• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tabel PAM ( Policy Analisis Matrix ) dan Indikator Daya Saing

VI. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

14. Tabel PAM ( Policy Analisis Matrix ) dan Indikator Daya Saing

Tabel PAM Usaha Penggemukan

Keterangan Penerimaan Biaya Keuntungan Input Tradable Domestik Harga Finansial 12000000 3772438 5151580 3075982 Harga Ekonomi 8268901 3408223 4754342 106336 Dampak Kebijakan 3731099 364215 397238 2969646 Indikator Daya Saing

Keuntungan Privat = 3 075 982 Keuntungan Sosial = 106 336 DRC = 0.97 PCR = 0.63

Tabel PAM Usaha Pembibitan

Keterangan Penerimaan Biaya Keuntungan Input Tradable Domestik Harga Finansial 8300000 1027524 4930069 2342407 Harga Ekonomi 6350638 1152608 4861852 336178 Dampak Kebijakan 1949362 -125084 68217 2006229 Indikator Daya Saing

Keuntungan Privat = 2 342 407 Keuntungan Sosial = 336 178 DRC = 0.94 PCR = 0.67

Lampiran 15.Tabel PAM (Policy Analisis Matrix) dan Indikator Daya Saing Pada Saat Menggunakan Pakan dari Limbah Sawit di Kabupaten Indragiri Hulu

Tabel PAM Usaha Penggemukan

Keterangan Penerimaan Biaya Keuntungan Input Tradable Domestik Harga Finansial 13980000 3754033 5141635 5084332 Harga Ekonomi 9633270 3380462 4739342 1513466 Dampak Kebijakan 4346730 373571 402293 3570866 Indikator Daya Saing

Keuntungan Privat = 5 084 332 Keuntungan Sosial = 1 513 466 DRC = 0.76 PCR = 0.50

Tabel PAM Usaha Pembibitan

Keterangan Penerimaan Biaya Keuntungan Input Tradable Domestik Harga Finansial 8300000 839516 4206317 3254167 Harga Ekonomi 6350638 882346 4131664 1336628 Dampak Kebijakan 1949362 -42830 74653 1917539 Indikator Daya Saing

Keuntungan Privat = 3 254 167 Keuntungan Sosial = 1 336 628 DRC = 0.76 PCR = 0.56

Lampiran 16.Tabel PAM (Policy Analisis Matrix) dan Indikator Daya Saing Pada Saat Harga Ikan Patin Turun 25 Persen di Kabupaten Indragiri Hulu

Tabel PAM Budidaya Dengan Sebagian Besar Pakan Pelet

Keterangan Penerimaan Biaya Keuntungan Input Tradable Domestik Harga Finansial 21528000 15068960 6729273 -270233 Harga Ekonomi 17766359 11996454 6294403 -524498 Dampak Kebijakan 3761641 3072506 434870 254265 Indikator Daya Saing

Keuntungan Privat = -270233 Keuntungan Sosial = -524498 DRC = 1.09 PCR = 1.04

Tabel PAM Budidaya Dengan Menggunakan Sebagian Besar Pakan Alternatif

Keterangan Penerimaan Biaya Keuntungan Input Tradable Domestik Harga Finansial 28926000 3353214 10590878 14981908 Harga Ekonomi 23871688 2553155 10161219 11157314 Dampak Kebijakan 5054312 800059 429659 3824594 Indikator Daya Saing

Keuntungan Privat = 14981908 Keuntungan Sosial = 11157314 DRC = 0.48 PCR = 0.41

Lampiran 17.Tabel PAM (Policy Analisis Matrix) dan Indikator Daya Saing Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indrgarir Hulu Pada Saat PPN Pakan Ikan 10 Persen

Tabel PAM Budidaya Dengan Sebagian Besar Pakan Pelet

Keterangan Penerimaan Biaya Keuntungan Input Tradable Domestik Harga Finansial 28704000 13572080 6606153 8525767 Harga Ekonomi 17766359 11996454 6294403 -524498 Dampak Kebijakan 10937641 1575626 311750 9050265 Indikator Daya Saing

