• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : SAKSI DALAM KASUS PERCERAIAN MENURUT EMPAT

B. Syarat-Syarat Saksi Dalam Kasus Perceraian

Menurut Hukum Islam syarat-syarat saksi yang dapat diterima kesaksiannya adalah sebagai berikut:

1. Berakal dan Baligh. maka tidak boleh menerima kesaksian orang yang tidak berakal, seperti; orang gila, orang mabuk, dan anak kecil. Karena mereka tidak tsiqah (tidak terpercaya) perkataanya, anak kecil yang belum baligh tidak mungkin memberikan kesakian sesuai yang diinginkan (diperlukan) dan bukan merupakan saksi yang diridhai. Sesuai yang disyaratkan dalam firman Allah Swt.: “min rijalikum”, “zu ‘adlin” dan “min-man tardhauna min al-syuhada”.

2. Merdeka. Menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah, syarat

saksi harus merdeka, tidak diterima kesaksian seorang hamba. Dasarnya firman Allah Swt dalam Surat Al-Nahl (16) ayat 75:

... ﺒ َﻋ ًﻼ ﺜ ﻣ ُﷲ َب َﺮ َﺿ

Allah membuat perumpumaan seorang hamba sahaya saya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatu pun...

Kesaksian bermakna penguasaan, tidak ada kuasa pada seorang hamba. Menurut Ulama Hanabilah dan Zahiri, kesaksian hamba dapat diterima, makna ayat diatas bersifat umum sehingga penghambaan

tidak berdampak penolakan kesaksiannya. Hanabilah mengaitkannya untuk selain kasus hudud dan qisas.

3. Islam. Ulama fikih sepakat seorang saksi harus muslim. Tidak diterima kesaksian kafir atas orang Islam karena disangsikan kebenarannya. Tetapi ulama Hanafiyah dan Hanabilah membolehkan kesaksian orang kafir mengenai perkara wasiat dalam perjalanan.

Menurut Imam Abu Hanifah, Syuraih, Ibrahim an-Nakhaiy, dan Auzai kesaksiannya di bolehkan dalam keadaan ini, berdasarkan firman Allah swt., (Al-Mai’dah [5]: 106-107).

Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah jika kamu ragu-ragu: "(Demi Allah) kami tidak akan menukar sumpah ini dengan harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa".

Jika diketahui bahwa kedua (saksi itu) memperbuat dosa, maka dua orang yang lain di antara ahli waris yang berhak yang lebih dekat kepada orang yang meninggal (memajukan tuntutan) untuk

menggantikannya, lalu keduanya bersumpah dengan nama Allah: "Sesungguhnya persaksian kami lebih layak diterima daripada persaksian kedua saksi itu, dan kami tidak melanggar batas, sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang menganiaya diri sendiri".

Menurut Syafi’i dan Malik, “Kesaksian kafir terhadap muslim tidak dapat di perkenankan, baik dalam perkara wasiat di tengah

perjalanan maupun dalam perkara lainnya.” Karena saksi yang

dikehendaki ayat adalah orang yang merdeka, diridhai dan beragama Islam, orang yang kita ridhai tentulah dari ahli agama kita, bukan orang-orang musyrik, karena Allah Swt. memutus kewenangan (wilayah) antara kita dan mereka dengan agama, tidak pula sahaya yang dikuasai tuannya, orang fasik juga bukan orang yang kita ridhai, kita hanya ridha terhadap orang-orang kita (Islam) yang adil, merdeka, dan baligh“min rijalikum”.10

4. Dapat melihat. Imam Abu Hanifah, Muhammad dan Ulama Syafi’iyah

mensyaratkan saksi dalam melihat, tidak diterima kesaksian orang buta, karena saksi harus tahu apa yang ia saksikan, tahu isyarat padanya ketika menyaksikan, orang buta tidak dapat membedakan orang kecuali dengan bunyi suara, sementara bunyi suara kadang-kadang saling menyerupai. Terlebih lagi Ulama Hanafiyah, menolak kesaksian orang buta meskipun di waktu menyaksikannya ia dapat melihat.

10M

Ulama Malikiyah dan Hanabilah membolehkan kesaksian orang buta jika ia yakin dengan suara yang ia dengar, karena umumnya makna ayat mengenai saksi. Dan karena orang buta yang adil dapat diterima riwayatnya sebagaimana orang yang dapat menghasilkan yakin, begitu pula kesaksian orang buta yang ditetapkan dengan Istifadah (testimonium de auditu) sebagaimana pula dibolehkan menjadi saksi dalam terjemah, karena apa yang didengarnya akan ditafsirkan oleh keberadaan hakim, pendengarannya sama dengan pendengaran orang yang dapat melihat.

5. Dapat berbicara. Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah,

mensyaratkan saksi itu mampu berbicara, tidak diterima kesaksian orang bisu meskipun isyaratnya dapat dipahami, karena isyarat tidak dianggap kesaksian yang syaratnya yakin sehingga dituntut pelafalan/pengucapan kesaksian. Ulama Malikiyah membolehkan kesaksian orang bisu bila dapat dipahami isyaratnya, karena isyarat adalah bahasa tuturannya yang diterima dalam talak, nikah, dan ziharnya sehingga kesaksiaannya juga begitu.

6. Adil. para ulama sepakat mensyaratkan saksi harus adil, tidak diterima kesaksian orang fasik seperti pezina, pemabuk, pencuri dan yang semisal. Tetapi orang fasik jika ia terpandang dalam masyarakat, bermartabat dapat diterima kesaksiannya, karena kehormatan dan martabatnya menghindarkannya dari kecondongan dan berdusta dalam kesaksian. Akan tetapi, menurut ulama Hanafiyah kesaksian orang

fasik mutlak tidak diterima, hakim yang memutus berdasar kesaksian orang fasik cacatlah putusannya dan jadilah dia hakim durhaka/membangkang.

