• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP

5.2 Saran

Penulis menyorot masalah pariwisata Tana Toraja dari dua aspek, yaitu wisata alam dan budaya. Dari segi alam, Tana Toraja memang bergunung- gunung. Tapi bukan tidak mungkin keadaan alam yang demikian disukai oleh wisatawan yang berasal dari dataran rendah. Sementara masalah akses kesana yang sulit telah coba dipecahkan oleh pemerintah setempat dengan mengubah kemudi prioritas pembangunan. Dalam tiga tahun terakhir, sektor transportasi, khususnya transportasi darat, akhirnya jadi prioritas utama pembangunan.

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009. USU Repository © 2009

Sementara, dari aspek wisata budaya, penulis merasa takjub luar biasa terhadap kebudayaan Tana Toraja. Penulis berharap agar masyarakat Tana Toraja menghidupkan terus budaya tersebut. Sama seperti masyarakat Bali yang terus menghidupkan budaya mereka sehingga menarik hati wisatawan yang memang pada dasarnya memiliki kebudayaan yang jauh berbeda.

Bagi pemerintah setempat kiranya memperhatikan kondisi Tana Toraja dan lebih tanggap untuk melakukan perubahan yang diperlukan. Bagaimanapun, akses yang mudah ke DTW akan lebih banyak diminati wisatawan. Pemerintah setempat kiranya bekerjasama dengan pihak swasta untuk memajukan pariwisata di daerah Tana Toraja. Dan bagi insan pariwisata seperti pemilik hotel, art shop, para pedagang, orang- orang di dinas pariwisata, tour guide, agar lebih melakukan yang terbaik demi kemajuan pariwisata Tana Toraja pada khususnya dan pariwisata Indonesia pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan . 1981-1982 . Upacara Tradisional Daerah Sulawesi Selatan

Fox, James . 2002 . Agama dan Upacara . Jakarta . Buku Antar Bangsa

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009. USU Repository © 2009

http://batusura.de/index.htm diakses 14 Januari 2009

Keesing, Roger, 1992 . Antropologi Budaya . Surabaya, Erlangga

Koentjaraningrat . 1979 . Antropologi Budaya . Jakarta . Aksara Baru

Majalah Travel Club, Edisi 174/ Juli, 2006

Majalah Travel Club, Edisi 172/ Mei, 2006

Marpaung, Happy . 2000. Pengetahuan Kepariwisataan, Bandung, Alfabeta

Prasetya, Joko . 1991 . Ilmu Budaya Dasar, Bandung . Rineka Cipta

Soekadijo, R.G. 1997 . Anatomi Pariwisata, Jakarta , Gramedia Pustaka Utama,

Suhamihardja, Suhandi . 1977 . Adat Istiadat dan Kepercayaan Sulawesi Selatan, Bandung . Litera

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Rotua Tresna Nurhayati Manurung Tempat/Tgl lahir : Tg.Leidong/ 19 September 1984

Alamat : Jalan Beringin no 23 Padang Bulan Medan Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Protestan

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009. USU Repository © 2009

a. Bapak : J. Manurung b. Ibu : H. E. Marpaung

Alamat : Jalan Pasar Baru Pajak Juke no 48 Tg. Leidong

Pendidikan:

1996 Lulus dari SD D.I. Panjaitan Tg.Leidong 1999 Lulus dari SLTP Puteri Tunggal Tg.Balai 2002 Lulus dari SMU Cahaya Medan

2002-2006 Fakultas Teknik Jurusan Teknik Elektro USU (Mutasi) 2006-2009 Fakultas Sastra Jurusan DIII Pariwisata USU Medan

Hormat Saya

(Rotua Tresna Nurhayati Manurung)

LAMPIRAN

Tana Toraja, Sulsel; Wisata Budaya Penuh Pesona

Tana Toraja merupakan objek wisata yang terkenal dengan kekayaan budayanya. Kabupaten yang terletak sekitar 350 km sebelah utara Makassar itu sangat terkenal dengan bentuk bangunan rumah adatnya. Rumah adat ini bernama Tongkonan.

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009. USU Repository © 2009

Atapnya terbuat dari daun nipa atau kelapa dan mampu bertahan sampai 50 tahun. Tongkonan juga memiliki strata sesuai derajat kebangsawanan masyarakat, seperti strata emas, perunggu, besi, dan kuningan.

