• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN

B. Syarat Sahnya Perjanjian

Suatu perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, sebagaimana

26

21

yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Dengan dipenuhinya empat syarat yang disebutkan dalam Pasal tersebut, maka suatu perjaanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya.27

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

Empat syarat sahnya perjanjian yang tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata adalah sebagai berikut :

2. Kecakapan untuk membuat perikatan; 3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

Dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, syarat-syarat tersebut dibagi kedalam dua kelompok besar, yaitu syarat subjektif dan syarat objektif.Dua syarat pertama dinamakan syarat subjektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyek yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.28

Tidak terpenuhinya salah satu syarat dari keempat syarat sahnya perjanjian tersebut, dapat mengakibatkan cacat dalam perjanjian dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (apabaila terdapat pelanggaran terhadap syarat subyektif), maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya syarat obyektif), dalam pengertian bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya.29

27

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 14.

28

Subekti, Hukum PerjanjianCetakan 18, PT. Intermasa, Jakarta, 2001, hlm. 1.

29

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.Cit., hlm. 94.

1. Syarat Subyektif30

Syarat subyektif dalam syarat sahnya perjanjian, meliputi dua macam keadaan yaitu :

a. Terjadinya kesepakatan secara bebas diantara para pihak yang melangsungkan suatu perjanjian.

b. Adanya kecakapan untuk bertindak diantara para pihak yang melangsungkan suatu perjanjian.

Ad.a. Kesepakatan Bebas

Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus melaksanakan.31Para pihak yang mengadakan perjanjian harus bersepakat dan setuju mengenai hal-hal pokok yang diadakan dalam perjanjian itu.32 Sepakat dan setuju itu sifatnya bebas, artinya benar-benar atas kemauan sukarela diantara para pihak artinya tidak ada paksaan sama sekali dari pihak manapun. Dikatakan tidak ada paksaan, apabila orang melakukan perbuatan itu tidak berada dibawah ancaman, baik dengan kekerasan jasmani maupun dengan upaya bersifat menakut-nakuti.33

Menurut ketentuan yang diatur di dalam KUH Perdata secara a contrario

dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya kesepakatan bebas dianggap terjadi pada saat perjanjian dibuat oleh para pihak, kecuali dapat dibuktikan bahwa

30 Ibid. 31 Ibid.,hlm. 95. 32

R. Subekti, Op. Cit.,hlm. 17.

33

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan Cetakan Ketiga, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hlm. 89-90.

23

kesepakatan tersebut terjadi karena adanya kekhilafan, paksaan, maupun penipuan sebagaimana dituliskan dalam Pasal 1321 KUH Perdata.34

1) Tentang kekhilafan dalam perjanjian

Masalah kekhilafan diatur dalam Pasal 1322 KUH Perdata. Ada dua hal pokok dan prinsipil dari rumusan pasal 1322 KUH Perdata, yaitu :

a) Kekhilafan bukanlah alasan untuk membatalkan perjanjian;

b) Ada dua hal yang dapat menyebabkan alasan pembatalan perjanjian karena kekhilafan yaitu, mengenai :

(1) Hakikat kebendaan yang menjadi pokok perjanjian tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya (error in substantia). Misalnya seseorang menganggap bahwa ia membeli lukisan yang asli, ternyata kemudian mengetahui bahwa lukisan yang dibelinya adalah tiruan. (2) Terhadap orang yang dibuatnya suatu perjanjian (error in persona).

Misalnya, seorang penyelenggara konser menandatangi perjanjian dengan seorang penyanyi sebagai salah satu pengisi acara. Namun setelah penandatanganan perjanjian tersebut, baru diketahui bahwa orang yang menandatangani perjanjian bukanlah orang yang dimaksud hanya saja karena namanya sama.

2) Tentang Paksaan dalam perjanjian

Paksaan sebagai alasan pembatalan perjanjian diatur dalam lima Pasal, yaitu dari Pasal 1323 KUH Perdata hingga Pasal 1327 KUH Perdata. Ketentuan dalam Pasal 1323 KUH Perdata merujuk pada subjek yang melakukan pemaksaan, yang dilakukan oleh pihak di dalam perjanjian, orang yang bukan pihak dalam

34

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.Cit.,hlm. 94.

perjanjan tetapi memiliki kepentingan terhadap perjanjian yang dibuat tersebut.Selanjutnya berdasarkan rumusan Pasal 1325 KUH Perdata, dapat diketahui bahwa subjek terhadap siapa paksaan dilakukan ternyata tidak hanya meliputi orang yang merupakan pihak dalam perjanjian, melainkan juga termasuk didalamnya suami atau isteri dan keluarga dalam garis keturunan ke atas maupun ke bawah.

Pasal 1324 KUH Perdata dan Pasal 1326 KUH Perdata berbicara mengenai akibat paksaan atau ancaman yang dilakukan, yang dapat dijadikan sebagai alasan pembatalan perjanjian yang telah dibuat (dibawah paksaan atau ancaman tersebut).Jika merujuk pada rumusan Pasal 1324 KUH Perdata dan Pasal 1326 KUH Perdata, dapat diketahui bahwa paksaan yang dimaksud dapat terwujud dalam dua bentuk kegiatan atau perbuatan. Perbuatan yang dimaksud berupa :

a) Paksaan fisik, dalam pengertian kekerasan;

b) Paksaan psikis, yang dilakukan dalam bentuk ancaman psikologis atau kejiwaan.