Keuntungan Privat = 8525767 Keuntungan Sosial = -524498 DRC = 1.09 PCR = 0.48

Tabel PAM Budidaya Dengan Menggunakan Sebagian Besar Pakan Alternatif

Keterangan Penerimaan Biaya Keuntungan Input Tradable Domestik Harga Finansial 38568000 3027544 10564092 24976364 Harga Ekonomi 23871688 2553155 10161219 11157314 Dampak Kebijakan 14696312 474389 402873 13819050 Indikator Daya Saing

Keuntungan Privat = 14981908 Keuntungan Sosial = 11157314 DRC = 0.48 PCR = 0.30

Lampiran 18.Tabel PAM (Policy Analisis Matrix) dan Indikator Daya Saing Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indrgarir Hulu Pada Saat Terjadi Depresiasi Nilai Tukar sebesar 5.5 Persen

Tabel PAM Budidaya Dengan Sebagian Besar Pakan Pelet

Keterangan Penerimaan Biaya Keuntungan Input Tradable Domestik Harga Finansial 28704000 15068960 6729273 6905767 Harga Ekonomi 18717538 11881598 6289335 546605 Dampak Kebijakan 9986462 3187362 439938 6359162 Indikator Daya Saing

Keuntungan Privat = 6905767 Keuntungan Sosial = 546605 DRC = 0.92 PCR = 0.49

Tabel PAM Budidaya Dengan Menggunakan Sebagian Besar Pakan Alternatif

Keterangan Penerimaan Biaya Keuntungan Input Tradable Domestik Harga Finansial 38568000 3353214 10590878 24623908 Harga Ekonomi 25149735 2690038 10177076 12282621 Dampak Kebijakan 13418265 663176 413802 12341287 Indikator Daya Saing

Keuntungan Privat = 24623908 Keuntungan Sosial = 12282621 DRC = 0.45 PCR = 0.30

ABSTRACT

SILVIA HAYANDANI. An Analisys of Comparative Advantages of Beef Cattle and Catfish Business in Indragiri Hulu District, Riau (MUHAMMAD FIRDAUS as Chairman and WIWIK RINDAYATI is a Member of the Advisory of Committee)

Indonesia still imports 30 percent of beef to meet domestic demand, while still importing catfish fillets from Vietnam amounted to 600 tons per month in 2011. Indragiri Hulu district of Riau province is one of the central areas of beef cattle and catfish business. There are several problem about beef cattle and catfish business in the region. Therefore it is necessary to study on competitiveness of both types of business. This study aims to analyze: (1) competitiveness beef cattle and catfish business in the District of Indragiri Hulu, (2) the impact of government’s input-output policy on the competitiveness of beef cattle and catfish business. Policy Analysis Matrix (PAM) was employed in this study in order to measure level of competitive and comparative advantage and effect of government interventions on beef cattle and catfish business. The results showed that Beef cattle business is profitable and has competitive and comparative advantage. Catfish aquaculture that uses most of the feed from factories are uncompetitive, while the catfish aquaculture that use alternative feed has highly competitiveness.The impact of government policy on output of beef cattle and catfish business indicates positive result. It is means that the government intervention has been effective so the prices received by farmers is higher than international prices.

Key words : Comparative Advantages, Beef Cattle and Catfish Business, Policy Analysis Matrix and Policy Impact

