• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN PERJANJIAN KREDIT DI DALAM

B. Perjanjian Pada Umumnya

2. Syarat Sahnya Perjanjian

Perjanjian yang dibuat tidak dibatasi oleh siapa pihaknya, apa tujuannya, dan apa yang mereka sepakati asal sesuai dengan pasal 1320 bw yaitu :

Pasal 1320 bw : untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3. Suatu hal tertentu.

4. Suatu sebab yang halal.

1. Kesepakatan atau persetujuan Para Pihak ;

Sepakat yang dimaksudkan bahwa subyek yang mengadakan perjanjian harus bersepakat, setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang akan dibuat. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain, tanpa ada salah satu pihak dirugikan atau bahkan kedua belah pihak saling merugikan.

2. Kecakapan Para Pihak dalam membuat suatu Perjanjian ;

Orang yang mengadakan perjanjian harus cakap menurut hukum yang berlaku. Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum. Menurut Pasal 1320 KUH Perdata yang dimaksudkan cakap menurut hukum adalah mereka yang telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun tetapi telah kawin atau pernah menikah.

Kecakapan bertindak ini dalam banyak hal berhubungan dengan masalah kewenangan bertindak dalam hukum. Meskipun kedua hal tersebut secara prinsipil berbeda, namun dalam membahas masalah kecakapan bertindak yang melahirkan suatu perjanjian yang sah, maka masalah kewenangan untuk bertindak

juga tidak dapat dilupakan. Jika masalah kedewasaan dari orang perorangan yang melakukan suatu tindakan atau perbuatan melawan hukum, masalah kewenangan berkaitan dengan kapasitas orang perorangan tersebut yang bertindak atau berbuat dalam hukum. Dapat saja seorang yang cakap bertindak dalam hukum tetapi ternyata tidak berwenang untuk melakukan suatu perbuatan hukum, dan sebaliknya seorang yang dianggap berwenang untuk bertindak melakukan suatu perbuatan hukum, ternyata karena suatu hal menjadi tidak cakap untuk bertindak dalam hukum.

Pada dasarnya yang paling pokok dan mendasar adalah masalah kecakapan untuk bertindak. Setelah seseorang dinyatakan cakap untuk bertindak untuk dan atas namanya sendiri, baru kemudian dicari tahu apakah orang perorangan yang cakap bertindak dalam hukum tersebut juga berwenang untuk melakukan suatu tindakan atau perbuatan hukum tertentu.

Masalah kewenangan bertindak orang perorangan dalam hukum, menurut doktrin ilmu hukum yang berkembang dapat dibedakan ke dalam:22

a) Kewenangan untuk bertindak untuk dan atas namanya sendiri, yang berkaitan dengan kecakapannya untuk bertindak dalam hukum.

b) Kewenangan untuk bertindak selaku kuasa pihak lain, yang dalam hal ini tunduk pada ketentuan yang diatur dalam Bab XIV Kitab Undang- Undang Hukum Perdata di bawah judul “Pemberian Kuasa”.

c) Kewenangan untuk bertindak dalam kapasitasnya sebagai wali atau wakil dari pihak lain.

22

3. Suatu hal tertentu ;

Suatu hal tertentu maksudnya adalah sudah ditentukan macam atau jenis benda atau barang dalam perjanjian itu. Mengenai barang itu sudah ada atau sudah berada ditangan pihak yang berkepentingan pada waktu perjanjian dibuat tidak diharuskan oleh undang-undang dan juga mengenai jumlah tidak perlu untuk disebutkan.

4. Suatu causa atau sebab yang halal ;

Yang dimaksud dengan sebab yang halal adalah isi dari perjanjian itu sendiri. Sebab yang tidak halal adalah berlawanan dengan Undang-undang, kesusilaan ketertiban umum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1337 KUH Perdata.