Selain itu, paksaan tersebut juga mencakup dua hal yaitu :

a) Jiwa dari subyek hukum sebagaimana disebut dalam Pasal 1325 KUH Perdata;

b) Harta kekayaan dari pihak-pihak yang disebut dalam Pasal 1325 KUH Perdata.

Paksaan terjadi, jika seseorang memberikan persetujuannya karena ia takut pada suatu ancaman. Paksaan yang dimaksud dalam KUH Perdata tidak hanya berarti tindakan kekerasan saja tetapi paksaan dalam arti yang lebih luas yaitu meliputi ancaman terhadap kerugian kepentingan hukum seseorang. Intinya,

25

bukan kekerasan itu sendiri tetapi rasa takut yang ditimbulkan oleh adanya kekerasan tersebut.

3) Tentang penipuan dalam perjanjian

Penipuan sebagai alasan pembatalan suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1328 KUH Perdata yang terdiri dari dua ayat. Dari rumusan pasal ini dapat dilihat, bahwa penipuan mempunyai unsur kesengajaan dari salah satu pihak dalam perjanjian untuk mengelabui pihak lawannya sehingga pihak yang satunya memberikan kesepakatannya untuk tunduk pada perjanjian yang dibuat antara mereka.KUH Perdata menyatakan bahwa masalah penipuan yang berkaitan dengan kesengajaan ini harus dapat dibuktikan dan tidak diperbolehkan hanya dengan adanya persangkaan saja.

Ad.b. Kecapakan Untuk Bertindak

Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang.Orang yang cakap dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah berumur 21 tahun dan atau sudah kawin. Orang yang tidak berwenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah :35

1. Anak dibawah umur (minderjarigheid)

2. Orang yang ditaruh dibawah pengampuan, dan

35

Salim H.S, Op.Cit.,hlm. 34.

3. Istri (Pasal 1330 KUH Perdata). Akan tetapi dalam perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31 UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. SEMA No. 3 Tahun 1963.

Mengenai kewenangan melakukan perbuatan hukum atau kewenangan untuk membuat perjanjian, dikatakan ada kewenangan apabila ia mendapat kuasa dari pihak ketiga untuk melakukan perbuatan hukum tertentu yaitu membuat perjanjian. Dikatakan tidak ada kewenangan apabila ia tidak mendapat kuasa untuk itu.36

2. Syarat Objektif

Syarat objektif adalah syarat mengenai perjanjian itu sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.Tidak dipenuhinya dua syarat ini bisa mengakibatkan perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum. Syarat objektif dalam syarat sahnya perjanjian meliputi dua macam hal yaitu :

a. Mengenai suatu hal tertentu b. Adanya sebab (causa) yang halal. Ad. a. Mengenai suatu hal tertentu

Suatu perjanjian haruslah memiliki obyek tertentu sekurang-kurangnya dapat ditentukan jenisnya.37

36

Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hlm. 93.

37

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.Cit., hlm. 154.

KUH Perdata menjelaskan maksud hal tertentu dengan memberikan rumusannya dalam Pasal 1333 KUH Perdata.Jika melihat kepada rumusan pasal tersebut, KUH Perdata hanya menekankan pada perikatan untuk menyerahkan sesuatu. Namun jika diperhatikan lebih lanjut, rumusan dari pasal tersebut hendak menegaskan bahwa apapun jenis perikatannya baik itu perikatan untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu

27

KUH Perdata hendak menjelaskan bahwa semua jenis perikatan tersebut pasti melibatkan keberadaan dari suatu kebendaan yang tertentu.38

1) Bukan tanpa sebab;

Kebendaan yang diperjanjikan tersebut harus cukup jelas, ditentukan jenisnya, jumlahnya boleh tidak disebutkan asal dapat dihitung atau ditetapkan.Syarat bahwa kebendaan itu harus dapat ditentukan jenisnya, gunanya untuk menetapkan apa yang menjadi hak dan kewajiban dari kedua belah pihak itu apabila timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian.

Ad. b. Adanya sebab (causa) yang halal.

Sebab adalah suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian, atau yang mendorong orang untuk membuat suatu perjanjian.Tetapi didalam Pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian orzaak (causa yang halal). Hukum pada dasarnya tidak menghiraukan apa yang ada dalam gagasan atau pemikiran seseorang, yang diperhatikan adalah tindakan yang nyata dan dilakukan dalam masyarakat. Dalam Pasal 1335 KUH Perdata, dijelaskan bahwa yang disebut dengan sebab yang halal adalah :

2) Bukan sebab yang palsu; 3) Bukan sebab yang terlarang.

Di dalam Pasal 1336 KUH Perdata, dapat dilihat bahwa yang diperhatikan oleh undang-undang adalah “isi perjanjian” yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai, apakah bertentangan dengan undang-undang atau tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan atau tidak dalam pelaksanaan suatu perjanjian.

38

Ibid., hlm. 155.

Sementara didalam Pasal 1337 KUH Perdata hanya disebutkan causa yang terlarang.Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang- undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebab yang halal adalah prestasi yang wajib dilakukan oleh para pihak sebagaimana yang telah diperjanjikan, tanpa adanya prestasi yang telah diperjanjikan untuk dilakukan maka perjanjian tidak akan ada diantara para pihak.39

Akibat hukum dari perjanjian yang berisi sebab yang tidak halal adalah perjanjian itu batal demi hukum.Dengan demikian tidak ada yang menjadi dasar untuk menentut pemenuhan prestasi karena sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian.Dan begitu pula sebaliknya apabila perjanjian itu tanpa sebab maka perjanjian itu dianggap tidak pernah ada.40