Saking melekatnya imej Tana Toraja dengan bangunan rumah adat ini, sebagai bentuk promosi pariwisata dan untuk menggaet turis Jepang ke daerah ini, maka rumah adat pun dibangun di negeri matahari terbit itu.

Bangunannya dikerjakan oleh orang Toraja sendiri dan diboyong pengusaha pariwisata ke negeri sakura. Sekarang di Jepang sudah ada dua Tongkonan yang sangat mirip dengan Tongkonan asli. Kehadiran Tongkonan selalu membuat kagum masyarakat negeri tersebut karena bentuknya yang unik. Perbedaannya dengan yang ada di Tana Toraja hanya terletak pada atapnya yang menggunakan daun sagu (rumbia).

Masih banyak lagi daya tarik Tana Toraja selain upacara adat rambu solo (pemakaman) yang sudah tersohor selama ini. Sebutlah kuburan bayi di atas pohon tarra di Kampung Kambira, Kecamatan Sangalla, sekitar 20 km dari Rantepao, yang disiapkan bagi jenazah bayi berusia 0-7 tahun.

Meski mengubur bayi di atas pohon tarra itu sudah tidak dilaksanakan lagi sejak puluhan tahun terakhir, pohon tempat “menyimpan” mayat bayi itu masih tetap tegak dan banyak dikunjungi wisatawan.

Di atas pohon tarra - yang buahnya mirip buah sukun - dengan lingkaran batang pohon sekitar 3,5 meter, tersimpan puluhan jenazah bayi.

Sebelum jenazah dimasukkan ke batang pohon, terlebih dahulu batang pohon itu dilubangi. Mayat bayi diletakkan ke dalam, lalu ditutupi dengan serat pohon kelapa berwarna hitam. Setelah puluhan tahun, jenazah bayi itu akan menyatu dengan pohon tersebut.

Ini suatu daya tarik bagi para pelancong dan untuk masyarakat Tana Toraja tetap menganggap tempat tersebut suci seperti anak yang baru lahir.

Penempatan jenazah bayi di pohon ini, disesuaikan dengan strata sosial masyarakat. Makin tinggi derajat sosial keluarga itu maka makin tinggi letak bayi yang dikuburkan di batang pohon tarra.

Selain itu, bayi yang meninggal dunia diletakkan sesuai arah tempat tinggal keluarga yang berduka. Kalau rumahnya ada di bagian barat pohon, maka jenazah anak akan diletakkan di sebelah barat.

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009. USU Repository © 2009

Sementara itu, untuk sampai di Tana Toraja yang mengagumkan ini ada jalur penerbangan domestik Makassar-Tana Toraja. Penerbangan ini hanya sekali dalam seminggu dan memakai pesawat kecil berpenumpang delapan orang. Namun, waktu yang dibutuhkan cukup singkat, hanya 45 menit dari Bandara Hasanuddin Makassar. Dan jika lewat darat, perjalanan yang cukup melelahkan membutuhkan waktu tujuh jam.

Even yang menarik di kawasan wisata ini adalah upacara pemakaman jenazah (rambu solo) dan pesta syukuran (rambu tuka) yang merupakan kalender tetap tiap tahun. Selain even tersebut, para pengunjung bisa melihat dari dekat objek wisata budaya menarik lainnya, seperti penyimpanan jenazah di penampungan mayat berbentuk kontainer ukuran raksasa dengan lebar 3 meter dan tinggi 10 meter serta tongkonan yang sudah berusia 600 tahun di Londa, Rantepao

Upacara Adat Rambu Solo

Rambu Solo adalah upacara adat kematian masyarakat Tana Toraja yang bertujuan untuk menghormati dan mengantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam roh, yaitu kembali kepada keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah tempat peristirahatan, disebut dengan Puya, yang terletak di bagian selatan tempat tinggal manusia. Upacara ini sering juga disebut upacara penyempurnaan kematian. Dikatakan demikian, karena orang yang meninggal baru dianggap benar-benar meninggal setelah seluruh prosesi upacara ini digenapi. Jika belum, maka orang yang meninggal tersebut hanya dianggap sebagai orang “sakit” atau “lemah”, sehingga ia tetap diperlakukan seperti halnya orang hidup, yaitu dibaringkan di tempat tidur dan diberi hidangan makanan dan minuman, bahkan selalu diajak berbicara.

