A. PENELITIAN PENDAHULUAN
1. Tahap 1
Pada tahap ini, jenis asam organik yang diujicobakan ada dua macam yaitu asam asetat dan asam laktat dengan konsentrasi mulai dari 4 %, 6 %, dan 8 %. Pemilihan asam asetat dan asam laktat sebagai pengawet didasarkan pada kemampuan asam organik tersebut dalam menghambat pertumbuhan mikroba lebih baik dibandingkan jenis asam organik yang lain. Pemilihan konsentrasi 4 % pada asam asetat karena pada konsentrasi 4% asam asetat mampu menghambat pertumbuhan mikroba Salmonella
dan Staphylococcus (Furia, 1972).
a. Pengukuran nilai pH
Nilai pH sangat erat hubungannya dengan struktur protein daging, daya kelarutan protein daging, yang berakibat lebih lanjut terhadap kemampuan daging untuk mengikat air serta daya emulsi protein daging. Protein sebagai salah satu penyusun daging memiliki karakteristik yang sangat dipengaruhi oleh pH daging. Kemampuan daging dalam mengikat air dan kontinyuitas emulsi daging merupakan peranan protein yang signifikan pada produk tersebut.
Produk emulsi daging memerlukan bahan baku daging yang memiliki nilai pH yang tinggi. Menurut Sheard (2002), hal ini disebabkan pada pH tinggi (pH >5.5) protein daging akan lebih mudah larut sehingga proses ekstraksinya dengan garam akan lebih maksimal. Semakin tinggi protein miosin yang terekstrak, maka produk yang dihasilkan akan memiliki WHC yang baik sehingga cooking loss
48 semakin rendah. Nilai pH bakso selama empat hari penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Nilai pH bakso dengan pengawetan metode pencelupan selama 4 hari penyimpanan dalam suhu ruang.
Pengukuran nilai pH dilakukan terhadap produk bakso selama empat hari penyimpanan. Nilai rata-rata pH awal sampel bakso kontrol pada penyimpanan hari ke-0 mendekati pH netral yaitu 6.07. Nilai pH pada bakso kontrol cenderung mengalami penurunan dengan bertambahnya lama penyimpanan yaitu pada hari 1, 2, 3, dan 4 sebesar 5.99, 5.74, 5.17, dan 5.10. Sedangkan sampel bakso yang lain memiliki kecenderungan penurunan nilai pH hingga penyimpanan hari ke-2, namun nilai pH-nya kemudian meningkat hingga penyimpanan hari ke- 4.
Menurut Jay et al. (2005), sebagian besar mikroorganisme tumbuh optimal pada pH sekitar 7.0 (6.6-7.5). Sebagian besar kapang berkembang pada pH 2.0-8.5 sedangkan khamir tumbuh dengan baik pada pH antara 4.0-4.5. Berdasarkan data di atas (Gambar 1), dapat diketahui bahwa kisaran pH tersebut merupakan kondisi yang cukup menguntungkan bagi pertumbuhan kapang dan khamir serta bakteri yang suka asam (asidofilik). Penurunan pH produk dipengaruhi oleh adanya aktivitas mikroba terutama dari golongan pembentuk asam. Beberapa jenis mikroorganisme dalam bahan pangan seperti khamir dan bakteri asam laktat tumbuh baik pada kisaran pH 3.0-6.0. Bakteri
3,50 4,00 4,50 5,00 5,50 6,00 6,50 0 1 2 3 4 N il a i p H
Lama Penyimpanan (Hari)
Kontrol As.Asetat 4 % As.Asetat 6 % As.Asetat 8 % As.Laktat 4 % As.Laktat 6 % As.Laktat 8 %
49 asam laktat yang dapat tumbuh pada produk olahan daging yaitu
Leuconostoc, Lactobacillus, Streptococcus, dan Pediococcus (Frazier dan Westhoff, 1988).