RINGKASAN

SILVIA HAYANDANI. Analisis Daya Saing Usaha Peternakan Sapi Potong dan Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Provinsi Riau (MUHAMMAD FIRDAUS sebagai Ketua dan WIWIEK RINDAYATI sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Sektor pertanian mempunyai kontribusi penting terhadap perekonomian Indonesia hal ini bisa dilihat dari besarnya sumbangan sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Pada tahun 2005 sektor pertanian menyumbang sebesar 13,1 persen terhadap PDB, sedangkan pada tahun 2010 meningkat menjadi 15,3 persen (BPS, 2012). Peningkatan kontribusi sektor pertanian ini disebabkan oleh meningkatnya kontribusi beberapa subsektor pertanian yaitu tanaman bahan makanan, perikanan dan peternakan. Peningkatan kontribusi ini juga tidak terlepas dari adanya program revilisasi pertanian yang telah dicanangkan oleh pemerintah sejak tahun 2005. Revitalisasi bidang peternakan adalah swasembada daging sapi tahun 2014, sedangkan salah satu program revitalisasi dibidang perikanan adalah minapolitan dengan pengembangan beberapa produk unggulan, salah satunya yaitu ikan patin. Seiring dengan berjalannya program revitalisasi tersebut, produksi dalam negeri telah menunjukkan peningkatan tetapi belum menjamin ketersediaan daging sapi dan ikan patin di dalam negeri. Dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negeri pemerintah masih mengimpor daging sapi sebesar 74.303 ton dan sapi bakalan 645.833 ekor atau setara dengan 30 persen kebutuhan dalam negeri pada tahun 2011 (Ditjennak 2011). Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan ikan patin dalam negeri Indonesia pada tahun 2011 masih mengimpor fillet ikan patin dari Vietnam rata-rata sebesar 600 ton per bulan (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2011). Kabupaten Indragiri Hulu merupakan salah satu daerah yang dijadikan sebagai sentra ternak sapi potong di Riau. Sektor perkebunan yang berkembang cukup pesat di daerah ini bisa menopang sektor peternakan terutama dari segi pakan baik hijauan maupun pakan tambahan dari limbah kelapa sawit. Subsektor peternakan dijadikan salah satu subsektor andalan di Kabupaten Indragiri Hulu. Disamping berbagai faktor pendukung yang ada, usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu juga menghadapi berbagai kendala seperti mahalnya harga bibit, pertumbuhan bobot sapi yang belum optimal, semakin berkurangnya lahan untuk kebutuhan pakan ternak khususnya hijauan, manajemen pemeliharaan yang relatif sederhana serta harus bersaing dengan sapi yang didatangkan dari daerah lain. Kabupaten Indragiri Hulu juga merupakan salah satu dari 7 kabupaten/kota yang ditetapkan sebagai kawasan minapolitan khususnya dalam pengembangan komoditas unggulan ikan patin. Namun usaha budidaya ikan air tawar khususnya patin mempunyai beberapa permasalahan antara lain harga yang cenderung tidak stabil, mahalnya harga pakan, kurangnya teknologi pembuatan pakan dan lain-lain. Permasalahan tersebut di atas akan berdampak terhadap eksistensi dan daya saing usaha peternakan sapi potong dan usaha budidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis: (1) tingkat daya saing usaha peternakan sapi potong dan budidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu melalui keunggulan komparatif dan kompetitif. (2) pengaruh kebijakan input dan

output yang dilakukan oleh pemerintah terhadap daya saing usaha peternakan sapi potong dan budidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu. Penelitian di lakukan di Kecamatan Pasir Penyu dan Kecamatan Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu Provinsi Riau. Pemillihan sampel dilakukan secara purposive. Daya saing pengusahaan ternak sapi potong dan budidaya patin dianalisis dan diukur melalui keuntungan finansial, keuntungan ekonomi, analisis keunggulan kompetitif dan komparatif dengan menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM).

