• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

F. Prosedur Penelitian

3. Tahap Pencatatan Data

Sebelum wawancara dimulai, peneliti meminta izin kepada partisipan untuk merekan wawancara yang akan dilakukan. Untuk memudahkan pencatatan data, peneliti menggunakan alat perekam sebagai alat bantu, agar data yang diperoleh dapat lebih akurat. Setelah wawancara dilakukan, peneliti membuat verbatim dari wawancara tersebut.

4. Analisis Data

Metode analisis data yang akan dilakukan oleh peneliti adalah sebagai berikut (Poerwandari, 2001):

a. Koding

Peneliti memberikan koding pada data-data yang telah terkumpul yang didapatkan dari hasil wawancara dengan memberikan kode-kode pada materi yang diperoleh. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar data-data tersebut lebih sistematis dan detail. Terdapat tiga tahap koding yang akan dilakukan, yaitu: pertama, peneliti menyusun transkrip verbatim (kata demi kata) sedemikian rupa sehingga ada kolom kosong yang cukup besar di sebelah kanan transkrip tersebut. Kedua, peneliti secara urut dan kontinyu melakukan penomoran pada baris-baris transkrip tersebut. Ketiga, peneliti memberikan nama untuk masing-masing berkas dengan kode tertentu. Kode yang dipilih adalah kode yang mudah diingat dan dianggap paling mewakili berkas tersebut dan selalu membubuhkan tanggal di setiap berkas.

b. Organisasi Data

Setelah melakukan koding, peneliti lalu mengorganisasikan data-data tersebut dengan rapi, sistematis dan selengkap mungkin. Hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisasikan adalah data mentah (hasil rekaman), transkrip wawancara, data yang sudah ditandai/dibubuhi kode-kode khusus dan dokumentasi umum yang kronologis mengenai perkumpulan data dan langkah analisis (Highlen dan Finley dalam Poerwandari, 2001).

c. Analisa Tematik

Selanjutnya peneliti melakukan analisis tematik untuk menemukan pola yang terdapat dalam data-data yang sudah terkumpul. Analisis tematik ini dilakukan dengan mengkode informasi yang dapat menghasilkan model tema yang terkait dengan tujuan penelitian. Tema yang ditemukan adalah tema yang dapat mendeskripsikan fenomena dan memungkinkan melakukan interpretasi terhadap fenomena tersebut. Tema yang diambil dalam penelitian ini adalah tema yang diambil dari teori lalu dikembangkan lagi berdasarkan tema baru yang ditemukan dalam penelitian ini yang tetap mengarah pada tujuan penelitian.

d. Tahapan Interpretasi

Interpretasi dalam penelitian ini hanya mengacu pada pemahaman diri partisipan penelitian yang divalidasi dalam kerangka partisipan penelitian tersebut, setelah dilakukan koding dan interpretasi peneliti kembali menemui partisipan dan mengkonfirmasi ulang apa yang pernah partisipan sampaikan saat wawancara berlangsung.

BAB IV

ANALISA DATA DAN INTERPRETASI

Pada bagian ini akan diuraikan hasil analisa wawancara dalam bentuk narasi. Untuk mempermudah pembaca dalam memahami proses pengambilan keputusan menjadi parmalim, tahap-tahapnya akan dijabarkan, dianalisa, dan diinterpretasi. Interpretasi akan dijabarkan dengan menggunakan tahap-tahap yang terdapat dalam pedoman wawancara.