Syarat-syarat dalam suatu perjanjian dibagi dalam dua (2) kelompok, yaitu : 1. Syarat subyektif ;

Syarat subyektif adalah syarat yang menyangkut pada subyek-subyek perjanjian itu, atau dengan perkataan lain syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang membuat perjanjian, yang meliputi :

a) Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, b) Kecakapan pihak yang membuat perjanjian. 2. Syarat obyektif ;

Syarat obyektif adalah syarat yang menyangkut pada obyek perjanjian itu sendiri, yang meliputi :

a) Suatu hal tertentu.

Apabila syarat subyektif tidak terpenuhi maka salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan adalah pihak yang tidak cakap. Jadi perjanjian yang telah dibuat akan tetap mengikat para pihak selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi. Apabila syarat obyektif tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum atau batal dengan sendirinya, artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian.

Istilah kontrak dengan perjanjian sering membuat banyak orang bingung. Di dalam BW (Burgerlijk Wetboek) penggunaan istilah overeenkomst dan contract digunakan untuk pengertian yang sama.

Hal ini secara jelas dapat disimak dari judul Buku III titel kedua tentang “Perikatan-perikatan yang lahir dari Kontrak atau Perjanjian” yang dalam bahasa Belanda berbunyi “Van verbintenissen die uit contract of overeenkomst geboren

worden”. Banyak para sarjana yang memandang ini dengan berbagai macam

pandangan, ada yang mendukung ada juga yang tidak mendukung.

Pengertian yang dikemukakan di dalam BW (Burgerlijk Wetboek) juga didukung oleh pendapat banyak sarjana, antara lain : Hofmann dan J. Satrio,

23

Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan,24 Mariam Darus Badrulzaman,25 Purwahid Patrik26 dan Tirtodiningrat 27

23

J. Satrio, Hukum Perjanjian, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992, hlm. 19. 24

J. Satrio, Hukum Perjanjian, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992, hlm. 19. 25

Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, edisi II, Cet. I, Bandung: Alumni, 1996, hlm. 89.

26

Purwahid Patrik, Dasar-dasar hukum Perikatan, Bandung: Mandar Maju, 1994, hlm. 45.

yang menggunakan istilah kontrak dan perjanjian dalam pengertian yang sama.

Berbeda dengan para sarjana tadi, Subekti 28mengangap pengertian kontrak lebih sempit cakupannya daripada perjanjian / perikatan. Hal ini karena kontrak digunakan untuk perjanjian / perikatan yang tertulis. Sarjana lain yang membedakan kontrak dengan perjanjian adalah Peter Mahmud Marzuki.29

27

R.M. Suryodiningrat, Azas-azas Hukum Perikatan, Bandung: Tarsito, 1985, hlm. 72. 28

Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. XVI, Jakarta: Intermasa, 1996, hlm. 1. 29

Peter Mahmud Marzuki, “Batas-batas Kebebasan Berkontrak”, artikel dalam Jurnal

Yuridika, Volume 18 No.3, Mei Tahun 2003, hlm. 195-196.

Beliau membedakan pengertian kontrak dengan perjanjian ke dalam sistem Anglo – American. Sistematika Buku III tentang Verbintenissenrecht (hukum Perikatan) mengatur mengenai overeenkomst yang kalau diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia adalah perjanjian. Istilah kontrak adalah merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris yaitu Contract. Didalam konsep kontinental, penempatan pengaturan perjanjian pada Buku III BW Indonesia tentang Hukum Perikatan menunjukkan bahwa perjanjian memang berkaitan dengan masalah Harta Kekayaan (Vermogen). Pengertian perjanjian ini mirip dengan contract pada konsep Anglo-American yang selalu berkaitan dengan bisnis. Di dalam pola pikir Anglo-American, perjanjian yang dalam bahasa Belandanya adalah overeenkomst, dalam Bahasa Inggris disebut agreement yang mempunyai pengertian lebih luas dari contract, karena mencakup hal-hal yang berkaitan dengan bisnis atau bukan bisnis. Untuk agreement yang berkaitan dengan bisnis disebut contract, sedangkan untuk yang tidak terkait dengan bisnis hanya disebut agreement.

