• Tidak ada hasil yang ditemukan

Syok Distributif

Dalam dokumen INFEKSI ODONTOGENIK (Halaman 29-36)

Syok disebabkan akibat adanya gangguan otot jantung atau tahanan perifer yang menurun. Kondisi ini menyebabkan maldistribusi aliran darah. Syok distributif dapat diakibatkan oleh

a. Syok Anafilaktik

Syok akibat suatu reaksi hipersensitifitas terhadap suatu antigen spesifik (obat), reaksi ini menyebabkan vasodilatasi dan bronkokonstriksi. Syok anafilaktik dapat menyebabkan kematian dalam hitungan menit. Tanda spesifik dari adanya reaksi anafilaksis adalah pembentukan urtikaria (lesi ireguler berwarna merah pucat). Jika terjadi reaksi anafilaksis segera diberikan adrenalin (menyebabkan vasokonstriksi) (Kumar dkk,2007; Herdanto, 2010)

b. Syok Neurogenic

Syok akibat kegagalan resistensi periferal yang menyebabkan vasodilatasi sistemik. Biasanya akibat kegagalan respon simpatis (cedera spinal, cedera CNS).

c. Syok Psychogenic

Syok akibat reaksi dari sistem saraf yang menyebabkan vasodilatasi sementara, biasanya ditandai pingsan dan sinkop. Syok psikogenik disebabkankarena adanya perasaan tidak nyaman pada pasien (mendengar berita buruk, ketakutan).

d. Syok Septic

Syok akibat vasodilatasi sistemik dan meningkatkan permeabilitas vaskular, biasanya akibat infeksi gram negatif (terkait edotoxin dan exotoksin) yang merusak dinding pembuluh darah. Syok septik pada dasarnya lebih rumit dan akan dibahas secara rinci.

(Herdanto, 2010). Kata sepsis berasal dari bahasa Yunani yaitu Sepo yang berarti kerusakan atau pembusukan, dan pada penggunaan aslinya menggambarkan dekomposisi bahan organik yang mengakibatkan pembusukan dan kematian. Hippocrates menggunakan istilah ini untuk menggambarkan proses kerusakan jaringan abnormal yang mengakibatkan bau busuk, formasi nanah, dan kematian jaringan. Sedangkan istilah syok' berasal dari bahasa Perancis yaitu choquer yang berarti ‘to collide with’ (berbenturan dengan) dan tepatnya menggambarkan respon tubuh terhadap invasi mikroba yang sebagian besar berefek mengganggu fisiologi normal. Pada awalnya istilah ini digunakan dalam literatur medis pada tahun 1700-an, dikonotasikan sebagai sentakan mendadak yang sering menyebabkan kematian (cedera fisik awal). Definisi ini kemudian berevolusi untuk menggambarkan disfungsi sirkulasi luas setelah cedera (Nduka dan Parillo, 2009).

Sepsis merupakan diagnosis yang paling sering terjadi dan paling mematikan di rumah sakit Amerika Serikat. Angka kematian kasar pada kasus sepsis adalah 29% dan tingkat kematian untuk pasien yang berkembang menjadi syok sepsis adalah 50%. Angka kejadian sindrom sepsis yang dilaporkan sedang meningkat secara dramatis, yang sebagian disebabkan oleh membaiknya penunjang hidup untuk pasien beresiko tinggi, meningkatnya penggunaan prosedur invasif, dan semakin banyaknya pejamu yang mengalami gangguan imunologi (karena imunoterapi, imunosupresi, atau infeksi HIV). Syok septik berasal dari penyebaran dan perluasan infeksi yang pada mulanya terlokalisasi (misalnya, abses, peritonitis, pneumonia) ke dalam aliran darah (Kumar, 2007; Kontra, 2006).

Syok septik terjadi diawali dengan invasi jaringan yang steril oleh mikroba patogen. Interaksi antara patogen dan sistem imun host dapat menyebabkan infeksi dengan cedera jaringan minimal, septik berat, maupun syok septik. Respon host yang abnormal dapat

terlihat pada syok septik yang dipicu oleh virus, bakteri, atau jamur (Nduka dan Parillo, 2009).