A.Deskripsi Data

1. Responden

a. Data Diri

Nama : Bu Ani (bukan nama sebenarnya)

Usia : 54 tahun

Suku : Batak Toba

Urutan kelahiran : Anak ke 5 dari 7 bersaudara Pendidikan : SD

Pekerjaan : Petani

b. Tanggal Wawancara

Proses wawancara dilakukan di rumah responden sebanyak enam kali dengan rincian sebagai berikut:

1) Hari Kamis, 23 Agustus 2012; Pukul 19.00-20.30 2) Hari Sabtu, 8 September 2012; Pukul 16.00-17.30 3) Hari Selasa, 18 September 2012; Pukul 19.00-20.00 4) Hari Senin, 08 Oktober 2012; Pukul 19.00-20.00 5) Hari Kamis, 07 Februari 2013; Pukul 18.00-19.00 6) Hari Rabu, 27 Maret 2013, Pukul 17.30-19.00

2. Data Observasi Selama Wawancara

Bu Ani memiliki tinggi badan sekitar 154 cm dan berat sekitar 56 kg. Ia memiliki kulit gelap dan memiliki rambut berwarna hitam yang panjang melewati pinggangnya. Wawancara pertama dengan bu Ani dilakukan pada hari Senin tanggal 23 Agustus 2012. Wawancara dilakukan di rumah bu Ani. Pada saat peneliti datang ke rumah bu Ani, bu Ani mengajak peneliti untuk melakukan wawancara di ruang keluarganya. Ruang keluarga bu Ani dicat dengan warna krem. Di ujung ruangan terdapat sebuah TV. Di ruangan tersebut terdapat sebuah meja, sebuah sofa panjang dan dua buah kursi di dekat pintu masuk. Terlihat beberapa foto keluarga digantung di ruangan tersebut. Awalnya peneliti duduk di kursi yang terletak di ruangan tersebut. Namun, bu Ani meminta peneliti untuk duduk di lantai saja. Bu Ani pun lalu mengambil tikar sebagai alas duduk.

Bu Ani mengenakan kaos berwarna putih dan celana pendek berwarna hitam yang sudah pudar. Bu Ani memakai sarung berwarna coklat. Pada saat wawancara, bu Ani mengikat rambutnya. Bu Ani kemudian menyuruh anaknya untuk membuat minuman untuknya dan peneliti. Situasi wawancara pun terasa

nyaman karena hanya bu Ani dan peneliti saja yang berada di dalam ruangan tersebut. Suasana di dalam ruangn tersebut pun cukup tenang.

Bu Ani terlihat cukup santai pada saat wawancara. Ia menjaga kontak mata dengan peneliti. Bu Ani un sesekali mencondongkan tubuhnya pada saat menjelaskan sesuatu dan pada saat ia kurang memahami pertanyaan yang diajukan. Wawancara pun berlangsung selama satu setengah jam. Peneliti mengakhiri wawancara karena pertanyaan untuk sesi tersebut telah habis dan bu Ani harus makan malam bersama dengan keluarganya.

Wawancara kedua berlangsung di depan pintu di dapur rumah bu Ani. Pintu tersebut merupakan pintu samping rumah bu Ani. Bu Ani telah duduk di tempat tersebut saat peneliti tiba di rumah bu Ani. Bu Ani mengatakan bahwa tempat tersebut terasa sejuk sehingga ia merasa lebih nyaman untuk melakukan wawancara di situ. Ruangan tersebut tidak terlalu luas dan berisi kulkas serta kompor saja serta dicat dengan warna krem. Di dapur tersebut terhubung langsung dengan halaman belakang responden.

Responden dan bu Ani pun duduk di lantai dengan beralaskan tikar. Suasana wawancara kurang terasa nyaman karena sesekali anggota keluarga responden atang ke dapur tersebut. Bu Ani mengenakan kaos berwarna putih dengan celana pendek berbahan jeans. Ia mengenakan sarung berwarna krem. Rambutnya pun digelung ke belakang.

Selama wawancara bu Ani menjawab pertanyaan peneliti dengan lancar. Ia menjaga kontak mata dengan peneliti. Sesekali nada suaranya meninggi saat menceritakan pangalamannya. Ia pun sering mencondongkan tubuhnya ke arah

responden saat meminta persetujuan dari beberapa pernyataan yang dilontarkannya.