Berdasarkan analisis PAM, usaha peternakan sapi potong baik untuk usaha penggemukan maupun usaha pembibitan di Kabupaten Indragiri Hulu memiliki keunggulan kompetitif (PCR < 1) dan komparatif (DRC < 1). Nilai PCR sebesar 0.62 untuk usaha penggemukan dan 0,72 pada usaha pembibitan Dengan demikian usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu efesien secara finansial atau memiliki keunggulan kompetitif. Sedangkan nilai DRC yang sebesar 0.90 pada usaha penggemukan dan 0,87 pada usaha pembibitan (DRC<1). Artinya setiap 1 satuan yang dibutuhkan untuk mengimpor daging dan sapi bibit/bakalan jika diproduksi di Kabupaten Indragiri Hulu hanya membutuhkan biaya input domestik sebesar 0.90 dan 0,87 satuan sehingga terjadi penghematan devisa sebesar 0.10 dan 0.13. Dengan demikian usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu efesien secara ekonomi atau memiliki keunggulan komparatif. Hasil analisis PAM pada usaha budidaya ikan patin menunjukkan nilai PCR untuk usaha budidaya yang menggunakan sebagian besar pakan pelet sebesar 0,49 dan pada budidaya yang menggunakan sebagian besar pakan alternatif sebesar 0,30. Dengan demikian usaha budidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu memiliki keunggulan kompetitif (PCR<1). Nilai DRC sebesar 1,07 untuk usaha dengan pakan pelet dan 0,47 untuk usaha dengan pakan alternatif. Artinya usaha budidaya patin yang menggunakan sebagian besar pakan pelet tidak memiliki keunggulan komparatif, sedangkan budidaya yang menggunakan sebagian besar pakan alternatif memiliki keunggulan komparatif. Artinya lebih baik impor ikan patin dari pada memproduksi di dalam negeri pada kondisi budidaya dengan sebagian besar pakan pelet, sebaliknya pada kondisi budidaya dengan pakan alternatif lebih menguntungkan jika diproduksi di dalam negeri.

Analisis dampak kebijakan pemerintah pada usaha peternakan sapi potong dalam tabel PAM dari sisi output ditunjukkan oleh Nominal Protection

Coefficient on Output (NPCO) yang dihasilkan sebesar 1,29 untuk usaha

penggemukan dan 1,18 pada usaha penggemukan (NPCO>1). Hasil ini menunjukkan bahwa peternak di Kabupaten Indragiri Hulu menerima harga lebih tinggi dari harga dunia atau pasar internasional. Pada usaha budidaya ikan patin, nilai NPCO adalah 1,60 baik untuk budidaya dengan pakan pelet maupun pakan alternatif. Hal ini terjadi karena adanya subsidi yang diberikan oleh pemerintah terhadap beberapa input produksi dan adanya kuota impor untuk sapi potong dan ikan patin. Kebijakan pemerintah dalam penggunaan input bisa dilihat dari nilai

Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI) merupakan rasio antara biaya

input asing yang dihitung berdasarkan harga finansial dengan harga input asing yang dihitung berdasarkan harga ekonomi. Nilai NPCI usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu sebesar 1,01 pada usaha penggemukan dan 0,91 pada usaha pembibitan. Hal ini menunjukkan bahwa total biaya input

tradable karena adanya kebijakan pemerintah tidak sama dengan biaya input

mengindikasikan adanya susidi negatif sedangkan nilai yang kecil dari satu merupakan dampak dari subsidi positif. Nilai NPCI pada usaha budidaya ikan patin sebesar 1,26 pada usaha dengan pakan pelet dan 1,31 pada budidaya dengan pakan alternatif. Hal ini terjadi karena adanya pajak yang ditetapkan pemerintah salah satunya yaitu PPN terhadap pakan ikan.

Dampak efektif dari insentif yang diberikan pemerintah pada output dan input secara keseluruhan terhadap usaha peternakan sapi potong maupun usaha budidaya ikan patin dapat dilihat dari nilai Effective Protection Coefficient(EPC). Nilai EPC pada usaha peternakan sapi potong adalah sebesar 1,47 pada penggemukan dan 1,23 pada pembibitan. Nilai EPC pada usaha budidaya ikan patin adalah sebesar 2,31 pada budidaya dengan pakan pelet dan 1,64 pada usaha budidaya dengan pakan alternatif. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah terhadap input-output telah berjalan dengan efektif bagi peternak dan pembudidaya ikan patin untuk berproduksi.