Patogen yang berperan menyebabkan syok septik (Annane dkk.,2005)

Sebagian besar kasus syok septik (kira-kira 70%) disebabkan oleh basil gram negatif yang menghasilkan endotoksin sehingga diberi istilah syok endotoksik. Endotoksin merupakan lipopolisakarida (LPS) dinding bakteri yang dilepaskan ketika dinding sel pecah (misalnya pada respon peradangan); LPS terdiri atas inti asam lemak toksik yang lazim terdapat pada semuabakteri gram negatif (lipid A), dan selubung polisakarida kompleks yang unik untuk tiap spesies (antigen O). Molekul analog pada dinding bakteri gram positif dan jamur dapat pula menimbulkan syok septik (Kumar dkk., 2007)

Aktifitas sistem imun berasal dari pengenalan dan reaksi terhadap sinyal bahaya internal, dibandingkan perbedaan antara molekul self dan non-self. Sinyal bahaya juga mencakup sinyal molekul eksogen, pola pathogen-associated molekular, yang merupakan permukaan molekul seperti endotoksin (lipopolisakarida), lipoprotein, membranluar protein, flagellin, fimbrae, peptidoglikan, peptidoglikan-associated lipoprotein, asam lipoteichoic, dan motif internal yang dilepaskan selama lisis bakteri, seperti protein heat-shock, dan DNA

fragmen. Molekul-molekul tersebut umum untuk patogenik, non-patogenik, dan bakteri komensal. Pola-pola ini dikenali oleh reseptor pengenalanpola tertentu, yang menginduksi ekspresi sitokin. Pola mikroba ini terjadi secara sinergis satu sama lain dengan host mediator dan dengan hipoksia (Annane dkk., 2005).

Semua efek pada sel dan hemodinamika yang dihasilkan pada syok septik dapat dihasilkan kembali hanya dengan menyuntikkan LPS. LPS bebas akan melekat pada protein pengikat LPS yang beredar dalam pembuluh darah, dan kompleks tersebut kemudian berikatan pada reseptor spesifik (disebut CD14) pada monosit, makrofag, dan neutrofil. Pengikatan CD 14 (bahkan dengan dosis sekecil 10 pg/mL) mengakibatkan pemberian sinyal intrasel melalui toll-like receptor yang menyertainya, dan kemudian terjadi aktivasi sel mononuklear yang kuat disertai produksi sitokin efektor yang poten, seperti IL-1 dan TNF. Toll like receptor tersebut disebut demikian karena homolog secara struktural dengan protein Drasofila yang disebut toll. Pada lalat buah, toll berperan penting dalam perkembangannya; molekul Drasofila yang terkait penting pula dalam pertahanan bawaan terhadap organisme infeksius. Dengan dosis LPS yang rendah pada manusia, aktivasi yang diperantarai Toll

membantu memicu unsur sistem imun bawaan untuk membasmi mikroba yang menyerang secara efektif. Sayangnya, tergantung pada dosis dan jumlah makrofag yang diaktivasi, efek sekunder pelepasan LPS dapat pula menyebabkan perubahan patologis berat termasuk syok yang fatal (Kumar dkk., 2007).

Pada dosis rendah, LPS terutama berfungsi untuk mengaktivasi monosit, makrofag, dan neutrofil, disertai efek yang mungkin dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuannya menyingkirkan bakteri penyerang. LPS dapat pula mengaktivasi komplemen secara langsung, yang juga turut berperan pada pembasmian bakteri lokal. Fagosit mononuklear akan berespons terhadap LPS dengan menghasilkan TNF, yang kemudianmenginduksi sintesis IL-1. Baik TNF maupun IL-1 bekerja pada sel endotel (dan jenis sel lain) untuk menghasilkan sitokin yang lebih lanjut (misalnya, IL-6 dan IL-8) dan menginduksi molekul adhesi. Dengan demikian pelepasan awal LPS menghasilkan suatu kaskade sitokin terbatas yang meningatkan respons inflamasi akut lokal dan meningkatkan pembersihan infeksi (Kumar dkk., 2007).