Wawancara ketiga berlangsung di ruang keluarga bu Ani. Pada saat itu responden terlihat baru selesai mandi. Ia menggerai rambutnya yang saat itu masih basah sambil sesekali menyisirnya dengan jarinya. Awalnya ia menanyakan apakah peneliti telah lama menunggunya. Bu Ani mengenakan kaos coklat dengan celana pendek berwarna putih. Wawancara pun dilakukan di lantai ruangan tersebut dengan beralaskan sebuah tikar. Pada saat itu wawancara berlangsung dengan kurang nyaman karena sesekali anak bu Ani datang untuk menanyakan beberapa hal kepada bu Ani. Bu Ani menanyakan kembali maksud pertanyaan peneliti beberapa kali. Terkadang saat anaknya ada di ruangan tersebut, anaknya ikut menjelaskan maksud pertanyaan peneliti kepada ibunya.

Wawancara keempat berlangsung di ruang keluarga bu Ani. Pada saat peneliti tiba di ruma bu Ani, peneliti disambut oleh anak perempuan responden yang selama ini tinggal di Pekanbaru. Ia pun menanyakan maksud kedatangan responden dan mempersilahkan peneliti masuk. Ia menjelaskan bahwa bu Ani belum pulang dan menanyakan apakah peneliti ingin menunggu bu Ani. Peneliti pun memilih menunggu karena sebelumnya peneliti telah membuat janji dengan bu Ani.

Bu Ani tiba di rumahnya sekitar sepuluh menit kemudian bersama dengan pak Ucok, suaminya. Setelah melihat peneliti, bu Ani menyalami peneliti dan meminta waktu untuk membersihkan diri. Lima belas menit kemudian bu Ani selesai mandi dan menghampiri peneliti. Ia mengenakan celana pendek berwarna

putih dan kaos berwana coklat. Ia meminta anaknya untuk menyuguhkan kami minuman. Bu Ani pun bertanya apa yang ingin peneliti tanyakan.

Bu Ani menjaga kontak mata dengan peneliti selama wawancara. Sesekali ia meminta peneliti untuk mendukung pernyataannya. Suaranya pun terkadang meninggi saat menceritakan pengalamannya dahulu. Ia mencondongkan tubuhnya saat peneliti mengajukan pertanyaan dan sesekali bertanya kembali jika ada pertanyaan yang kurang dipahaminya.

Wawancara kelima berlangsung di ruang dapur bu Ani. Pada saat peneliti tiba di rumahnya, bu Ani berteriak menyuruh peneliti langsung masuk ke dapurnya. Pada saat itu bu Ani mengenakan sarung dan kaos berwarna putih. Pada saat itu suami dan seorang anak bu Ani berada di ruangan tersebut. Namun mereka tidak ikut menanggapi pertanyaan yang diajukan oleh peneliti.

Bu Ani tetap menjaga kontak mata dengan peneliti. Ia mencondongkan tubuhnya pada saat peneliti mengajukan pertanyaan dan saat ia tidak memahami maksud pertanyaan peneliti. Bu Ani beberapa kali meminta persetuuan peneliti atas pernyataannya dengan memandang mata peneliti dari bawah dan meninggikan nada suaranya.

Pada saat wawancara keenam, peneliti disambut oleh anak perempuan bu Ani yang selama ini tinggal di Pekanbaru saat datang ke rumah bu Ani. Ia menanyakan keperluan peneliti dan menjelaskan bahwa bu Ani dan suaminya saat itu sedang menghadiri pesta pernikahan yang diadakan di Balai Persantian. Ia menanyakan apakah peneliti ingin menunggu bu Ani. Peneliti pun menjawab bahwa peneliti telah membuat janji sebelumnya dan akan menunggu sampai bu

Ani tiba di rumah. Peneliti pun menunggu bu Ani di teras rumah. Lima belas menit kemudian, bu Ani pun tiba di rumah dengan dibonceng suaminya dengan menggunakan sepeda motor.