Rumusan baik tentang kontrak atau perjanjian di dalam BW terdpat di dalam pasal 1313, yaitu “Suatu Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.30

a) hubungan hukum, artinya perikatan yang dimaksud disini adalah bentuk hubungan hukum yang menimbulkan akibat hukum;

Menurut Agus Yudha Hernoko, terdapat 4 (empat) unsur perikatan, yaitu :

b) bersifat harta kekayaan, artinya sesuai dengan tempat pengaturan

perikatan di Buku III BW yang termasuk di dalam sistematika Hukum Harta Kekayaan (Vermogensrecht), maka hubungan yang terjalin antar para pihak tersebut berorientasi pada harta kekayaan;

c) para pihak, artinya dalam hubungan hukum tersebut melibatkan pihak- pihak sebagai subyek hukum;

d) prestasi, artinya hubungan hukum tersebut melahirkan kewajiban-

kewajiban (prestasi) kepada para pihaknya (prestasi - kontra prestasi), yang pada kondisi tertentu dapat dipaksakan pemenuhannya, bahkan apabila diperlukan menggunakan alat negara.” 31

1. Syarat Subyektif

Syarat subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak yang melaksanakan perjanjian. Dengan kata lain syarat subyektif sahnya suatu perjanjian ada 2, yaitu:

30

Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, 1980.

31

AgusYudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Yogyakarta: LaksBang Mediatama, 2008, hlm. 18.

a) Kesepakatan bebas kedua belah pihak

Kata sepakat merupakan suatu syarat yang logis, karena dalam pejanjian setidak-tidaknya ada dua orang yang saling berhadap-hadapan dan mempunyai kehendak yang saling mengisi. Dengan diperlakukannya kata sepakat untuk mengadakan perjanjian, maka berarti bahwa kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak.

Kesepakatan merupakan syarat yang pertama sahnya perjanjian. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jika diperhatikan dengan seksama ketentuan yang diatur dalam Pasal 1321 hingga Pasal 1328 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka akan sulit menemui pengertian, atau definisi dari kesepakatan bebas.

Menurut ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum perdata tersebut, secara a contrario, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya kesepakatan bebas dianggap terjadi pada saat perjanjian dibuat oleh para pihak, kecuali dapat dibuktikan bahwa kesepakatan tersebut terjadi karena adanya kekhilafan, paksaan, maupun penipuan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi:

“Tiada suatu perjanjian pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”.

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai kekhilafan, paksaan, maupun penipuan, maka akan dibahas terlebih dahulu pengertian kesepakatan, bagaimana

kesepakatan dapat terwujud, dan kapan suatu kesepakatan dianggap telah terjadi.32

Penyesuaian kehendak antara dua pihak menimbulkan perikatan, karena hukum hanya mengatur perbuatan nyata daripada manusia. Dengan kata lain adanya kesesuaian kehendak saja antara dua orang belum melahirkan suatu perjanjian, karena kehendak itu harus dinyatakan, harus nyata bagi yang lain, dan harus dapat di mengerti pihak lain.

Seseorang dikatakan telah memberikan persetujuan/ sepakatnya, Jika seseorang itu memang menghendaki apa yang disepakati, karena suatu persetujuan pada dasarnya tidak mungkin timbul tanpa kehendak dari para pihak. Dengan kata lain sepakat sebenarnya merupakan pertemuan antara dua kehendak, dimana kehendak orang yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak lain. Kesepakatan bebas di antara para pihak itu pada prinsipnya adalah pertanggung jawaban dari asas konsensualitas.

33

Sepakat itu inti sebenarnya adalah suatu penawaran yang disampaikan kepada lawan pihaknya, untuk memperoleh persetujuan dari lawan pihaknya tersebut. Dalam hal pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran menerima penawaran yang diberikan, maka tercapailah kesepakatan tersebut. Sedangkan jika pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran tidak menyetujui penawaran yang disampaikan tersebut, maka ia dapat mengajukan penawaran balik, yang Kehendak itu harus saling bertemu dan untuk saling bisa ketemu harus dinyatakan.