Kata Kunci : Sapi Potong, Ikan Patin, Keunggulan Kompetitif dan Komparatif, Dampak Kebijakan Pemerintah

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Sektor pertanian mempunyai kontribusi penting terhadap perekonomian Indonesia hal ini bisa dilihat dari besarnya sumbangan sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sektor pertanian juga berperan besar dalam penyediaan pangan untuk mewujudkan ketahanan pangan masyarakat. Sektor pertanian yang dimaksud disini adalah sektor pertanian dalam arti luas yang mencakup pertanian, kehutanan, peternakan dan perikanan. Sejak tahun 2007 sampai dengan tahun 2011 rata-rata kontribusi sektor pertanian terhadap PDB Indonesia adalah sebesar 13,4 persen (Lampiran 1), dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 3,7 persen. Dari lima subsektor yang ada, peternakan dan perikanan merupakan subsektor pertanian yang mempunyai prospek yang cukup besar untuk dikembangkan. Walaupun secara rata-rata pangsa subsektor peternakan terhadap total PDB hanya 1,70 persen dan subsektor perikanan 2,2 persen. Secara rata-rata dari tahun 2001-2010 subsektor perikanan tumbuh 5,22 persen, tertinggi dibanding subsektor lainnya. Sedangkan subsektor peternakan menempati urutan kedua dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 4,24 persen. Pada triwulan III 2011 pertumbuhan subsektor perikanan adalah 6,11 persen (Bank Indonesia, 2011). Oleh karena itu kedua subsektor ini berpotensi dijadikan sumber pertumbuhan baru pada sektor pertanian.

Peningkatan pertumbuhan subsektor peternakan dan perikanan ini tidak terlepas dari agenda penting pembangunan ekonomi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2005-2009 yang terkait dengan pembangunan pertanian yaitu revitalisasi pertanian. Program revitalisasi pertanian tersebut antara lain diarahkan untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional, meningkatkan nilai tambah dan daya saing komoditas pertanian dan meningkatkan kesejahteraan petani (Departemen Pertanian, 2005). Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang di dalamnya termasuk peternakan, mengamanatkan salah satu kegiatan penting yaitu upaya swasembada daging sapi. Swasembada daging ini pada awalnya diharapkan tercapai pada tahun 2010 namun karena banyaknya tantangan dan permasalahan yang dihadapi maka program ini belum terlaksana secara optimal. Berdasarkan

kondisi ini maka pada tahun 2010 pemerintah kembali mencanangkan Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) tahun 2014.

Pada tahun 2009 rata-rata konsumsi daging secara keseluruhan rakyat Indonesia masih cukup rendah yaitu sebesar 6,297 kg per kapita per tahun (Direktorat Jenderal Peternakan, 2011), sedangkan konsumsi rakyat Malaysia 46,87 kg per kapita per tahun dan Filiphina 24,96 kg per kapita pertahun (Daryanto, 2009 dalam BAPPENAS 2010). Pada tahun 2010 konsumsi daging mengalami kenaikan dibanding tahun sebelumnya yaitu 6,953 kg per kapita per tahun. Khususnya untuk daging sapi, Asosiasi Importir Sapi dan para peneliti berbeda pendapat tentang kebutuhan daging sapi nasional. Meskipun terjadi perbedaan pendapat mengenai jumlah kebutuhan daging sapi nasional, saat ini Indonesia masih mengimpor sekitar 30 persen dari kebutuhan daging sapi nasional, ini mengindikasikan bahwa produksi dalam negeri belum mencukupi. Tabel 1. Permintaan Daging Sapi di Indonesia Tahun 2007-2011 (000 Ton)

Uraian 2007 2008 2009 2010 2011

Produksi daging lokal 210,77 233,63 250,81 221,23 292,45 Impor 124,80 150,42 142,80 195,82 156,85 Total 335,57 384,05 390,61 417,04 449,31 Sumber: Kementerian Pertanian, 2012

Jika kesenjangan antara produksi dan konsumsi ini tidak diantisipasi dengan upaya peningkatan produksi di dalam negeri maka Indonesia akan selalu bergantung pada sapi impor. Hal ini disamping berdampak kurang baik bagi neraca perdagangan Indonesia juga merugikan peternak dalam negeri. Pencanangan Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) tahun 2014 oleh pemerintah diharapkan dapat mengurangi ketergantungan impor daging sapi maupun sapi potong dengan cara meningkatkan produktivitas usaha sapi potong domestik secara lebih kompetitif. Suplai daging sapi dalam negeri bisa lebih kompetitif jika daya saingnya dapat ditingkatkan. Daya saing sangat terkait dengan input produksi seperti ketersediaan pakan, penggunaan bibit unggul, manajemen dan kesehatan hewan, inovasi teknologi serta faktor-faktor eksternal lainnya. Tersedianya sumberdaya lokal dan teknologi serta adanya dukungan

pemerintah diharapkan dapat dijadikan peluang untuk pengembangan usaha ternak sapi dalam negeri.