Saat melihat peneliti, bu Ani bertanya apakah peneliti telah lama menunggunya. Peneliti pun menjawab bahwa peneliti baru saja tiba di rumahnya tersebut. Bu Ani pun meminta waktu untuk mengganti pakaian dan beristirahat seenak. Lima belas menit kemudian, bu Ani pun memulai wawancara. Ia meminta wawancara dilakukan di ruang dapurnya, karena ia merasa ruangan tersebut sejuk. Bu Ani menjaga kontak mata dengan peneliti selama wawancara. Nada suaranya meninggi beberapa kali saat ia menceritakan pengalamannya dan saat ia meminta persetujuan dari peneliti. Pada saat itu suami, anak perempuan dan cucu bu Ani juga ada di dalam ruangan tersebut. Namun mereka tidak ikut menjawab pertanyaaan-pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Suami dan anak peneliti hanya bermain-main dengan cucunya di ruangan tersebut. Hal itu membuat wawancara berlangsung kurang nyaman, karena suara mereka membuat peneliti kurang jelas mendengar suara bu Ani, dan bu Ani pun terkadang kurang jelas mendengar suara peneliti.

B.Analisis Data

1. Latar Belakang Responden

Responden dalam penelitian ini bernama Bu Ani. Bu Ani menamatkan pendidikan sampai pada jenjang SD. Bu Ani memiliki lima orang anak dan di antaranya dua orang telah menikah. Bu Ani bersama dengan suami, 4 (empat) dari

5 (lima) anak serta menantunya tinggal di sebuah rumah di daerah kota Medan. Mereka telah tinggal di rumah tersebut kurang lebih selama dua puluh lima tahun. Sejak menikah, bu Ani tinggal di kota Medan dan berperan sebagai ibu rumah tangga. Tiga tahun yang lalu, saat suami responden berhenti bekerja, responden bertani bersama dengan suaminya. Setiap hari Senin sampai Jumat, responden dan suaminya pergi ke ladang pada pukul 07.00 pagi dengan mengendarai sepeda motor. Responden pulang ke rumah pada pukul 18.00 dengan sepeda motor atau sesekali berjalan kaki. Di ladang tersebut responden mencangkul dan menanam benih ubi maupun sayur-sayuran. Pada hari Sabtu responden tidak bekerja dan hanya pergi ke tempat ibadah pada pukul 10.30. dan pulang pada pukul 14.00, sedangkan pada hari Minggu dihabiskan responden di rumah bersama dengan keluarganya.

Sebelum menjadi Parmalim, bu Ani menganut agama Kristen Protestan. Selama menganut agama Kristen, ia rajin datang ke kegiatan ibadah, maupun kegiatan paduan suara (koor) di perkumpulan ibu-ibu (ina) di gereja. Hal itu dilakukan karena keyakinannya bahwa Tuhan itu memang ada. Sehingga agama maupun persekutuan sudah seharusnya ia lakukan sebagai sebagai manusia bergama.

“Ya saya rajin ibadah.”...Ya kegiatan saya ya saya rajin mar-Minggu (ibadah di Gereja), saya juga ikut koor sektor... Kalo soal rajin ya rajin. Tetap bergereja. Kar‟na saya tetap meyakini bahwa Tuhan memang ada. Jadi kita harus beragama lah.”

Orang-orang di sekitar bu Ani pun menilai positif perilakunya sebagai jemaat teladan saat masih beragama Kristen Protestan. Selain dirinya, anak-anak juga aktif dalam kegiatan di gereja. Menurutnya, pada saat itu tidak ada penilaian buruk apapun mengenai perilakunya dalam beragama.