7. Bukan dugaan/sangkaan. orang yang suka menyangka ditolak kesaksiannya. Suatu kesaksian, untuk dapat dijadikan sebagai dasar dalam memutus perkara tidak boleh berupa dugaan ataupun dengan keterangan yang belum cukup memadai dari yang seharusnya.11

Sumpah Saksi

Integritas saksi-saksi pada masa sekarang ini sudah semakin tidak jelas. Maka dari itu kesaksian harus diperkuat dengan sumpah. Dalam majalahal-Ahkam al-‘Adliyyahdinyatakan,“Jika pihak yang dipersaksikan

menyampaikan tuntutan sebelum ada keputusan hukum agar hakim meminta saksi-saksi untuk bersumpah bahwa mereka tidak berdusta dalam kesaksian mereka, dan ada ketentuan bahwa kesaksian dapat diperkuat dengan sumpah, maka hakim boleh meminta saksi-saksi untuk bersumpah, dan mengatakan kepada mereka, jika kalian bersumpah, maka kesaksian kalian diterima. Pendapat ini dianut oleh Ibnu Nujaim al-Hanafy. Menurut madzhab Hanafi, saksi tidak perlu bersumpah, karena lafal kesaksian sudah mengandung makna sumpah. Menurut Imam Hanbali, saksi yang memungkiri penyampaain kesaksian tidak perlu diminta untuk bersumpah tidak pula hakim yang memungkiri keputusan hukum dan tidak pula orang yang diberi wasiat atas penafian hutang pada pihak yang memberikan

11

wasiat. Orang yang memungkiri pernikahan juga tidak perlu diminta untuk bersumpah, termasuk dalam perkara cerai, rujuk, ila’, nasab, qishas, dan tuduhan zina, karena itu semua bukan harta, dan tidak dimaksudkan untuk mendapatkan harta tidak pula ditetapkan adanya penolakan padanya.12 Kesaksian Non-Muslim Terhadap Orang Islam

Ada dua pendapat ulama fikih yaitu:

1. Menurut jumhur selain Hanabilah. Tidak diterima kesaksian mereka karena kesaksian adalah kewenangan (wilayah), tidak ada kewenangan orang kafir terhadap orang Islam.

Al-Qur’an Surat Al-Nisa’ (4) ayat 141 :

ْﻦ َﻟ َو

ُﱠﷲ

ﺎ َﻜ ْﻠ ِﻟ

ﻰ َﻠ َﻋ ...

...dan Allah sekali-kali tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.

2. Ulama Hanabilah membolehkan kesaksian non-Muslim dalam safar (musafir) karena sangat dibutuhkan jika tidak didapati orang muslim selain mereka, karena alasan darurat bahkan bisa saja dalam keadaan

muqimataupunsafar. Al-Qur’an surah Al-Maidah (5) ayat 106:

ا ﻮ ُﻨ َﻣ آ

ا َذ ِإ

َﺮ َﻀ َﺣ

ُﻢ ُﻛ َﺪ َﺣ َأ

ُت ْﻮ َﻤ ْﻟ ا

ِﺣ

ِن ﺎ َﻨ ْﺛ ا

ا َو َذ

ٍل ْﺪ َﻋ

ْﻢ ُﻜ ْﻨ ِﻣ

ْو َأ

ِن ا َﺮ َﺧ آ

ْﻦ ِﻣ

ْن ِإ

ْﻢ ُﺘ ْﻧ َأ

ْﻢ ُﺘ ْﺑ َﺮ َﺿ

ﻲ ِﻓ

ِض ْر ﻷ ا

ْﻢ ُﻜ ْﺘ َﺑ ﺎ َﺻ َﺄ َﻓ

ِت ْﻮ َﻤ ْﻟ ا

ْﻦ ِﻣ

ِﺪ ْﻌ َﺑ

ِة ﻼ ﱠﺼ ﻟ ا

ِن ِإ

ْﻢ ُﺘ ْﺒ َﺗ ْر ا

ي ِﺮ َﺘ ْﺸ َﻧ

ًﻨ َﻤ َﺛ

ْﻮ َﻟ َو

َن ﺎ َﻛ

ا َذ

ﻰ َﺑ ْﺮ ُﻗ

ﻻ َو

ُﻢ ُﺘ ْﻜ َﻧ

ِﱠﷲ

ﺎ ﱠﻧ ِإ

ا ًذ ِإ

َﻦ ِﻤ َﻟ

12 A€ ‚ Bƒ „ …ƒ…,†u‡uˆ A‰ Š ‹ŠŒ‹Š Ž  Š ‘ A’Š ˆ ŠŽŠ  Š ˆ“‹Š‘’ ‡Š”  •–Š -Qadha. (J…— … €„ … : ˜™š… › … G€ …œ ƒž˜Ÿ € ‚…  …)

Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah jika kamu ragu-ragu: "(Demi Allah) kami tidak akan menukar sumpah ini dengan harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa".

Ibnu abbas membenarkan, bahwa bagi orang yang akan mati dan ada orang Islam, Allah swt. menyuruh mempersaksikan wasiatnya dengan dua orang muslim yang adil, jika tidak ada seorang pun orang Islam, Allah Swt. menyuruh disaksikan oleh dua orang saksi non-Muslim, bila kesaksian mereka diragukan keduanya diminta bersumpah bahwa: ‘Kami

tidak membeli kesaksian dengan harga yang sedikit. Ibnu Mas’ud pernah

memutuskan dengan kesaksian non-muslim dimasa Khalifah Usman, maka diterima kesaksian sesama mereka sebagaimana antara umat Islam.

Dokumen terkait