Pemberlakuan pasar bebas (Free Trade Area/FTA) terutama persetujuan

ASEAN-Australia Newzealand Free Trade Area (AANZ-FTA) akan berpengaruh

pada usaha peternakan sapi dalam negeri. Indonesia selama ini sebagian besar mengimpor daging sapi dan sapi bibit maupun bakalan dari Australia dan New Zealand. Pada tahun 1990 tarif impor daging sapi sebesar 30 persen, tahun 1995 turun menjadi 25 persen, dan tahun 2007 turun menjadi 20 persen, sedangkan dari tahun 2003 sampai sekarang menjadi 5 persen (Dirgantoro dalam Indrayani, 2011). Tarif ini akan diturunkan secara bertahap sehingga pada tahun 2020 menjadi nol persen. Akibatnya sapi potong impor yang selama ini harganya lebih murah akan semakin menekan daging sapi lokal. Untuk mengantisipasi kondisi ini pemerintah harus segera melakukan percepatan pembangunan peternakan khususnya sapi potong.

Salah satu strategi yang ditetapkan oleh pemerintah dalam upaya peningkatan produksi sapi potong adalah program integrasi tananaman sawit dengan ternak sapi potong. Salah satu daerah yang sangat potensial untuk pengembangan program tersebut adalah Provinsi Riau. Luas perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau mencapai 1,5 juta hektar, dimana hijauan dan limbahnya bila dimanfaatkan mampu mendukung pengembangan ternak sampai ratusan juta ekor. Provinsi Riau juga merupakan daerah yang kebutuhan dan konsumsi dagingnya terus tumbuh dengan pesat, tetapi saat ini hampir 70 persen kebutuhan masih sangat bergantung pada pasokan dari provinsi tetangga dan bahkan dari luar negeri. Pemerintah Provinsi Riau berkomitmen untuk melaksanakan program integrasi tanaman sawit sapi dalam rangka mendukung program swasembada daging sapi sekaligus peningkatan kesejahteraan petani.

Disisi lain subsektor perikanan juga mempunyai peluang yang tidak kalah menjanjikan jika dilihat dari pertumbuhannya yang cukup pesat beberapa tahun terakhir. Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang sangat besar dengan luas laut sekitar 8,5 juta km2. Selama ini pasokan ikan dunia termasuk Indonesia sebagian besar berasal dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi berdasarkan data FAO 2002 (DKP, 2005)

menunjukkan bahwa pasokan ikan dari kegiatan penangkapan di laut oleh sebagian negara, diperkirakan tidak dapat ditingkatkan lagi. Demikian pula kecenderungan ini terjadi pada usaha penangkapan ikan di perairan Indonesia. Oleh karena itu, alternatif pemasok hasil perikanan diharapkan berasal dari perikanan budidaya (akuakultur). Melihat fenomena tersebut, maka pada tahun 2005, pemerintah merencanakan program Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Program tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mengoptimalkan hasil produksi salah satunya pada bidang perikanan. Upaya revitalisasi di bidang perikanan khususnya berupa pengembangan akuakultur.