“Ya positif.”....Positifnya ya rajin, trus... sebagai ruas (jemaat) yang teladan. Begiitu lah istilahnya.. Rajin beribadah, anak-anak pun ikut naposo (pemuda) koor, saya pun juga ikut koor ina (kaum ibu)... Haa... gitu. Ya enggak ada lah jelek pandangan orang soal beragama. Gitu istilahnya.”

(S. W6/b. 50/hal. 55; S. W6/b. 52-61/hal. 55)

2. Data Hasil Wawancara

a. Latar Belakang Mengenal Ugamo Malim

Awalnya bu Ani tidak begitu mengetahui bagaimana ugamo Malim. Bu Ani hanya mendengar cerita orang lain saja yang mengatakan bahwa ugamo Malim adalah agama sesat, yang menyembah roh-roh jahat dan pohon-pohon. Bu Ani tidak memikirkan kebenaran cerita tersebut.

“Cuman dengar-dengar aja orang cerita parmalim. ya orang kan bilang kalo parmalim animisme. Nyembah pohon, nyembah setan..”

(S. W4/b. 234-236/hal. 31)

Pada saat bu Ani berusia 14 tahun, abangnya yang paling tua yang bernama pak Sabar memutuskan untuk menjadi seorang parmalim. Pak Sabar memutuskan menjadi seorang parmalim karena pada saat itu ia akan menikahi seorang wanita parmalim. Setelah menikah dan menjadi seorang parmalim, pak Sabar pun tinggal di Porsea bersama dengan istrinya.

“Haa...abang kandungku. Dia menjadi Parmalim sejak dia menikah baru dia Parmalim.”

(S. W1. b 70-72/hal. 2)

Informasi yang dimiliki bu Ani tidak lantas langsung bertambah sejak pak Sabar menjadi seorang parmalim. Hal itu dikarenakan jarak tempat tinggal yang cukup jauh antara bu Ani dan pak Sabar; bu Ani telah tinggal di Medan sejak ia menamatkan pendidikan SD-nya, sedangkan Pak Sabar tinggal di Porsea. Mereka hanya sesekali berkomunikasi dan sama sekali tidak membahas tentang ugamo Malim. Pada saat itu bu Ani tidak merasa ingin tahu mengenai agama yang dipilih oleh Pak Sabar tersebut. Bu Ani mengatakan bahwa pada saat itu ia masih muda dan bahkan tidak mengeatahui isi ajaran Alkitab. Hal ini membuatnya masih enggan untuk mengetahui ajaran agama lain.

“Ya kita...kita jarang jumpa. Diceritakan enggak. Saya enggak pala ketemu-ketemu, enggak ... Berkomunikasi sih berkomunikasi. Cuma kalo soal agama enggak pernah kami berkomunikasi gitu, kalopun ketemu.” (S. W6/b. 97/hal. 56; S. W6/b. 84-87/hal 56; S. W6/b. 99-103/hal. 56)

“Dulunya saya masih kecil kan pengetahuan tentang Alkitab pun masih kurang. Ya semakin tua kan semakin mengerti kita. Jadi mulai ditanya lah.”

(S. W6/b. 155-160/hal. 57)

Seiring berjalannya waktu, bu Ani pun menikah dan memiliki anak. Pada saat itu, bu Ani merasa telah mengetahui isi ajaran Alkitab dan ia mulai merasakan dorongan untuk bertanya mengenai ugamo Malim kepada pak Sabar. Bu Ani mengatakan bahwa pada awalnya ia merasa ada suatu “kekuatan”, yang disebutnya sebagai “Roh”, yang menggerakkan hatinya sehingga ia mau bertanya kepada pak Sabar mengenai ugamo Malim. Sejak saat itu, mereka selalu

berdiskusi mengenai ugamo Malim setiap kali Bu Ani berkunjung ke rumah Pak Sabar. Bahkan, bu Ani menjadi lebih sering berkunjung ke rumah pak Sabar untuk berdiskusi mengenai ugamo Malim.