Sampel yang diberi perlakuan asam hampir semuanya mengalami kenaikan nilai pH mulai penyimpanan hari ke- 3. Kenaikan nilai pH ini kemungkinan disebabkan oleh adanya aktivitas bakteri yang dapat meningkatkan pH substrat. Menurut Jay et al., (2005), bakteri seperti
Enterobacter aerogenes memproduksi asetosin dari asam piruvat untuk meningkatkan pH lingkungan pertumbuhannya, sedangkan Clostridium acetobotulycum dapat meningkatkan pH substrat dengan mereduksi asam butirat menjadi butanol.
b. Analisis Total Mikroba (Total Plate Count)
Total Plate Count (TPC) atau analisis total mikroba merupakan salah satu parameter yang sangat penting diperhatikan dalam produk pangan karena sangat erat kaitannya dengan keamanan produk pangan. Di dalam SNI 01-3818-1995, hampir semua produk pangan memiliki regulasi batasan maksimal total mikroba yang diperbolehkan ada dalam produknya. Bakso sebagai salah satu produk olahan daging yang tergolong ke dalam kategori makanan yang mudah rusak juga memiliki batas maksimal jumlah total mikroba. Menurut SNI 01-3818-1995, total mikroba untuk produk bakso maksimal sebesar 1.0 x 105 koloni per gram atau sebesar 5 log cfu/g.
Hasil pengamatan total mikroba pada sampel dan kontrol selama empat hari penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 2. Berdasarkan hasil pengamatan, pada penyimpanan hari ke-0, kontrol mempunyai kisaran total mikroba yang tertinggi dibandingkan sampel lainnya yaitu sebesar 2.06 log cfu/g, sedangkan sampel yang diberi perlakuan asam semuanya memiliki jumlah total mikroba berkisar sebesar 1 log cfu/g. Pada awal penyimpanan, sampel yang memiliki jumlah total mikroba terendah yaitu sampel yang dicelup ke dalam larutan asam asetat 8 %
50 dan asam laktat 8 %. Kedua sampel tersebut memiliki jumlah total mikroba sebesar 1.15 log cfu/g.
Gambar 2. Jumlah total mikroba bakso dengan pengawetan metode pencelupan selama 4 hari penyimpanan dalam suhu ruang.
Jumlah mikroba awal yang cukup rendah pada bakso yang diberi perlakuan asam mungkin disebabkan adanya asam yang melindungi bagian permukaan bakso sehingga tidak memungkinkan bakteri untuk tumbuh kecuali bakteri tahan asam (asidofilik). Rendahnya jumlah mikroba awal pada bakso juga bisa disebabkan adanya proses perebusan dalam pembuatan bakso sehingga mikroba pembusuk yang tidak tahan panas akan mati. Namun, menurut Fardiaz (1992), pemanasan pada proses perebusan tidak menjamin bahwa seluruh mikroba telah mati, beberapa spesies bakteri Gram positif yang relatif lebih tahan terhadap perlakuan fisik kemungkinan masih terdapat dalam sampel.
Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa asam asetat lebih mampu memperlambat pertumbuhan mikroorganisme lebih baik dibandingkan asam laktat. Pada penyimpanan hari ke-1, jumlah total mikroba bakso kontrol (6.18 log cfu/g) dan sampel bakso yang dicelupkan ke dalam larutan asam laktat 4 % (5.20 log cfu/g) telah melewati batas maksimal jumlah total mikroba yang diperbolehkan dalam SNI 01-3818-1995. Hal ini berarti bakso kontrol dan sampel
0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 0 1 2 3 4 Ju ml a h M ikr o b a (L o g c fu /g )
Lama Penyimpanan (Hari)
Kontrol As.Asetat 4 % As.Asetat 6 % As.Asetat 8 % As.Laktat 4 % As.Laktat 6 % As.Laktat 8 % SNI 01-3818-1995
51 bakso yang dicelupkan ke dalam larutan asam laktat 4 % hanya memiliki umur simpan selama satu hari secara mikrobiologis.
Pada hari ke-2, hampir semua sampel bakso yang diberi perlakuan asam memiliki jumlah total mikroba yang melebihi batas maksimal yang ditetapkan SNI 01-3818-1995 kecuali bakso dengan perlakuan asam asetat 6 % (4.93 log cfu/g) dan asam asetat 8 % (4.92 log cfu/g). Bakso dengan perlakuan asam asetat 6 % dan asam asetat 8 % memiliki jumlah mikroba yang melebihi batas maksimal SNI 01- 3818-1995 pada penyimpanan hari ke-3 yaitu masing-masing memiliki jumlah beban mikroba sebesar 7.88 log cfu/g dan 7.71 log cfu/g.