Oleh karena itu, masyarakat setempat menganggap upacara ini sangat penting, karena kesempurnaan upacara ini akan menentukan posisi arwah orang yang meninggal tersebut, apakah sebagai arwah gentayangan (bombo), arwah yang mencapai tingkat dewa (to-membali puang), atau menjadi dewa pelindung (deata). Dalam konteks ini, upacara Rambu Solo menjadi sebuah “kewajiban”, sehingga dengan cara apapun masyarakat Tana Toraja akan mengadakannnya sebagai bentuk pengabdian kepada orang tua mereka yang meninggal dunia.

Kemeriahan upacara Rambu Solo ditentukan oleh status sosial keluarga yang meninggal, diukur dari jumlah hewan yang dikorbankan. Semakin banyak kerbau disembelih, semakin tinggi status sosialnya. Biasanya, untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau yang disembelih berkisar antara 24-100 ekor, sedangkan warga golongan menengah berkisar 8 ekor kerbau ditambah 50 ekor babi. Dulu, upacara ini hanya mampu dilaksanakan oleh keluarga bangsawan. Namun seiring dengan perkembangan

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009. USU Repository © 2009

ekonomi, strata sosial tidak lagi berdasarkan pada keturunan atau kedudukan,

melainkan berdasarkan tingkat pendidikan dan kemampanan ekonomi. Saat ini, sudah banyak masyarakat Toraja dari strata sosial rakyat biasa menjadi hartawan, sehingga mampu menggelar upacara ini.

Konsep Kebudayaan 1. Pengertian Kebudayaan

Kebudayaan adalah hasil karya manusia dalam usahanya mempertahankan hidup, mengembangkan keturunan dan meningkatkan taraf kesejahteraan dengan segala keterbatasan kelengkapan jasmaninya serta sumber- sumber alam yang ada disekitarnya. Kebudayaan boleh dikatakan sebagai perwujudan tanggapan manusia terhadap tantangan-tantangan yang dihadapi dalam proses penyesuaian diri mereka dengan lingkungan. Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan

mendorong terwujudnya kelakuan. Dalam definisi ini, kebudayaan dilhat sebagai "mekanisme kontrol" bagi kelakuan dan tindakan-tindakan manusia (Geertz, 1973a), atau sebagai "pola-pola bagi kelakuan manusia" (Keesing & Keesing, 1971). Dengan demikian kebudayaan merupakan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, resep-resep, rencana-rencana, dan strategi-strategi, yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif yang digunakan secara kolektif oleh manusia yang memilikinya sesuai dengan lingkungan yang dihadapinya (Spradley, 1972).

Kebudayaan merupakan pengetahuan manusia yang diyakini akan kebenarannya oleh yang bersangkutan dan yang diselimuti serta menyelimuti perasaan-perasaan dan emosi-emosi manusia serta menjadi sumber bagi sistem penilaian sesuatu yang baik dan yang buruk, sesuatu yang berharga atau tidak, sesuatu yang bersih atau kotor, dan sebagainya. Hal ini bisa terjadi karena kebudayaan itu diselimuti oleh nilai-nilai moral, yang sumber dari nilai-nilai moral tersebut adalah pada pandangan hidup dan pada etos atau sistem etika yang dipunyai oleh setiap manusia (Geertz, 1973b).

Kebudayaan yang telah menjadi sistem pengetahuannya, secara terus menerus dan setiap saat bila ada rangsangan, digunakan untuk dapat memahami dan

menginterpretasi berbagai gejala, peristiwa, dan benda-benda yang ada dalam lingkungannya sehingga kebudayaan yang dipunyainya itu juga dipunyai oleh para warga masyarakat di mana dia hidup. Karena, dalam kehidupan sosialnya dan dalam kehidupan sosial warga masyarakat tersebut, selalu mewujudkan berbagai kelakuan dan hasil kelakuan yang harus saling mereka pahami agar keteraturan sosial dan kelangsungan hidup mereka sebagai makhluk sosial dapat tetap mereka pertahankan.

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009. USU Repository © 2009

Pemahaman ini dimungkinkan oleh adanya kesanggupan manusia untuk membaca dan memahami serta menginterpretasi secara tepat berbagai gejala dan peristiwa yang ada dalam lingkungan kehidupan mereka. Kesanggupan ini dimungkinkan oleh adanya kebudayaan yang berisikan model-model kognitif yang mempunyai peranan sebagai kerangka pegangan untuk pemahaman. Dan dengan kebudayaan ini, manusia mempunyai kesanggupan untuk mewujudkan kelakuan tertentu sesuai dengan rangsangan-rangsangan yang ada atau yang sedang dihadapinya.