“Diceritakan enggak. Saya enggak pala ketemu-ketemu, enggak. Pas udah berumah tangga lah kita, iya kan ... Pas udah berumah tangga pun, pas udah lama-lama udah punya anak baru kita sering berkomunikasi tentang parmalim.”

(S. W6/b. 84-87/hal. 56; S. W6/b. 89-93/hal.56)

“Kita enggak tahu lah kenapa bisa saya nanya waktu itu. Mungkin di situ lah ada roh yang bergerak di hatiku atau ntah apa.”

(S. W6/b. 151-155/hal. 57)

b. Tahapan Pengambilan Keputusan Menjadi Parmalim

Diskusi yang dilakukan ibu Ani dengan Pak Sabar telah menjadi awal Bu Ani mengenal ugamo Malim lebih dalam. Ia mendengar hal-hal yang berbeda dengan yang didengarnya selama ini bahwa parmalim adalah sebuah agama yang sesat. Bu Ani mengatakan bahwa hal yang paling diingatnya pada saat itu adalah pak Sabar mengatakan bahwa sebenarnya bu Ani dan keluarganyalah yang melenceng, bukan dia.

“Katanya, ” Sebenarnya klian yang larinya.” (S. W4/b. 8-9/hal. 26)

Bu Ani bingung kenapa pak Sabar mengatakan bahwa ia dan keluarganya yang melenceng dari yang seharusnya. Hal ini terlihat dengan perilakunya yang bertanya balik kenapa pak Sabar mengatakan bahwa ia dan keluarganya yang

melenceng. Pak Sabar menjawab bahwa ia mengatakan hal tersebut karena agama yang dianut oleh bu Ani dan keluarganya pada saat itu merupakan agama dari luar, bukan merupakan agama asli suku Batak.

“Katanya, “Sebenarnya agama klian itu agama luarnya. Bukan ugamo Batak.”

(S. W4/b. 8-12/hal. 26)

Pak Sabar kemudian bertanya kepada bu Ani siapa raja dalam suku Batak. Bu Ani pun menjawab kalau raja dalam Suku Batak adalah Raja Sisingamaraja. Pak Sabar pun membenarkan jawaban bu Ani tersebut. Ternyata dalam kepercayaan yang dianut pak Sabar, agama dibawa oleh para Nabi yang diutus kepada setiap bangsa. Pak Sabar menjelaskan bahwa Nabi yang diutus Tuhan untuk menyebarkan ajaran-Nya kepada bangsa Batak adalah Raja Sisingamaraja. Oleh karena itu, semua orang yang berasal dari suku Batak sudah seharusnya mengikuti ajaran Raja Sisingamaraja.

“Ya iyalah. Sebenarnya ugamo malim itu adalah ugamonya raja Batak. Siapanya raja klian? Raja Batak siapa?” katanya. Aku jawab, „Ya Sisingamaraja.‟ Saya jawab gitu, ya kan... Katanya, „Ya udah.‟”

(S. W4/b. 14-21/hal. 26)

“Pernah itu abang saya bertanya, „Kau sebenarnya orang apa?‟ Kujawab, „Orang Batak lah.‟ „Jadi kalo kau orang Batak, siapanya Rajamu?‟, katanya. Kujawab, „Ya Raja Batak. Raja Sisingamaraja.‟ “Jadi raja Sisingamaraja itu apa? Apa enggak tahu kau kalo itu anak Tuhan?‟ katanya. Dibilangnya lah kalo itu lah sebenarnya anak Tuhan bangsa Batak.”

Pak Sabar lalu bertanya kepada bu Ani siapa raja dalam agama Kristen dan bertanya apa arti “INRI” yang ada dalam ajaran agama Kristen. Bu Ani pun menjawab bahwa “INRI” berarti “Ini adalah raja orang Nazareth atau Yahudi.”