Berdasarkan Gambar 2 dapat dilihat bahwa jumlah total mikroba cenderung mengalami peningkatan dengan bertambahnya waktu penyimpanan. Secara umum, pertumbuhan mikroba tersebut dapat digambarkan sebagai kurva logaritmik. Hal ini menunjukkan bahwa mulai dari penyimpanan hari ke-0 hingga penyimpanan hari ke-3 (untuk kontrol hingga hari ke-2), mikroba yang tumbuh pada sampel berada dalam fase pertumbuhan logaritmik. Dalam fase logaritmik atau pertumbuhan eksponensial ini jumlah mikroorganisme meningkat dan tumbuh dengan laju pertumbuhan yang konstan hingga faktor lingkungan menjadi terbatas (Soeparno, 2005). Menurut Fardiaz (1992), pada fase pertumbuhan logaritmik, kecepatan pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh medium tempat tumbuhnya, seperti pH, kandungan nutrien, juga kondisi lingkungan termasuk suhu dan kelembaban udara.
Fase pertumbuhan stasioner atau fase kematian mikroba mulai terjadi pada penyimpanan hari ke-3 hingga hari ke-4. Pada fase ini pertumbuhan populasi mikroorganisme biasanya dibatasi oleh habisnya nutrien yang tersedia atau penimbunan zat racun sebagai hasil akhir metabolisme. Akibatnya kecepatan pertumbuhan menurun dan pertumbuhan akhirnya terhenti (Buckle et al., 2007).
52
c. Pengamatan subyektif selama penyimpanan
Pengamatan dilakukan setiap hari meliputi pengamatan subyektif (warna, aroma, rasa, tekstur, pembentukan lendir dan miselium kapang) selama penyimpanan empat hari. Hasil pengamatan uji keawetan sampel bakso secara visual pada beberapa perlakuan jenis pengawet yang ditambahkan dapat dilihat pada Gambar 3. Adapun data hasil pengamatan subyektif secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 4.
Gambar 3. Umur simpan sampel bakso dengan pengawet asam laktat dan asam asetat berdasarkan pengamatan visual.
Hasil pengamatan subyektif pada penyimpanan hari ke-0 yang meliputi warna dan tekstur bakso menunjukkan bahwa sampel dengan semua perlakuan masih dalam kondisi normal. Begitu pun dengan penampakannya yang masih dalam kondisi normal yang ditandai dengan tidak ditemukannya miselium kapang dan lendir. Untuk parameter rasa dan aroma, sampel yang diberi perlakuan asam sudah menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan dengan bakso kontrol. Bakso kontrol memiliki rasa dan aroma yang normal yaitu dominan rasa daging, namun bakso yang diberi perlakuan asam memiliki rasa dan aroma asam. Rasa asam pada sampel bakso yang diberi perlakuan ini hanya terasa pada bagian permukaannya saja, sedangkan bagian dalam bakso masih terasa dominan rasa daging. Hal ini bisa disebabkan karena bakso hanya
0 1 2 3
Kontrol As. Laktat 4 % As.Laktat 6 % As.Laktat 8 % As.Asetat 4 % As.Asetat 6 % As.Asetat 8 % U m u r S im p a n (H a ri ) Perlakuan Pengawet
53 dicelupkan ke dalam larutan asam selama 1 menit saja sehingga tidak semua asam terserap ke dalam bakso. Semakin tinggi konsentrasi larutan asam organik, maka semakin tajam pula aroma asam yang tercium dan rasa asam pada bakso pun semakin meningkat. Larutan asam asetat memiliki rasa dan aroma yang lebih asam dibandingkan dengan larutan asam laktat pada konsentrasi yang sama. Menurut de Man (1997), beberapa asam organik diurutkan dari yang memiliki rasa asam paling tinggi hingga rasa asam paling rendah (sebagai acuan asam tartarat) secara berturut-turut yaitu asam tartarat, asam malat, asam fosfat, asam asetat, asam laktat, asam sitrat, dan asam propionat.
Penyimpanan hari pertama, bakso kontrol dan sampel dengan perlakuan asam laktat 4 % mulai mengalami kerusakan sedangkan sampel yang diberi perlakuan asam lainnya belum menunjukkan kerusakan. Kerusakan pada bakso kontrol diawali dengan timbulnya lendir serta bau asam sebagai pertanda kebusukan sedangkan sampel dengan asam laktat 4 % mulai ditumbuhi miselium kapang. Menurut Buckle et al,. (2007), pertumbuhan bakteri pada permukaan yang basah seperti daging dapat menyebabkan flavor dan bau yang menyimpang serta pembusukan bahan pangan dengan pembentukan lendir.
Sampel bakso yang dicelup ke dalam larutan asam laktat 6 % dan 8 % mulai menunjukkan kerusakan pada penyimpanan hari kedua sedangkan sampel yang dicelup ke dalam larutan asam asetat 4 %, 6 %, dan 8 % masih dalam kondisi normal. Tanda-tanda kerusakan pada sampel terlihat dengan adanya pembentukan miselium kapang di permukaan bakso. Kapang bersifat aerobik sehingga tumbuh pada bagian luar permukaan bahan pangan yang tercemar (Buckle et al., 2007).
