• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tahapan proses sintesis surfaktan APG .1 Tahap Butanolisis

Tahap butanolisis (glikosidasi) merupakan reaksi antara monosakarida (sumber pati-patian) dan butanol dengan menggunakan katalis asam untuk membentuk produk butil glikosida, pada proses ini terjadi pemisahan air (H2O) dari hasil reaksi glukosa dan butanol dengan bantuan ion H+

Hill et al. (2000) menyatakan reaksi ratio mol antara pati dengan butanol 1:6 sampai 1:10. Optimasi ratio molar pati tapioka dan butanol pada pembuatan surfaktan APG berbasis alkohol lemak C

dari katalis (Lueders, 1989).

10

Pemilihan katalis pada proses sintesis APG, bertujuan untuk mempercepat proses sintesis APG. Schick (1987) menyatakan bahwa katalis asam yang dapat digunakan pada sintesis surfaktan APG antara lain :

 Katalis asam onorganik, misalnya : asam fosfat, asam sulfat, asam klorida, dll.  Katalis asam organik, misalnya : asam trifluoroasetat, asam para toluena

surfonat, asam sulfosuksinat, dll.

 Asam yang berasal dari surfaktan, misalnya : asam alkil benzena surfonat, akohol lemak surfat, dll.

Buchanan dan Wood (2000) menyatakan bahwa katalis yang digunakan pada sintesis surfaktan APG sebaiknya katalis p-toluene sulfonic acid (asam para toluena sulfonat/PTSA), karena merupakan katalis organik dan bersifat mudah terurai oleh lingkungan serta merupakan jenis asam lemah. Selain itu, penggunaan jenis asam lemah bertujuan untuk memudahkan pada proses netralisasi. Katalis PTSA juga bersifat tidak korosif terhadap pipa besi ataupun stainless steel (Hill et al. 2000).

Katalis yang digunakan sebaiknya tidak menggunakan asam kuat karena dapat menghidrolisa glukosa, selain itu juga dapat bersifat korosif pada pipa besi ataupun stainless steel. Buchanan dan Wood (2000) menyatakan bahwa penggunaan katalis pada sintesis APG sebaiknya 0.009, 0.018, 0.027 dan 0.036 mol, namun penggunaan katalis PTSA sebaiknya digunakan dengan 0.018 mol. Proses ini terjadi pada suhu 140-150 0

Penggunaan bahan baku sakarida yang berasal dari pati terlebih dahulu terjadi proses hidrolisis kemudian proses alkoholisis, selain menghasilkan produk butil glikosida juga terbentuk warna yang gelap akibat degradasi dari gula.

C, dengan tekanan 4.5-7 bar selama selama 30 menit (Wuest et al. 1992).

2.2.2.2 Tahap Transasetalisasi

Produk dari tahap butanolisis yaitu butil glikosida kemudian direaksikan dengan alkohol lemak C10 dan C12. Putri (2010) menyatakan bahwa optimasi ratio mol pati tapioka dengan alkohol lemak sebesar 1:4.7. Butil glikosida tidak dapat bercampur dengan alkohol lemak C10 dan C12, hal ini dikarenakan perbedaan polaritas untuk itu perlu dilakukan penambahan solubilizer (Balzer dan Luders 1994). Schmitt (1993) menyatakan bahwa penggunaan solubilizer N-metil 2 pirolidon (NMP) dapat melarutkan metil monoglikosida dan alkohol lemak C10 dan C12, namun bahan ini bersifat racun terhadap lingkungan. Salah satu solubilizer yang sejenis dengan NMP dan bersifat tidak mencemari lingkungan adalah dimetil solfooksida (DMSO) dengan rumus molekul (CH3)2SO. DMSO merupakan asam

lemah dengan titik didih 179 0C dan akan terpisah pada saat distilasi. Penggunaan DMSO sebaiknya 0.1 mol/bobot mol pati (Balzer dan Luders 1994).

Katalis asam yang digunakan pada proses transasetalisasi juga menggunakan PTSA sebanyak 0.009 mol/bobot mol pati. Pada proses ini, butanol dan air akan teruapkan dan ditampung dalam separator. Proses transasetalisasi ini terjadi pada suhu 110-120 0

Kondisi asam dan suhu tinggi selama proses sintesis akan menghasilkan produk sekunder (by-product) seperti polidekstrosa yang berupa endapan pasta berwarna gelap. Penggunaan suhu tinggi (>120

C dengan tekanan vakum dan selama 2 jam (Wuest et al. 1992).

0

C) dapat mempercepat pembentukan polidekstrosa dan perubahan warna pada karbohidrat (McCurry et al. 1994). Borsotti dan Pellizzon (1996) menyatakan bahwa pemakaian katalis dapat menghasilkan endapan yang berupa pasta pada proses transasetalisasi, untuk itu perlu dilakukan penyaringan sebelum dilanjutkan ke tahap pemurnian.