“Ditanyanya, „Kalo raja Sisingamaraja raja klian... jadi kalo klian di Kristen itu... siapa, apa artinya “INRI” itu‟. Kujawab „Raja Nazareth. Ini adalah raja Nazareth... Ini raja orang Yahudi.‟”

(S. W4/b. 21-27/hal 26)

Mendengar jawaban bu Ani tersebut, Pak Sabar pun lalu kembali bertanya kepadanya bahwa kalau begitu kenapa bu Ani dan keluarganya tetap menganut agama Kristen, padahal Raja yang mereka sembah dalam agama tersebut bukanlah raja Batak. Bagi Pak Sabar, Yesus merupakan Nabi yang diutus Tuhan kepada bangsa Israel, sehingga hanya bangsa Israel saja yang bisa mengikuti ajaran Yesus. Pak Sabar mengatakan bahwa Bu Ani tidak sepatutnya menganut agama Kristen yang merupakan ajaran Yesus, karena bu Ani bukanlah berasal dari bangsa Israel.

“Dibilangnya, „Ya udah. Berarti raja Israel. Jadi kenapa be-raja ke situ klian? „”

(S. W4/b. 28-30/hal. 26)

“‟Ya udah itu raja orang Nazareth. Kau rupanya orang Nazareth, orang Israel?‟ katanya. Ku Bilang, „Enggak‟. „Ya udah. Ngapain raja orang kau rajai?‟”

(S. W6/b. 191-197/hal. 58)

Bu Ani pun terdiam. Ia merasa apa yang dikatakan oleh Pak Sabar ada benarnya juga. Melihat reaksi bu Ani tersebut, Pak Sabar mulai menjelaskan

mengenai sejarah ugamo Malim yang terpecah belah pada masa penjajahan Belanda. Pak Sabar menceritakan bahwa agama Kristen mulai masuk pada masa penjajahan Belanda. Orang-orang Batak pun dipaksa oleh bangsa Belanda untuk menganut agama Kristen. Hal itu membuat para parmalim menjadi terpecah belah, karena ada beberapa orang yang bersikeras untuk terus memeluk ugamo Malim dan ada beberapa orang yang menyerah dan berpindah menjadi seorang Kristen.

“Diamlah aku. Saya pikir benar juga yang dibilang ito ini.” (S. W4/b. 33-35/hal. 37)

“Ya diterangkanlah dulunya waktu dijajah Belanda dipaksalah mereka masuk Kristen makanya (parmalim) pecah belah. Banyak lah yang mengikut Kristen.”

(S. W4/b. 30-35/hal. 26)

Mendengar cerita pak Sabar, bu Ani pun berpikir bahwa apa yang dikatakan oleh Pak Sabar bahwa ugamo Malim adalah ugamo asli Batak ada benarnya. Ugamo Malim telah ada di tanah Batak, bahkan sebelum agama-agama lain ada di tanah Batak. Bu Ani pun mulai membanding-bandingkan informasi yang diberikan Pak Sabar dengan ajaran dalam Alkitab. Ia mulai merasakan kebenaran dari cerita-cerita pak Sabar selama ini. Ia melihat ada beberapa informasi yang sesuai dengan apa yang tertera di dalam Alkitab. Salah satunya adalah kisah penciptaan manusia yang diceritakan di dalam Alkitab. Dalam Alkitab dikatakan bahwa manusia pertama yang diciptakan Tuhan adalah Adam dan Hawa. Diceritakan bahwa mereka memiliki dua orang anak yang bernama Kain dan Habel. Dalam ajaran ugamo Malim dikatakan bahwa pada awalnya

Tuhan menempatkan sepasang Dewa untuk tinggal di bumi. Mereka pun memiliki sepasang anak yang diberi nama Raja Ihat Manisia dan Boru Ihat Manisia. Mereka berdualah manusia pertama yang tinggal di bumi. Mereka pun dinikahkan oleh Tuhan sehingga manusia bertambah banyak. Bu Ani melihat bahwa cerita di

Dokumen terkait