Dalam rangka untuk mencapai target visi mewujudkan Indonesia sebagai penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar tahun 2015, Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (KKP-RI) menggagas Revolusi Biru sebagai grand strategi. Revolusi Biru merupakan perubahan cara berpikir dan orientasi pembangunan dari daratan ke maritim yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Salah satu realisasi dari program revolusi biru yang digalakkan KKP-RI adalah program pengembangan Minapolitan, yang merupakan konsep pembangunan berbasis manajemen ekonomi kawasan dengan motor penggerak disektor kelautan dan perikanan. Sistem manajemen kawasan Minapolitan didasarkan pada prinsip integrasi, efisiensi, kualitas dan akselerasi tinggi. Program yang mulai dijalankan Pemerintah RI sejak 2009 ini merupakan upaya untuk merevitalisasi sentra produksi perikanan dan kelautan dengan penekanan pada peningkatan pendapatan rakyat. Melalui program ini akan dikembangkan beberapa komoditas yang telah unggul. Berdasarkan data tahun 2010 ada beberapa komoditas unggulan sektor perikanan dan kelautan Indonesia yang akan ditingkatkan produksi, yakni bandeng, patin, nila, lele, udang, gurame, kakap, kerapu, tuna dan rumput laut. Khusus untuk budidaya ikan patin pemerintah berkomitmen untuk terus meningkatkan produksi karena potensi pengembangannya masih cukup besar dan peluang pasar yang masih cukup tinggi baik di dalam maupun di luar negeri.

Produksi ikan patin di Indonesia pada awalnya hanya ikan patin lokal tangkapan yang berasal dari perairan umum di beberapa provinsi di Sumatera dan Kalimantan. Namun saat ini produksi ikan patin sebagian besar adalah hasil

budidaya, terutama sejak diperkenalkannya ikan patin jenis siam dari Thailand. Sampai saat ini, produksi ikan patin di Indonesia telah mengalami peningkatan tetapi masih belum mampun mencapai target yang diharapkan. Pada tahun 2006 produksi patin nasional 31.490 ton dan meningkat menjadi 144.056 ton pada tahun 2010 dengan pertumbuhan rata-rata 58,28 persen dari tahun 2006-2010 (Gambar 1).

*) Angka Sementara

Sumber: Ditjen Perikanan Budidaya , 2011

Gambar 1. Hasil produksi Patin Indonesia 2006-2010

Meningkatnya jumlah produksi patin dalam negeri masih belum menjamin tercukupinya kebutuhan ikan patin dalam negeri. Pada tahun 2010, impor patin Indonesia mencapai 2.453,41 ton1

1

Dirjen Pemasaran dan Pengolahan Hasil Perikanan (P2HP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Saut Parulian Hutagalung

. Sampai dengan akhir tahun 2011 Indonesia masih mengimpor ikan patin dari Vietnam hampir sebesar 600 ton setiap bulannya. Harga patin impor dari Vietnam yang hanya berkisar Rp 9.000 per kg, membuat produk olahan perikanan tersebut mendominasi pasar Uni Eopa, Amerika, Asia tak terkecuali Indonesia. Harga murah ini bisa mematikan pasaran patin lokal yang harganya berada pada kisaran Rp 12.500 per kg. Dari segi kuantitas produksi Indonesia juga kalah jauh dengan Vietnam dimana produksinya melebihi 1 juta ton setiap tahun. Untuk menyelamatkan pasaran patin domestik, pemerintah pun melarang impor dory (fillet ikan patin dari Vietnam) untuk sementara. Melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 15

31.490 36.755 102.021 109.685 144.056 0 20.000 40.000 60.000 80.000 100.000 120.000 140.000 160.000 2006 2007 2008 2009 2010*

Tahun 2011, mulai Januari 2012 impor produk olahan patin tersebut dilarang dan pasar domestik akan diutamakan. Mahalnya harga ikan patin di Indonesia terjadi karena tingginya biaya produksi yang salah satunya disebabkan oleh tingginya harga pakan. Hal itu karena tepung ikan sebagai bahan baku pembuat pakan ikan (pelet) masih diimpor dari negara lain.

Tabel 2. Volume dan Nilai Impor Tepung Ikan Indonesia

Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 Kenaikan Rata-rata (%) Volume (Ton) 88.852 55.685 68.275 65.601 57.010 -7,93 Nilai (US $ 1.000) 76.527 49.925 44.387 39.945 38.303 -4,11 Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2011

Tabel 2 menunjukkan bahwa terdapat penurunan volume impor tepung ikan di Indonesia dengan melihat perkembangannya yang negatif. Hal ini karena

Dokumen terkait