: hubungan antara ijab dan qabul dengan cara yang dibolehkan oleh syariat yang mempunyai pengaruh secara langsung92. Ini artinya bahwa akad termasuk dalam kategori hubungan yang mempunyai nilai menurut pandangan syara’ antara dua orang sebagai hasil dari kesepakatan antara keduanya yang kemudian kedua keinginan itu dinamakan ijab dan qabul.

90Depdiknas,Ensiklopedia Islam, Faskal II. PT Ichtiah baru Van Hoeve, jakarta hal 106-107 91Ibnu Rusy, Op.cit hal. 247.

Hibah dalam Ensiklopedi Islam antara lain tertulis, Para fukaha (ahli fikih) mendefinisikannya sebagai akad yang mengandung penyerahan hak milik seseorang kepada orang lain semasa hidupnya tanpa ganti rugi. Dengan demikian, akad hibah itu tidak terkait dengan syarat apa pun.

Adapun yang disunnahkan agar orangtua tidak membeda bedakan sebagian anak dengan sebagian yang lain dalam hibah sebagaimana diriwayatkan oleh An- Nu’man bin Basyir dia berkata: “ Ayah saya memberiku hibah lalu mendatangi rasullullah dan berkata: “ya Rasululah saya memberi anak saya satu pemberian dan ibunya berkata dia tidak ridha sebelum ayah bertemu dengan rasulullah lalu Rasulullah bertanya kepadanya: “apakah kamu memberi semua anakmu seperti itu?” dia menjawab: “tidak, Ya Rasulullah” Rasul bersabda: “takutlah kamu kepada Allah dan berbuat adillah di antara anakmu, bukankah kamu gembira jika mereka sama sama mendapat kebajikan?” dia menjawab: “tentu, ya Rasulullah” Nabi menjawab: “mengapa tidak kamu lakukan”.93

Jika dia membedakan antara anak anaknya dalam hibah, maka akad hibahnya tetap sah sesuai dengan hadist yang diriwayatkan oleh An-Nu’man bahwa Nabi bersabda : “berikan saksi kepada ini selain saya”, seandainya akad tidak sah pastilah Nabi akan menjelaskan dan tidak menyuruhnya mencari saksi selain beliau.

Maka tidak boleh dilarang jika dia memberikan hibah sedikit atau menerima hibah sedikit sesuai dengan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dia berkata, bersabda Nabi: “seandainya saya diundang untuk jamuan kaki kambing pasti

93Diriwayatkan oleh Syafi’i dalam Al-Umm dan Al-Baihaqi di dalamnya disebutkan: “lalu

dia mendatangi Nabi”, disebutkan “takutlah kamu kepada Allah dan berlaku adil kepada anak anakmu” (At-Talkhish, 3/72)

saya akan datang, dan jika saya diberi hadiah kaki kambing kambing atau lengan tangan kambing pastilah saya akan menerimanya”.94

Jika terjadi ijab dan qabul dan terpenuhi semua rukun yang ada maka syara’ akan menganggap ada ikatan di antara keduanya dan akan terlihat hasilnya pada barang yang diakadkan berupa harta yang menjadi tujuan kedua belah pihak yang membuat akad. Pengaruhnya adalah keluarnya barang yang di akadkan dari kondisi pertama menjadi kondisi baru, jika dia jual beli maka barang yang dijual akan berpindah ke tangan pembeli.

Namun makna ikatan diatas dibatasi oleh bentuk yang diperbolehkan oleh syariat dan mengeluarkan semua ikatan yang tidak dibolehkan oleh syariat seperti jika ada orang yang ber akad :” saya sewa engkau untuk mencuri harta si fulan dengan bayaran sekian”, lalu pihak penerima berkata:”ya saya terima”, maka ini tidak boleh.

Dalam hibah disyaratkan ada ijab dan qabul namun dalam hadiah tidak harus ada ijab dan qabul menurut pendapat yang shahih walaupun bukan makanan. Namun cukup mengirim dari si pemberi dan menerima dari pihak penerima hadiah sehingga pengiriman dan penerimaan sama seperti ijab dan qabul, inilah yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat perkotaan. Adapun sedekah maka tidak perlu ada shigat secara pasti dan inilah pendapat yang jelas sebagaimana dikatakan oleh Imam Asy-Syafi’i. Ulama berselisih pendapat, apakah penerimaan itu menjadi syarat sahnya akad atau tidak. Ats-Tsauri, Syafi’i, dan Abu Hanifah sependapat bahwa penerimaan itu termasuk syarat sahnya hibah. Apabila barang tidak diterima, maka pemberi hibah

94Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Hadistnya Abu Hurairah kitab An-Nikah dan

tidak terikat. Menurut Malik, hibah menjadi sah dengan adanya penerimaan dan calon penerima hibah boleh dipaksa untuk menerima seperti jaul beli. Apabila penerima hibah memperlambat tuntutan untuk menerima hibah sampai pemberi hibah itu mengalami pailit atau menderita sakit, maka hibah tersebut batal. Sedangkan menurut Ahmad dan Abu Tsaur, hibah menjadi sah dengan terjadinya akad sedangkan penerimaan tidak menjadi syarat sama sekali.