Sebagai sebuah resep, kebudayaan menghasilkan kelakuan dan benda-benda kebudayaan tertentu, sebagaimana yang diperlukan sesuai dengan motivasi yang dipunyai ataupun rangsangan yang dihadapi. Resep-resep yang ada dalam setiap kebudayaan terdiri atas serangkaian petunjuk-petunjuk untuk mengatur, menyeleksi, dan merangkaikan simbol-simbol yang diperlukan, sehingga simbol-simbol yang telah terseleksi itu secara bersama-sama dan diatur sedemikian rupa diwujudkan dalam bentuk kelakuan atau benda-benda kebudayaan sebageimana diinginkan oleh pelakunya. Di samping itu, dalam setiap kebudayaan juga terdapat resep-resep yang antara lain berisikan pengetahuan untuk mengidentifikasi tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai sesuatu dengan sebaik-baiknya, berbagai ukuran untuk menilai berbagai tujuan hidup dan menentukan mana yang terlebih penting, berbagai cara untuk mengidentifikasi adanya bahaya-bahaya yang mengancam dan asalnya, serta bagaimana mengatasinya (Spradley, 1972).

Dalam pengalaman dan proses belajar manusia, sesungguhnya dia memperoleh serangkaian pengetahuan mengenai simbol-simbol. Simbol adalah segala sesuatu (benda, peristiwa, kelakuan atau tindakan manusia, ucapan) yang telah ditempeli sesuatu arti tertentu menurut kebudayaan yang bersangkutan. Simbol adalah

komponen utama perwujudan kebudayaan karena setiap hal yang dilihat dan dialami oleh manusia itu sebenarnya diolah menjadi serangkaian simbol-simbol yang

dimengerti oleh manusia. Sehingga Geertz (1966) menyatakan bahwa kebudayaan sebenarnya adalah suatu sistem pengetahuan yang mengorganisasi simbol-simbol. Dengan adanya simbol-simbol ini kebudayaan dapat dikembangkan karena sesuatu peristiwa atau benda dapat dipahami oleh sesama warga masyarakat hanya dengan menggunakan satu istilah saja.

Dalam setiap kebudayaan, simbol-simbol yang ada itu cenderung untuk dibuat atau dimengerti oleh para warganya berdasarkan atas konsep-konsep yang mempunyai arti yang tetap dalam suatu jangka waktu tertentu. Dalam menggunakan simbol-simbol, seseorang biasanya selalu melakukannya berdasarkan aturan-aturan untuk

membentuk, mengkombinasikan bermacam-macam simbol, dan menginterpretasikan simbol yang dihadapi atau yang merangsangnya. Kalau serangkaian

simbol-Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009. USU Repository © 2009

simbol itu dilihat sebagai bahasa, maka pengetahuan ini adalah tata bahasanya. Dalam antropologi budaya, pengetahuan ini dinamakan kode kebudayaan

2. Nilai-Nilai Luhur Bangsa Indonesia

Melihat pengertian kebudayaan yang sedemikian luas dan kompleks, penulis kemudian mencoba mengambil beberapa unsur dari kebudayaan kemudian dicoba untuk

digunakan menjawab berbagai tantangan yang tengah melanda bangsa Indonesia pada umumnya dan tantangan mengenai kepemimpinan pada khususnya.

Seperti diketahui, bangsa Indonesia dan secara lebih khusus lagi masyarakat Jawa, banyak memiliki konsep-konsep kepemimpinan dan konsep-konsep tersebut ternyata mempunyai sifat yang sangat universal, dalam arti juga bisa digunakan sebagai panutan oleh masyarakat manapun yang ada dibelahan bumi ini. Konsep-konsep kepemimpinan ini merupakan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam ajaran berbentuk petuah, nasehat, wejangan, peraturan, perintah dan semacamnya yang diwariskan secara turun temurun melalui kebiasaan ataupun adat istiadat tentang bagaimana manusia harus hidup secara baik agar ia benar-benar menjadi manusia yang baik dan menghindari perilaku-perilaku yang tidak baik.

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009. USU Repository © 2009

Dokumen terkait