Efek lipopolisakarida dan molekul efektor yang diinduksi secara sekunder. LPS menginisiasi kaskade sitokin. Selain itu LPS dan beberapa faktor juga dapat secara langsung merangsang produksi sitokin selanjutnya. Efektor sekunder yang menjadi penting, meliputi nitrit oksida (NO) dan faktor pengaktivasi trombosit (PAF). Pada kadar rendah, hanya terlihat efek inflamasi lokal. Pada kadar menengah, peristiwa yang lebih sistemik terjadi selain efek vaskular lokal. Pada konsentrasi tinggi, terlihat sindrom syok septik. ARDS (Adult Respiratory Distress

Syndrom); DIC (Disseminated Intravascular Coagulation); IL-1, IL-6, IL-8, TNF (tumor necrosis factor)

(Kumar dkk., 2007).

Pada infeksi yang cukup berat, denga kadar LPS yang lebih tinggi (dan akibat peningkatan kaskade sitokin), efektor sekunder yang diinduksi oleh sitokin (misalnya nitrit oksida dan faktor pengaktivasi trombosit) akan menjadi bermakna. Selain itu efek sistemik TNF dan IL-1 dapat mulai terlihat, yaitu demam, peningkatan sintesis acute-phase reactant, dan peningkatan produksi neutrofil yang beredar dalam darah. Akhirnya dengan kadar LPS yang lebih tinggi, sindrom syok septik akan muncul kemudian; saat ini sitokin dan mediator sekunder sama-sama berada dalam kadar yang tinggi dan mengakibatkan:

 Vasodilatasi sitemik (hipotensi)

 Kontraktilitas myokard berkurang

 Jejas dan aktivasi endotel yang meluas, menyebabkan perlekatan leukosit sistemik serta kerusakan kapiler alveolus yang difus dalam paru

 Aktivasi sistem pembekuan, berpuncak pada DIC (disseminated intravascular coagulation)

(Kumar dkk., 2007) Hipoperfusi yang disebabkan oleh efekgabungan vasodilatasi yang luas, kegagalanpompa miokardial, dan DIC menyebabkan kegagalan sistem multiorgan yang mengenai hati, ginjal, dan sistem saraf pusat diantara organ lainnya. Jika infeksi yang mendasarinya (dan kelebihan LPS) tidak segera dikendalikan, biasanya pasien akan meninggal. Dalam beberapa percobaan, antibodi terhadap IL-1 atau TNF (atau reseptornya), atau inhibitor farmakologis mediator sekunder (misalnya sintesis nitrit oksida) telah menunjukkan efektivitas tertentu dalam memberi perlindungan terhadap syok septik (Kumar dkk., 2007).

Prinsip manajemen dalam syok adalah menghilangkan etiologi syok, mengembalikan hemodinamika (perfusi) dan metabolisme, serta menangani masalah komplikasi (gagal ginjal dan edema paru-paru). Hal yang harus dilakukan adalah:

a. Resusitasi dasar

 Airway (Mencegah ada obstruksi saluran nafas)

 Breathing (Menjaga SaO2 > 92% dan Hb level > 10 g/dl

 Circulation (memberikan cairan IV pada vena besar dan monitoring urin .0,5 ml/kgBB/jam dengan memasang kateter Foley)

b. Manajemen pada CVP (Central Venous Pressure) dan PCWP (Pulmonary Capilary Wedge Pressure)

Menjaga MAP > 60-65 mmHg

Mencapai Cardiac Index > 4.0 L/min per m2

c. Penggantian Volume

Penggantian cairan dilakukan dengan menggunakan transfusi set (IV line). Syok septik ditangani denganisotonic crystalloid 1 L.

d. Terapi Medikasi

 Ditangani dengan kortikosteroid dan antibiotik. Kadang juga perlu ditambahkan Na-bikarbonat pada kondisi syok septik dengan asidosis laktat

 Pemberian vasoaktif seperti dopamine 5-20 mcg/kg/menit (pada dosis kecil menyebabkan vasodilatasi, sedangkan pada dosis besar menyebabkan vasokonstriksi) atau epinephrine 2-10 mcg/kg/menit (menyebabkan peningkatan heart rate, kontraktilitas jantung dan vasokonstriksi) atau norepinephrine 0,5-20 mcg/kg/menit (menyebabkan vasokonstriksi sangat kuat).

BAB III

Dalam dokumen INFEKSI ODONTOGENIK (Halaman 29-36)

Dokumen terkait