Adapun rukun hibah menurut Al – Jazairi adalah sebagai berikut : a. Aqid (pemberian)

b. Penerima hibah

c. Sesuatu yang diberikan d. Sigat.95

Sedangkan bentuk syarat syarat hibah menurut Departemen Agama96 dan penerapannya di Pengadilan Agama Medan adalah:

a. Syarat bagi Penghibah (pemberi hibah) :

1. Penghibah adalah orang yang memiliki dengan sempurna sesuatu atas harta yang dihibahkan. Dalam hibah terjadi pemindahan milik karena itu mustahil orang yang tidak memiliki akan menghibahkan sesuatu barang kepada orang lain. Seperti halnya perkara nomor 887 / pdt.G/2009 yang ada si pengadilan agama, bahwa tergugat bukanlah pemilik sempurna harta yang dihibahkannya.

95Abd Ai-Rahman Op.Cit,.hal .257

96Departemen Agama Republik Indonesia Ilmu Fiqih, jilid III, Jakarta Proyek Pembinaan

2. Penghibah itu adalah orang yang mursyid, yang telah dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya jika terjadi persoalan atau perkara yang berkaitan dengan pengadilan mengenai harta tersebut. Demikian juga di Pengadilan Agama Medan bahwa pemberi hibah merupakan pihak yang sudah dewasa, dan cakap menurut hukum dibuktikan dengan umur tergugat dan penggugat.

3. Penghibah tidak berada di bawah perwalian orang lain, jadi penghibah itu harus orang dewasa, sebab anak-anak kurang kemampuannya.

4. Penghibah harus bebas tidak ada tekanan dari pihak lain dipaksa karena hibah disyratkan kerelaan dalam kebebasan. Di pengadilan agama terbukti dalam perkara nomor 887 bahwa tidak ada tekanan dari tergugat untuk memberikan harta hibah.

5. Seseorang melakukan hibah itu dalam mempunyai iradah dan ikhtiyar dalam melakukan tindakan atas dasar pilihannya bukan karena dia tidak sadar atau keadaan lainnya. Seseorang dikatakan ikhtiar dalam keadaan tindakan apabila ia melakukan perbuatan atas dasar pilihannya bukan karena pilihan orang lain, tentu saja setelah memikirkan dengan matang.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Pasal 210 (1) mensyaratkan pemberi hibah telah berumur sekurang-kurangnya 21 (dua puluh satu) Tahun.97

b. Syarat bagi Penerima Hibah :

1. Bahwa ia telah ada dalam arti yang sebenarnya karena itu tidak sah anak yang belum lahir menerima hibah.

2. Jika penerima hibah itu orang yang belum mukalaf, maka yang bertindak sebagai penerima hibah adalah wakil atau walinya atau orang yang bertanggung jawab memelihara dan mendidiknya.

c. Syarat bagi barang atau harta yang dihibahkan :

1. Barang hibah itu telah ada dalam arti yang sebenarnya waktu hibah dilaksanakan. Maksudnya barangnya maujud, walaupun tidak di tempatnya, misalnya ”saya memberi kamu rumah yang ada di kota A”, mobilnya diyakini ada walau tidak di tempat saat itu. Yang tidak dibolehkan adalah misalnya ”saya memberikan anak sapi yang masih ada di perut sapi ini” padahal anaknya belum lahir, ini tidak boleh bahkan haram hukumnya, karena spekulasi bisa terlalu tinggi.

2. Barang yang dihibahkan itu adalah barang yang boleh dimiliki secara sah oleh ajaran Islam, dan bermanfaat. misalnya hibah yang tidak dibolehkan ”saya hibahkan salib ini kepadamu”, tinjauannya adalah boleh tidak barang itu digunakan dalam syariat Islam. Contoh lain yang tidak boleh di hibah adalah menghibahkan kotoran yang najis, karena najis dalam syariat tidak dapat digunakan, namun jika najis tersebut berubah jadi berguna seperti biogas maka ada perbedaan pendapat disini, apakah najis jika berubah itu suci atau tidak, misalnya kotoran kambing boleh tidak dihibahkan, maka nabi mengatakan boleh karena bisa dimanfaatkan.

3. Barang itu telah menjadi milik sah dari harta penghibah, baik pemilikan secara sempurna maupun sebagai wakil dari pemilik tersebut, misalnya A dititipi

komputer oleh B, lalu A menghibahkannya kepada C, ini tidak boleh. Atau misalnya belum ada serah terima barang tapi sudah diberikan kepada pihak lain lagi, ini tidak boleh.

4. Harta yang dihibahkan itu dalam kekuasaan yang tidak terikat pada suatu perjanjian dengan pihak lain seperti harta itu dalam keadaan digadaikan.

Dokumen terkait