Semua sampel telah mengalami kerusakan pada penyimpanan hari ketiga terutama sampel yang diberi perlakuan pencelupan ke dalam larutan asam laktat. Tanda-tanda kerusakan pada sampel yang diberi perlakuan pencelupan ke dalam larutan asam asetat adalah munculnya lendir dan tumbuhnya kapang disekitar permukaan bakso walaupun jumlah kerusakannya tak sebanyak sampel yang diberi perlakuan
54 pencelupan ke dalam asam laktat. Pada umumnya mikroba pembentuk lendir termasuk genus Pseudomonas, Achromobacter, Streptococcus, Leuconostoc, Bacillus, Micrococcus, dan beberapa spesies Lactobacillus
(Frazier dan Westhoff, 1988).
Kerusakan pada bakso memiliki kaitan yang erat dengan aktivitas mikroorganisme. Menurut Frazier dan Westhoff (1988), mikroorganisme penyebab kerusakan pada bahan pangan berkadar air tinggi dengan pH sekitar netral terutama adalah golongan bakteri. Menurut Frazier dan Westhoff (1988), beberapa golongan bakteri yang dapat tumbuh baik pada bahan pangan yang banyak mengandung protein, kadar air tinggi dengan pH netral antara lain : golongan bakteri proteoloitik, bakteri asam laktat, dan golongan termodurik, seperti Micrococcus, Bacillus, dan
Brevibakteria.
Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan tahap 1 dengan mengacu pada SNI 01-3818-1995, dapat diketahui bahwa sampel yang diberi perlakuan dengan pencelupan ke dalam larutan asam laktat 4 %, asam laktat 6 %, dan asam laktat 8 % serta asam asetat 4 % memiliki umur simpan satu hari, sedangkan sampel dengan perlakuan pencelupan bakso ke dalam larutan asam asetat 6 % dan 8 % menunjukkan hasil yang lebih baik karena mampu memperpanjang umur simpan bakso hingga penyimpanan dua hari. Meskipun demikian, sampel bakso yang dicelupkan ke dalam larutan asam asetat 4 % (5.23 log cfu/g) masih memiliki penampakan visual yang belum menunjukkan tanda-tanda kerusakan pada penyimpanan hari ke-2. Menurut Jay et al., (2005), kerusakan mikrobial umumnya belum terdeteksi pada kisaran jumlah mikroba/g 103-106 kecuali pada susu segar yang kemungkinan asam pada kisaran 105-106.
Dari penelitian pendahuluan tahap 1 ini juga dapat disimpulkan bahwa asam asetat memiliki tingkat keefektifan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan asam laktat pada konsentrasi yang sama. Kemampuan menghambat pertumbuhan bakteri ditentukan oleh besarnya nilai pKa, artinya kemampuan bakterisidal asam organik pada bahan
55 makanan ditentukan oleh besarnya persentase molekul yang tidak terdisosiasi (pKa) dari asam organik yang digunakan. Menurut Rahman (1999), penggunaan jenis asam organik yang memiliki nilai pKa yang besar, dengan konsentrasi yang tinggi dan pH yang lebih rendah akan meningkatkan kemampuan antimikroba dari asam organik tersebut. Asam asetat memiliki nilai pKa 4.75 yang lebih tinggi dibandingkan nilai pKa asam laktat yaitu 3.08 (Doores, 2005). Bila nilai pKa tinggi maka persentase asam dalam bentuk tidak terurai dalam bahan makanan akan meningkat, sehingga molekul yang tidak terdisosiasi akan menembus dinding sel mikroorganisme. Akibatnya kondisi sel mikroba akan menjadi lebih asam. Sel mikroba akan berusaha membuat kondisi sitoplasma tetap berada pada kondisi pH normal, oleh sebab itu sel memerlukan lebih banyak energi untuk mengeluarkan molekul-molekul tadi, akibatnya pertumbuhan sel mikroorganisme akan terhambat.
Hasil penelitian pendahuluan tahap 1 ini belum memenuhi target umur simpan bakso selama 4 hari sehingga diperlukan eksplorasi metode pengawetan dan jenis pengawet. Tahap selanjutnya dari penelitian ini adalah penambahan jenis pengawet yang diteliti dan mencoba menggunakan metode pengawetan yang lain selain pencelupan yaitu dengan metode perebusan.