2.2.2.3 Tahap Pemurnian Proses Netralisasi

Proses netralisasi bertujuan untuk mengatur pH produk, agar produk pada kondisi basa dengan pH 8-9. Basa yang digunakan untuk proses netralisasi ini diantaranya natrium hidroksida, potasium hidroksida, aluminium hidroksida dan lain sebagainya (Wuest et al. 1992). Proses netralisasi dilakukan pada suhu 70-90 0

Penggunaan natrium hidroksida (NaOH) sangat dianjurkan, karena NaOH tidak bereaksi dengan alkohol ataupun produk. NaOH yang digunakan untuk proses netralisasi sebaiknya dengan konsentrasi 50% (McCurry dan Pickens 1990). Penambahan katalis NaOH pada proses ini juga akan lebih mudah karena berbentuk larutan dan tidak memerlukan penyaringan untuk menghilangkan garam yang terbentuk (Wuest et al. 1992). Pada umumnya industri menggunakan NaOH pada proses netralisasi, karena selain murah juga lebih efisien (Ketaren 1996).

C dengan tekanan 1 atm dan waktu 30 menit.

Pada proses ini ratio mol pati terhadap alkohol lemak akan berpengaruh pada jumlah basa yang digunakan, karena alkohol lemak cenderung bersifat asam. Semakin banyak jumlah alkohol lemak yang digunakan, maka semakin banyak pula basa yang dibutuhkan (Hill et al. 2000).

Proses Distilasi

Proses distilasi bertujuan untuk menghilangkan alkohol lemak yang tidak ikut bereaksi. Proses ini memerlukan suhu tinggi dan tekanan yang rendah, agar alkohol lemak yang tidak ikut bereaksi teruapkan. Proses ini terjadi pada suhu 140-160 0

Hasil akhir dari proses distilasi akan diperoleh produk surfaktan APG kasar yang berbentuk pasta berwarna coklat kehitaman dan bau yang kurang enak. Produk surfaktan APG yang beredar dipasaran berwarna bening dengan bau yang enak, oleh sebab itu perlu dilakukan proses pelarutan dan pemucatan untuk memperoleh surfaktan APG yang sesuai beredar dipasaran.

C dengan tekanan vakum selama 2 jam. Wuest et al. (1992) mengatakan bahwa semakin panjang rantai atom alkohol lemak yang digunakan maka akan semakin tinggi suhu yang dibutuhkan dan semakin rendah tekanannya. Pada proses ini diharapkan memperoleh kandungan alkohol lemak sekecil mungkin pada produk surfaktan APG yang dihasilkan, yaitu kurang 5% dari berat produk. Kelebihan alkohol lemak yang tidak bereaksi pada produk akan mengurangi efektifitas kerja dari surfaktan APG.

Proses Pelarutan

Proses pelarutan merupakan proses pengenceran APG kasar yang diperoleh setelah proses distilasi. Pelarutan dilakukan dengan penambahan air, dimana air yang digunakan untuk pengenceran sebaiknya pada suhu sekitar 60-80 °C dengan perbandingan 1 : 1 dari bobot APG kasar (Borsotti dan Pellizon 1996).

Proses Pemucatan (Bleaching)

Tahap pemurnian merupakan suatu tahap untuk meningkatkan kualitas suatu bahan agar mempunyai nilai jual yang lebih tinggi. Beberapa metode pemurnian yang dikenal adalah secara kimia dan fisika. Pemurnian secara fisika membutuhkan peralatan penunjang yang cukup spesifik, sehingga diperoleh produk akhir yang lebih baik pula dengan warna yang lebih jernih. Pemurnian secara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan peralatan yang lebih sederhana dan hanya memerlukan metode pencampuran dengan senyawa kimia lainnya (Hernani 2007).

Schmitt (1993) mengatakan bahwa proses pemucatan merupakan suatu tahap pemurnian surfaktan APG, yang bertujuan untuk menghilangkan zat-zat warna dan

bau yang tidak diinginkan. Proses pemucatan (bleaching) merupakan tahap akhir dari proses sintesis surfaktan APG.

Proses pemucatan dilakukan dengan menambahkan larutan H2O2 dan logam alkali yang dilakukan pada suhu 80-90 0C selama 40-60 menit pada tekanan normal (Hill et al. 2000). McCurry et al. (1994), menyatakan proses pemucatan dapat dilakukan dengan penambahan logam alkali seperti natrium hidroksida (NaOH) dan magnesium oksida (MgO) yang bertujuan untuk menghilangkan zat warna yang tidak diinginkan pada produk surfaktan APG. Konsentrasi NaOH dan MgO yang efektif digunakan sekitar 250-1000 ppm, namun lebih baik lagi sekitar 500-700 ppm. Penggunaan logam alkali NaOH dan MgO sebagai bahan aktivator serta penambahan H2O2 akan menghasilkan surfaktan APG berwarna lebih jernih, dimana konsentrasi H2O2

adalah 35% (b/v) sebanyak 2% dari bobot surfaktan APG kasar (b/b).

Dokumen terkait