32

AgusYudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Yogyakarta: LaksBang Mediatama, 2008, hlm. 18.

33

memuat ketentuan-ketentuan yang di anggap dapat dipenuhi atau yang sesuai dengan kehendaknya yang dapat dilaksanakan dan diterima olehnya. Dalam hal yang demikian maka kesepakatan belum tercapai. Saat penerimaan yang paling akhir dari serangkaian penawaran atau bahkan tawar menawar yang disampaikan dan dimajukan oleh para pihak, adalah, saat tercapainya kesepakatan. Hal ini adalah benar untuk perjanjian konsensuil, dimana kesepakatan dianggap terjadi pada saat penerimaan dari penawaran yang disampaikan terakhir. Dengan kata lain suatu penawaran dan persetujuan itu bisa datang dari kedua belah pihak secara timbal balik.

Menurut Mariam Darus, pengertian sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antara para pihak. Pernyataan tersebut adalah pernyataan dari pihak yang menawarkan dinamakan penawaran dan pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi. Selanjutnya penting untuk diperhatikan adalah bahwa yang dimaksud sepakat dalam Pasal 1320 adalah sepakat pada saat akan lahirnya perjanjian, bukan pada saat pelaksanaannya. Dalam perjanjian konsensuil, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa segera setelah terjadi kesepakatan, maka lahirlah perjanjian, pada saat yang bersamaan juga menrbitkan perikatan di antara para pihak yang telah bersepakat dan berjanji tersebut.34

Menutup suatu perjanjian adalah suatu tindakan hukum, dan karena kehendaknya ditujukan kepada timbulnya uatu akibat hukum tertentu (Sesuatu yang dikehendaki), tetapi apa yang sebenarnya dikehendaki oleh satu pihak tidak

34

diketahui oleh pihak lain. Kehendak seseorang baru dapat diketahui oleh pihak lain, kalau kehendak tersebut dinyatakan. Jadi untuk itu perlu adanya pernyataan kehendak. 35

Cara mengutarakan kehendak bisa bermacam-macam, ada lima cara pernyataan kehendak, yaitu: Pertama, bahasa yang sempurna dan tertulis; Kedua, Bahasa yang sempurna secara lisan; Ketiga, Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan; Keempat, Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya; Kelima, Diam atau membisu, tetapi dipahami atau diterima oleh pihak lawan.

Pernyataan kehendak tersebut harus merupakan pernyataan, bahwa ia menghendaki timbulnya hubungan hukum.

36

Pada dasarnya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak mensyaratkan suatu bentuk pernyataan kehendak tertentu, tetapi memang benar, ada perjanjian- perjanjian tertentu yang mensyaratkan, agar kesepakatan itu dituangkan dalam bentuk tertentu. Untuk beberapa tindakan hukum tertentu hukum perdata (dalam arti luas) mensyaratkan perwujudan dalam bentuk suatu akta (bentuk tertulis). Akta tersebut dapat berupa akta bawah tangan maupun bentuk suatu akta otentik Suatu akta yang dibuat oleh para pihak dimaksudkan sebagai alat bukti adanya kesepakatan antara para pihak, namun di samping itu, mereka bebas untuk membuktikannya dengan bukti lain. Suatu akta selain berlaku sebagai alat bukti, akta merupakan syarat konstitutif untuk adanya perjanjian sebagaimana dimaksudkan oleh undang-undang. Sesuatu yang diisyaratkan oleh undang- undang adalah penuangan daripada perjanjian itu harus dalam wujud tertentu,

35

J. Satrio, Op. cit, hal. 174 36

namun hal itu tidak berarti bahwa sebelum dituangkan dalam bentuk yang disyaratkan undang-undang sama sekali tidak ada perjanjian antara para pihak. Bisa saja ada lahir suatu perjanjian, tetapi bukan seperti yang dimaksud oleh para pihak.

Apabila suatu pernyataan diberikan secara benar, dalam arti pernyataan tersebut sesuai dengan kehendak dan penerimaannya dilaksanakan dengan benar pula maka terjadilah perjanjian, namun adakalanya sepakat tidak tercapai dengan kehendak yang murni, dan kehendak itu mungkin sengaja diselewengkan kearah lain atau diberikan dalam suasana yang tidak bebas.

Sehubungan dengan syarat kesepakatan para pihak yang mengikatkan diri dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat beberapa hal yang merupakan faktor yang dapat menimbulkan cacat pada kesepakatan tersebut. Cacat dalam kehendak dapat dibedakan ke dalam tiga kelompok, yaitu:

a) Kelompok pertama, tentang kekhilafan dalam perjanjian; b) Kelompok yang kedua, tentang paksaan dalam perjanjian; c) Kelompok ketiga, tentang penipuan dalam perjanjian.

a) Tentang kekhilafan dalam perjanjian

Masalah kekhilafan diatur dalam Pasal 1322 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi sebagai berikut:

“Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian, kecuali jika kehilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian”.

Kekhilafan tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seseorang bermaksud untuk membuat perjanjian, kecuali jika perjanjian itu dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut. Dari rumusan Pasal 1322 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat dua hal pokok dan prinsipil, yaitu:

1. Kekhilafan bukanlah alasan untuk membatalkan perjanjian;

2. Ada dua hal yang dapat menyebabkan alasan pembatalan perjanjian karena kekhilafan, yaitu: hakikat kebendaan yang menjadi pokok perjanjian tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya (Eror in substantia); Orang terhadap siapa suatu perjanjian hanya akan dibuat (Eror in pesona).

Hal pertama adalah prinsip umum yang harus dipegang, diikuti dan ditaati. Hal kedua merupakan pengecualian atau penyimpangan, yang dibatasi alasannya. Alasan pertama yaitu eror in substantia, maksudnya ialah bahwa kekhilafan itu mengenai sifat dari benda yang merupakan alasan sesungguhnya bagi kedua belah pihak untuk mengadakan perjanjian. Sedangkan dalam alasan kedua yaitu eror in persona, kekhilafan itu mengenai orangnya. Dari kedua alasan pengecualian tersebut, maka alasan kedua lebih mudah dimengerti daripada alasan pertama.

Dari rumusan yang dikemukakan dalam alasan kedua tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksudkan dalam pengecualian kedua tersebut adalah subyek dalam perikatan, artinya salah satu pihak dalam perikatan diwajibkan untuk melakukan atau berbuat sesuatu. Hal ini adalah konsekuensi logis dari tiga macam perikatan yang dikenal dan diakui oleh Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata. Tiga macam perikatan yang dimaksud antara lain: memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.

b) Tentang paksaan dalam perjanjian

Paksaan sebagai alasan pembatalan perjanjian diatur dalam 5 Pasal, yaitu dari Pasal 1323 hingga Pasal 1327 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1323 membuka paksaan sebagai alasan pembatalan perjanjian, dengan menyatakan bahwa:

“Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang mengadakan suatu perjanjian mengakibatkan batalnya perjanjian yang bersangkutan, juga bila paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga, untuk kepentingan siapa perjanjian tersebut tidak telah dibuat”.

Ketentuan Pasal 1323 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut menunjukkan pada subyek yang melakukan pemaksaan, yang dalam hal ini dapat dilakukan oleh orang yang merupakan pihak dalam perjanjian, orang yang bukan pihak dalam perjanjian tetapi mempunyai kepentingan terhadp perjanjian tersebut, dan orang yang bukan pihak dalam perjanjian dan tidak memiliki kepentingan terhadap perjanjian yang dibuat tersebut.

Hal yang terakhir ini sangat penting artinya bagi hukum, mengingat bahwa kenyataan menunjukkan banyak terjadinya paksaan yang dilakukan oleh “orang bayaran” atau “orang suruhan”, yang nota bene memang tidak memiliki kepentingan terhadap perjanjian yang dibuat dibawah paksaan atau ancaman tersebut. Selanjutnya ketentuan Pasal 1325 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa:

“Paksaan menjadikan suatu perjanjian batal, bukan hanya bila dilakukan terhadap salah satu pihak yang membuat perjanjian, melainkan juga bila dilakukan terhadap suami atau isteri atau keluarganya dalam garis keatas maupun ke bawah”.

Subyek terhadap siapa paksaan dilakukanpun ternyata tidak hanya meliputi orang yang merupakan pihak dalam perjanjian, melainkan juga termasuk di dalamnya suami atau isteri dan keluarga mereka dalam garis keturunan maupun ke bawah. Akibat paksaan atau ancaman yang dilakukan, dapat dijadikan sebagai alasan pembatalan perjanjian yang telah dibuat. Hal ini diatur dalam Pasal 1324 dan 1326 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi:

Pasal 1324

“Paksaan telah terjadi, bila perbuatan itu sedemikian rupa sehingga dapat menakutkan seorang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata”. Pasal 1326

“Ketakutan saja karena hormat kepada ayah, ibu atau sanak keluarga lain dalam garis ketasa, tanpa disertai kekerasan, tidak cukup untuk embatalkan perjanjian”.

Dari Pasal 1324 dan 1326 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat diketahui bahwa paksaan yang dimaksud dapat terwujud dalam dua bentuk kegiatan atau perbuatan yaitu berupa Pertama Paksaan Fisik dalam pengertian

kekerasan. Kedua Paksaan Psikis, yang dilakukan dalam bentuk ancaman psikologis atau kejiwaan.

Pasal terakhir yang mengatur mengenai paksaan sebagai alasan untuk membatalkan perjanjian yaitu Pasal 1327 yang menyatakan:

“Pembatalan suatu perjanjian berdasarkan paksaan tidak dapat dituntut lagi, bila paksaan berhenti, perjanjian itu dikuatkan, baik secara dinyatakan dengan tegas maupun secara diam-diam, atau jika seseorang melampaukan waktu yang ditentukan undang-undang untuk dapat dipulihkan seluruhnya ke keadaan sebelumnya”.

c) Tentang penipuan dalam perjanjian

Penipuan sebagai alasan pembatalan perjanjian diatur dalam Pasal 1328 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang terdiri dari dua ayat, berbunyi:

“Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu perjanjian, apabila tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut. Penipuan tidak dipersangkakan, melainkan harus dibuktkan”.

Penipuan melibatkan unsur kesengajaan dari salah satu pihak dalam perjanjian, untuk mengelabui pihak lawannya, sehingga pihak yang terakhir ini memberikan kesepakatannya untuk tunduk pada perjanjian yang dibuat antara mereka. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa masalah penipuan yang berkaitan dengan kesengajaan ini harus dibuktikan dan tidak boleh hanya dipersangkakan saja. Dalam hal ini, maka pihak terhadap siapa penipuan

telah terjadi wajib membuktikan bahwa lawan pihaknya telah memberikan suatu informasi secara tidak benar, dan hal tersebut disengaja olehnya, yang tanpa adanya informasi yang tidak benar tersebut, pihak lawannya tersebut tidak mungkin akan memberikan kesepakatannya untuk tunduk pada perjanjian yang dibuat tersebut.

2. Kecakapan untuk bertindak

Kecakapan bertindak ini dalam banyak hal berhubungan dengan masalah kewenangan bertindak dalam hukum. Meskipun kedua hal tersebut secara prinsipil berbeda, namun dalam membahas masalah kecakapan bertindak yang melahirkan suatu perjanjian yang sah, maka masalah kewenangan untuk bertindak juga tidak dapat dilupakan. Jika masalah kedewasaan dari orang perorangan yang

Dokumen terkait